Kecelakaan Arul “Mbak tau sendiri kalau malam ibu suka ke kamar mandi. Bakalan repot kalau bawa tiang botol infus kalau nggak ada yang pegangin ibu,” “Lah, kan ada suster? Minta tolong aja gih! Suster itu memang tugasnya bantuin ngerawat pasien. Lagian kamu yakin banget kalau mbak bakalan nggak diusir ibu. Gimana kalau pas lihat mbak, ibu malah marah lagi? Bisa batal pulang besok jadinya!” Nissa menjawab dengan hal yang masuk akal. “Kalau aku bilang dan pamit ke ibu kalau aku mau ambil buku buat ujian, pasti ibu bakalan suruh aku pulang aja buat belajar di rumah. Terus nanti jawabnya sama yang baru Mbak bilang kalau ibu bakalan minta tolong ke suster,” “Mbak kayak nggak tau ibu itu gimana. Aku jamin dua ribu persen kalau ibu nggak bakalan panggil suster dan ngelakuin semuanya sendirian malam-malam gini, dan nggak tidur sampai pagi. Habis itu tekanan darah ibu bisa naik karena kurang tidur. Jadinya, besok batal pulang. Mbak nggak ngerasa alasan aku masuk akal?” “Bener juga, sih…”
“Baik, Dokter, terima kasih atas nasihatnya. Saya ke departemen saya dulu buat ngurus surat izin cuti. Habis itu saya ke ruangan ibu saya,” Nissa menjawab setuju. Ia juga berterima kasih atas bantuan Fandy pada ibunya dan Arul.“Ya, itu baru Nissa yang saya kenal. Kamu nggak usah ke sini lagi tengah malam nanti buat ngecek keadaan adik kamu. Lagian di dalam udah banyak orang, kan? Adik kamu juga nggak boleh dijenguk dulu. Masih dalam pantauan intens kami, jadi kamu tenang aja sambil rawat ibu kamu. Saya masuk dulu, ya. Sampai jumpa besok!”Dokter Fandy kembali masuk ke pintu menuju ruang operasi dengan senyuman yang tidak lekang untuk Nissa.Ya, itu bukan tanpa alasan karena dokter muda itu memiliki perasaan lebih untuk Nissa. Terlebih setelah ia mendengar isu yang tersebar di rumah sakit kalau Nissa dan Zaky sudah putus, dan Zaky sudah semakin intens menunjukkan kedekatannya dengan Dasma. Itu mem
[Lin, kalau Elo udah di darat, kabari gue, ya!]Nissa mengetik satu kalimat pesan pada Novellin dan setelah itu ia meletakkan ponselnya lalu memejamkan mata sejenak.Perawat cantik itu duduk di teras luar lorong rawat bayi, di dekat pos perawat. Ia menikmati embusan semilir angin malam yang tenang, meskipun tidak demikian dengan hatinya.Nissa memang sudah memutuskan untuk mengambil cuti, tapi ia tetap ke gedung perawatan ibu dan anak untuk memastikan keadaan bayi yang berada di inkubator.Entah mengapa wajah bayi-bayi mungil yang baru terlahir ke dunia itu membuat hati Nissa bahagia. Ia merasa sejenak melupakan jati dirinya yang merupakan anak terbuang dari ayahnya, hingga mengantarkan hidup yang berliku baginya. Nissa selalu berharap para bayi di sana akan tumbuh dan sehat serta bahagia bersama orang tua mereka.Tidak menunggu lama, hanya berselang beberapa menit saja setelah N
Di tempat lain, tepatnya di ruang Wakil Presdir Sagala Corporation.“Halo?” nada datar dari Dimas terdengar pada polisi yang meneleponnya saat ini.[Gila aja Elo, ya? Udah balik kampung tapi lupa telepon gue. Memangnya gue udah nggak Elo anggap sama sekali, mentang-mentang Elo udah jadi Presdir Sagala, ha?!]Dimas yang mendengar suara berat pria yang lumayan ia kenali, hanya bisa tersenyum kekeh sambil menaikkan kedua alisnya.“Gue nggak sombong. Cuma kemarin gue pikir Elo udah tinggal di barisan makam pahlawan, Jay,” Dimas menjawab santai dengan nada tenangnya. Tapi yang di seberang sana sudah kebakaran jenggot.Polisi itu bernama Wijaya Ambarita atau lebih akrab dipanggil Jay. Dia adalah sahabat karib Dimas sejak SMA. Itu artinya teman Nissa juga. Jay kini menjabat sebagai Kepala Kepolisian Daerah Bandung, yang malam ini kebetulan ikut dalam razia putih yang dil
