Makanan sudah tersedia di meja makan, Nisa baru saja selesai memasak sarapan pagi ini, ditemani dengan Jaya. Galuh tidak keluar kamar sejak semalam, begitu juga dengan Amin. “Mas, sebenarnya paman kenapa?” tanya Nisa. Jaya masih belum memberitahukan apa yang telah terjadi semalam di rumah Ina. Jaya menghembuskan napas perlahan, ditatapnya Nisa yang masih menatapnya dengan penuh tanya. “Sebenarnya...” Belum sempat Jaya berucap, tiba-tiba ia menutup mulutnya karena melihat Galuh yang baru saja keluar dari kamarnya. “Galuh,” ucap Jaya. “Galuh, mari sarapan dulu! Kamu harus minum obat, kan?” ucap Nisa lembut. Galuh hanya menggeleng tanda menolak ajakan dari Nisa. “Ka, di mana paman?” tanya Galuh. Nisa menilik ke arah Jaya. “Paman sedang kurang sehat, Galuh.” “Pasti gara-gara kepikiran tentang Galuh, kan. Maafkan Galuh ya, gara-gara Galuh semuanya jadi kepikiran.” Galuh menundukkan pandangannya. Nisa meraih kursi dan menuntun Galuh untuk duduk. “Galuh, jangan meny
“Suara apa itu, mas?” tanya Nisa kaget. “Sebaiknya kita lihat ke luar,” jawab Jaya. Mereka berdua pun gegas keluar dari kamar. “Galuh, kenapa? Kamu nggak kenapa-napa? Ada yang luka?” tanya Nisa seraya memeriksa tangan dan kaki Galuh karena di lantai terdapat pecahan kaca dari gelas yang jatuh. Galuh langsung memeluk Nisa. “Kak, apa salah Galuh?” ucap Galuh disertai isakan. “Galuh apa maksudmu.” Perlahan Nisa melirik ke arah Jaya yang sedang membersihkan pecahan kaca di lantai. “Bawa dia ke kamar, sayang! Aku akan bicara pada paman,” ujar Jaya. Jaya dengan Nisa sudah bisa menebak apa yang baru saja terjadi karena Galuh berada di depan kamar Amin yang tertutup rapat. Nisa pun membawa Galuh ke kamarnya, Galuh masih belum berhenti menangis. Setelah selesai membereskan yang berserakan di lantai, Jaya pun mengetuk pintu kamar Amin. Perlahan dan dena Gan kesabaran. Menunggu sampai Amin mau membuka pintu. “Paman, tolong buka pintunya sebentar. Jaya mau bicara sa
Galuh sibuk menyusun barang-barangnya yang baru saja diambil dari rumah Ina, tadi siang Jaya dengan Nisa mengambilkan barang-barang milik Galuh dari sana. Bukan hanya milik Galuh, tapi juga barang-barang milik Alif. Jemari Galuh perlahan mengusap lembut baju kesukaan Alif, baju kaos bermotif ultraman hadiah dari Angga saat ulang tahunnya. Galuh mencium dan menghirup aroma pakaian yang sudah lama tersimpan dalam al-mari itu dikarenakan sudah tidak muat lagi di badan Alif, namun Alif melarang Galuh untuk membuang pakaian kesayangannya itu. Kerinduan menusuk hati Galuh kembali. Galuh meringkuk menahan isakan tangisnya agar tidak terdengar sampai keluar kamar karena tidak ingin mengganggu siapapun. "Anak mama, doakan mama supaya bisa ikhlas ya. Doakan ayahmu juga agar ayah bisa kembali seperti dulu. Maafkan ayah belum datang menjengukmu, kamu jangan pernah membenci ayah ya, Nak!" Galuh berbincang pada baju Alif itu, seolah ia sedang berbincang dengan Alif secara berhadapan. Suara tang
Nisa tidak beranjak dari depan kamar mandi, ia menunggu Galuh. 'kemana Galuh semalam, kenapa Galuh pulang dalam keadaan kotor dengan tanah?' gumam Nisa, di hati dan pikirannya terdapat sangkaan dan tepisan dari sangkaannya itu sendiri. Ceklek... Pintu kamar mandi telah terbuka, nampak Galuh yang terbaik dengan handuk di kepalanya dan juga sarung yang melilit di badannya. "Galuh, tolong jawab aku! Kamu darimana semalam?" tanya Nisa hendak mencegah Galuh yang berjalan menuju kamar. "Tidak ada, ka. Sudah dulu ya. Galuh mau istirahat." Galuh pun beranjak meninggalkan Nisa yang masih berdiri mematung di tempatnya. 'Tidak mungkin. Tapi...,' gumam Nisa dalam hati. "Galuh, apakah kamu yang sudah membongkar kuburan Alif?" tanya Nisa. Beberapa saat tidak ada jawaban. Akhirnya Nisa membalikkan badan dan didapatinya ternyata Galuh sudah tidak ada di posisi yang diyakini Nisa sebelumnya. Nampak pintu kamar Galuh telah tertutup rapat. Suara beberapa orang terdengar dari luar rumah,
