Share

Kehidupan yang Berbeda

Penulis: Minang KW
last update Terakhir Diperbarui: 2022-01-16 22:47:33

Mantiko Sati merasa kepalanya begitu pusing, ia berhenti di satu titik di antara keramaian itu, terbungkuk-bungkuk dan satu tangan bertumpu pada sebuah pohon di tepian sungai. Ia terengah-engah, setiap kali ia mengangkat wajahnya memandangi orang-orang itu ia kembali tertunduk dengan wajah pucat yang berkeringat.

Tidak ada yang bisa ia lihat. Orang-orang itu, perahu-perahu dan kapal yang hilir mudik, atau pula bangunan-bangunan tumpang tindih di sekitarnya, semua terlihat seperti cahaya redup yang bergetar memusingkan mata.

Tidak ada suara yang jelas di sana, hanya keheningan yang lambat laun menjadi dengungan halus yang sangat menyiksa gendang telinga.

Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Anak Kemarin Sore

    “Cih,” dengus si pria yang berada di selangkangan sang gadis ketika ia melihat sosok yang meneriaki mereka itu. “Hanya anak kemarin sore. Kalian berdua saja yang menangani dia!”“T—tolong!” teriak si gadis mencoba bangkit di bawah tekanan tiga orang pria itu. “Tolong aku!” teriaknya pada Mantiko Sati.Pria di kanan akhirnya berdiri, lalu menunjuk ke arah si pemuda rupawan. “Pergilah, kau tidak ada urusan di sini, orang muda!”“Apakah telinga kalian tuli?” sahut Mantiko Sati dengan waja

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-16
  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Tidak Mengenal Rantau

    Sambil melangkah, Mantiko Sati tetap menjaga kewaspadaannya sebab sebelumnya dua dari tiga pria yang tadi itu melarikan diri ke arah timur pula.“Sati,” panggil Pandan Arum. “Jangan terlalu cepat melangkah. A—aku, pakaianku…”“Maaf,” Mantiko Sati memperlambat langkahnya. Tepat seperti dugaanku, pikirnya.“Terima kasih.”“Maaf jika aku bertanya,” ujar sang pemuda. “Tapi, kenapa

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-16
  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Kawasan Tak Biasa

    Semakin mendekati rumah berwarna merah itu, semakin Mantiko Sati merasakan wajahnya begitu tebal sebab pandangan orang-orang tertuju kepada dirinya.‘Kenapa mereka tidak memandang pada Uni Arum yang melangkah di belakangku?’ gumam sang pemuda rupawan di dalam hati. ‘Aku sangat yakin tatapan semua orang justru tertuju kepadaku!’Lagi pula, pakaian macam apa pula yang dipakai orang-orang di kawasan ini? pikir sang pemuda.‘Kenapa pakaian para wanita begitu sangat terbuka?’

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-17
  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Lakonan Menjebak

    “Bagaimana, Uni?” tanya seorang dengan suara setengah berbisik. “Si Awang kasihan, jarinya remuk, kakinya patah.”“Bukankah sudah kukatakan pada kalian?” tatapan Pandan Arum berubah menjadi sangat-sangat bengis. “Kalian hanya pura-pura saja. Dan kau!” tunjuknya pada pria yang satu lagi. “Kau bahkan benar-benar memasukkan burungmu itu ke liang peranakanku! Dasar sampah!”“Ma—maaf,” ucap pria yang satu lagi itu. “Sa—saya, saya hanya tidak bisa menahan diri.”“Bere

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-17
  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Terjerat

    “Mari, Anak Muda,” ujar pria setengah baya seraya menghidangkan pelbagai jenis makanan dan minuman di hadapan Mantiko Sati. “Kami sangat bersyukur, kau telah menyelamatkan marwah dan harga diri anak kami.”“Ermm, Apak hanya berlebihan,” Mantiko Sati benar-benar bingung, bagaimana caranya menghabiskan makanan sebanyak ini? pikirnya. “Tapi, bukankah ini terlalu banyak?”“Tenang saja, Sati,” ucap Pandan Arum. “Kami akan menemanimu, kita balanjuang atas keselamatan yang telah dikirimkan dewa pada kami.”“Itu benar,” sahut si wanita paruh baya pula.Dan setelah semua terhidang di meja itu, dua gadis lainnya kembali ke belakang dengan membawa dua talam.“Ermm, mereka?” tunjuk sang pemuda rupawan pada kedua gadis yang berlalu.“Jangan dipikirkan, Sati,” ujar si pria setengah baya. “Mereka berdua itu kemenakanku, mereka tinggal di sini&m

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-18
  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Sensasi Berbeda

