"Adah, itu dirimu kan?" tanya Amin pada sosok yang sedang berada di harapannya. Air mata ambil berlabuh ke pipi, senyuman manis pun terukir di bibirnya. "Adah, ini aku. Aminmu.." Perempuan di hadapan Amin itu hanya diam, ia masih membelakangi Amin tanpa berbalik badan. Kemudian suara isakan terdengar samar di telinga. Amin hendak mendekat, namun dia tidak bisa bergerak maju selangkah pun. "Adah, kenapa? Kenapa kamu menangis? Aku ada di sini, Adah." Amin masih berusaha untuk melangkahkan kakinya, namun haislnya tetaplah nihil. "Hentikan! Aku mohon hentikan! Aku tidak ingin kamu melangkah lebih jauh lagi. Cukup sudah!" ucap perempuan itu masih disertai dengan isakan. Ia tetal tidak membalikkan badannya. "Tidak bisa, Adah. Aku tidak akan berhenti sampai aku bisa mengetahui siapa pelakunya." "Tidak. Cukup!" Seiring suara isakan yang menyayat hati, perlahan kabut mulai menghampiri kornea mata Amin. Sekejab di mata, kala kabut itu tak lagi menghalangi penglihatan. Perempuan
"Aku tidak bisa jika hanya berdiam diri di disini. Aku harus segera mengambil tindakan." Ridwan pun telah memutuskan untuk pergi ke rumah Ina. Di perjalanan menuju rumah Ina, nampak di tiap-tiap rumah terdapat setidaknya satu orang yang berjaga, terlebih di pos. Ridwan tak ingin memperlambat langkahnya menuju rumah Ina, ia tetap melakukan motornya menuju rumah Ina. Sesampainya di depan pekarangan rumah Ina, terlihat rumah itu tertutup rapat dan lampu bagian depan rumah tidak menyala. Ridwan turun dari motornya, menuju pintu rumah Ina. Tok... Tok... Tok... "Ina," panggil Ridwan. Tidak ada jawaban, Ridwan pun kembali kembali mengetuk pintu dan tak henti memanggil nama Ina. Setelah beberapa menit berlalu, knop pintu nampak bergerak dan pintu terbuka. Nampaklah sosok lelaki berbadan tinggi dengan hidup yang mancung berdiri di hadapan Ridwan. Melihat sosok itu, Ridwan mengepalkan tangannya, amarah di dada meluap namun ditahan olehnya. Ridwan mengingat kembali ucapan Jono waktu
Jarum jam menunjukkan pukul dua belas malam. Ridwan yang sedari tadi duduk diam itu akhirnya terlelap dalam tidurnya. Baru saja beberapa menit matanya terpejam, tiba-tiba ia kembali terbangun dikarenakan suara Galuh yang berteriak. Gegas Ridwan bangkit, Galuh kembali kejang-kejang seperti apa yang Salma katakan, merah-merah di tubuh Galuh pun semakin menyala. "Galuh," ucap Ridwan panik, kemudian ia gegas memanggil dokter. Dokter dan suster bergegas datang, Galuh yang masih kejang-kejang itu gegas mereka tenangkan dengan susah payah. Ridwan diminta untuk menunggu di luar karena yang boleh berada dalam ruangan hanya dokter, pasien dan suster saja agar tidak mengganggu. Dibantu dengan tiga suster dan satu dokter, akhirnya kejang-kejang Galuh berhenti. "Aku tidak punya pilihan lain, aku harus meminta bantuan pada paman." Ridwan tidak punya pilihan, iya akhirnya bergegas menuju rumah Amin. Tengah malam yang biasanya sunyi dan lampu rumah warga dimatikan, berbeda pada malam ini. Se
Flash back.."Angga, ada yang ingin aku bicarakan denganmu, ini mengenai Galuh." Ina nampak serius. "Kenapa, kak? Galuh baik-baik saja, kan?" tanya Angga khawatir. "Bukan tentang itu. Ini mengenai siapa Galuh sebenarnya." Ina menatap kearah luar jenddla mobil. Saat ini ia sedang bersama dengan Angga yang menjadi sopirnya. Setelah Kejadian di kantor Angga, Angga menganggur dan tidak mempunyai pekerjaan apapun. Terlebih, ia harus membayar biaya rumah sakit untuk anak dan istrinya. "Maksud kakak?" tanya Angga lagi yang masih fokus menyetir. "Sebaiknya kita berhenti dulu, Angga. Aku tidak ingin kamu krhilangan kendali nanti dan membahayakan kita berdua!" titah Ina. Angga mengangguk mengerti, ia pun mencari tempat terbaik untuk memarkirkan mobil. "Sudah, kak. Silakan!" ucap Angga, sopan. Ina mengehembuskan napas kasar. "Sebelumnya, alasan aku mengatakan hal ini padamu karena aku merasa kamu pantas untuk mengetahui hal ini, aku juga melihat ketulusan yang sangat dalam darimu pada adi
