“Aku juga nggak lihat langsung, Mbak. Aku ditelepon Bik Lina kalau ibu dibawa ke sini. Bik Lina bilang sebelum pingsan, ada tamu datang. Dia orang kaya, Mbak, dan Bik Lina lihat kalau ibu sempet ngusir orang itu sambil marah-marah. Tapi habis tamunya pergi, ibu langsung pingsan,”
Cerita Arul bisa dimengerti oleh Nissa dengan baik. Seperti virus, di mata ibu mereka orang kaya adalah hal yang harus dibenci dan dijauhi. Tapi semua itu memiliki sebab yang memang menghancurkan sang ibu dan keluarga mereka.“Ya udah, mbak udah di sini. Mbak masuk dulu ke dalam buat ngomong sama dokter,” Nissa menjawab yakin dan mulai bangkit. Tapi Arul kembali menahan dengan tetap memegangi tangan kakaknya.“Kalau dokter bilang ibu harus dioperasi, duitnya dari mana, Mbak? Operasi jantung pasti mahal, kan? Dan kita nggak punya uang sebanyak itu. Tapi aku nggak mau ibu kenapa-kenapa. Udah cukup ayah yang pergi, aku nggak mau kalau ibu…”“Shhh… stop ngeluarin kata-kata nggak guna. Doain aja ibu lekas sehat. Ibu kita nggak bakalan kemana-mana. Ibu harus sehat!” Nissa menepis anggapan buruk Arul yang ketakutan. Ia mengerti sekali apa yang ada di pikiran adiknya itu.“Lagian siapa yang bilang kalau kita nggak punya uang? Mbak ada, kok. Walau nggak banyak, nanti mbak bisa minta tolong temen-temen mbak buat pinjamin uang mereka. Kamu nggak usah nambahin beban pikiran mbak gini, deh. Jadi anak baik budi dan terus doain ibu sama mbak aja. Mbak masuk dulu, kamu jangan nangis lagi, ya!” jawab Nissa tegas.Namun, itu hanya ia tunjukkan pada Arul agar adiknya tegar. Padahal sebenarnya ia juga sudah hampir tidak berdaya menopang tubuh dan pikirannya yang lelah.Setelah menarik dan membuang napas dalam-dalam, Nissa melangkah dan membuka pintu IGD dengan tangannya yang bergetar.***Aston Martin milik Adimas berhenti dan terparkir di depan pintu masuk utama mansion besar keluarga Sagala. Rumah bak istana itu berdiri kokoh di tanah seluas dua ribu lima ratus meter persegi. Wow, bahkan kediaman pribadi pemerintah tertinggi negara ini saja tidak sebesar itu. Tapi memang begitulah adanya rumah bak istana yang menjadi bagian profil kekayaan keluarga Sagala.Kedatangan Dimas sontak disambut oleh belasan pelayan di rumah tersebut.“Di mana papa?” tanya Dimas tanpa menunjuk seorang pun. Tapi seorang pria paruh baya—Pak Manan, yang merupakan kepala pelayan di rumah itu maju dengan menundukkan kepalanya pada Dimas sebelum menjawab.“Izin menjawab, Den Dimas. Tuan besar ada di ruang kerja beliau dan Nyonya besar sedang keluar. Aden mau saya siapin makanan sekarang?” Pak Manan tampak hati-hati bicara dengan Dimas karena saat ini ekspresi Dimas jelas sedang tidak dalam emosi yang baik.“Nggak perlu. Aku mau ke atas!” ujarnya dengan nada datar tanpa menoleh pada para pelayan rumahnya yang tetap menundukkan kepala.Meskipun Dimas tidak tinggal bersama mereka dalam rumah itu selama tujuh tahun, tapi siapa pun tahu kalau perangai Adimas itu dingin. Pelayan di rumah itu tidak berani mengusiknya atau pekerjaan mereka akan tamat.“Pa, ini aku!” ucap Adimas setelah mengetuk pintu ruang kerja sang papa beberapa kali.“Masuk!” suara berat yang tidak kalah datarnya dari Dimas terdengar dan membuatnya langsung masuk ke dalam.Seperti kepribadian pemiliknya, ruang kerja bergaya klasik mewah itu mencerminkan betapa ketenangan dan ketegaran bisa berbaur dengan cara yang elegan.