Tepat satu menit sebelum adzan maghrib berkumandang mobil Mas Zamar memasuki pelataran rumah. Aku yang menunggu di kursi teras segera bangkit dan menghampiri Qiara yang turun dengan digendong Mbak Sezha. Putri kesayanganku itu menangis. "Kenapa Mbak?" Dadaku berdenyut nyeri melihat wajah sembab penuh air mata Qiara. Tidak seperti biasanya, aku selalu menanggapi tangisan Qiara dengan santai dan tenang. Bagiku wajar seorang anak kecil menangis karena kesal atau kecewa tidak mendapat apa yang diinginkan. "Kita bicara di dalam." Jawab Mbak Sezha masih dengan mendekap Qiara, tak membiarkanku mengambil alih. "Sudah biar Sezha yang gendong." Ujar Mas Zamar sembari mengelus kepalaku lembut. "Sudah adzan magrib kita bicara habis sholat saja!" lanjutnya lalu menggandeng tangan Aydan yang wajahnya tak kalah muram. Sebenarnya ada apa dengan keempat orang ini? Apa yang sudah dilakukan Mas Aska sampai membuat keceriaan keluargaku memudar. Tak bisakah hanya aku yang terluka tak perlu juga meluk
Pov Shaka. Aku tak henti mengucap syukur karena Tuhan masih memberiku kesempatan untuk bertemu kembali dengan Nafisa, cinta pertamaku. Wanita pertama yang membuatku merasakan jantung berdebar-debar. Dia awal pertemuan dia masih terlihat ramah namun pertemuan selanjutnya wanita itu seperti memberi jarak denganku. Ekspresinya selalu tak nyaman dan menolak setiap niat baik yang kutawarkan. Hingga hari itu aku nekad datang kerumahnya untuk melihat keadaannya paska kecelakaan. Dokter memang mengatakan dia tak papa, tapi entahlah aku begitu khawatir. Hatiku rasanya tak tenang memikirkan keadaan cinta pertamaku itu. Tidak hanya tubuhnya yang sakit namun hatinya pun terluka atas pengkhianatan suaminya. Dari kakak iparnya aku tahu rumah tangga Nafisah sedang di ujung tanduk. Proses perceraiannya yang hanya tinggal menunggu putusan hakim. Hatiku pun prihatin dengan nasibnya yang selalu dikhianati. Namun kalau boleh jujur satu sisi jiwaku pun merasa bahagia andai itu benar. Bukankah artinya
"Apa? Gimana ceritanya?" tanya Rico dengan mata melebar. "Dia memergoki aku tidur dengan cewek lain," jawabku jujur. "Gil*," pekik Rico. "Kukira cupu ternyata suhu. Masih SMA sudah suka main se****ng**, ck.... ck..... Gak nyangka." Rico menggelengkan kepalanya. "Mulutmu bisa di rem dikit gak?" Spontan aku mengarahkan pandanganku ke arah pintu masuk ruang guru yang saat ini jadi tempatku dan Rico mengobrol. Karena jam pelajaran sedang berlangsung jadi hanya tinggal kami berdua di ruangan ini. "Normal dong kalau aku kaget? Secara pria dingin yang terkenal alim seperti kamu ternyata penjahat kelam**,"Plak..... "Awww..... Sakit bro," sentaknya sambil mengelus lengannya yang jadi sasaran kekesalanku. Rasanya stok kesabaranku selalu menipis kalau menghadapi sikap Rico yang ceplas-cepolos. "Ini masih di sekolah. Jaga bicaramu! Sudah jadi bapak juga masih aja ngomongnya sembarangan." Kesal, aku pun mengomelinya. Pria di depanku malah nyengir. "Sorry bro, kelepasan." Katanya sambil meng