Saat malam setelah salat isya. Dua hari setelah kejadian di rumah Ina. Amin berbincang dengan pak RT, empat mata. Di dalam musholla setelah para jamaah pulang ke rumah mereka masing-masing. "Pak RT, ada yang mau saya bicarakan," ucap Amin. "Bicarakan saja, Min!" jawab pak rt. "Begini, pak. Perihal Galuh." Sebelum melanjutkan ucapannya, ia menatap sebentar ke arah pak rt. Pak rt mengangguk membolehkan. "Begini, maaf jika malam itu saya dengan keluarga saya membuat keributan. Saya benar-benar menyesali akan hal itu." "Perselisihan memang sering terjadi antara keluarga, Min. Saya mengerti. Kamu ndak perlu meminta maaf terus begini." Pak rt memegang pundak Amin. "Terimakasih, pak rt atas pengertiannya. Dan untuk masalah Galuh, saya mohon pak rt tidak menganggap hal itu hal yang serius. Saya yakin keponakan saya, Galuh tidak mungkin melakukan hal semacam itu, pak rt. Saya mohon jangan mengucilkan serta mengusir Galuh dari desa ini!" Tiba-tiba Amin meraih tangan pak rt d
Para warga berdesakkan, mereka bergegas hendak mengusir Galuh dari desa. Namun Jaya , Nisa, Sofyan dan pak rt masih berusaha melindungi Galuh. "Diam!" teriak pak rt. "Ada apalagi, pak rt? Kenapa bapak sangat melindunginya?" tanya Tohir. "Tohir, cukup. Kamu jangan menambah api di sini. Saya mohon, jangan melakukan kekerasan di desa ini. Kita masih bisa bicara secara baik-baik kan?" ucap pak rt. "Tidak bisa. Sekarang juga usir Galuh dari desa kita!!!" teriak warga. Tohir menarik Galuh secara paksa, membuat Galuh terseret di tanah. Amin, dia diam mematung tanpa ada pergerakan. Sedangkan Nisa masih berusaha mempertahankan Galuh. 'Alif, cucuku...' Dalam hati Amin. Amin teringat akan kejadian di rumah tadi, melihat Jaya yang terdiam melihat ke arah lantai, Amin juga melihat bercak tanah di lantai itu. Namun, dia hanya memilih diam dan menepis pikiran tidak baiknnya. 'Galuh, kenapa?' "Paman, tolong Galuh paman!" ucap Nisa. "Pak, tolong jangan seperti ini. Galuh tida
"Ridwan, sebaiknya kamu istirahat dulu. Kamu baru saja datang, pasti kamu capek. Biar kami berdua yang akan menjaga Galuh." Jaya akhirnya mendekat kepada Ridwan. Ridwan menghembuskan napas kasar. "Tidak. Aku tidak percaya dengan siapapun. Termasuk dengan kalian. Jangan harap aku melupakan apa yang sudah kalian lakukan!" ucap Ridwan tanpa menatap ke arah Jaya. Jaya menatap kepada Nisa. "Ridwan, sebaiknya jangan bahas masalah itu di sini," timpal Nisa. "Baiklah. Sekarang, silakan kalian pergi dari sini sebelum aku kehabisan kesabaran. Aku benar-benar muak melihat kalian!" Ridwan mendengkus kasar, ia membelakangi Nisa dan Jaya. Nampaknya dia benar-benar tidak sudi untuk melihat keduanya. "Oh iya, satu hal lagi. Aku akan membawa Galuh ke Jawa, sampaikan hal ini pada paman!" sambung Ridwan. "Apa?" ucap Nisa kaget. Namun, gegas Jaya menutup mulut Nisa dengan tangannya. Nisa dengan Jaya tidak ingin terjadi keributan di rumah sakit ini, mereka pun memutuskan untuk kembali ke