“Kenapa baru pulang? Ke mana aja kamu dari pagi? Bukannya pesawat kamu landing dari subuh?” pria berwibawa berusia lima puluhan tahunan itu bertanya dan menoleh pada Adimas setelah meletakkan buku tebal di mejanya.Dia adalah Midi Sagala, keturunan kedua dari keluarga Sagala yang terkenal di Indonesia. Sikap Adimas yang cenderung pendiam dan dingin berasal dari beliau.“Banyak yang harus diiurus. Papa tau kalau aku nggak bisa santai, kan?” Dimas menjawab seadanya.“Termasuk ketemu sama perempuan itu? Kamu nggak mau nyerah aja? Kalian udah pisah tujuh tahun dan itu bukan waktu yang sebentar, Mas,” Tuan Midi kembali berucap.“Nissa bukan urusan Papa lagi. Aku udah cukup besar buat nentuin sendiri masa depan aku sama Nissa,” Adimas menjawab lebih dingin.“Berhubung Papa langsung sebutin nama Nissa, aku ke sini mau nagih janji Papa dulu. Aku udah berhasil jadi orang sukses kayak yang Papa harapin, dan sekarang aku juga udah terima jabatan wakil Presdir sesuai kemauan Papa,”“Jadi, karena tugas aku udah tercapai, aku minta sama Papa, mulai hari ini jangan ikut campur soal hubunganku sama Nissa. Papa nantangin aku selama tujuh tahun ini dan aku udah buktikan ke Papa sendiri. Jadi, tolong bayar janji Papa sama aku atau Papa tau aku bisa ngelakuin apa aja kalau aku kecewa!”Dimas dengan serius menuntut haknya untuk janji yang sudah ayah dan anak itu sepakati. Meninggalkan Nissa setelah mereka meluluskan SMA lalu menjadi pebisnis muda yang handal dan berkompeten sebagai pewaris tunggal Sagala Corporation adalah janji yang harus Adimas lakukan.Adimas melakukan pengorbanan perasaan, jarak, dan waktu untuk jauh dari kekasihnya hanya untuk imbalan besar yang setimpal, yaitu menikah dengan Nissa tanpa penolakan dan campur tangan orang tuanya yang sejak awal melarang hubungan beda kasta tersebut.“Untuk yang terakhir kalinya papa tanya sama kamu, Dimas. Apa kamu nggak bakalan menyesal sama keputusan kamu mau nikahin perempuan itu?” Tuan Midi kembali bertanya keputusan Dimas yang terakhir kalinya.“Lebih dari siapa pun, Papa yang paling tahu gimana hancurnya aku waktu ninggalin Nissa sama semua kebencian mama ke keluarga Nissa,”“Papa yang paling tau kalau aku cinta banget sama Nissa sampai aku bisa korbanin apapun buat kebahagiaan dia. Papa nggak usah mikirin apa-apa lagi. Cukup sebutin persetujuan Papa buatku bahagia sama Nissa. Aku nggak perlu yang lain, Pa,”Setelah mendengar kalimat dingin tanpa ekspresi dari Adimas, Tuan Midi menghela napas berat sebelum menjawab.“Papa serahin semuanya sama kamu. Masa depan kamu itu penting buat keluarga ini, termasuk siapa yang akan jadi istri kamu nanti. Tapi, kalau kamu yakin perempuan itu memang perempuan yang tepat buat kamu, silahkan lakuin yang kamu mau. Papa ikhlas terima perempuan itu jadi istri kamu,”Setelah mendengar jawaban sang papa, barulah senyuman simpul terlihat di wajah kaku Adimas. Ia berdiri lalu mengulurkan tangannya ke papanya sendiri.“Deal! Mulai hari ini aku minta Papa bisa jaga mama buat nggak ngerusuhin hubungan aku sama Nissa termasuk keluarganya. Yang Papa Mama lakuin ke keluarganya udah cukup buat mereka menderita, tapi aku bakalan perbaiki semuanya,” ujarnya mantap dan sang ayah pun menyambut dengan bertanggung jawab.“Bilang sama mama kalau aku nggak pulang. Jangan cari-cari aku atau suruh orang buat ngikutin ke mana aku pergi. Aku udah besar,"“Aku pergi, Pa. Terima kasih karena Papa udah nepatin janji Papa ke aku. Aku nggak bakalan buat Papa kecewa sama keputusan aku,”Setelah mendapatkan anggukan singkat sang papa, Adimas keluar dari ruang kerja sang papa.