Baru saja aku menginjakkan kaki di teras rumah, Vania susah langsung menyambutku dengan berbagai keluhan. "Mas, dari mana saja sih? Susah banget sekarang dihubunginya." Wanita dengan dress selutut itu merengut kesal. "Setiap pagi aku jadi telat ke kantor gara-gara harus anter Jordan dulu, pakai ojek online lagi. Panas dan banyak debu Mas. Kulitku jadi sedikit kusam." Dia mengomel seolah semua yang dialaminya adalah kesalahanku. "Mas, kok diam saja sih?" tanyanya dengan mata memicing. "Mas, sudah bosen sama aku, ya?" Spontan aku mendengus kasar, lelah sekali menghadapi wanita ini. "Aku capek, banyak kerjaan di kantor." "Oh... Kirain." Wanita yang selalu modis itu mendekat. "Makanya Mas, jangan kerja terus. Kita juga harus refreshing untuk menghilangkan penat. Bagaimana kalau mingu besok kita liburan ke luar kota?" Wajahnya makin terlihat cantik ketika sedang merayu. Mungkin itulah yang membuatku tak bisa menolak setiap permintaannya. Namun sekarang berbeda, aku sudah tidak bisa m
"Maaf, Om, Tante. Saya masih belum memikirkan tentang pernikahan. Sepertinya ada kesalahpahaman antara saya dan Vania," jawabku. Kali ini aku harus tegas menunjukkan sikap. "Seperti yang Vania ketahui, saya baru saja bercerai dengan mantan istri saya. Apalagi saat ini kondisi keuangan saya juga sedang tidak stabil. Jangankan tabungan, rumah pun tak ada. Untuk sementara saya tinggal di apartemen kecil yang saya sewa bulanan." Lanjutku yang langsung membuat dua paruh baya itu terkejut. "Loh, gimana sih?" Tante Tari menoleh pada Vania yang duduk satu sofa dengannya dan Om Prayoga. "Mas..." Kembali Vania mendelik padaku."Aku belum siap menikah Van, kamu tahu kan kondisiku saat ini? Aku tidak punya rumah. Tabunganku juga habis buat nyenengin kamu dan Jordan. Memangnya kamu mau tinggal di apartemen kecil yang kusewa?" tanyaku. Wanita cantik itu menghela nafas, "Aku sih gak papa Mas, kalau memang kamu bisanya ngasih tempat tinggal di apartemen itu...." Kutatap netra bening itu lekat, men
"Kamu Shaka kan?" tanya Aska tanpa basa-basi. Dan Shaka pun menganggukkan kepala sebagai jawaban. "Jadi kamu sudah mengenalku sejak lama? Apa kamu yang memberikan video dan fotoku bersama Vania kepada Nafisah?" Shaka tersenyum tipis sambil menggelengkan kepalanya. "Untuk apa aku repot-repot melakukan itu?""Untuk mendapatkan Nafisah pastinya. Tidak mungkin seorang lelaki dewasa tanpa alasan mendekati bocah kelas 3 SD jika tak punya tujuan tertentu." Balas Aska dengan tatapan sinis. "Tidak sepenuhnya salah," jawab Shaka sambil melipat kedua tangannya di depan dada. "Tapi untuk masalah Video dan foto, bukan saya." "Bohong, pasti kamu orangnya. Rumahmu dan Vania berhadapan. Pasti kamu yang telah merekam kamu dan memberikannya pada Nafisah."Shaka terkekeh, tuduhan Aska hanya berdasarkan angan-angan tanpa bukti yang jelas. " Saya bukan pengangguran yang tak punya pekerjaan sehingga punya banyak waktu untuk jadi penguntit." "Kalau bukan kamu siapa?" Suara Aska naik satu oktaf. Emosi su
"Ayo kita menikah!!" Pria berkulit sawo matang itu tersenyum sambil menopang dagunya dengan satu tangan menatap Nafisah."Uhuk.....uhuk......" Nafisah yang baru menyeruput minumannya langsung tersedak dan terbatuk-batuk. "Astaga.... Naf.... baru diajak nikah aja sudah groginya minta ampun sampai tersedak begitu, apalagi nikah beneran. Mungkin kamu bakalan pingsan." Shaka mengambilkan tisu dan menepuk pelan pundak Nafisah. "Angkat tanganya Bun," pekik Qiara ikut bereaksi. Nafisah yang bingung dan masih dalam kondisi kaget pun hanya pasrah saat Shaka mengangkat tangan kirinya keatas. "Nah gitu," gadis kecil itu pun mengacungkan jempolnya. "Kenapa harus diangkat tangannya Bunda?" tanya Nafisah setelah batuknya mereda. "Gk tahu. Kata Pak Shaka kalau tersedak suruh gitu." Dengan polosnya Qiara menunjuk Shaka. Sontak Nafisah melempar lirikan tajam pada pria di sampingnya. "Salah ya? Katanya sih gitu, maaf kalau salah." Pria berkemeja batik khas guru itu menunjukkan wajah memelas. N
