"Jadi, selama dua puluh tahun lebih ini masalah pesugihan yang meresahkan warga belum terpecahkan juga. Kira-kira, apakah ada yang paman curigai?" tanya Jaya menatap menyelidik pada Amin. Amin mengerenyitkan dahinya, ia tidak langsung menjawab pertanyaan Jaya itu. "Tidak tahu, Jaya. Aku pun sudah sangat lama menyelidiki masalah ini namun aku tidak menemukan tanda-tanda apapun. Setelah Nadi meninggal dunia, aku sudah tidak mencoba mencari tahu hal itu lagi. Namun, sekarang masalah itu kembali terjadi dan aku tidak tahu harus mulai darimana lagi sekarang, bahkan aku sudah putus asa mencari kebenaran tentang kematian Adah." Amin terlihat sedih setelah menyebut nama Adah. "Tapi, ada satu orang yang sejak dulu aku perhatikan." "Siapa paman?" tanya Jaya. *** "Yang saat ini dicurigai adalah Thohir. Kita harus berhati-hati dengan orang itu," jelas Yusuf. "Aku sudah mengumpulkan beberapa catatan tentang si Thohir itu. Bagaimanapun, dia bukanlah orang sembarangan." Jono, Ridwan dan S
Dengan gemetar Galuh melangkah, berusaha menegakkan kaki agar tetap berjalan pada pijakan kayu rapuh nan panjang itu, di bawah titian kayu itu terdapat jurang yang sangat dalam penuh dengan berbagai jenis ular yang menggeliat di bawah sana. Galuh tetap pada pijakannya, tekadnya yang kuat untuk mengejar suara tangisan yang sedari tadi menarik indera pendengarannya. Rapuh, sangat rapuh titian kayu yang berlumut itu. Hanya berpegang dengan seutas akar tanaman yang merambat bebas. Galuh dengan penuh kehati-hatian tidak gentar untuk mundur. Semakin dijalani, semakin banyak sisa tapak kaki, namun terasa tiada pergerakan sama sekali. Titian itu tiada habisnya, terasa sangat panjang dan tanpa ujung. "Mama, Tolong!!!" teriakkan itu kembali terdengar lagi. Galuh semakin bergegas, tidak peduli dengan segala rintangan yang ada di hadapannya. Setelah sekian lama, peluh juga rasanya sudah mengering karena habis dikeluarkan, akhirnya Galuh sudah berada di ujung titian yang penuh dengan ketak
Ridwan tidak pergi sendirian, sebelum menuju lokasi yang sudah Galuh beritahu itu Ridwan menelpon Amin terlebih dahulu dikarenakan saat ini jarum jam sudah menunjukkan pukul setengah satu malam, dimana ini adalah waktu para warga berjaga dengan sangat ketat. Ridwan harus memikirkan dengan matang setiap langkahnya, jika terjadi satu saja kesalahan maka itu bisa mengalahkan semua rencananya dengan yang lain. 'Assalamu'alaikum, Ridwan. Ada apa nelpon jam segini? Apa Galuh baik-baik saja?' tanya Amin dari sebalik suara speaker ponsel. 'Waalaikumussalam warahmatullahi, paman. Maaf mengganggu waktu paman jam segini. Alhamdulillah Galuh sudah sadarkan diri,' jawab Ridwan. 'Alhamdulillah kalau begitu.' 'Tapi, paman. Ada hal yang sangat penting. Ini mengenai jasad Alif yang hilang.' Ridwan memelankan volume suaranya. 'Jasad Alif, kenapa Wan?' 'Tadi Galuh tiba-tiba bangun dan duduk. Ternyata dia baru saja mimpi bertemu dengan Alif, dan di dalam mimpi Galuh katanya Alif meminta
"Ali, Mahmud sama Upik. Tolong ambil keranda di musholla, bawa ke sini tapi tolong saat kembali ke sini kalian ambil jalan lewat kuburan yang menuju ke sini bukan jalan pemukiman warga!" titah pak rt. "Baron, kamu ke rumah Amin. Beritahu akan hal ini padanya! Tapi tolong jangan sampai menimbulkan keributan, untuk saat ini jangan dulu membuat warga takut karena hal ini. Mengerti?" sambung pak rt. "Mengerti, pak rt," jawab mereka bertiga lalu mereka pun beranjak sesuai perintah pak rt itu. "Salmin, kamu kembali ke pos. Tolong pastikan jika warga tidak ada yang mengetahui hal ini. Malam ini juga kita akan kuburkan kembali mayat Alif ini," jelas pak rt. "Mengerti pak rt. Salmin langsung ke pos." "Terus, kami berdua ngapain pak rt?" tanya Udin yang menunjuk dirinya dengan Retno. Retno ikut mengangguk. "Kalian berdua tetap di sini sampai keranda datang." Ali, Mahmud dan Upik sudah berada di musholla, mereka gegas menuju ruangan penyimpanan untuk mengambil keranda. Sofyan
