[Nis, sorry banget gue baru balas chat Elo. Gue belum di darat, ini pesawat lagi transit di Singapura. Sorry banget gue belum bisa hadir di acara bahagia Lo ya, Nis. Gitu gue di darat, gue janji traktir Elo buat ganti undangan malam ini.][Gue lanjut kerja dulu, ya! Congrats, my bestie!!!]Emoticon si pentol bahagia dengan topi dan confetti popper tidak lupa dikirimkan oleh Novellin setelah permohonan maafnya.Nissa tersenyum membaca chat dari sahabat baiknya. Ia juga membalas kalau tidak ada masalah jika kali ini Novellin tidak bisa ikut bersuka cita di momen baiknya. Ia beralih ke ruang chatnya dengan sang suami, Dimas.[Mas, Novellin nggak bisa ikutan. Jadi kita berdua aja makan malamnya. Aku udah selesai di rumah sakit, aku pulang naik taksi online aja, ya?] Cepat sekali pesan yang dikirimnya itu bertanda centang 2 biru. Beberapa detik kemudian ponsel Nissa berdering dan Dimas-lah yang menghubunginya.“Tunggu lima belas menit, aku langsung ke sana.” “Tapi aku bisa—“ belum lagi N
Dimas menghentikan mobilnya di pelataran parkir restoran khas makanan laut—Grand Seafood. Nissa tercengang karena ia tidak menyangka akan datang ke restoran mahal seperti itu lagi tanpa ditraktir Novellin seperti biasanya.“Aku bilang kita makan di resto biasa aja, kan? Ini resto mahal, Mas,” keluhnya.“Tinggal makan aja sampai kenyang. Nggak aku suruh bayar, kok,” Dimas menjawab sambil tersenyum manis padanya, “Masuk, yuk. Aku udah booking meja,”Nissa hanya bisa menghela napas pasrah. Dimas selalu tidak terduga dan tidak bisa dibantah jika sudah menginginkan sesuatu hal baik untuknya. Tapi seperti yang sudah dibayangkan Nissa tentang tempat makan mewah ini, hidangan yang tersedia nyaris memenuhi meja mereka.“Aku udah tebak pasti bakalan begini. Siapa yang mau ngabisin semuanya, Mas?” Nissa mengeluh bingung. Bukan tidak bersyukur, tapi ia bingung bagaimana dua perut kecil mereka akan menghabiskan banyak makanan di meja. Padahal jika makanan mereka tidak habis, pembeli akan diberi sa
Hari berganti, Nissa yang biasanya mendatangi gedung perawatan ibu dan anak, kini mobilnya langsung tertuju ke pelataran mobil untuk keluarga pasien di sisi gedung perawatan. Banyak pasang mata memandangnya karena datang dengan menggunakan mobil baru. Tapi persepsi orang berbeda dengan pandangannya masing-masing, dan itu tidak membuatnya terpengaruh.“Pagi, Mbak Nita. Murung banget mukanya,” Nissa yang bangun dan datang ke tempat bekerjanya yang baru, begitu semangat. Tapi ia heran saat melihat wajah Anita yang tertekuk lesu padahal ini masih pagi, “Titin ke mana, Mbak? Masuk pagi juga, kan? Atau udah di kamar pasien?”“Udah masuk, Mbak, tapi barusan pulang lagi,” Anita menjawab lesu.“Loh, kenapa, Mbak?”“Pasien baru itu, Mbak. Temperamennya di luar nalar. Aku juga nggak sampai pikir si Titin ngapain aja datang kepagian terus langsung masuk ke kamar pasiennya,”“Aku baru sampai sini tapi langsung dikagetin sama Titin yang kepalanya berdarah. Dia bilang habis dipukul sama pasien baru
