Pov Aska. Tepat pukul setengah dua belas siang, aku berangkat untuk menjemput Qiara dari sekolahnya. Sejak keluar apartemen sampai di perjalanan jantungku berdebar-debar membayangkan reaksi Qiara nanti saat bertemu denganku.Setahuku gadis kecil itu pulang pukul 12 siang. Selama ini Nafisah yang mengantar jemput Qiara. Hanya dua atau tiga kali aku menjemput Qiara ketika Nafisah sakit dan aku terpaksa mengambil cuti. Dulu Qiara begitu bahagia melihat aku yang menjemputnya. Gadis kecil itu bahkan mengenalkan aku pada teman-temannya. Semoga kali ini reaksinya masih sama seperti dulu. Setelah perjalanan selama dua puluh menit kendaraanku pun sampai di depan sebuah sekolah dasar negeri yang sudah begitu ramai dengan motor dan mobil para penjemput yang berjajar didepan pagar. Kuparkir kendaraan roda empatku sedikit jauh dari pintu gerbang. Setelahnya aku turun dan berjalan sedikit mendekati pintu gerbang supaya tidak terlewat saat Qiara keluar. Di sekolah ini para penjemput tidak diizi
Pov Nafisah. "Naf," panggil Tiara, "Aska telpon. Katanya mau bicara sama kamu." Masih dengan memakai celemek wanita berhijab itu muncul dari dapur dengan membawa centong sayur ditangan kiri dan ponsel di tangan kanannya. "Sudah biar diterusin Siti. Kayaknya penting," lanjutnya sambil mengulurkan ponselnya ke depanku.Tak langsung ku terima, lebih dulu aku mengelap tanganku dengan serbet untuk menghilangkan bekas bumbu dan minyak dari makan yang Sedang aku packing. "Maaf, ya Sit," ucapku sedikit tak enak meninggalkan Siti melanjutkan pekerjaan sendirian. "Gak papa Mbak, cuma tinggal dikit," jawab gadis 20 tahun itu. "Kenapa dia nelpon kamu?" tanyaku dengan suara berbisik. "Katanya dia nelpon kamu tapi gak bisa. Makanya dia nelpon aku." Jelasnya kembali menyodorkan ponsel yang sudah terhubung. Kuhela nafas panjang menghalau rasa yang harusnya sudah tak ada untuk laki-laki yang sudah menjadi masa laluku itu. [Ass.......] Salamku terputus oleh rentetan kalimat dari seseorang diseb
Selesai sholat magrib aku dan Qiara makan malam berdua. Sudah dua bulan ini kami kembali pulang ke rumahku. Sembari makan aku mendengarkan dan sesekali menimpali cerita Qiara tentang sekolah dan teman-temannya. Selesai makan malam, aku langsung mencuci oiriang dan bekas masak tadi. Sedangkan Qiara langsung mengambil buku-bukunya dan mengerjakan PR di sofa ruang tengah sambil menemaniku menyelesaikan pekerjaan rumah tangga. aKetukan di pintu depan terdengar cukup keras. "Bun, itu pasti Om Shaka." Gadis itu turun dari sofa. "Biar aku yang buka," katanya hendak berlari. "Tunggu Sayang....." cegahku dan segera mengelap tanganku yang basah setelah meletakkan piring terakhir di rak. "Biar Bunda lihat dulu takutnya itu bukan Om Shaka. Kita tidak boleh ceroboh saat menerima tamu." Kataku lalu berjalan menuju pintu. Rumah kami dilengkapi pagar dan pintu gerbang dan seingatku aku sudah mengunci pintu gerbang. Seharusnya jika ada tamu dia memencet bel di pagar bukan mengetuk pintu rumah. A
Pov Aska. "Aku tidak meninggalkan kalian, tapi kamu yang mengusirku." Entah mengapa kalimat itu yang keluar dari mulutmu. Bukan kata maaf tapi malah membela diri. Nafisah yang berurai air mata langsung menatapku dengan tersenyum sinis. Di usapnya kasar kedua pipinya yang basah. Tatapannya berubah tajam, seolah sedang membidik ku dan itu membuatku merinding."Masih tetap ingin berlagak bodoh? Atau memang seangkuh itu seorang Aska Rahardian? Kesalahan yang sudah nyata didepan mata masih juga ingin kau ingkari. Sampai kapan kamu akan berlagak bodoh seperti ini? Jangan membuatku menyesal karena pernah sangat mencintaimu yang ternyata hanya seorang pecundang sejati."Jleb.... Kalimat Nafisah terasa menusuk tepat ditengah jantungku lalu mengoyaknya tanpa ampun Hingga membuatku merasakan sakit yang teramat perih. Reflek aku menekan dadaku yang mendadak terasa sesak. Membuatku sulit untuk bernafas. "Harga diri yang selalu kamu banggakan itu telah kamu coreng sendiri dengan perselingkuhanm