"Kenapa kepalaku tib-tiba pusing lagi?" ucap Angga sembari memegangi kepalanya. Ia merasa dunia seperti berputar dan perlahan ia merasa tenggelam di sebuah pusaran yang hitam pekat dan cahaya menghilang, yang tersisa hanyalah gelap gulita. Mimpi aneh lagi, Angga terus berlari dengan terpogoh-pogoh, mencari jalan keluar dari labirin kegelapan ini. Peluhnya membubuhi tiap jengkal tubuhnya. Ia benar-benar merasa ketakutan. Semakin jauh berlari, semakin ia masuk ke dalam labirin gelap gulita itu. Hingga akhirnya ia bertemu dengan cahaya merah dan ia gegas masuk ke dlaamnya. Tiba-tiba... "Angga, Angga!" panggil seseorang. Angga pun akhirnya membuka mata, ia telah terbangun dari mimpi buruknya. "Aa.a..""Angga, ada apa?" Setelah beberapa hari menjalani ritual, akhirnya Ina bisa kembali pulang ke rumah, menemui Angga. "Sayang. Aku takut," ucap Angga yang langsung memeluk Ina. Ina tersenyum menyeringai, Angga telah kembali kedalam pelukannya. Tidak sia-sia apa yang telah ia perjuangka
"Paman, bagaimana keadaan Galuh sekarang?" tanya Jaya. Amin menepuk pundak Jaya. "In syaa Allah, dia akan baik-baik saja, Jaya." Amin pun kembali melanjutkan langkahnya masuk ke dalam rumah. "Oh iya, satu hal lagi. Sebaiknya kalian jangan mendatangi Galuh dulu. Dia benar-benar perlu beristirahat saat ini," sambung Amin. "Baik, paman." Jaya membalikkan badan. "Paman, boleh kita bicara sebentar? Ada yang ingin Jaya tanyakan." Amin pun mengangguk dan ia melanjutkan langkah kakinya menuju kursi di ruang depan, diikuti oleh Jaya. Mereka berdua duduk berhadapan. "Bagaimana keadaan Nisa, Jaya?" tanya Amin terlebih dahulu, sebelum Jaya melontarkan pertanyaannya. "Alhamdulillah sudah lebih baik, paman." Amin mengangguk saja. "Silakan, apa yang ingin kamu tanyakan?" ujar Amin. "Paman, ada beberapa hal yang ingin Jaya ketahui. Pertama, tentang pesugihan bab* ng*p*t yang saat ini meresahkan warga." Jaya memulai pertanyaannya. "Apa yang ingin kamu ketahui tentang hal itu?" t
"Jadi, selama dua puluh tahun lebih ini masalah pesugihan yang meresahkan warga belum terpecahkan juga. Kira-kira, apakah ada yang paman curigai?" tanya Jaya menatap menyelidik pada Amin. Amin mengerenyitkan dahinya, ia tidak langsung menjawab pertanyaan Jaya itu. "Tidak tahu, Jaya. Aku pun sudah sangat lama menyelidiki masalah ini namun aku tidak menemukan tanda-tanda apapun. Setelah Nadi meninggal dunia, aku sudah tidak mencoba mencari tahu hal itu lagi. Namun, sekarang masalah itu kembali terjadi dan aku tidak tahu harus mulai darimana lagi sekarang, bahkan aku sudah putus asa mencari kebenaran tentang kematian Adah." Amin terlihat sedih setelah menyebut nama Adah. "Tapi, ada satu orang yang sejak dulu aku perhatikan." "Siapa paman?" tanya Jaya. *** "Yang saat ini dicurigai adalah Thohir. Kita harus berhati-hati dengan orang itu," jelas Yusuf. "Aku sudah mengumpulkan beberapa catatan tentang si Thohir itu. Bagaimanapun, dia bukanlah orang sembarangan." Jono, Ridwan dan S