Nissa kembali ke rumah dengan membawa kelelahan. Sepanjang hari ia tidak hanya disibukkan dengan tugas barunya sebagai kepala perawat. Perbincangan beratnya dengan sang ibu juga menyita emosi dan tenaganya. Sedih tidak terelak saat Nyonya Gina tetap belum bisa menerima kehadiran Dimas dalam hidup putrinya lagi.Tapi tidak seperti sebelumnya, kali ini Nyonya Gina terlihat lebih tenang. Entah itu karena kabar Arul dan dirinya yang sudah bisa dinyatakan pulang besok, atau karena Arul yang begitu senang karena sang kakak kini naik jabatan yang lebih tinggi. Entahlah... Tapi Nissa tetap terus berharap ada angin restu yang berembus dari ibunya pada pernikahannya dengan Dimas.Ketika Nissa pulang, ternyata Dimas sudah ada di rumah lebih dulu, dan sepertinya sang suami belum makan.“Kenapa kamu belum makan?” tanya Nissa yang ikut duduk di depan televisi setelah membersihkan tubuhnya.“Mau makan sama kamu,” jawabnya singkat dan meletakkan remote televisinya, “Gimana hari ini? Kamu baik-baik aj
Setelah Nissa keluar dari kamar Rama, ia bergegas mengunjungi pasien di sebelah kamar tadi. Beliau adalah seorang wanita berumur 79 tahun, hampir sama dengan usia mendiang Nyonya Besar Lesmana. Nenek itu terlihat segar dan saat Nissa datang beliau sedang duduk di pinggiran jendela untuk menikmati udara pagi. Di atas meja di depan beliau tampak sebuah permainan tradisional bernama Congklak."Selamat pagi, Nenek. Gimana kabar, Nenek pagi ini?” sapa Nissa ramah, “Wah, Nenek udah main Congklak aja pagi-pagi, ya?” sambungnya sambil berjalan mendekat.“Maaf ya, Nek. Saya periksa tekanan darah Nenek dulu, ya? Menurut keterangan dokter yang tangani Nenek, besok lusa Nenek sudah boleh pulang,” Nissa menjelaskan sambil memeriksa tekanan darah nenek tua itu.Mendengar keramahan dan perlakuan lembut Nissa ketika memeriksanya, nenek tua bertanya lembut padanya, “Nama kamu siapa, Nak? Nenek baru lihat kamu di sini,”“Nama saya Nissa, Nek. Saya baru masuk ke gedung ini kemarin pagi. Harusnya saya u
Di tempat lainnya—Kantor Pusat Sagala Corporation.Ibu Dimas—Nyonya Risti merindukan putranya yang lama tidak pulang. Sekalipun ia tahu kalau Dimas tinggal di tempat lain, ia pun tidak tahu di mana alamat anaknya berada. Ibu itu harus menerima sikap dingin puranya yang sudah seperti itu sejak lama.“Di mana anak saya, Mal?” tanyanya pada Akmal yang baru saja terlihat menyambutnya.“Wakil Presdir di luar, Nyonya Besar. Saya akan telepon sekarang kalau Nyonya di sini,” jawab akmal sopan.“Di mana Dimas tinggal? Bawa saya ke sana, Mal!” selanjutnya, Nyonya Risti mulai memaksa.“Nyonya Besar, mohon tunggu sebentar. Saya menelepon bos dulu,” Akmal menjawab dengan ucapan lebih sopan. Ia cukup pintar untuk tetap merahasiakan alamat baru atasannya itu. Ia juga sangat tahu, jika alamat baru Dimas bocor, pasti itu karenanya dan Akmal tentu tidak ingin sampai ditendang bosnya yang sangat ‘baik hati’ itu.“Selamat siang, Bos. Saya mau menyampaikan kalau Nyonya Besar ada di kantor dan sedang menun
Hanya beberapa menit saja Anita sudah kembali lagi. Ia segera memasangkan cairan infus Rama tanpa lupa menginjeksi obat sesuai jadwal, “Sudah selesai, Pak. Saya permisi dulu, kalau ada apa-apa panggil kami saja,” Anita berpamitan. Ia segera ingin pergi lagi, tapi panggilan Rama yang tegas dari belakangnya sukses membuat jantungnya nyaris melompat.“Tunggu dulu!”“Ya ampun... Ya, Pak?” kagetnya seketika, tapi ia tetap menjawab dan langsung berbalik, “Ada lagi yang Bapak perlukan?”“Hmm, saya enggak butuh apa-apa. Saya cuma mau tanya, kenapa kamu yang ke sini? Si Judes itu mana?” tanyanya tanpa berbasa-basi.“Si Judes? Maksud Bapak siapa, ya? Saya kurang paham, Pak?” Anita bertanya bingung.“Ya udah kalau nggak tau. Kamu keluar aja,” agak kesal karena maksudnya tidak dimengerti, jadi Rama langsung mengalihkan percakapan dengan mengusir Anita keluar, “Gue kenapa, sih? Kok jadi gini?” sambungnya bergumam.“Bimo?” panggilnya. Dan setelah salah seorang penjaga datang, Rama berucap lagi, “Ak