"Sayang, hari ini kita ke rumah paman Amin. Kamu siap-siap!" ujar Ina kepada Angga yang sedang duduk sembari menatap layar laptopnya. Angga menaikkan sebelah keningnya. "Untuk apa kita ketempat orang itu?" tanya Angga. "Bagaimana pun dia adalah pamanku, Mas. Kita harus memberitahukannya tentang pernikahan kita," jawab Ina. "Baiklah jika itu yang kamu mau. Aku siap-siap dulu ya!" Angga pun mematikan dan menutup laptopnya, ia beranjak dan pergi ke kamar untuk mengganti pakaian. Tidak berapa lama, Angga kembali dengan pakaian yang berbeda. Ia telah siap untuk berangkat ke rumah Amin. Ina sudah menunggu di dalam mobil. "Mas, perlu kamu ingat ya! Kamu jangan makan atau minum apapun yang disuguhkan di rumah paman. Ingat baik-baik!" tegas Ina sebelum Angga melajukan mobil. "Memangnya kenapa sayang?" tanya Angga mulai menyalakan mesin mobil. "Aku khawatir, Mas. Aku takut jika ada apa-apa di makanan atau minuman di sana. Bagaimana pun kamu tahu kan kalau paman tidak suka dengan k
Perlahan Ridwan mendekati Galuh setelah selesai sholat magrib. "Galuh," ucap Ridwan. Galuh mengangkat pandangannya, menatap Ridwan yang sedang berdiri di samping hospital bed. "Ada apa, Wan?" tanya Galuh menutup buku bacaannya. Ridwan meraih kursi dan duduk di samping hospital bed, namun tidak menghadap Galuh, melainkan bersampingan. "Galuh, maaf sebelumnya. Tapi, aku akan mengulang dan meminta hal yang sama seperti waktu itu. Ikutlah denganku pergi ke Jawa," ucap Ridwan tanpa menatap ke arah Galuh. Galuh menilik kepada Ridwan. "Kenapa kamu bersikeras memintaku pergi dari desa ini, Wan? Aku sudah bilang kalau ak.." Ridwan gegas memotong ucapan Galuh. "Aku tahu, kamu tidak akan meninggalkan desa ini karena Angga ada di sini dan kamu masih ingin berusaha agar Angga Kembali padamu. Tapi.." "Tapi apa, Wan? Kamu meragukan hal itu? Kamu meragukan apa yang aku yakini. Aku akan melakukan apapun agar Mas Angga bisa kembali padaku, Wan. Bagaimana pun caranya dan aku yakin aku pasti
Sambungan Flash back... Nadi membawa Ridwan ke suatu rumah yang tidak jauh dari jarak rumah Nadi. Ridwan juga sudah membawa barang-barangnya karena ia akan tinggal di tempat itu. "Ridwan, kamu akan tinggal di sini!" ucap Nadi sembari menunjuk rumah yang terdapat beberapa pintu. "Disini kamu ada temennya, kamu bagian tengah sedangkan yang di samping kanan dan kiri itu juga orang yang bekerja di kebun paman." Nadi menjelaskan. Ridwan mengangguk mendengarkan. Pintu bagian kiri nampak terbuka, memperlihatkan laki-laki berbadan tinggi serta berkulit putih keluar dari sana. "Pak," ucapnya mendatangi Nadi. "Angga, kebetulan kamu ada di sini." Nadi menepuk pundak lelaki yang bernama Angga itu. "Angga, perkenalkan ini Ridwan keponakan saya. Dia akan tinggal di sini. Dan Ridwan, perkenalkan ini Angga anaknya Kasman yang akan membimbing mu besok di kebun." Nadi saling memperkenalkan. Ridwan pun mengulurkan tangannya kepada Angga yang langsung dijabat oleh Angga. "Angga, tolong