Dengan gemetar Galuh melangkah, berusaha menegakkan kaki agar tetap berjalan pada pijakan kayu rapuh nan panjang itu, di bawah titian kayu itu terdapat jurang yang sangat dalam penuh dengan berbagai jenis ular yang menggeliat di bawah sana. Galuh tetap pada pijakannya, tekadnya yang kuat untuk mengejar suara tangisan yang sedari tadi menarik indera pendengarannya. Rapuh, sangat rapuh titian kayu yang berlumut itu. Hanya berpegang dengan seutas akar tanaman yang merambat bebas. Galuh dengan penuh kehati-hatian tidak gentar untuk mundur. Semakin dijalani, semakin banyak sisa tapak kaki, namun terasa tiada pergerakan sama sekali. Titian itu tiada habisnya, terasa sangat panjang dan tanpa ujung. "Mama, Tolong!!!" teriakkan itu kembali terdengar lagi. Galuh semakin bergegas, tidak peduli dengan segala rintangan yang ada di hadapannya. Setelah sekian lama, peluh juga rasanya sudah mengering karena habis dikeluarkan, akhirnya Galuh sudah berada di ujung titian yang penuh dengan ketak
Berbulan-bulan telah berlalu, Galuh merasa sangat tenang tinggal di rumah Ustaz yang menampungnya saat ini. Ia juga ikut salat berjamaah dengan para jamaah perempuan dan berinteraksi dengan orang-orang yang sangat lemah lembut dan beragama yang kuat. Hari ini ustaz beserta rombongan pergi lagi ke kampung tempat Sari berada dan ini bukan kali pertama namun sudah yang kesekian kalinya. Galuh tidak bisa diam sembari menanti kabar. “Tenang, mbak Galuh. In syaa Allah semuanya akan baik-baik saja.” Istri ustaz menenangkan Galuh. “Iya, bu ustazah. Semoga saja semuanya baik-baik saja.” Tidak berapa lama suara gesekan kaki terdengar. “Assalamu’alaikum.” “Waalaikumussalam,” jawab orang yang berada di dalam rumah. “Nah itu pasti mereka,” tebak istri ustaz. Galuh beserta yang lain pun gegas berdiri dan tidak sabar dengan berita yang akan mereka terima. Benar saja, rombongan yang tadi pagi berangkat itu sudah kembali dengan jumlah yang lengkap bahkan jumlah mereka bertambah, sumringa
“Assalamu'alaikum,” ucap Galuh mengetuk pintu. Tidak berapa lama ada jawaban dari dalam. “Waalaikumussalam.” Pintu pun terbuka, nampaklah sosok perempuan yang mengenakan hijab labuh dan lebar yang sedang tersenyum pada Galuh. “Nyari siapa ya, mbak?” tanyanya. Galuh mengeluarkan kertas yang sudah Sari berikan padanya. “Saya Galuh, mbak. Temennya Sari.” Galuh pun menyerahkan kertas tersebut. “Sari?” ucapnya sembari membaca kertas dari Galuh itu. “Mas, sini mas!” panggilnya. Hingga munculah sosok lelaki dengan wajah teduh dan basah dengan air wudhu. “Kenapa, sayang? Eh, ada tamu. Kenapa ndak disuruh masuk?” “Astagfirullah, kelupaan. Maaf ya, mbak. Silakan masuk!” “nggih, makasih.” Galuh pun masuk ke dalam rumah. “Ini loh, Mas. Sari, ada kabar dari Sari.” “Sari..” Keduanya pun nampak serius membaca kertas tersebut. Setelah itu pun mereka meminta Galuh menceritakan semua yang telah Sari ceritakan padanya sebagaimana sesuai dengan instruksi Sari sebelumnya. “Jadi begitu, ya Allah
Mereka berdua kembali melanjutkan perjalanan mereka, hingga akhirnya mereka sampai pada sebuah gerbang yang bertuliskan “kuburan muslimin” Galuh pun menatap ke arah Sari. “Ada yang mau aku ziarahi, mau ikut ke dalam atau nunggu di sini?” tanya Sari. “Jika dibolehkan aku ikut,” jawab Galuh. “Tentu saja boleh, Galuh. Mari!” Galuh dan Sari pun masuk ke dalam gerbang itu, hamparan tanah luas yang sudah mulai sesak dengan batu nisan dan gundukan tanah memenuhi pandangan mata. Sari menuju satu pekuburan yang berada dekat pohon besar yang diikat dengan kain berwarna kuning paling pojok pekuburan. Ia duduk bertelimpuh kaki dekat kuburan itu yang diikuti oleh Galuh. Sari nampak sedang menabur bunga di atas kuburan serta air doa, Galuh yang tak ingin memgganggu itu pun hanya diam dan mendoakan dalam hatinya. “Galuh, kita sama-sama tahu rasanya kehilangan orang yang sangat kita sayangi. Kamu pastinya mengeetj bagaimana perasaaku,” tutur Sari yang mana rona di wajahnya berubah menjadi sendu.