‘Nissa, mulai hari ini nggak ada lagi yang bakalan ngehalangi langkahku buat bahagiain kamu,’ gumamnya dalam hati dengan senyuman bahagia.Pucuk dicinta ulam pun tiba. Wanita tercinta yang baru saja disebutnya dalam hati, langsung muncul dengan panggilan telepon.“Ya, Nis?”[Aku mau kita ketemu sekarang. Aku tunggu kamu di café Ring Stone depan rumah sakit Grand Healthy!]‘Ibu anda masih bisa diselamatkan tanpa harus menerima operasi. Tapi satu kali saja pasien menerima kejutan lagi yang mengakibatkan guncangan di hatinya, mungkin pasien tidak akan tertolong,’‘Anda seorang petugas kesehatan, kan? Tolong jaga kesehatan mentalnya juga selain kesehatan fisiknya. Usia ibu anda juga sangat rentan mengingat riwayat penyakit jantung yang sudah lama pasien derita,’Pesan dokter yang menangani ibunya terus terngiang di benak Nissa. Kini ia duduk termenung di sebuah café di depan rumah sakit tempat ibunya dirawat. Tanpa memperdulikan sakit memar di pipinya, Nissa terus mengingat beberapa saat tadi setelah ia kembali menjenguk ibunya yang baru sadar dari pingsan.‘Kenapa kamu di sini? Pergi! Aku nggak sudi lihat muka kamu, tau! Arul, usir perempuan sial ini! Ibu nggak mau lihat dia di sini atau kamu mau lihat ibu jadi mayat!’‘Suruh dia balik sama laki-laki dari keluarga pembunuh ayah kamu aja. Jangan biarin dia dateng lihat ibu lagi, Arul! Ibu nyesal kenapa dul
“Sekalipun benar kalau kamu pulang untuk aku, tapi nyatanya kepulangan kamu buat aku hancur. Pernikahan aku batal dan ibu masuk rumah sakit. Aku tahu kalau ibu pasti habis ketemu kamu, kan?”“Mau kamu apa, sih? Kalau kamu berkeras cinta sama aku, tolong pergi aja. Dengan kamu pergi dan jauh dari aku, semua itu cukup buat aku bahagia!”Nissa bangkit dari tempat duduknya dan menatap Dimas sebelum pergi. Tersirat penyesalan ketika ia mengusir Dimas dari hidupnya dengan kalimat yang pastinya membuat Dimas sakit.‘Maaf, tapi aku harus buat kamu sakit dulu biar kamu pergi,’ batinnya yang ikut hancur dibawa pergi dari sana, meninggalkan Dimas yang hanya bisa tersenyum miris memandang Nissa.“Aku tahan kok, Nis. Mau kamu bilang kamu benci aku dan kamu ngusir aku, selangkah pun aku nggak bakalan pergi lagi. Aku akan tetap di sini dan jadikan kamu milik aku seutuhnya,”“Nggak ada yang bisa sakitin kamu lagi karena aku udah di sini, Nis… Dulu dan sekarang pun janji aku tetap sama. Aku bakalan bu
Nissa sampai di depan pos perawat di depan lorong Dahlia, ruang rawat ibunya. “Pagi, Mbak Nita… Saya mau tanya kondisi ibu saya yang dirawat di kamar Dahlia 4. Kata adik saya, ibu saya di off-kan besok. Itu benar, ya, Mbak?” Nissa bertanya ramah pada suster penjaga di sana. Kebetulan Nissa mengenal baik perawat di sana. Berada di satu rumah sakit dengan profesi yang sama membuat mereka harus saling mengenal, sekalipun mereka berada di departemen yang berbeda. “Iya, Mbak Nissa. Dokter udah kasih izin buat pulangin ibunya Mbak Nissa besok. Tapi dokter masih harus lihat kondisi pasien seharian ini, Mbak. Kalau belum, nanti dokter bakalan konfirmasi lagi. Tapi kalau ibunya Mbak Nissa udah pulih benar, besok pasti pulang, kok,” “Mbak Nissa konfirmasi aja dulu ke bagian RRI (Ruang Registrasi Informasi) buat selesaikan tagihannya. Biar cepet, Mbak, soalnya bagian RRI bilang banyak pasien baru masuk tapi harus di-hold karena ruangan penuh,” Suster Nita menjelaskan dengan jelas pada Nissa.