Tak peduli dengan tubuhku yang tak berbusana aku mengejar dan mencekal tangannya. Berusaha untuk memberinya penjelasan namun dia menepis dan menatapku jijik. Hari itu aku seperti terjatuh di dasar bumi terdalam. Berkumpul bersama para binatang yang dianggap menjijikan bagi manusia. Tak hanya kehilangan Nafisah, keluargaku pun hancur. Ternyata Gracia merekam semua perbuatan kami. Aku memang bersalah namun tidak seharusnya Gracia melakukan itu. Demi sebuah keegoisan, gadis itu menunjukkan video mesum kami pada orang tuanya juga orang tuaku. Dia berharap kami akan dinikahkan setelah kejadian itu. Nyatanya, orang tuanya tak terima. Mereka menganggap aku tak pantas untuk putri mereka. Tak peduli dengan Gracia yang mengaku hamil. Mereka tetap kekeh untuk menolak jalan damai padahal waktu itu orang tuaku datang ke rumah mereka dengan tujuan untuk mencari jalan terbaik bagi anak-anak remaja mereka yang telah salah pergaulan. Dengan penuh kesombongan Papa Grasia berkata, lebih baik Gracia h
Pov Nafisah. "Emm... itu aku dari pe-pertemuan wali siswa disekolah..." Jawabku seketemunya jawaban di otakku. Pria itu memicingkan matanya. "Jarak sekolah Qiara ke tempat ini itu dua jam lebih. Dan tidak sejalur dengan rumahmu. Kamu sekarang pandai berbohong ya,""Ck.... Kak Shaka itu guru apa polisi ya? Kok sudah kayak sedang interogasi terangka," balasku agak kesal. "Maunya sih jadi imam, tapi untuk sementara ini jadi guru dulu deh. Makmumnya masih di ikat orang." Ih, apa maksudnya coba, aneh. "Setiap kali merasa resah aku selalu datang kesini. untuk mengenang seseorang. Kalau kamu kenapa datang ke sini? Untuk mengenang sesuatu atau seseorang juga?" Tuh kan.... Lama-lama jadi melebar kemana-mana.Kuputar otak, "Oh itu.... tadi aku mampir beli bakso di ujung sana." Ups, aku salah beri alasan. Tanpa sadar kugigit bibir bawahku, segera aku turunkan tanganku yang menunjuk warung bakso di ujung jalan tempat dulu kami sering makan berdua sepulang sekolah.Kulirik pria itu tersenyum j
Emang siapa yang mau memberikannya izin mengajak Qiara. Dan lagi untuk apa Kak Shaka mengucap janji seperti itu? Kalau hanya demi Olimpiade, dia tak harus sampai berjanji seperti itu dengan Qiara. Dasar pemberi harapan palsu.Aku harus berbicara dengan Kak Shaka, biar aku jelaskan jika sikap Qiara padanya hanya pelampiasan dari rasa rindu Qiara pada Mas Aska karena sudah satu bila lebih kami tinggal terpisah. Dulu Qiara sangat dekat dengan Mas Aska. segala hal. selalu ia ceritakan pada Mas Aska lebih dulu dari pada denganku. Setiap pulang kerja pasti ada sesi curhat dari gadis kecil itu pada Ayah kebanggaannya. Tentang pelajaran, temannya dan segala aktivitasnya seharian. Namun kebiasaan itu memudar setelah Mas Aska sering pulang malam. Awalnya Qiara masih dengan sabar menantin ayahnya pulang. Meski kadang respon Mas Aska tidak seperti yang diharapkan. Pria itu beralasan capek dan memintaku untuk menemani Qiara tidur. Seminggu dua minggu sampai hitungan bulan Qiara mulai bosan atau
"Gimana? Bisa kamu jelaskan lagi," pinta Kak Shaka seperti tidak yakin dengan pendengarannya. Pria itu memiringkan tubuhnya menghadapku. Kutarik nafas panjang lalu menghembuskannya perlahan, kuulangi sampai tiga kali sebelum aku kembali bicara. Dan Kak Shaka dengan sabar menungguku kembali bicara. "Aku akan jujur sama Kak Shaka. Seperti yang Kakak tahu ayah Qiara sedang dekat dengan wanita yang rumahnya di depan rumah Kakak." Kak Shaka menganggukkan kepalanya.Kualihkan pandanganku lurus ke depan, sedikit tak nyaman melihat ada rasa iba di tatapannya. "Beberapa kali Qiara sempat melihat dengan matanya sendiri kedekatan ayahnya dengan wanita itu dan putranya. Hal itu membuat dia terluka sehingga aku memilih untuk sementara waktu pisah rumah untuk menjaga agar tidak sering bertemu. Namun dua hari yang lalu Qiara kembali melihat ayahnya dengan wanita itu dan sebuah kejadian membuat Qiara sakit hati... dia berteriak histeris dan setelah kejadian itu Qiara menolak untuk makan minum sampa