    “Aah, tumbang juga kau, Sati,” Pandan Arum tersenyum lebar. “Harus aku akui, daya tahan tubuhmu luar biasa.”“Saya akan memanggil dua orang itu,” ujar si pria paruh baya dengan tanggap. Ia bangkit dan segera berlalu ke belakang.“Dan kau,” Pandan Arum mendelik pada wanita paruh baya yang semenjak tadi hanya diam saja. “Kau nyaris saja membuat dia mencurigai kita.”“Ma—maafkan saya, Uni,” wanita paruh baya menelan ludah dengan wajah menunduk.“Sudahlah!” bentak Pandan Arum. “Lebih baik kau kemasi meja ini sekarang juga.”“Ba—baik,” tanpa menunggu perintah untuk yang kedua kalinya, wanita paruh baya itu bergegas membereskan piring-piring makan di atas meja.Dari arah belakang, wanita paruh baya itu kembali bersama dua gadis yang tadi dengan membawa talam. Dengan cepat mereka telah membereskan meja tersebut.Dan tidak l

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-18
  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Untung Tak Dapat Diraih Malang Tak Dapat Ditolak

    Mantiko Sati masih mencoba menahan rangsangan demi rangsangan yang diberikan oleh Pandan Arum di selangkangannya, dan ia nyaris saja berputus asa dengan kondisinya yang tidak berdaya itu.Namun, tiba-tiba saja ia teringat ucapan si Malin anak Mak Utiah yang mengatakan bahwa di bandar Batang Ombilin itu banyak penipu. Juga, semua ucapan Mak Utiah sendiri yang memintanya untuk tidak mudah mempercayai apa yang dilihat.‘Dan ternyata, inilah apa yang coba diberi tahu oleh mereka,’ gumam Mantiko Sati di dalam hati. ‘Oh, dewa… aku memang pantas terjebak seperti ini. A—aku, aku tidak mengindahkan amaran mereka.’“Sepertinya kau menikmati apa yang aku lakukan padamu,” Pandan Arum tersenyum manis memandang pada sang pemuda. “Baiklah, saatnya hidangan utama.”Bola mata sang pemuda membesar, seolah baru tersadar, dan kemudian ia mencoba untuk tenang demi membangkitkan empat racun yang ada di dalam tubuhnya

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-18
  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Menjaga Ketenangan Diri

    Mantiko Sati bahkan tidak berusaha untuk menggapai sesuatu—atau apa pun itu, untuk mencegah tubuhnya tercebur. Ia berpasrah diri begitu saja.Dan ternyata genangan air itu semacam sumur tanah yang telah lama ditinggalkan sehingga keberadaan sumur tanah itu sendiri menjadi tidak terlihat sebab semak ilalang yang menutupi tepiannya.Sumur itu cukup dalam dari permukaan tanah, hanya saja airnya setinggi leher pemuda tersebut. Dari kesegaran air sumur itu sendiri, sang pemuda dapat menduga bahwa sesungguhnya air sumur itu cukup jernih.Terpikirkan satu hal, Mantiko Sati menenggelamkan tubuhnya seutuhnya ke bawah permukaan air sumur. Ia bahkan tidak memikirkan apakah di dalam sumur itu terdapat serangga beracun, atau justru ular beracun yang terjebak di sana.Tidak sama sekali, sebab tubuhnya itu sendiri adalah racun yang paling mematikan.Di bawah permukaan air itu, Mantiko Sati mengingat latihannya kala menahan napas di bawah aliran sungai di le

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-19

Bab terbaru

  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Selamanya

    Berulang kali Mantiko Sati menemukan bahwa sang istri selalu menoleh ke arah belakang. ‘Ya, tentu saja ini adalah sesuatu yang berat bagi Pandan Sahalai,’ pikirnya.“Apakah engkau menyesal?”Puti Pandan Sahalai sedikit terkejut dengan pertanyaan suaminya itu. Ia tersenyum, lalu merapatkan duduknya dan menyandarkan kepalanya ke bahu sang suami.Tatapan keduanya saling bertemu.“Kalau engkau memang merasa keberatan dengan semua ini,” ujar Mantiko Sati. “Lebih baik kita kembali lagi saja.”“Tidak,” ucap Puti Pandan Sahalai. “Aku sudah berjanji padamu, Suamiku. Ke mana pun engkau pergi, maka aku akan menyertaimu.”Mantiko Sati tersenyum, ia memberanikan diri mengecup kening sang istri. Kembali tatapan mereka saling bertemu. Senyum keduanya semakin lebar, saling memuji hanya dengan tatapan yang saling menjelajah wajah masing-masing.Dan kemudian, dua b