“Kenapa kamu bilang kalau saya sedang rapat? Kenapa nggak kasih ke saya aja?” Adimas sejenak mengalihkan tatapannya dari ponsel ke Akmal dengan kesal. Kalau saja tadi Akmal dengan cepat memberitahukan padanya kalau Nissa menelepon, pasti situasinya tidak akan sekesal ini. “Mulai sekarang, kalau nomor ini telepon lagi. Langsung kasih ke saya handphonenya, ya!” Dimas memperingati Akmal yang sudah ketakutan. “Rapat saya bubarkan,” ucap Dimas sebelum bangkit dan melangkah meninggalkan ruang rapat. Perangai Dimas yang berubah drastis jelas membuat semua orang bertanya-tanya. Terlebih ia juga tidak memandang siapa pun saat keluar. Pandangannya hanya tertuju pada layar ponselnya saja. Setelah Dimas keluar, seketika atmosfer di ruang rapat berubah seperti pasar. Beberapa dari mereka langsung bertukar pertanyaan, dan beberapa manager langsung berebut mendekati Akmal. “Pak Akmal, ini gimana, sih?” “Pak Wakil Presdir kenapa coba? Dia marah-marah dari kemarin tapi masa cuma karena satu tele
Nissa seharian tertidur di kamarnya. Ia membawa semua masalah hidupnya dengan tidur dan terbangun pukul sembilan malam. Ia bahkan tidak tahu kepulangan Zaky bersama Dasma karena ketika ia membuka mata, tidak ada suara apapun dan yang terlihat hanya mobil Zaky yang berada di parkiran. Ia juga mengira kalau Zaky pasti sudah tertidur pulas pada jam itu. Nissa ingin berangkat awal karena harus menemui Arul untuk menanyakan kondisi ibunya. Ia berangkat ke rumah sakit menggunakan ojek online hingga tiba di pelataran parkir rumah sakit. Nissa tidak menyadari kalau kedatangannya di sana sejak memasuki gerbang besar rumah sakit, sudah menjadi tujuan utama sepasang mata yang memandangnya hangat. “Nis?” Langkah Nissa terhenti karena panggilan di belakangnya. Itu adalah Dimas. Awalnya Nissa ingin terus melangkah, tapi ingatannya tentang biaya rumah sakit sang ibu membuatnya berbalik mendekati Dimas. “Kamu telepon aku tadi pagi?” Dimas bertanya. “Hmm, iya. Kebetulan banget kamu di sini,” uca
Kecelakaan Arul “Mbak tau sendiri kalau malam ibu suka ke kamar mandi. Bakalan repot kalau bawa tiang botol infus kalau nggak ada yang pegangin ibu,” “Lah, kan ada suster? Minta tolong aja gih! Suster itu memang tugasnya bantuin ngerawat pasien. Lagian kamu yakin banget kalau mbak bakalan nggak diusir ibu. Gimana kalau pas lihat mbak, ibu malah marah lagi? Bisa batal pulang besok jadinya!” Nissa menjawab dengan hal yang masuk akal. “Kalau aku bilang dan pamit ke ibu kalau aku mau ambil buku buat ujian, pasti ibu bakalan suruh aku pulang aja buat belajar di rumah. Terus nanti jawabnya sama yang baru Mbak bilang kalau ibu bakalan minta tolong ke suster,” “Mbak kayak nggak tau ibu itu gimana. Aku jamin dua ribu persen kalau ibu nggak bakalan panggil suster dan ngelakuin semuanya sendirian malam-malam gini, dan nggak tidur sampai pagi. Habis itu tekanan darah ibu bisa naik karena kurang tidur. Jadinya, besok batal pulang. Mbak nggak ngerasa alasan aku masuk akal?” “Bener juga, sih…”