“Nissa? Ini beneran Elo, kan?” itu Jay yang berpura-pura baru melihat Nissa. Padahal sejak awal ia sudah melirik Nissa yang datang ke sana dari kejauhan.“Jay? Ngapain Lo di sini? Ketangkep juga?” Nissa langsung mencibir. Entah kenapa Nissa merasa Jay merupakan pelampiasan kekesalan yang baik saat ini. Itu karena di mata Nissa, Jay adalah sosok sahabat yang baik. Hanya saja mereka memang baru kembali bertemu saat ini.“Enak aja, Lo! Mentang-mentang gue cuma pakai kaos biasa gini, terus Elo bilang gue juga ketangkep razia? Gue nggak bajingan banget kayak mereka itu juga kali!” Jay balik mencibir.“Parah banget Lo, Nes. Masa Elo nggak tau kalau gue sekarang udah jadi Kapolsek? Temen apaan Lo, Nes? Sedih gue,” Jay berakting sedih.“Nggak usah lebay, Jay. Akting Lo udah gue hapal luar kepala tau? Gue memang nggak pernah denger kabar temen-temen lain.
“Ya, ini aku. Memangnya siapa lagi yang bakalan biarin kamu jatuh?”Itu Dimas dengan tatapan sayu dan sedih melihat kondisi wanita yang disayanginya. Dan ketika ia melihat ke Zaky yang sedang bergolek di tanah tanpa merasakan sakit karena jatuh, tatapan Dimas berubah nyalang.“Laki-laki yang model beginian yang kamu belain? Cuma karena cowok nggak berguna gini kamu nolak balik sama aku? Cuma karena dia kamu tolak perasaan kamu yang juga rindu aku, Nis?” Dimas begitu geram.“Kamu tau nggak, Nis? Ngelihat kamu sebegini repot dan sakit cuma karena laki-laki nggak guna ini buat aku sakit. Aku nggak sanggup lihat kamu kayak gini. Kamu nggak boleh sedih karena orang lain, Nissa!” Dimas membentak Nissa saat itu.“Jadi aku cuma boleh nangis karena kamu? Itu yang kamu mau bilang, kan? Jangan gila, Dimas. Itu nggak penting banget buat kamu omongin sekarang!” Bent
Dimas yang baru masuk ke dalam mobil langsung menatap Nissa serius tanpa bicara, dan itu membuat kekesalan Nissa terabaikan sejenak, terlebih ketika Dimas yang tetap diam malah memajukan tubuhnya perlahan pada Nissa."Mau apa kamu?" Nissa sedikit panik. Ia takut jika Dimas akan melakukan hal semberono lagi seperti mencuri ciuman tiba-tiba.Dimas tetap diam dan terus menggerus jarak di antara wajah mereka dan itu jelas membuat Nissa gugup."Dimas, jangan macam-macam. Aku bisa teriak biar polisi di luar denger dan tangkap kamu, loh!"Peringatan Nissa tetap tidak membuat Dimas bergeming. Ia terus mendekatkan wajah dan tubuhnya pada Nissa, seakan ia ingin memangsa Nissa bulat-bulat, karena dari pantulan bola mata Dimas, hanya ada wajah Nissa yang cantik.Merasa Dimas saat ini tidak mendengarnya sama sekali, Nissa pasrah meskipun ia tidak mau. Nissa refleks menutup mata dengan ekspresi kakunya.Akan tetapi, ekspresi Nissa yang seperti itu malah langsung membuat Dimas tersenyum geli. Ia tid