  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Kegembiraan

    Balai Pertemuan adalah sebuah ruangan besar yang ada di lantai terbawah di Istana Minanga. Berada di tengah-tengah, dan sekaligus merupakan ruangan paling luas di antara ruangan lainnya.Pagi itu, semua unsur yang menjadi penyokong keutuhan istana itu sendiri telah hadir di ruangan tersebut, duduk rapi di sisi kiri dan kanan, masing-masing membelakangi dinding. Sembilan Cadiak Pandai—yang sesungguhnya sekarang hanya tersisa delapan orang saja, sebab yang seorang telah dibunuh oleh Angku Mudo Bakaluang Perak ketika yang seorang itu hendak menemui si Kuciang Ameh di penjara bawah tanah.Lalu, ada Tujuh Hulubalang Kerajaan. Di antara mereka semua, hanya Datuk Rao saja yang ditemani istrinya, yakni Gadih Cimpago yang merupakan istri ketiga sang datuk. Gadih Cimpago sendiri sebelumnya juga masih berada di dalam istana tersebut.Hadir pula Datuak Nan Ampek yang merupakan perwakilan dari empat penjuru negeri Minanga. Para pemuka adat, pemimpin be

  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Ikrar

    Sang ratu tiba-tiba turun dari ranjangnya, ia lantas mendekati Mantiko Sati. Dengan gerak tubuh yang memang masih terlihat lemah, Ratu Mudo berjongkok di hadapan sang pemuda, lantas membawa sang pemuda untuk kembali berdiri.Ibu Suri dan si Kuciang Ameh saling pandang dalam senyuman. Ya, sepertinya kekhawatiran sang Ibu Suri sendiri tidak terjadi.“Berdirilah, Sati,” ujar sang ratu seraya menangkup bahu sang pemuda. “Tidak pantas engkau berlutut di hadapanku.”“Paduko, s—saya…”Sang pemuda merasakan betapa jantungnya berdetak lebih cepat. Memandangi wajah jelita itu dari jarak yang sangat dekat bukanlah hal yang mudah. Terlalu membuat jengah wajah sang pemuda sendiri. Belum lagi aroma wangi yang begitu lembut dan membuai dari tubuh sang ratu. Semua itu memanggang khayalan sang pemuda dengan lebih membara lagi.“Dan,” Ratu Mudo menjulurkan tangannya, mengusap pipi sang pemuda. “Mulai

  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Syarat

    “Lalu, bagaimana keputusanmu, Sati?”Sekali lagi, Mantiko Sati memandangi wajah indah di hadapannya itu. Ia menghela napas panjang-panjang.‘Datuk Masuga benar,’ pikirnya. ‘Siapa laki-laki di dunia ini yang tidak tergoda pada kecantikan Ratu Mudo? Siapa laki-laki di dunia ini yang tak hendak menjadikan Paduko Ratu sebagai istrinya?’Tidak ada!“Entahlah,” sang pemuda rupawan mendesah halus. “Mungkin Bundo Kanduang benar, semua ini adalah takdir.”Semua orang tersenyum dan saling pandang terhadap satu sama lain, terutama sang Ratu Mudo sendiri yang sesungguhnya memang sudah terpikat pada pemuda tersebut.Selama ini, sang ratu memang berada di bawah pengaruh Teluh Pengikat Jiwa yang seolah merenggut kepribadian yang sesungguhnya dari sang ratu. Hanya saja, selama itu pula ia sesungguhnya masih bisa mengingat dengan baik—meski tidak seluruhnya—bahwa ia menaruh

  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Pohon dan Buah yang Baik

    Dengan masih berlutut di hadapan sang ratu, Mantiko Sati berkata, “Sebelum saya menanggapi tentang hukuman ke atas diri saya itu,” ujarnya, “izinkan saya bertanya beberapa hal terlebih dahulu.”“Silakan,” kata Ibu Suri. “Kami pasti akan menjawab semua pertanyaanmu, Buyung.”“Apakah tidak aneh,” kata sang pemuda, “seorang dari keluarga kerajaan mengambil orang biasa—seperti saya, sebagai pasangan hidupnya?”“Bagaimana menurutmu, Pandan?” tanya si Kuciang Ameh.Sang ratu tersenyum. “Kurasa tidak ada yang aneh di sana.”“Tapi, tidakkah masyarakat luas akan mengolok-olok hal ini nantinya?” ungkap Mantiko Sati. “Seorang ratu menikahi laki-laki biasa?”“Yaa, mungkin saja hal demikian akan berlaku di tengah-tengah masyarakat,” jawab sang ratu. “Tapi, kupikir itu bukan satu persoalan. Lagi pula, semua rakyat