“Ridwan,” panggil Amin yang baru saja sampai. Ridwan mendengkus kasar, ia tak membalikkan badan dan tidak pula memberikan jawaban. “Wan, paman mau bicara sama kamu di luar,” ucap paman setelah melihat Galuh yang terbaring di atas hospital bed. “Aku tidak ingin bicara pada orang yang sudah membiarkan perempuan yang sangat aku sayangi diseret di depan banyak orang,” ucap Ridwan masih tidak melihat ke arah Amin yang berdiri di hadapannya. Amin mengusap wajahnya dengan tangan. “Paman mohon, Wan. Kita bicara sebentar saja!” pinta Amin dengan nada yang rendah namun penuh penekanan. Tanpa menunggu jawaban dari Ridwan, Amin pun menarik paksa tangan Ridwan hingga mereka keluar dari ruangan. “Paman, sudah kubilang aku nggak mau..” Belum sempat Ridwan menyelesaikan. “Jauhi Galuh!” sela Amin yang langsung membuat Ridwan terdiam. Mata Ridwan menyorot pada manik mata Amin yang menatapnya itu. Dengan berat Ridwan menelan salivanya. “Maksud paman?” tanya Ridwan. Amin pun kembali men
Berbulan-bulan telah berlalu, Galuh merasa sangat tenang tinggal di rumah Ustaz yang menampungnya saat ini. Ia juga ikut salat berjamaah dengan para jamaah perempuan dan berinteraksi dengan orang-orang yang sangat lemah lembut dan beragama yang kuat. Hari ini ustaz beserta rombongan pergi lagi ke kampung tempat Sari berada dan ini bukan kali pertama namun sudah yang kesekian kalinya. Galuh tidak bisa diam sembari menanti kabar. “Tenang, mbak Galuh. In syaa Allah semuanya akan baik-baik saja.” Istri ustaz menenangkan Galuh. “Iya, bu ustazah. Semoga saja semuanya baik-baik saja.” Tidak berapa lama suara gesekan kaki terdengar. “Assalamu’alaikum.” “Waalaikumussalam,” jawab orang yang berada di dalam rumah. “Nah itu pasti mereka,” tebak istri ustaz. Galuh beserta yang lain pun gegas berdiri dan tidak sabar dengan berita yang akan mereka terima. Benar saja, rombongan yang tadi pagi berangkat itu sudah kembali dengan jumlah yang lengkap bahkan jumlah mereka bertambah, sumringa
“Assalamu'alaikum,” ucap Galuh mengetuk pintu. Tidak berapa lama ada jawaban dari dalam. “Waalaikumussalam.” Pintu pun terbuka, nampaklah sosok perempuan yang mengenakan hijab labuh dan lebar yang sedang tersenyum pada Galuh. “Nyari siapa ya, mbak?” tanyanya. Galuh mengeluarkan kertas yang sudah Sari berikan padanya. “Saya Galuh, mbak. Temennya Sari.” Galuh pun menyerahkan kertas tersebut. “Sari?” ucapnya sembari membaca kertas dari Galuh itu. “Mas, sini mas!” panggilnya. Hingga munculah sosok lelaki dengan wajah teduh dan basah dengan air wudhu. “Kenapa, sayang? Eh, ada tamu. Kenapa ndak disuruh masuk?” “Astagfirullah, kelupaan. Maaf ya, mbak. Silakan masuk!” “nggih, makasih.” Galuh pun masuk ke dalam rumah. “Ini loh, Mas. Sari, ada kabar dari Sari.” “Sari..” Keduanya pun nampak serius membaca kertas tersebut. Setelah itu pun mereka meminta Galuh menceritakan semua yang telah Sari ceritakan padanya sebagaimana sesuai dengan instruksi Sari sebelumnya. “Jadi begitu, ya Allah
Mereka berdua kembali melanjutkan perjalanan mereka, hingga akhirnya mereka sampai pada sebuah gerbang yang bertuliskan “kuburan muslimin” Galuh pun menatap ke arah Sari. “Ada yang mau aku ziarahi, mau ikut ke dalam atau nunggu di sini?” tanya Sari. “Jika dibolehkan aku ikut,” jawab Galuh. “Tentu saja boleh, Galuh. Mari!” Galuh dan Sari pun masuk ke dalam gerbang itu, hamparan tanah luas yang sudah mulai sesak dengan batu nisan dan gundukan tanah memenuhi pandangan mata. Sari menuju satu pekuburan yang berada dekat pohon besar yang diikat dengan kain berwarna kuning paling pojok pekuburan. Ia duduk bertelimpuh kaki dekat kuburan itu yang diikuti oleh Galuh. Sari nampak sedang menabur bunga di atas kuburan serta air doa, Galuh yang tak ingin memgganggu itu pun hanya diam dan mendoakan dalam hatinya. “Galuh, kita sama-sama tahu rasanya kehilangan orang yang sangat kita sayangi. Kamu pastinya mengeetj bagaimana perasaaku,” tutur Sari yang mana rona di wajahnya berubah menjadi sendu.