Semua warga sudah berkumpul di rumah pak rt, mereka kembali menuntut untuk mengusir Galuh dari desa mereka. Namun, ada seseorang yang juga ikut menuntut di dalam rombongan itu, tidak lain adalah Sofyan. "Pak rt, kami tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Sekarang juga, pak rt harus mengusir Galuh dari desa kita ini. Benar tidak bapak-ibu sekalian?" Tohir kembali mengadakan demo. Semua warga desa serentak mengiyakan. "Bapa-ibu sekalian. Saya mengerti. Tapi, bukankah kita sudah berjanji jika kita akan menunggu sampai Galuh pulih?" ucap pak rt. "Tapi kami dengar bahwa Galuh sudah pulih pak rt," timpal Sofyan."Benar itu," jawab beberapa warga. Pak rt pun terdiam sejenak untuk berpikir. Ia merogoh saku celananya dan mengeluarkan ponselnya. "Tunggu sebentar! Saya akan memastikan hal ini pada Amin." Pak rt menjauh dari kerumunan pendemo itu.'Assalamu'alaikum, Amin. Bagaimana ini, para warga kembali menuntut untuk mengusir Galuh.' 'Waalaikumussalam, pak rt. Iya, kabar itu sudah sa
Berbulan-bulan telah berlalu, Galuh merasa sangat tenang tinggal di rumah Ustaz yang menampungnya saat ini. Ia juga ikut salat berjamaah dengan para jamaah perempuan dan berinteraksi dengan orang-orang yang sangat lemah lembut dan beragama yang kuat. Hari ini ustaz beserta rombongan pergi lagi ke kampung tempat Sari berada dan ini bukan kali pertama namun sudah yang kesekian kalinya. Galuh tidak bisa diam sembari menanti kabar. “Tenang, mbak Galuh. In syaa Allah semuanya akan baik-baik saja.” Istri ustaz menenangkan Galuh. “Iya, bu ustazah. Semoga saja semuanya baik-baik saja.” Tidak berapa lama suara gesekan kaki terdengar. “Assalamu’alaikum.” “Waalaikumussalam,” jawab orang yang berada di dalam rumah. “Nah itu pasti mereka,” tebak istri ustaz. Galuh beserta yang lain pun gegas berdiri dan tidak sabar dengan berita yang akan mereka terima. Benar saja, rombongan yang tadi pagi berangkat itu sudah kembali dengan jumlah yang lengkap bahkan jumlah mereka bertambah, sumringa
“Assalamu'alaikum,” ucap Galuh mengetuk pintu. Tidak berapa lama ada jawaban dari dalam. “Waalaikumussalam.” Pintu pun terbuka, nampaklah sosok perempuan yang mengenakan hijab labuh dan lebar yang sedang tersenyum pada Galuh. “Nyari siapa ya, mbak?” tanyanya. Galuh mengeluarkan kertas yang sudah Sari berikan padanya. “Saya Galuh, mbak. Temennya Sari.” Galuh pun menyerahkan kertas tersebut. “Sari?” ucapnya sembari membaca kertas dari Galuh itu. “Mas, sini mas!” panggilnya. Hingga munculah sosok lelaki dengan wajah teduh dan basah dengan air wudhu. “Kenapa, sayang? Eh, ada tamu. Kenapa ndak disuruh masuk?” “Astagfirullah, kelupaan. Maaf ya, mbak. Silakan masuk!” “nggih, makasih.” Galuh pun masuk ke dalam rumah. “Ini loh, Mas. Sari, ada kabar dari Sari.” “Sari..” Keduanya pun nampak serius membaca kertas tersebut. Setelah itu pun mereka meminta Galuh menceritakan semua yang telah Sari ceritakan padanya sebagaimana sesuai dengan instruksi Sari sebelumnya. “Jadi begitu, ya Allah
Mereka berdua kembali melanjutkan perjalanan mereka, hingga akhirnya mereka sampai pada sebuah gerbang yang bertuliskan “kuburan muslimin” Galuh pun menatap ke arah Sari. “Ada yang mau aku ziarahi, mau ikut ke dalam atau nunggu di sini?” tanya Sari. “Jika dibolehkan aku ikut,” jawab Galuh. “Tentu saja boleh, Galuh. Mari!” Galuh dan Sari pun masuk ke dalam gerbang itu, hamparan tanah luas yang sudah mulai sesak dengan batu nisan dan gundukan tanah memenuhi pandangan mata. Sari menuju satu pekuburan yang berada dekat pohon besar yang diikat dengan kain berwarna kuning paling pojok pekuburan. Ia duduk bertelimpuh kaki dekat kuburan itu yang diikuti oleh Galuh. Sari nampak sedang menabur bunga di atas kuburan serta air doa, Galuh yang tak ingin memgganggu itu pun hanya diam dan mendoakan dalam hatinya. “Galuh, kita sama-sama tahu rasanya kehilangan orang yang sangat kita sayangi. Kamu pastinya mengeetj bagaimana perasaaku,” tutur Sari yang mana rona di wajahnya berubah menjadi sendu.