“Rasanya jantung aku mau meledak tahan semuanya di ujung lidah. Pengen banget aku bilang sama mama kalau aku udah dapat perempuan terbaik aku. Aku udah nikah sama kamu. Tapi aku nggak bisa bilang itu karena kamu belum siap,”Mendengar itu Nissa menunduk—merasa bersalah, “Maafin aku, Mas. Aku bukan sengaja buat kamu di posisi bingung.”Dimas juga merasa bersalah karena membuat Nissa seakan disudutkan. Ia lebih mendekat dan memeluk istrinya, “Ya udah, nggak masalah. Aku bisa tahan selama apa pun sampai kamu siap aku bawa ke depan orang tua aku,”“Asalkan kamu nggak nangis dan sedih begini. Aku bisa tahan semuanya kalau kamu di samping aku, Yang,” ucapnya sebelum mengecup lembut dahi Nissa, “Udah, sana masuk lagi. Nanti aku keterusan cium kamu lagi,”“Ish,” Nissa berdecak singkat sambil memukul kecil dada bidang suaminya, “Aku masuk dulu. Terima kasih buat jajan sorenya, ya. Sampai nanti malam, Dimas!” ucapnya lagi setelah segera menghindar dari suaminya yang bisa saja tidak dapat menaha
Hari membosankan di rumah sakit berakhir, hingga tibalah semuanya di hari ini. Tepatnya di hotel bertaraf Internasional milik keluarga Sunny. Saat ini sedang diadakan acara yang meriah tapi itu hanya dihadiri orang-orang tertentu saja, bahkan tidak ada peliput media di sana. Pasalnya, hari ini merupakan hari bahagia Adimas dan Nissa yang sejak awal memang belum mengadakan resepsi pernikahan mereka.Para tamu yang datang tidak hanya dari kalangan pebisnis terdekat saja. Ada juga beberapa petinggi keamanan negara seperti kakek dan keluarga Rama lainnya. Dan juga, beberapa orang dengan penampilan serba hitam yang merupakan kerabat Sunny dan itu jelas bukan orang sembarangan.Tempat resepsi pernikahan dan juga para tamu undangan yang terbuat khusus ini juga atas saran dari Sunny. Itu karena setelah Nissa mengungkapkan apa yang ia dengar dari Akbar tentang identitasnya memiliki ayah yang tidak biasa. Setelah berdiskusi dengan keluarganya, Sunny menyarankan pada Adimas agar istrinya itu ber
Setelah tiba di rumah sakit, Dimas harus menjalani operasi perut dan dirawat intensif. Tiga hari pasca operasi ia dinyatakan koma, tapi syukurlah pada akhirnya ia kembali membuka mata dan bangun. Tepat satu minggu, barulah ia dibolehkan untuk berpindah ke ruang rawat biasa.Selain Jay dan Nyonya Risti, hanya Rama yang terlihat berbolak-balik berada di depan ruangannya. Dan ketika sudah dinyatakan pulih dan bisa dijenguk, Dimas melihat wajah Rama ketika menjenguknya dan itu membuat Dimas tersenyum.Rama yang saat ini sudah lebih baik dan duduk di atas kursi rodanya, duduk di samping ranjang pasien Dimas. "Lo nggak apa-apa, Ram?" tanya Dimas dengan nada pelan, bahkan senyumnya juga terlihat dipaksakan.“Nggak terbalik nih pertanyaannya? Yang lagi rebahan siapa, bro?” Rama menjawab dengan candaan, “Gimana keadaan Lo, Mas? Gue senang lihat Lo bangun. Gue takut karena udah semingguan ini Lo koma dan lemah terus.” Sambungnya mulai berucap sedih.“Gue masih kuat bercanda sama Lo, kok. Tapi