Kejanggalan mulai lebih terasa oleh Galuh, terlebih bentuk gangguan dari makhluk sebelah yang membuat Galuh bahkan tidak bisa memejamkan matanya hingga kokokan ayam subuh menggema. Bukan hanya itu, ia juga sering kali mendengar Indah yang berteriak di tengah malam namun tidak ada satupun yang menghiraukan. "Ridwan," panggil Galuh dari balik pintu. Tidak berapa lama Ridwan dengan muka bantalnya membuka pintu. "Ada apa Galuh? Kamu lihat hantu lagi?" tanya Ridwan setelah menguap. "Maaf mengganggu waktu tidurmu, tapi tadi aku denger tante Indah teriak. Takutnya dia kenapa-napa," jelas Galuh. Ridwan membalasnya dengan seutas senyuman. "Ibu memang seperti itu kalau jam segini, Galuh. Maaf kalau teriakkan ibu mengganggu tidurmu, kamu ndak perlu khawatirin ibu, dia ndak kenapa-napa kok." "Tapi, Wan." "Tapi apa, Galuh? Ya sudah, aku bilangin ibu dulu ya jangan teriak-teriak biar kamu bisa tidur." "Ndak, bukan gitu, Wan. Aku cuman takut terjadi apa-apa aja ke tante." Ridwan mena
Di tengah malam yang sangat sunyu, suara gonggongan anjing memekak telinga, Galuh yang masih terjaga lantas saja membaca doa. Sudah dua malam ini dia tinggal di rumah Ridwan, sangat sulit baginya untuk memejamkan mata. Ketakutan menghantui Galuh setiap kali ia menuju alam mimpi, mimpi buruk memenuhi alam bawah sadarnya. Pula, terdengar bisikan memanggil nama Galuh tepat di samping telinganya, namun tiada siapapun ia dapati. Galuh menaruh mushaf kecilnya ke atas nakas, perlahan ia membuka pintu agar tidak menimbulkan suara berisik yang dapat membangunkan penghuni rumah. Tenggorokan Galu terasa kering dan botol air yang tersedia di kamarnya sudah tiada berisi. Ia dengan terpaksa keluar kamar mengambil air ke dapur. Setelah mengambil air dan berniat untuk kembali ke kamar, terdengar suara aneh dari dalam kamar Indah. Galuh merasa penasaran, namun ia juga tidak berani bertindak semena-mena di rumah orang. "Galuh, jangan! Ini bukan rumahmu. Cepat pergi ke kamar!" gumam Galuh pada meme
Tatkala kamar terbuka, sebuah aroma busuk mulai menyeringai masuk ke rongga hidung. Galuh berusaha menahan rasa tidak sukanya, terlebih ia sedang mengandung yang mana tidak bisa mencium bau aneh apapun. Kamar dengan cahaya redup, tidak ada cahaya dari celah jendela atau pun dari celah ventilasi udara, sangat pengap dan berhawa panas. Semakin masuk ke dalam, terdengar suara rintihan kecil yang semakin meninggi. Galuh dengan erat memegangi ujung jilbabnya, ada gelitik rasa takut di dadanya namun ia tetap harus melangkah maju mengekori budhe yang sedang berjalan di depannya. "Galuh, kamu mual?" tanya budhe yang tiba-tiba menghentikan langkah kakinya. Galuh menelan ludah dengan pelan. "Tidak, budhe." "Jangan bohong, kamu sekarang sedang hamil pasti sangat mual kan? Sebentar lagi ya, kita tidak akan lama di sini. Setelah bertemu dengan Indah, sudah bertahun-tahun ia ingin bertemu denganmu." Akhirnya, mereka sampai pada kain tipis tembus pandang berwarna kuning yang dibuat