Baru saja aku menginjakkan kaki di teras rumah, Vania susah langsung menyambutku dengan berbagai keluhan. "Mas, dari mana saja sih? Susah banget sekarang dihubunginya." Wanita dengan dress selutut itu merengut kesal. "Setiap pagi aku jadi telat ke kantor gara-gara harus anter Jordan dulu, pakai ojek online lagi. Panas dan banyak debu Mas. Kulitku jadi sedikit kusam." Dia mengomel seolah semua yang dialaminya adalah kesalahanku. "Mas, kok diam saja sih?" tanyanya dengan mata memicing. "Mas, sudah bosen sama aku, ya?" Spontan aku mendengus kasar, lelah sekali menghadapi wanita ini. "Aku capek, banyak kerjaan di kantor." "Oh... Kirain." Wanita yang selalu modis itu mendekat. "Makanya Mas, jangan kerja terus. Kita juga harus refreshing untuk menghilangkan penat. Bagaimana kalau mingu besok kita liburan ke luar kota?" Wajahnya makin terlihat cantik ketika sedang merayu. Mungkin itulah yang membuatku tak bisa menolak setiap permintaannya. Namun sekarang berbeda, aku sudah tidak bisa m
"Maaf, Om, Tante. Saya masih belum memikirkan tentang pernikahan. Sepertinya ada kesalahpahaman antara saya dan Vania," jawabku. Kali ini aku harus tegas menunjukkan sikap. "Seperti yang Vania ketahui, saya baru saja bercerai dengan mantan istri saya. Apalagi saat ini kondisi keuangan saya juga sedang tidak stabil. Jangankan tabungan, rumah pun tak ada. Untuk sementara saya tinggal di apartemen kecil yang saya sewa bulanan." Lanjutku yang langsung membuat dua paruh baya itu terkejut. "Loh, gimana sih?" Tante Tari menoleh pada Vania yang duduk satu sofa dengannya dan Om Prayoga. "Mas..." Kembali Vania mendelik padaku."Aku belum siap menikah Van, kamu tahu kan kondisiku saat ini? Aku tidak punya rumah. Tabunganku juga habis buat nyenengin kamu dan Jordan. Memangnya kamu mau tinggal di apartemen kecil yang kusewa?" tanyaku. Wanita cantik itu menghela nafas, "Aku sih gak papa Mas, kalau memang kamu bisanya ngasih tempat tinggal di apartemen itu...." Kutatap netra bening itu lekat, men
"Kamu Shaka kan?" tanya Aska tanpa basa-basi. Dan Shaka pun menganggukkan kepala sebagai jawaban. "Jadi kamu sudah mengenalku sejak lama? Apa kamu yang memberikan video dan fotoku bersama Vania kepada Nafisah?" Shaka tersenyum tipis sambil menggelengkan kepalanya. "Untuk apa aku repot-repot melakukan itu?""Untuk mendapatkan Nafisah pastinya. Tidak mungkin seorang lelaki dewasa tanpa alasan mendekati bocah kelas 3 SD jika tak punya tujuan tertentu." Balas Aska dengan tatapan sinis. "Tidak sepenuhnya salah," jawab Shaka sambil melipat kedua tangannya di depan dada. "Tapi untuk masalah Video dan foto, bukan saya." "Bohong, pasti kamu orangnya. Rumahmu dan Vania berhadapan. Pasti kamu yang telah merekam kamu dan memberikannya pada Nafisah."Shaka terkekeh, tuduhan Aska hanya berdasarkan angan-angan tanpa bukti yang jelas. " Saya bukan pengangguran yang tak punya pekerjaan sehingga punya banyak waktu untuk jadi penguntit." "Kalau bukan kamu siapa?" Suara Aska naik satu oktaf. Emosi su
"Ayo kita menikah!!" Pria berkulit sawo matang itu tersenyum sambil menopang dagunya dengan satu tangan menatap Nafisah."Uhuk.....uhuk......" Nafisah yang baru menyeruput minumannya langsung tersedak dan terbatuk-batuk. "Astaga.... Naf.... baru diajak nikah aja sudah groginya minta ampun sampai tersedak begitu, apalagi nikah beneran. Mungkin kamu bakalan pingsan." Shaka mengambilkan tisu dan menepuk pelan pundak Nafisah. "Angkat tanganya Bun," pekik Qiara ikut bereaksi. Nafisah yang bingung dan masih dalam kondisi kaget pun hanya pasrah saat Shaka mengangkat tangan kirinya keatas. "Nah gitu," gadis kecil itu pun mengacungkan jempolnya. "Kenapa harus diangkat tangannya Bunda?" tanya Nafisah setelah batuknya mereda. "Gk tahu. Kata Pak Shaka kalau tersedak suruh gitu." Dengan polosnya Qiara menunjuk Shaka. Sontak Nafisah melempar lirikan tajam pada pria di sampingnya. "Salah ya? Katanya sih gitu, maaf kalau salah." Pria berkemeja batik khas guru itu menunjukkan wajah memelas. N