Nissa yang merasakan sentuhan bibir dingin menempel di dahinya, mulai membuka mata perlahan. Sesaat ia terdiam sebelum menyadari kalau Dimas sedang memberi kiss padanya.Hati Nissa bahagia sekaligus sakit saat menyadari dunia ketika membuka mata tidaklah seindah mimpi. Ia ingin serakah menerima cinta Dimas yang ia rindukan, tapi tembok penghalang cinta mereka terlalu besar untuk dipanjat.“Aku udah bangun,”Dimas terkesiap mendengar suara Nissa juga pergerakannya. Ia menarik wajahnya dan memosisikan duduknya dengan benar.“Apa aku ganggu tidur kamu? Kalau masih ngantuk, tidur aja lagi,” Dimas bertanya lembut dan sedih, seperti tidak rela kiss curiannya berakhir dalam waktu singkat.“Aku harus kerja, kenapa nggak bangunin aku kalau udah sampai sini?” Nissa berucap lebih tenang dan mulai bersiap untuk turun, tanpa ingin menatap mata Dimas, &rdquo
Hari membosankan di rumah sakit berakhir, hingga tibalah semuanya di hari ini. Tepatnya di hotel bertaraf Internasional milik keluarga Sunny. Saat ini sedang diadakan acara yang meriah tapi itu hanya dihadiri orang-orang tertentu saja, bahkan tidak ada peliput media di sana. Pasalnya, hari ini merupakan hari bahagia Adimas dan Nissa yang sejak awal memang belum mengadakan resepsi pernikahan mereka.Para tamu yang datang tidak hanya dari kalangan pebisnis terdekat saja. Ada juga beberapa petinggi keamanan negara seperti kakek dan keluarga Rama lainnya. Dan juga, beberapa orang dengan penampilan serba hitam yang merupakan kerabat Sunny dan itu jelas bukan orang sembarangan.Tempat resepsi pernikahan dan juga para tamu undangan yang terbuat khusus ini juga atas saran dari Sunny. Itu karena setelah Nissa mengungkapkan apa yang ia dengar dari Akbar tentang identitasnya memiliki ayah yang tidak biasa. Setelah berdiskusi dengan keluarganya, Sunny menyarankan pada Adimas agar istrinya itu ber
Setelah tiba di rumah sakit, Dimas harus menjalani operasi perut dan dirawat intensif. Tiga hari pasca operasi ia dinyatakan koma, tapi syukurlah pada akhirnya ia kembali membuka mata dan bangun. Tepat satu minggu, barulah ia dibolehkan untuk berpindah ke ruang rawat biasa.Selain Jay dan Nyonya Risti, hanya Rama yang terlihat berbolak-balik berada di depan ruangannya. Dan ketika sudah dinyatakan pulih dan bisa dijenguk, Dimas melihat wajah Rama ketika menjenguknya dan itu membuat Dimas tersenyum.Rama yang saat ini sudah lebih baik dan duduk di atas kursi rodanya, duduk di samping ranjang pasien Dimas. "Lo nggak apa-apa, Ram?" tanya Dimas dengan nada pelan, bahkan senyumnya juga terlihat dipaksakan.“Nggak terbalik nih pertanyaannya? Yang lagi rebahan siapa, bro?” Rama menjawab dengan candaan, “Gimana keadaan Lo, Mas? Gue senang lihat Lo bangun. Gue takut karena udah semingguan ini Lo koma dan lemah terus.” Sambungnya mulai berucap sedih.“Gue masih kuat bercanda sama Lo, kok. Tapi
Rama dan Dimas tergeletak tidak berdaya. Keduanya meregang sakit yang tiada tara. Sementara itu Akbar yang sudah bangkit, mendekati mereka dan menambah sakitnya.Seperti manusia tanpa hati, Akbar menendang tubuh Dimas dan Rama berkali-kali seolah keduanya hanyalah sekarung sampah yang wajar ditendang keras untuk menjauh.