“Baik, Dokter, terima kasih atas nasihatnya. Saya ke departemen saya dulu buat ngurus surat izin cuti. Habis itu saya ke ruangan ibu saya,” Nissa menjawab setuju. Ia juga berterima kasih atas bantuan Fandy pada ibunya dan Arul.“Ya, itu baru Nissa yang saya kenal. Kamu nggak usah ke sini lagi tengah malam nanti buat ngecek keadaan adik kamu. Lagian di dalam udah banyak orang, kan? Adik kamu juga nggak boleh dijenguk dulu. Masih dalam pantauan intens kami, jadi kamu tenang aja sambil rawat ibu kamu. Saya masuk dulu, ya. Sampai jumpa besok!”Dokter Fandy kembali masuk ke pintu menuju ruang operasi dengan senyuman yang tidak lekang untuk Nissa.Ya, itu bukan tanpa alasan karena dokter muda itu memiliki perasaan lebih untuk Nissa. Terlebih setelah ia mendengar isu yang tersebar di rumah sakit kalau Nissa dan Zaky sudah putus, dan Zaky sudah semakin intens menunjukkan kedekatannya dengan Dasma. Itu mem
[Lin, kalau Elo udah di darat, kabari gue, ya!]Nissa mengetik satu kalimat pesan pada Novellin dan setelah itu ia meletakkan ponselnya lalu memejamkan mata sejenak.Perawat cantik itu duduk di teras luar lorong rawat bayi, di dekat pos perawat. Ia menikmati embusan semilir angin malam yang tenang, meskipun tidak demikian dengan hatinya.Nissa memang sudah memutuskan untuk mengambil cuti, tapi ia tetap ke gedung perawatan ibu dan anak untuk memastikan keadaan bayi yang berada di inkubator.Entah mengapa wajah bayi-bayi mungil yang baru terlahir ke dunia itu membuat hati Nissa bahagia. Ia merasa sejenak melupakan jati dirinya yang merupakan anak terbuang dari ayahnya, hingga mengantarkan hidup yang berliku baginya. Nissa selalu berharap para bayi di sana akan tumbuh dan sehat serta bahagia bersama orang tua mereka.Tidak menunggu lama, hanya berselang beberapa menit saja setelah N
Hari membosankan di rumah sakit berakhir, hingga tibalah semuanya di hari ini. Tepatnya di hotel bertaraf Internasional milik keluarga Sunny. Saat ini sedang diadakan acara yang meriah tapi itu hanya dihadiri orang-orang tertentu saja, bahkan tidak ada peliput media di sana. Pasalnya, hari ini merupakan hari bahagia Adimas dan Nissa yang sejak awal memang belum mengadakan resepsi pernikahan mereka.Para tamu yang datang tidak hanya dari kalangan pebisnis terdekat saja. Ada juga beberapa petinggi keamanan negara seperti kakek dan keluarga Rama lainnya. Dan juga, beberapa orang dengan penampilan serba hitam yang merupakan kerabat Sunny dan itu jelas bukan orang sembarangan.Tempat resepsi pernikahan dan juga para tamu undangan yang terbuat khusus ini juga atas saran dari Sunny. Itu karena setelah Nissa mengungkapkan apa yang ia dengar dari Akbar tentang identitasnya memiliki ayah yang tidak biasa. Setelah berdiskusi dengan keluarganya, Sunny menyarankan pada Adimas agar istrinya itu ber
Setelah tiba di rumah sakit, Dimas harus menjalani operasi perut dan dirawat intensif. Tiga hari pasca operasi ia dinyatakan koma, tapi syukurlah pada akhirnya ia kembali membuka mata dan bangun. Tepat satu minggu, barulah ia dibolehkan untuk berpindah ke ruang rawat biasa.Selain Jay dan Nyonya Risti, hanya Rama yang terlihat berbolak-balik berada di depan ruangannya. Dan ketika sudah dinyatakan pulih dan bisa dijenguk, Dimas melihat wajah Rama ketika menjenguknya dan itu membuat Dimas tersenyum.Rama yang saat ini sudah lebih baik dan duduk di atas kursi rodanya, duduk di samping ranjang pasien Dimas. "Lo nggak apa-apa, Ram?" tanya Dimas dengan nada pelan, bahkan senyumnya juga terlihat dipaksakan.“Nggak terbalik nih pertanyaannya? Yang lagi rebahan siapa, bro?” Rama menjawab dengan candaan, “Gimana keadaan Lo, Mas? Gue senang lihat Lo bangun. Gue takut karena udah semingguan ini Lo koma dan lemah terus.” Sambungnya mulai berucap sedih.“Gue masih kuat bercanda sama Lo, kok. Tapi