Aku sudah bertanya lebih dari tiga kali pada Qiara untuk kesediaanya ikut Olimpiade. Dan gadis kecilku itu menjawab ingin tetap mengikuti acara yang diadakan penprov itu. "Tenang saja Bunda, Qiara juga gak terlalu ingin menang kok, tapi kalau mundur sebelum bertanding kan malu Bunda." Ceriwis Qiara saat kami bicara berdua sebelum tidur. "Seperti kata Bunda, lakukan sebaiknya kalau menang itu rezeki dari Alloh jadi, harus disyukuri dan kalau kalah itu juga ujian dari Alloh dan harus bersyukur dengan memperbaiki diri." "Putri ibu memang pintar dan paling bijaksana." Pujiku yang langsung membuat gadis kecil itu tersenyum lebar menampilkan deretan gigi-giginya yang putih. Sudah lebih dari seminggu ini Qiara sudah kembali ceria. Dan itu karena Kak Shaka. Pria itu benar-benar sudah mencuri hati Qiara. Hampir setiap hari dia datang ke sekolah untuk menjemput Qiara dan membawa gadis kecil itu ke sebuah kafe yang letaknya di daerah universitas negeri kota ini untuk bimbingan. Hampir setia
[Kha, Nafisah mengalami kontraksi. Sepertinya akan melahirkan. Sekarang kami dalam perjalanan menuju ke rumah sakit Harapan Bunda. Kamu cepatlah menyusul.]Pesan dari Sezha yang seketika membuat Shaka panik. Dengan tangan gemetaran dia membereskan buku-bukunya. "Karena saya ada keperluan, tolong kalian kerjakan tugas harian halaman selanjutnya."Segera dia berlari keluar kelas setelah mengucapkan salam. Ruang guru yang ditujunya. Meminta tolong pada piket untuk menggantikan dirinya tiga jam ke depan. "Ada apa?" Geri yang baru masuk ruang guru langsung mengerutkan keningnya. Ada yang tak biasa dengan rekan kerjanya yang satu ini. "Istriku akan melahirkan," jawab Shaka tanpa menoleh ke lawan bicaranya. Yang nnya sibuk memasukkan barang-barangnya ke dalam ransel miliknya. "Katanya masih seminggu lagi, kok jadi sekarang. Dokter gak kompeten," gerutu Shaka sambil bergumam. Geri yang berdiri tak jauh darinya hanya mengulas senyum tipis, seolah melihat dirinya sendiri setahun yang lalu.
Kabar bahagia tidak hanya datang dari keluarga kecil Shaka dan Nafisah. Dari luar pulau pun terdengar kabar yang tak kalah menggembirakan. Kabar dari dua sejoli yang terikat karena keterpaksaan. Arsya dan Kirana sudah mendaftarkan pernikahan mereka ke KUA setempat. Ternyata dalam hitungan bulan cinta itu akhirnya tumbuh di hati keduanya. Pernikahan yang terjadi karena keterpaksaan itu pun kini sudah sah di mata hukum dan agama. "Kehamilan Nafisah benar-benar membawa banyak keberkahan. Banyak berita bahagia setelah hadirnya calon anakmu itu, Kha." komentar Zamar sesat setelah Shaka memberitahu tentang keadaan perkebunan yang semakin baik juga tentang hubungan Arsya dengan Kirana. "Alhamdulillah, Mas benar. Banyak hal baik setelah kehadirannya. Aku benar-benar bersyukur atas anugrah yang Alloh berikan." Shaka pun tak henti-hentinya mengucap syukur atas anugrah yang tidak pernah ia sangka akan diberikan dalam waktu secepat ini. Saat menikahi Nafisah, pria itu tak pernah berani walau