“Nissa punya aku. Nissa milik aku. Kalian harus mati!” kalimat ini terus Akbar gumamkan dengan ekspresi senyuman yang mengerikan. Ya, itu adalah kepribadian jahatnya yang jelas muncul saat ini.Sambil tertawa dan terus menggumamkan kepemilikannya atas Nissa, Akbar tidak sedikitpun menaruh ampun pada Rama dan Dimas yang setengah mati menahan kesakitan.Ia berhenti menghajar dua pria malang itu untuk memeriksa isi senjata api di tangannya.“Hmm, pas banget pelurunya tinggal dua. Cukup buat bunuh Lo berdua, haha!” tawanya mengejek, “Tapi sebenarnya nggak pakai peluru Lo juga, sebentar lagi Lo pada mati.”“Tapi kayaknya gue nggak mau ambil resiko kalau nanti Lo berdua jad
Di area pergudangan penyimpanan barang bekas perkapalan yang sudah tidak dioperasikan lagi. Di sanalah semua orang berkumpul setelah mengikuti arah laju mobil yang membawa Akbar dan Nissa.Dengan petunjuk yang Jay berikan, Dimas dan Rama tiba di tempat tersebut.“Apa nggak berlebih banget ngepung Akbar sampai beginian?” Rama bertanya dengan ekspresi rumit, “Harusnya kita tanya dulu baik-baik, kan? Karena selama ini gue pribadi nggak punya masalah sama Akbar.” Sambungnya mengutarakan kebimbangan.“Kalau Lo cuma mau tanya doing, ngapain Lo yang heboh pakai acara minta bantuan militer juga?” Dimas mengomentari, “Lagian ngapain dia kabur waktu anggota Jay mau periksa mereka sesuai protokol keamanan? Kalau nggak punya salah, si brengsek itu ngapain lari sampai ke sini?” Dimas memberikan penilaian tepat.“Gue mau turun sekarang!” sambungnya dan langsung turun dari Lamborghini Rama, menuju kerumunan petugas keamanan gabungan di depan sana.“Jay, gimana?” Dimas langsung bertanya pada Jay saat
Akbar baru saja membantu Nissa untuk berpindah langkah dengan hati-hati. Tidak lupa juga ia membenahi jaket tebal dan penutup kepala Nissa agar tidak terkena angin pelabuhan yang berhembus kencang.“Terima kasih.” Nissa berucap singkat dan mulai berjalan. Tapi langkahnya terhenti dan ia menoleh pada Akbar yang diam di belakangnya, “kamu kenapa?” tanyanya.“Ngapain kamu balik lihat aku? Aku cuma pengen lihat punggung kamu waktu jalan. Sama kayak yang kamu lakuin ke aku tiap kali kamu tinggalin aku. Aku mau mastiin perasaan aku kali ini. Kenapa rasanya beda banget kayak gini.” Akbar menjawab dengan senyumnya yang putus asa. Entah mengapa ia merasa kacau dan bimbang, padahal ia sudah membawa Nissa sampai ke daratan ini.Nissa hanya tertegun tidak mengerti. Hatinya juga kacau saat ini. Melangkahkan kakinya lagi di daratan Pulau Jawa itu membuatnya bimbang. Ia ingin sekali kabur dan meminta tolong untuk dijauhkan dari Akbar dan kembali ke Dimas, tapi mengingat kondisinya yang tidak memungk
‘Adimas, aku baru saja mendapatkan informasi tentang kapal asing yang terdaftar dengan nama Akbar Lesmana memasuki perairan Teluk Jakarta. Diduga kapal tersebut akan menuju Tanjung Priok.’‘Anak buahku mengkonfirmasi kapal tersebut berisi kurang dari sepuluh awak di antaranya terdapat seorang wanita mengandung. Anak buahku tidak mengenal wanita itu karena wajahnya ditutupi topi berpenutup. Tapi itu sangat mencurigakan.’‘Laporan anak buahku kali ini mereka anggap penting karena sebelumnya Akbar Lesmana tidak pernah membawa wanita keluar pulau, tapi ini malah membawa wanita dengan perut yang besar. Kusarankan kau segera ke sana bagaimana pun caranya. Aku juga akan memerintahkan pasukanku yang berada di sana untuk mengintai pria berbahaya itu.’Itu adalah beberapa pesan dari Sunny, sahabat Adimas yang memiliki koneksi tidak terbatas. Selama ini para anak buah yang ditugaskannya mengintai Akbar Lesmana yang dicurigai berkaitan dengan hilangnya Nissa, tidak mendapatkan informasi apapun ka