Rama dan Dimas tergeletak tidak berdaya. Keduanya meregang sakit yang tiada tara. Sementara itu Akbar yang sudah bangkit, mendekati mereka dan menambah sakitnya.Seperti manusia tanpa hati, Akbar menendang tubuh Dimas dan Rama berkali-kali seolah keduanya hanyalah sekarung sampah yang wajar ditendang keras untuk menjauh.“Nissa punya aku. Nissa milik aku. Kalian harus mati!” kalimat ini terus Akbar gumamkan dengan ekspresi senyuman yang mengerikan. Ya, itu adalah kepribadian jahatnya yang jelas muncul saat ini.Sambil tertawa dan terus menggumamkan kepemilikannya atas Nissa, Akbar tidak sedikitpun menaruh ampun pada Rama dan Dimas yang setengah mati menahan kesakitan.Ia berhenti menghajar dua pria malang itu untuk memeriksa isi senjata api di tangannya.“Hmm, pas banget pelurunya tinggal dua. Cukup buat bunuh Lo berdua, haha!” tawanya mengejek, “Tapi sebenarnya nggak pakai peluru Lo juga, sebentar lagi Lo pada mati.”“Tapi kayaknya gue nggak mau ambil resiko kalau nanti Lo berdua jad
Di area pergudangan penyimpanan barang bekas perkapalan yang sudah tidak dioperasikan lagi. Di sanalah semua orang berkumpul setelah mengikuti arah laju mobil yang membawa Akbar dan Nissa.Dengan petunjuk yang Jay berikan, Dimas dan Rama tiba di tempat tersebut.“Apa nggak berlebih banget ngepung Akbar sampai beginian?” Rama bertanya dengan ekspresi rumit, “Harusnya kita tanya dulu baik-baik, kan? Karena selama ini gue pribadi nggak punya masalah sama Akbar.” Sambungnya mengutarakan kebimbangan.“Kalau Lo cuma mau tanya doing, ngapain Lo yang heboh pakai acara minta bantuan militer juga?” Dimas mengomentari, “Lagian ngapain dia kabur waktu anggota Jay mau periksa mereka sesuai protokol keamanan? Kalau nggak punya salah, si brengsek itu ngapain lari sampai ke sini?” Dimas memberikan penilaian tepat.“Gue mau turun sekarang!” sambungnya dan langsung turun dari Lamborghini Rama, menuju kerumunan petugas keamanan gabungan di depan sana.“Jay, gimana?” Dimas langsung bertanya pada Jay saat
Akbar baru saja membantu Nissa untuk berpindah langkah dengan hati-hati. Tidak lupa juga ia membenahi jaket tebal dan penutup kepala Nissa agar tidak terkena angin pelabuhan yang berhembus kencang.“Terima kasih.” Nissa berucap singkat dan mulai berjalan. Tapi langkahnya terhenti dan ia menoleh pada Akbar yang diam di belakangnya, “kamu kenapa?” tanyanya.“Ngapain kamu balik lihat aku? Aku cuma pengen lihat punggung kamu waktu jalan. Sama kayak yang kamu lakuin ke aku tiap kali kamu tinggalin aku. Aku mau mastiin perasaan aku kali ini. Kenapa rasanya beda banget kayak gini.” Akbar menjawab dengan senyumnya yang putus asa. Entah mengapa ia merasa kacau dan bimbang, padahal ia sudah membawa Nissa sampai ke daratan ini.Nissa hanya tertegun tidak mengerti. Hatinya juga kacau saat ini. Melangkahkan kakinya lagi di daratan Pulau Jawa itu membuatnya bimbang. Ia ingin sekali kabur dan meminta tolong untuk dijauhkan dari Akbar dan kembali ke Dimas, tapi mengingat kondisinya yang tidak memungk
‘Adimas, aku baru saja mendapatkan informasi tentang kapal asing yang terdaftar dengan nama Akbar Lesmana memasuki perairan Teluk Jakarta. Diduga kapal tersebut akan menuju Tanjung Priok.’‘Anak buahku mengkonfirmasi kapal tersebut berisi kurang dari sepuluh awak di antaranya terdapat seorang wanita mengandung. Anak buahku tidak mengenal wanita itu karena wajahnya ditutupi topi berpenutup. Tapi itu sangat mencurigakan.’‘Laporan anak buahku kali ini mereka anggap penting karena sebelumnya Akbar Lesmana tidak pernah membawa wanita keluar pulau, tapi ini malah membawa wanita dengan perut yang besar. Kusarankan kau segera ke sana bagaimana pun caranya. Aku juga akan memerintahkan pasukanku yang berada di sana untuk mengintai pria berbahaya itu.’Itu adalah beberapa pesan dari Sunny, sahabat Adimas yang memiliki koneksi tidak terbatas. Selama ini para anak buah yang ditugaskannya mengintai Akbar Lesmana yang dicurigai berkaitan dengan hilangnya Nissa, tidak mendapatkan informasi apapun ka