Rama dan Dimas tergeletak tidak berdaya. Keduanya meregang sakit yang tiada tara. Sementara itu Akbar yang sudah bangkit, mendekati mereka dan menambah sakitnya.Seperti manusia tanpa hati, Akbar menendang tubuh Dimas dan Rama berkali-kali seolah keduanya hanyalah sekarung sampah yang wajar ditendang keras untuk menjauh.“Nissa punya aku. Nissa milik aku. Kalian harus mati!” kalimat ini terus Akbar gumamkan dengan ekspresi senyuman yang mengerikan. Ya, itu adalah kepribadian jahatnya yang jelas muncul saat ini.Sambil tertawa dan terus menggumamkan kepemilikannya atas Nissa, Akbar tidak sedikitpun menaruh ampun pada Rama dan Dimas yang setengah mati menahan kesakitan.Ia berhenti menghajar dua pria malang itu untuk memeriksa isi senjata api di tangannya.“Hmm, pas banget pelurunya tinggal dua. Cukup buat bunuh Lo berdua, haha!” tawanya mengejek, “Tapi sebenarnya nggak pakai peluru Lo juga, sebentar lagi Lo pada mati.”“Tapi kayaknya gue nggak mau ambil resiko kalau nanti Lo berdua jad
Di area pergudangan penyimpanan barang bekas perkapalan yang sudah tidak dioperasikan lagi. Di sanalah semua orang berkumpul setelah mengikuti arah laju mobil yang membawa Akbar dan Nissa.Dengan petunjuk yang Jay berikan, Dimas dan Rama tiba di tempat tersebut.“Apa nggak berlebih banget ngepung Akbar sampai beginian?” Rama bertanya dengan ekspresi rumit, “Harusnya kita tanya dulu baik-baik, kan? Karena selama ini gue pribadi nggak punya masalah sama Akbar.” Sambungnya mengutarakan kebimbangan.“Kalau Lo cuma mau tanya doing, ngapain Lo yang heboh pakai acara minta bantuan militer juga?” Dimas mengomentari, “Lagian ngapain dia kabur waktu anggota Jay mau periksa mereka sesuai protokol keamanan? Kalau nggak punya salah, si brengsek itu ngapain lari sampai ke sini?” Dimas memberikan penilaian tepat.“Gue mau turun sekarang!” sambungnya dan langsung turun dari Lamborghini Rama, menuju kerumunan petugas keamanan gabungan di depan sana.“Jay, gimana?” Dimas langsung bertanya pada Jay saat
Akbar baru saja membantu Nissa untuk berpindah langkah dengan hati-hati. Tidak lupa juga ia membenahi jaket tebal dan penutup kepala Nissa agar tidak terkena angin pelabuhan yang berhembus kencang.“Terima kasih.” Nissa berucap singkat dan mulai berjalan. Tapi langkahnya terhenti dan ia menoleh pada Akbar yang diam di belakangnya, “kamu kenapa?” tanyanya.“Ngapain kamu balik lihat aku? Aku cuma pengen lihat punggung kamu waktu jalan. Sama kayak yang kamu lakuin ke aku tiap kali kamu tinggalin aku. Aku mau mastiin perasaan aku kali ini. Kenapa rasanya beda banget kayak gini.” Akbar menjawab dengan senyumnya yang putus asa. Entah mengapa ia merasa kacau dan bimbang, padahal ia sudah membawa Nissa sampai ke daratan ini.Nissa hanya tertegun tidak mengerti. Hatinya juga kacau saat ini. Melangkahkan kakinya lagi di daratan Pulau Jawa itu membuatnya bimbang. Ia ingin sekali kabur dan meminta tolong untuk dijauhkan dari Akbar dan kembali ke Dimas, tapi mengingat kondisinya yang tidak memungk
‘Adimas, aku baru saja mendapatkan informasi tentang kapal asing yang terdaftar dengan nama Akbar Lesmana memasuki perairan Teluk Jakarta. Diduga kapal tersebut akan menuju Tanjung Priok.’‘Anak buahku mengkonfirmasi kapal tersebut berisi kurang dari sepuluh awak di antaranya terdapat seorang wanita mengandung. Anak buahku tidak mengenal wanita itu karena wajahnya ditutupi topi berpenutup. Tapi itu sangat mencurigakan.’‘Laporan anak buahku kali ini mereka anggap penting karena sebelumnya Akbar Lesmana tidak pernah membawa wanita keluar pulau, tapi ini malah membawa wanita dengan perut yang besar. Kusarankan kau segera ke sana bagaimana pun caranya. Aku juga akan memerintahkan pasukanku yang berada di sana untuk mengintai pria berbahaya itu.’Itu adalah beberapa pesan dari Sunny, sahabat Adimas yang memiliki koneksi tidak terbatas. Selama ini para anak buah yang ditugaskannya mengintai Akbar Lesmana yang dicurigai berkaitan dengan hilangnya Nissa, tidak mendapatkan informasi apapun ka