8 bulan terlalu begitu cepat. Keadaan sudah tentu sangat banyak mengalami perubahan, baik itu di kota yang ditinggalkan Nissa, atau pulau yang ditempatinya saat ini. Yang tidak berubah hanyalah prinsip Akbar yang tetap memenjarakannya di sana.Seiring berjalannya hari dan perkembangan kehamilan Nissa, Akbar mengisi rumah mereka dengan berbagai alat kesehatan yang canggih. Seperti yang diharapkan, Nissa tidak perlu keluar pulau untuk memeriksakan kandungannya. Karena ia sudah bisa melakukan pemeriksaan ultrasonografi atau USG dengan bantuan Dokter Riza.Sementara itu yang terjadi di kota sana sungguh tidak mungkin dibayangkan oleh Nissa. Meskipun Akbar bolak-balik keluar masuk pulau, tapi ia tidak pernah menyampaikan apapun yang terjadi selama delapan bulan terakhir.Banyak hal yang sudah terjadi di sana seperti, kabar meninggalnya Nyonya Gina karena tidak sanggup menahan beban kerinduan dan kekhawatiran yang besar pada putrinya. Nyonya Gina meninggal tepat setelah empat bulan pencari
Setelah mencoba berdamai dengan keadaan yang tidak bisa ditawar pada Akbar, Nissa menyerah melawan, sekalipun rindu pada rumah dan orang-orang tersayang begitu besar, dan kemarahannya pada Akbar tidak terelakkan.Namun, yang membuatnya tidak ingin berdebat lagi adalah alasan keselamatan orang-orang yang ia sayang, ketika nanti identitas Nissa ditemukan pihak yang memburunya, bukan tidak mungkin keselamatan Dimas dan yang lain akan terancam.Nissa mulai membiasakan hidup sehat untuk bayinya. Ia berhenti mencoba lari dari penjara alam yang dibuatkan Akbar padanya. Ia tidak lagi mencoba berenang dan mengalahkan ombak tengah pantai. Jika pagi, Nissa berjalan sendirian mengelilingi pantai dan setelah lelah, ia duduk di pinggir pantai, menatap kosong ke arah laut yang batasnya tidak terlihat. Jika sudah lelah, ia masuk dan berdiam di meja belajarnya, menulis buku harian yang mungkin suatu saat akan dibaca anaknya.Sedangkan Akbar membiarkan hal itu. Semua yang dilakukan Nissa atau pun yang
Di dalam kamar Nissa, tampak Dokter Riza tengah menambahkan cairan berwarna kuning ke dalam botol infus Nissa. Di sampingnya, ada Akbar hanya diam tidak berkata-kata.Nissa yang masih lemah untuk berdebat juga hanya diam, tidak ingin bertanya pada Akbar tentang orang tuanya dulu. Tapi sekarang hati dan pikirannya merasa ingin terpuaskan dengan berbagai informasi tentang keadaannya sendiri.Saat Dokter Riza terlihat akan pergi, tangannya tertahan oleh Nissa yang memandangnya dengan sedih lalu berkata, “Tolong jelaskan tentang kandungan saya, Dokter.”Akbar yang mengerti terlihat menghela napas berat. Ia pun berpindah duduk, sedikit menggeser agar Dokter Riza duduk di sebelah Nissa.“Maafkan saya karena tidak memberitahukan semua ini pada anda sejak awal. Seperti yang saya sampaikan ke Tuan Akbar sebelumnya, hasil pemeriksaan darah menunjukkan kalau anda positif mengandung, Mbak Nissa.” Dokter Riza menerangkan keadaan yang sebenarnya, “Kira-kira kalau boleh tau, hari pertama haid terakh