Kejanggalan mulai lebih terasa oleh Galuh, terlebih bentuk gangguan dari makhluk sebelah yang membuat Galuh bahkan tidak bisa memejamkan matanya hingga kokokan ayam subuh menggema. Bukan hanya itu, ia juga sering kali mendengar Indah yang berteriak di tengah malam namun tidak ada satupun yang menghiraukan. "Ridwan," panggil Galuh dari balik pintu. Tidak berapa lama Ridwan dengan muka bantalnya membuka pintu. "Ada apa Galuh? Kamu lihat hantu lagi?" tanya Ridwan setelah menguap. "Maaf mengganggu waktu tidurmu, tapi tadi aku denger tante Indah teriak. Takutnya dia kenapa-napa," jelas Galuh. Ridwan membalasnya dengan seutas senyuman. "Ibu memang seperti itu kalau jam segini, Galuh. Maaf kalau teriakkan ibu mengganggu tidurmu, kamu ndak perlu khawatirin ibu, dia ndak kenapa-napa kok." "Tapi, Wan." "Tapi apa, Galuh? Ya sudah, aku bilangin ibu dulu ya jangan teriak-teriak biar kamu bisa tidur." "Ndak, bukan gitu, Wan. Aku cuman takut terjadi apa-apa aja ke tante." Ridwan mena
Di tengah malam yang sangat sunyu, suara gonggongan anjing memekak telinga, Galuh yang masih terjaga lantas saja membaca doa. Sudah dua malam ini dia tinggal di rumah Ridwan, sangat sulit baginya untuk memejamkan mata. Ketakutan menghantui Galuh setiap kali ia menuju alam mimpi, mimpi buruk memenuhi alam bawah sadarnya. Pula, terdengar bisikan memanggil nama Galuh tepat di samping telinganya, namun tiada siapapun ia dapati. Galuh menaruh mushaf kecilnya ke atas nakas, perlahan ia membuka pintu agar tidak menimbulkan suara berisik yang dapat membangunkan penghuni rumah. Tenggorokan Galu terasa kering dan botol air yang tersedia di kamarnya sudah tiada berisi. Ia dengan terpaksa keluar kamar mengambil air ke dapur. Setelah mengambil air dan berniat untuk kembali ke kamar, terdengar suara aneh dari dalam kamar Indah. Galuh merasa penasaran, namun ia juga tidak berani bertindak semena-mena di rumah orang. "Galuh, jangan! Ini bukan rumahmu. Cepat pergi ke kamar!" gumam Galuh pada meme
Tatkala kamar terbuka, sebuah aroma busuk mulai menyeringai masuk ke rongga hidung. Galuh berusaha menahan rasa tidak sukanya, terlebih ia sedang mengandung yang mana tidak bisa mencium bau aneh apapun. Kamar dengan cahaya redup, tidak ada cahaya dari celah jendela atau pun dari celah ventilasi udara, sangat pengap dan berhawa panas. Semakin masuk ke dalam, terdengar suara rintihan kecil yang semakin meninggi. Galuh dengan erat memegangi ujung jilbabnya, ada gelitik rasa takut di dadanya namun ia tetap harus melangkah maju mengekori budhe yang sedang berjalan di depannya. "Galuh, kamu mual?" tanya budhe yang tiba-tiba menghentikan langkah kakinya. Galuh menelan ludah dengan pelan. "Tidak, budhe." "Jangan bohong, kamu sekarang sedang hamil pasti sangat mual kan? Sebentar lagi ya, kita tidak akan lama di sini. Setelah bertemu dengan Indah, sudah bertahun-tahun ia ingin bertemu denganmu." Akhirnya, mereka sampai pada kain tipis tembus pandang berwarna kuning yang dibuat