8 bulan terlalu begitu cepat. Keadaan sudah tentu sangat banyak mengalami perubahan, baik itu di kota yang ditinggalkan Nissa, atau pulau yang ditempatinya saat ini. Yang tidak berubah hanyalah prinsip Akbar yang tetap memenjarakannya di sana.Seiring berjalannya hari dan perkembangan kehamilan Nissa, Akbar mengisi rumah mereka dengan berbagai alat kesehatan yang canggih. Seperti yang diharapkan, Nissa tidak perlu keluar pulau untuk memeriksakan kandungannya. Karena ia sudah bisa melakukan pemeriksaan ultrasonografi atau USG dengan bantuan Dokter Riza.Sementara itu yang terjadi di kota sana sungguh tidak mungkin dibayangkan oleh Nissa. Meskipun Akbar bolak-balik keluar masuk pulau, tapi ia tidak pernah menyampaikan apapun yang terjadi selama delapan bulan terakhir.Banyak hal yang sudah terjadi di sana seperti, kabar meninggalnya Nyonya Gina karena tidak sanggup menahan beban kerinduan dan kekhawatiran yang besar pada putrinya. Nyonya Gina meninggal tepat setelah empat bulan pencari
Setelah mencoba berdamai dengan keadaan yang tidak bisa ditawar pada Akbar, Nissa menyerah melawan, sekalipun rindu pada rumah dan orang-orang tersayang begitu besar, dan kemarahannya pada Akbar tidak terelakkan.Namun, yang membuatnya tidak ingin berdebat lagi adalah alasan keselamatan orang-orang yang ia sayang, ketika nanti identitas Nissa ditemukan pihak yang memburunya, bukan tidak mungkin keselamatan Dimas dan yang lain akan terancam.Nissa mulai membiasakan hidup sehat untuk bayinya. Ia berhenti mencoba lari dari penjara alam yang dibuatkan Akbar padanya. Ia tidak lagi mencoba berenang dan mengalahkan ombak tengah pantai. Jika pagi, Nissa berjalan sendirian mengelilingi pantai dan setelah lelah, ia duduk di pinggir pantai, menatap kosong ke arah laut yang batasnya tidak terlihat. Jika sudah lelah, ia masuk dan berdiam di meja belajarnya, menulis buku harian yang mungkin suatu saat akan dibaca anaknya.Sedangkan Akbar membiarkan hal itu. Semua yang dilakukan Nissa atau pun yang
Di dalam kamar Nissa, tampak Dokter Riza tengah menambahkan cairan berwarna kuning ke dalam botol infus Nissa. Di sampingnya, ada Akbar hanya diam tidak berkata-kata.Nissa yang masih lemah untuk berdebat juga hanya diam, tidak ingin bertanya pada Akbar tentang orang tuanya dulu. Tapi sekarang hati dan pikirannya merasa ingin terpuaskan dengan berbagai informasi tentang keadaannya sendiri.Saat Dokter Riza terlihat akan pergi, tangannya tertahan oleh Nissa yang memandangnya dengan sedih lalu berkata, “Tolong jelaskan tentang kandungan saya, Dokter.”Akbar yang mengerti terlihat menghela napas berat. Ia pun berpindah duduk, sedikit menggeser agar Dokter Riza duduk di sebelah Nissa.“Maafkan saya karena tidak memberitahukan semua ini pada anda sejak awal. Seperti yang saya sampaikan ke Tuan Akbar sebelumnya, hasil pemeriksaan darah menunjukkan kalau anda positif mengandung, Mbak Nissa.” Dokter Riza menerangkan keadaan yang sebenarnya, “Kira-kira kalau boleh tau, hari pertama haid terakh