Setelah subuh, Galuh gegas untuk mengambil sapu dan menyapu lantai. Ia sibuk dengan pekerjaan rumahnya. "Galuh, sudah. Biar aku saja, kamu ndak perlu repot- repot gini." Tiba-tiba Ridwan datang dari pintu belakang. "Nggak papa, Wan. Lagian aku capek kalau cuman duduk diam nggak ngelakuin apa-apa. Boleh ya aku bantuin bersih-bersih rumah, masak dan kalau ada yang bisa aku bantu-bantu aku bakal ngerasa lebih nyaman." Galuh memegangi erat batang sapu sembari memohon kepada Ridwan. Ridwan menghela napas panjang, kemudian ia tersenyum dan mengangguk. "Ya sudah kalau itu mau kamu. Anggap aja ini rumah kamu, kamu boleh ngelakuin apa saja yang bisa bikin kamu senang dan nyaman. Tapi ingat, jangan sampai kecapean!" "Siap. Makasih, Wan." Galuh dengan senang hati melakukan segala kegiatan yang telah ia rancang. Saat Galuh asyik membereskan rumah serta mengumpulkan sampah-sampah yang tidak terbuang dari sudut-sudut rumah, tiba-tiba ia terhenti tatkala mendengar suara perempuan yang
Saat Galuh merebahkan badannya, ia teringat akan isi tas yang sedari tadi ia jaga. Galuh kembali bangkit fan mengambil tas miliknya yang ia taruh di atas nakas, ia pun membawa tas tersebut bersamanya ke atas ranjang, Galuh duduk di bibir ranjang dan perlahan membuka tas miliknya. Galuh mengeluarkan kotak kecil pemberian Salma padanya, menatapnya perlahan dan menaruhnya kembali ke dalam tas. "Aku masih penasaran dengan maksud Salma. Apa yang akan aku ketahui nantinya tentang Ridwan?" gumamnya yang kemudian ia mengambil ponselnya yang juga berada di dalam tas itu. "Astagfirullah sudah jam segini. Aku harus segera melaksanakan sholat." Galuh gegas kembali berdiri dan menaruh kembali tasnya di atas nakas. Galuh pun berjalan menuju dapur karena sudah diberitahu oleh budhe di mana tempatnya. Langkah kaki Galuh nampak pelan agar tidak membuat keributan menapak lantai semen tanpa kramik. Saat ia menyibak kain yang menjuntai di tengah pintu yang menjadi pembatas antara ruangan teng
Mereka berdua sudah sama-sama berada di dalam mobil taksi. "Wan, kamu sudah sampaikan permintaan maafku?" tanya Galuh yang duduk di samping Ridwan, namun dipisah tas besar yang berada di tengah mereka berdua. "Sudah, Galuh. Aku sudah sampaikan permintaanmu pada paman. Kata paman, pasti akan dia sampaikan. Kamu tenang saja," jawab Ridwan. Galuh pun menghembuskan napas pelan, kemudian menyandarkan punggungnya sembari memejamkan mata. Ridwan melirik pelan ke arah Galuh, lalu tersenyum dengan lembut. 'Ridwan sangat baik, aku nggak akan bisa berpikiran yang aneh-aneh padanya. Salma, mungkin prasangkamu telah salah,' gumam Galuh dalam hatinya. "Galuh, kamu yakin ndak mau ziarah ke makam Alif dulu sebelum pergi?" tanya Ridwan. Galuh gegas membuka matanya, kemudian menilik ke arah Ridwan yang berada di sebelah kirinya. Perlahan kepalanya mengangguk. "Aku takut, Wan. Kalau aku ke sana aku bakalan ngerasa sedih lagi dan pingsan lagi. Jadi, aku rasa lebih baik begini. Tapi, doa