Kejanggalan mulai lebih terasa oleh Galuh, terlebih bentuk gangguan dari makhluk sebelah yang membuat Galuh bahkan tidak bisa memejamkan matanya hingga kokokan ayam subuh menggema. Bukan hanya itu, ia juga sering kali mendengar Indah yang berteriak di tengah malam namun tidak ada satupun yang menghiraukan. "Ridwan," panggil Galuh dari balik pintu. Tidak berapa lama Ridwan dengan muka bantalnya membuka pintu. "Ada apa Galuh? Kamu lihat hantu lagi?" tanya Ridwan setelah menguap. "Maaf mengganggu waktu tidurmu, tapi tadi aku denger tante Indah teriak. Takutnya dia kenapa-napa," jelas Galuh. Ridwan membalasnya dengan seutas senyuman. "Ibu memang seperti itu kalau jam segini, Galuh. Maaf kalau teriakkan ibu mengganggu tidurmu, kamu ndak perlu khawatirin ibu, dia ndak kenapa-napa kok." "Tapi, Wan." "Tapi apa, Galuh? Ya sudah, aku bilangin ibu dulu ya jangan teriak-teriak biar kamu bisa tidur." "Ndak, bukan gitu, Wan. Aku cuman takut terjadi apa-apa aja ke tante." Ridwan mena
Di tengah malam yang sangat sunyu, suara gonggongan anjing memekak telinga, Galuh yang masih terjaga lantas saja membaca doa. Sudah dua malam ini dia tinggal di rumah Ridwan, sangat sulit baginya untuk memejamkan mata. Ketakutan menghantui Galuh setiap kali ia menuju alam mimpi, mimpi buruk memenuhi alam bawah sadarnya. Pula, terdengar bisikan memanggil nama Galuh tepat di samping telinganya, namun tiada siapapun ia dapati. Galuh menaruh mushaf kecilnya ke atas nakas, perlahan ia membuka pintu agar tidak menimbulkan suara berisik yang dapat membangunkan penghuni rumah. Tenggorokan Galu terasa kering dan botol air yang tersedia di kamarnya sudah tiada berisi. Ia dengan terpaksa keluar kamar mengambil air ke dapur. Setelah mengambil air dan berniat untuk kembali ke kamar, terdengar suara aneh dari dalam kamar Indah. Galuh merasa penasaran, namun ia juga tidak berani bertindak semena-mena di rumah orang. "Galuh, jangan! Ini bukan rumahmu. Cepat pergi ke kamar!" gumam Galuh pada meme
Tatkala kamar terbuka, sebuah aroma busuk mulai menyeringai masuk ke rongga hidung. Galuh berusaha menahan rasa tidak sukanya, terlebih ia sedang mengandung yang mana tidak bisa mencium bau aneh apapun. Kamar dengan cahaya redup, tidak ada cahaya dari celah jendela atau pun dari celah ventilasi udara, sangat pengap dan berhawa panas. Semakin masuk ke dalam, terdengar suara rintihan kecil yang semakin meninggi. Galuh dengan erat memegangi ujung jilbabnya, ada gelitik rasa takut di dadanya namun ia tetap harus melangkah maju mengekori budhe yang sedang berjalan di depannya. "Galuh, kamu mual?" tanya budhe yang tiba-tiba menghentikan langkah kakinya. Galuh menelan ludah dengan pelan. "Tidak, budhe." "Jangan bohong, kamu sekarang sedang hamil pasti sangat mual kan? Sebentar lagi ya, kita tidak akan lama di sini. Setelah bertemu dengan Indah, sudah bertahun-tahun ia ingin bertemu denganmu." Akhirnya, mereka sampai pada kain tipis tembus pandang berwarna kuning yang dibuat