Setelah subuh, Galuh gegas untuk mengambil sapu dan menyapu lantai. Ia sibuk dengan pekerjaan rumahnya. "Galuh, sudah. Biar aku saja, kamu ndak perlu repot- repot gini." Tiba-tiba Ridwan datang dari pintu belakang. "Nggak papa, Wan. Lagian aku capek kalau cuman duduk diam nggak ngelakuin apa-apa. Boleh ya aku bantuin bersih-bersih rumah, masak dan kalau ada yang bisa aku bantu-bantu aku bakal ngerasa lebih nyaman." Galuh memegangi erat batang sapu sembari memohon kepada Ridwan. Ridwan menghela napas panjang, kemudian ia tersenyum dan mengangguk. "Ya sudah kalau itu mau kamu. Anggap aja ini rumah kamu, kamu boleh ngelakuin apa saja yang bisa bikin kamu senang dan nyaman. Tapi ingat, jangan sampai kecapean!" "Siap. Makasih, Wan." Galuh dengan senang hati melakukan segala kegiatan yang telah ia rancang. Saat Galuh asyik membereskan rumah serta mengumpulkan sampah-sampah yang tidak terbuang dari sudut-sudut rumah, tiba-tiba ia terhenti tatkala mendengar suara perempuan yang
Saat Galuh merebahkan badannya, ia teringat akan isi tas yang sedari tadi ia jaga. Galuh kembali bangkit fan mengambil tas miliknya yang ia taruh di atas nakas, ia pun membawa tas tersebut bersamanya ke atas ranjang, Galuh duduk di bibir ranjang dan perlahan membuka tas miliknya. Galuh mengeluarkan kotak kecil pemberian Salma padanya, menatapnya perlahan dan menaruhnya kembali ke dalam tas. "Aku masih penasaran dengan maksud Salma. Apa yang akan aku ketahui nantinya tentang Ridwan?" gumamnya yang kemudian ia mengambil ponselnya yang juga berada di dalam tas itu. "Astagfirullah sudah jam segini. Aku harus segera melaksanakan sholat." Galuh gegas kembali berdiri dan menaruh kembali tasnya di atas nakas. Galuh pun berjalan menuju dapur karena sudah diberitahu oleh budhe di mana tempatnya. Langkah kaki Galuh nampak pelan agar tidak membuat keributan menapak lantai semen tanpa kramik. Saat ia menyibak kain yang menjuntai di tengah pintu yang menjadi pembatas antara ruangan teng
Mereka berdua sudah sama-sama berada di dalam mobil taksi. "Wan, kamu sudah sampaikan permintaan maafku?" tanya Galuh yang duduk di samping Ridwan, namun dipisah tas besar yang berada di tengah mereka berdua. "Sudah, Galuh. Aku sudah sampaikan permintaanmu pada paman. Kata paman, pasti akan dia sampaikan. Kamu tenang saja," jawab Ridwan. Galuh pun menghembuskan napas pelan, kemudian menyandarkan punggungnya sembari memejamkan mata. Ridwan melirik pelan ke arah Galuh, lalu tersenyum dengan lembut. 'Ridwan sangat baik, aku nggak akan bisa berpikiran yang aneh-aneh padanya. Salma, mungkin prasangkamu telah salah,' gumam Galuh dalam hatinya. "Galuh, kamu yakin ndak mau ziarah ke makam Alif dulu sebelum pergi?" tanya Ridwan. Galuh gegas membuka matanya, kemudian menilik ke arah Ridwan yang berada di sebelah kirinya. Perlahan kepalanya mengangguk. "Aku takut, Wan. Kalau aku ke sana aku bakalan ngerasa sedih lagi dan pingsan lagi. Jadi, aku rasa lebih baik begini. Tapi, doa