  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Hukuman Seumur Hidup

    “Sekarang engkau tahu bukan apa yang aku maksudkan?” ujar sang ratu.“Sungguh,” Mantiko Sati masih menekur dengan wajah merah menegang. “H—hamba terpaksa melakukan hal memalukan seperti itu, Paduko.”“Beritahu aku,” kata Ibu Suri. “Apa sebenarnya yang sudah terjadi?” ia melirik pula pada si Kuciang Ameh yang ia pikir pasti mengetahui sesuatu.Si Kuciang Ameh menyentuh bahu sang kakak, ia memberikan isyarat dengan gerakan matanya agar sang kakak tenang dan mendengar saja apa yang akan dilakukan sang Ratu Mudo terhadap Mantiko Sati.“Sepertinya hukumanmu semakin bertambah, Sati,” ujar Ratu Mudo. “Sudah kukatakan kau tidak perlu berhamba-hamba di hadapanku, bukan?”“I—iya, benar. Maaf,” sang pemuda masih saja menunduk dan tidak berani berdiri, tetap dalam posisi berlutut. “Akan tetapi, sungguh, saya terpaksa melakukan semua itu. Tidak ada

  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Gugup

    “Ermm, nama asli hamba, Buyung Kacinduaan, Paduko,” kembali Mantiko Sati menundukkan kepalanya.“Aku tahu,” kata Ratu Mudo. “Mak Enek Masuga sudah menjelaskan semuanya kepadaku. Juga, tentang namamu, silsilah keluargamu. Tapi, apa kau keberatan jika aku memanggilmu dengan nama Sati saja?”“T—tidak,” Mantiko Sati menggeleng cepat, persis seperti seorang bocah yang sedang dimarahi ibunya. “Sama sekali h—hamba tidak keberatan, Paduko.”“Uni lihat sendiri, kan?” ujar si Kuciang Ameh, lalu tertawa-tawa sembari menutupi mulutnya dan menggeleng-gelengkan kepala. “Persis seperti Sialang Babega.”Memang seperti itulah yang dilihat oleh Ibu Suri, hanya saja, ia tak hendak membuat sang pemuda berlama-lama dalam kondisi tegang dan gugup seperti itu.“Hentikan Masuga!” ucap Ibu Suri sedikit lantang. “Kau lihat wajah pemuda ini, merah seperti udang d

  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Sang Ratu Telah Siuman

    Tepat ketika sang rembulan berada di titik tertingginya, dua orang dayang mendatangi kamar di mana Mantiko Sati beristirahat. Mereka mengetuk-ngetuk pintu kamar tersebut, dan itu mengejutkan sang pemuda yang sudah terlelap sebelumnya.Setelah dipersilakan masuk, barulah kedua dayang muda mendorong pelan pintu berdaun ganda dan penuh ukiran tersebut.“Ada apa?” tanya sang pemuda setelah ia bangkit dan duduk di sisi pembaringan. “Apakah ada hal buruk yang telah terjadi?”Kedua dayang saling pandang. Masing-masing seolah meminta yang lainnya untuk menyampaikan berita yang mereka punya kepada si pemuda belia.Ya, lantaran wajah nan rupawan itu yang membuat kedua dayang muda menjadi salah tingkah. Mantiko Sati menyadari hal ini, itu bisa terlihat dari gerik tubuh keduanya yang gugup, dan wajah mereka yang memerah. Padahal, Mantiko Sati tidak sedang telanjang, ia memakai pakaian utuh.“Kamu saja!” bisi

  • Mantiko Sati - Kitab 1: Harimau Dewa   Hal yang Telah Lama Hilang

    Makan malam kali ini mungkin adalah makan malam pertama yang berlangsung dengan penuh keceriaan dan keakraban dalam kebersamaan.Sebagaimana budaya leluhur Minangkabau yakni Minanga itu sendiri, semua makanan itu dihidangkan di lantai, setiap orang pun duduk di lantai beralaskan ambal atau permadani. Dan terkhusus bagi sang Ibu Suri, ia duduk beralaskan sebuah bantal persegi.Bundo Kanduang, si Kuciang Ameh, Sembilan Cadiak Pandai, Enam Hulubalang Kerajaan, Gadih Cimpago, Mantiko Sati, si Kumbang Janti yang ditemani oleh anaknya, si Talago.Semua mereka bersantap dengan duduk bersila di lantai ruang tengah lantai dua dengan dilayani oleh sejumlah dayang yang hilir-mudik menyajikan berbagai jenis lauk-pauk dan sayur-mayur.Hanya si Kumbang Janti seorang yang duduk di kursi disebabkan kondisi kedua kaki dan tangannya yang belum sembuh. Ia disuapi oleh sang anak. Hampir semua mata memandang kagum pada si Talago yang begitu telaten menyuapi a

DMCA.com Protection Status