"Kayaknya kamu hamil deh, Naf." Seorang wanita cantik dengan hijab hijau toska berjalan masuk dengan seorang anak kecil di sebelahnya. "Mbak Sezha." Nafisah sedikit kaget melihat kakak iparnya yang tiba-tiba muncul. "Pintu gerbangnya gak dikunci. Nutupnya juga gak bener, jadi kami bisa langsung masuk." Sezha langsung menjelaskan tanpa ditanya. "Tapi aku sudah menguncinya kok," sahut Aydan dengan menepuk dadanya. "Terima kasih Aydan." Shaka mengacungkan dua jempolnya. "Sepertinya istri kamu itu hamil, Ka." Ujar Sezha mengulangi ucapannya tadi. "Beneran, Mbak" tanya Shaka dengan mata berbinar. "Dilihat dari tanda-tandanya sih gitu." Wanita berkulit putih bersih itu meletakkan tasnya diatas meja. Setelahnya memanggil Qiara yang sejak tadi memegangi tangan Bundanya. "Main sama Kak Aydan, ya. Bunda gak papa, sayang...." bujuk Sezha pada gadis kecil yang menampilkan raut wajah sedih. "Tadi Bunda muntah-muntah," jawab Qiara. Mata gadis kecil itu sudah mengembun. Nafisah mengurai s
"Hidup tak selamanya tentang kebahagiaan. Namun terkadang hidup itu tentang menghadapi masalah dengan senyuman dan semangat. Hidup tidak akan lebih baik tanpa masalah tapi akan lebih bijak setelah mengalami banyak ujian."Hari terus bergulir tanpa terasa sudah lima bulan berlalu setelah kembali Shaka dan Nafisah ke Jakarta. Hari-hari mereka lalui selayaknya pasangan pada umumnya. Kadang bermesraan tak jarnah juga berdebat yang diakhiri dengan pengakuan salah dari Shaka. Seminggu sekali Aska akan menjemput Qiara untuk menginap di apartemen laki-laki itu dan satu bulan sekali berkunjung ke rumah kakek dan neneknya yang ada di luar kota. Namun tentu saja mengikuti jadwal kegiatan Qiara yang semakin besar semakin padat dengan Olimpiade dan eskul sekolahnya. "Ya Alloh.... Kak Shaka, kan sudah dibilangin kalah habis mandi handuknya jangan ditaruh di kasur. Tuh.... ada jemuran kecil di balkon," omel Nafisah begitu masuk kamar. Wanita itu baru saja dari kamar putrinya, memastikan gadis kec
Sudah di putuskan, Shaka dan Nafisah akan kembali ke Jakarta segera setelah kepulangan Arsya bersama Kirana. Tak mau menunggu lama satu haribsetalah kepulangan Arsya, suami Nafisah itu pun segera pamit. Sebelum pergi Shaka menyerahkan segala urusan perkebunan kembali pada Arsya. Tak lupa Shaka juga menceritakan tentang tawaran keluarga Gracia yang bersedia menanggung segala kerugian atas perbuatan Gracia dan Hartama yang sengaja berniat merusak citra baik hasil perkebunan milik mereka. "Aku sudah melaporkannya dan wanita itu sudah beberapa kali dipanggil ke kantor polisi namun masih sebagai saksi. Untuk kelanjutannya terserah kamu," ujar Shaka di malam sebelum keberangkatannya. "Silahkan, kamu putuskan sendiri apa yang menurutmu baik untuk perkebunan ini. Mulai hari perkebunan ini sepenuhnya tanggung jawabmu dan aku tidak akan ikut campur lagi. Tapi, jika boleh aku memberi saran, jangan pernah membukakan pintu untuk kucing yang pernah mencuri ikan di rumahmu." Tak bisa di pungkiri
Kak Shaka berdiri membelakangi pintu dengan tatapan mengarah keluar jendela. Pelan aku mendekatinya. Kulihat rahangnya mengeras dengan otot-otot leher menonjol, ekspresi marah yang jarang sekali kulihat. "Mereka sudah pergi," beritahuku namun sampai beberapa menit tak mendapat respon darinya. Mungkin Kak Shaka merasa kesal padaku. Kurasa dia merasa aku membela Gracia. "Gracia meminta maaf. Dia menyesal sudah membuat kekacauan dan merugikan banyak pihak. Katanya dia akan menggangu rugi semuanya." Kusampaikan pesan dari Gracia. Sempat tak percaya namun itulah kebenarannya. Wanita sombong itu benar-benar meminta maaf. Entah tikus atau tidak, yang pasti dia tidak mau keluarga besarnya ikut menanggung hasil perbuatannya. Aku beralih ke sofa tak jauh dari jendela. Dari posisiku saat ini terlihat jelas ekspresi wajah Kak Shaka. Wajahnya memerah dengan dada naik turun. "Semua yang terjadi tentu tak bisa dikembalikan seperti sedia kala. Tapi dengan marah dan menyimpan dendam juga tak bisa