Setelah subuh, Galuh gegas untuk mengambil sapu dan menyapu lantai. Ia sibuk dengan pekerjaan rumahnya. "Galuh, sudah. Biar aku saja, kamu ndak perlu repot- repot gini." Tiba-tiba Ridwan datang dari pintu belakang. "Nggak papa, Wan. Lagian aku capek kalau cuman duduk diam nggak ngelakuin apa-apa. Boleh ya aku bantuin bersih-bersih rumah, masak dan kalau ada yang bisa aku bantu-bantu aku bakal ngerasa lebih nyaman." Galuh memegangi erat batang sapu sembari memohon kepada Ridwan. Ridwan menghela napas panjang, kemudian ia tersenyum dan mengangguk. "Ya sudah kalau itu mau kamu. Anggap aja ini rumah kamu, kamu boleh ngelakuin apa saja yang bisa bikin kamu senang dan nyaman. Tapi ingat, jangan sampai kecapean!" "Siap. Makasih, Wan." Galuh dengan senang hati melakukan segala kegiatan yang telah ia rancang. Saat Galuh asyik membereskan rumah serta mengumpulkan sampah-sampah yang tidak terbuang dari sudut-sudut rumah, tiba-tiba ia terhenti tatkala mendengar suara perempuan yang
Saat Galuh merebahkan badannya, ia teringat akan isi tas yang sedari tadi ia jaga. Galuh kembali bangkit fan mengambil tas miliknya yang ia taruh di atas nakas, ia pun membawa tas tersebut bersamanya ke atas ranjang, Galuh duduk di bibir ranjang dan perlahan membuka tas miliknya. Galuh mengeluarkan kotak kecil pemberian Salma padanya, menatapnya perlahan dan menaruhnya kembali ke dalam tas. "Aku masih penasaran dengan maksud Salma. Apa yang akan aku ketahui nantinya tentang Ridwan?" gumamnya yang kemudian ia mengambil ponselnya yang juga berada di dalam tas itu. "Astagfirullah sudah jam segini. Aku harus segera melaksanakan sholat." Galuh gegas kembali berdiri dan menaruh kembali tasnya di atas nakas. Galuh pun berjalan menuju dapur karena sudah diberitahu oleh budhe di mana tempatnya. Langkah kaki Galuh nampak pelan agar tidak membuat keributan menapak lantai semen tanpa kramik. Saat ia menyibak kain yang menjuntai di tengah pintu yang menjadi pembatas antara ruangan teng
Mereka berdua sudah sama-sama berada di dalam mobil taksi. "Wan, kamu sudah sampaikan permintaan maafku?" tanya Galuh yang duduk di samping Ridwan, namun dipisah tas besar yang berada di tengah mereka berdua. "Sudah, Galuh. Aku sudah sampaikan permintaanmu pada paman. Kata paman, pasti akan dia sampaikan. Kamu tenang saja," jawab Ridwan. Galuh pun menghembuskan napas pelan, kemudian menyandarkan punggungnya sembari memejamkan mata. Ridwan melirik pelan ke arah Galuh, lalu tersenyum dengan lembut. 'Ridwan sangat baik, aku nggak akan bisa berpikiran yang aneh-aneh padanya. Salma, mungkin prasangkamu telah salah,' gumam Galuh dalam hatinya. "Galuh, kamu yakin ndak mau ziarah ke makam Alif dulu sebelum pergi?" tanya Ridwan. Galuh gegas membuka matanya, kemudian menilik ke arah Ridwan yang berada di sebelah kirinya. Perlahan kepalanya mengangguk. "Aku takut, Wan. Kalau aku ke sana aku bakalan ngerasa sedih lagi dan pingsan lagi. Jadi, aku rasa lebih baik begini. Tapi, doa