8 bulan terlalu begitu cepat. Keadaan sudah tentu sangat banyak mengalami perubahan, baik itu di kota yang ditinggalkan Nissa, atau pulau yang ditempatinya saat ini. Yang tidak berubah hanyalah prinsip Akbar yang tetap memenjarakannya di sana.Seiring berjalannya hari dan perkembangan kehamilan Nissa, Akbar mengisi rumah mereka dengan berbagai alat kesehatan yang canggih. Seperti yang diharapkan, Nissa tidak perlu keluar pulau untuk memeriksakan kandungannya. Karena ia sudah bisa melakukan pemeriksaan ultrasonografi atau USG dengan bantuan Dokter Riza.Sementara itu yang terjadi di kota sana sungguh tidak mungkin dibayangkan oleh Nissa. Meskipun Akbar bolak-balik keluar masuk pulau, tapi ia tidak pernah menyampaikan apapun yang terjadi selama delapan bulan terakhir.Banyak hal yang sudah terjadi di sana seperti, kabar meninggalnya Nyonya Gina karena tidak sanggup menahan beban kerinduan dan kekhawatiran yang besar pada putrinya. Nyonya Gina meninggal tepat setelah empat bulan pencari
Setelah mencoba berdamai dengan keadaan yang tidak bisa ditawar pada Akbar, Nissa menyerah melawan, sekalipun rindu pada rumah dan orang-orang tersayang begitu besar, dan kemarahannya pada Akbar tidak terelakkan.Namun, yang membuatnya tidak ingin berdebat lagi adalah alasan keselamatan orang-orang yang ia sayang, ketika nanti identitas Nissa ditemukan pihak yang memburunya, bukan tidak mungkin keselamatan Dimas dan yang lain akan terancam.Nissa mulai membiasakan hidup sehat untuk bayinya. Ia berhenti mencoba lari dari penjara alam yang dibuatkan Akbar padanya. Ia tidak lagi mencoba berenang dan mengalahkan ombak tengah pantai. Jika pagi, Nissa berjalan sendirian mengelilingi pantai dan setelah lelah, ia duduk di pinggir pantai, menatap kosong ke arah laut yang batasnya tidak terlihat. Jika sudah lelah, ia masuk dan berdiam di meja belajarnya, menulis buku harian yang mungkin suatu saat akan dibaca anaknya.Sedangkan Akbar membiarkan hal itu. Semua yang dilakukan Nissa atau pun yang
Di dalam kamar Nissa, tampak Dokter Riza tengah menambahkan cairan berwarna kuning ke dalam botol infus Nissa. Di sampingnya, ada Akbar hanya diam tidak berkata-kata.Nissa yang masih lemah untuk berdebat juga hanya diam, tidak ingin bertanya pada Akbar tentang orang tuanya dulu. Tapi sekarang hati dan pikirannya merasa ingin terpuaskan dengan berbagai informasi tentang keadaannya sendiri.Saat Dokter Riza terlihat akan pergi, tangannya tertahan oleh Nissa yang memandangnya dengan sedih lalu berkata, “Tolong jelaskan tentang kandungan saya, Dokter.”Akbar yang mengerti terlihat menghela napas berat. Ia pun berpindah duduk, sedikit menggeser agar Dokter Riza duduk di sebelah Nissa.“Maafkan saya karena tidak memberitahukan semua ini pada anda sejak awal. Seperti yang saya sampaikan ke Tuan Akbar sebelumnya, hasil pemeriksaan darah menunjukkan kalau anda positif mengandung, Mbak Nissa.” Dokter Riza menerangkan keadaan yang sebenarnya, “Kira-kira kalau boleh tau, hari pertama haid terakh