Pov Nafisah."Kesepakatan?" Tak hanya Kak Shaka, aku pun sempat tertegun beberapa saat ketika mendengar ucapan Gracia. Wanita berpakaiannya seksi itu dengan gamblang mengutarakan tujuannya datang menemui kami. Tak ada basa-basi bahkan tanpa membiarkan kami duduk atau sekedar bersalaman. Begitu tak sopannya wanita itu sebagai tamu. Dari ekor mataku, kulihat Kak Shaka tersenyum tipis. Genggamannya yang sempat terlepas kembali ia kaitkan jemarinya pada jemariku. Tangannya terasa dingin, sedingin tatapannya pada ketiga orang tamu yang datang hari ini. "Kesepakatan katamu?" Ulang Kak Shaka lalu tersenyum remeh. "Iya, sebuah kesepakatan yang menguntungkan untukmu." Gracia dengan percaya dirinya. "Ck.... percaya diri sekali," gumam Kak Shaka masih dengan senyum tipisnya. Namun sedetik kemudian tatapan itu berubah sinis tat kala netra hitamnya mengarah pada pria paruh baya yang berdiri tepat di samping Gracia. Pria itu tampak sudah berumur lebih dari 60 tahun, dengan beberapa uban tersel
Nafisah menghela nafas panjang, berbagai pikiran berkecamuk dalam pikirannya. "Menurut Kak Shaka, apa seharusnya aku menyerahkan Qiara pada keluarga aslinya?" Shaka tersentak, tubuhnya kaku karena kaget mendengar ucapan istrinya itu. Matanya melebar dengan bibir terbuka. "Hah....."Entah pikiran dari mana tiba-tiba saja Nafisah ingin menyerahkan Qiara pada keluarga mantan suaminya. Apa dia sudah lupa sekeras apa dirinya memperjuangkan hak asuh gadis kecil itu. "Bukan aku tak sayang lagi padanya. Hanya saja....." Nafisah menunduk tak ingin melanjutkan kalimatnya. Tak ingin suasana menjadi tak nyaman. Helaan nafas terdengar dari mulut Shaka. Meski Nafisah tak mau melanjutkan kalimatnya namun Shaka tahu betul semua masalah karena kehadirannya di sisi Nafisah. "Maaf, jika situasinya jadi memburuk. Aku tak pernah berpikir wanita itu akan muncul lagi. Setelah sekian lama menghilang dan kata-kata Shaka yang membuatku yakin dia tidak akan muncul lagi untuk mengganggu kita." Pelan, Shaka m
Apa yang dilakukan Gracia sangat berdampak pada kepercayaan perusahaan yng selama ini menggantungkan bahan utama produksinya dari perkebunannya milik Shaka. Kwalitas yang buruk membuat banyak perusahaan komplain. Tak sedikit juga yang memutuskan untuk tidak lagi melanjutkan kerja sama dikarenakan selama ini keluhannya tidak pernah mendapatkan respon. Dan itu semua ulah Bimo juga beberapa karyawan yang tidak puas dengan gaji mereka sehingga dengan sadar menerimanya uang dari Gracia dan mengkhianati kepercayaan Arsya. Saat ini Shaka sedang berusaha memperbaiki keadaan. Pemasukan yang menipis dan banyaknya komplain mengharuskannya membayar ganti rugi. Tak mengapa jika hanya minta ganti rugi dan tetap melanjutkan hubungan kerja sama. Rugi sedikit asalkan tetap berjalan, itu sudah merupakan keberuntungan bagi Shaka. Sudah seminggu ini Shaka berkeliling dari perusahaan satu ke perusahaan yang lain untuk meminta maaf dan meminta kesempatan kedua untuk tetap menjadi pemasok kelapa sawit bag