Pukul 7 pagi Shaka sudah berdiri di depan pintu gerbang rumah Nafisah. Dengan wajah memelas pria itu meminta sarapan. "Aku bahkan tak sempat sarapan karena tak sabar ingin menjemput kalian," tuturnya sendu begitu Nafisah membuka pintu."Silahkan tunggu di kursi teras, akan aku ambilkan makanan. Tapi seadanya Ya!" kata Nafisah. "Bahkan jika kamu memberiku nasi dan garam aku akan memakannya dengan senang hati," jawab Shaka yang langsung membuat Nafisah memutar matanya jengah. "Selamat pagi Pak Shaka," sapa Qiara. Bocah kecil itu sudah rapi dengan jaket dan celana jeans juga topi khas untuk dipakai saat cuaca dingin. "Wah... cantik banget." Puji Shaka. "Tapi sayang panggilannya kok kurang enak di dengar." Lanjutnya dengan ekspresi sedih. "Disuruh Bunda, katanya mulai sekarang harus panggil Om Shaka dengan panggilan 'Pak' dimanapun dan kapanpun." Bisikan gadis kecil itu sambil sesekali melirik kearah pintu ruang tamu takut jika Bundanya tiba-tiba muncul. "Oh...." Shaka mengangguk. Ti
"Mungkin sekarang umurnya sudah 12 tahun ya Kak?" Nafisah menatap tajam Shaka yang hanya diam. Pria itu menundukkan kepadanya yang membuat Nafisah geram. Kediaman pria itu dianggap sebagai bentuk sikap pengecut Shaka yang tak berani mengakui kesalahannya. Suasana menjadi canggung, empat orang dewasa itu orang diam. Yang terdengar hanya decapan yang berasal dari dua bocah yang sedang asyik mengunyah pizza. "A..." Zamar segera menyentuh punggung tangan istrinya saat wanita itu ingin kembali bertanya.Bagi Zamar, dirinya tidak punya hak untuk marah karena kejadian itu sudah masa lalu. Meski Shaka bersalah karena meniduri temannya saat masih berpacaran dengan Nafisah namun kesalahan itu tidak sebesar kesalahan Aska mengkhianati pernikahannya. "Tidak, aku belum punya anak." Akhirnya Shaka pun bersuara setelah lama terdiam. Nafisah langsung menghentikan gerakan tangannya yang menyuapi Qiara. "Tidak," ulangnya dengan tatapan sinis. "Apa menurutmu Gracia berbohong dan sedang berhalusinas
"Mak-maksudnya gimana?" Nafisah mendadak gagap. Shaka menurunkan tangannya yang dengan lancang memegangi pergelangan tangan Nafisah. Perlahan beralih menggenggam kedua telapak tangan wanita itu. Tanganya sedikit gemetar takut jika Nafisah memukul-mukul tangannya sendiri seperti dulu. Ya, Shaka trauma dengan sikap histeris dan jijik Nafisah pada dirinya. "Gracia berbohong." Katanya tegas. "Dia ingin merusak hubungan kita karena itu dia mengaku hamil.""Jadi dia gak hamil?" tanya Nafisah yang di jawab gelengan oleh Shaka. "Astagfirullah...," pekik Nafisah sambil menundukkan kepalanya. Itu artinya dirinya sudah benar-benar menyebarkan fitnah yang Gracia ucapkan. Pikiran yang masih labil ditambah kemarahan terhadap Shaka membuatnya tak bisa menjaga omongan ketika teman-temannya membela Shaka. Sebenarnya Nafisah tidak berniat menjelekkan Shaka namun saat itu dia tidak terima beberapa teman membela Shaka dan mengatakan Nafisah kekanakan karena tidak mau memaafkan Shaka. Yang teman-tema
Pov Shaka. "Kalau begitu kamu juga harus bertanggung jawab." Aku mencoba untuk memanfaatkan situasi. "Maksudnya, aku harus bertanggung jawab sama Kak Shaka?" tanya Nafisah dengan raut bingung dan takut. Terkadang omongannya memang pedas tapi semua orang pasti bisa merasakan kalau hatinya sangat lembut. "Ya." Kuanggukkan kepala, mempertegas jawabanku. Kepolosannya dulu tidak perlu aku tanggapi terlalu serius. Saat itu dia masih muda dan sedang dalam keadaan sakit hati. Tentu normal baginya membela diri dan secara tidak langsung menyebarkan berita yang tidak sepenuhnya dusta itu. "Tanggung jawab yang seperti apa yang Kak Shaka masksud?" Matanya memicing. Kembali pada mode judesnya. "Ya, kamu punya dosa sama aku karena menyebarkan sesuatu yang belum tentu kebenaran. Meski ada yang benar tapi kebohongan Gracia juga membuat bencana untukku. Dan kamu ikut menyebarkannya." "Bencana apa?" sahutnya cepat, rautnya kini berubah khawatir. Jika melihatnya seperti ini aku jadi tak tega. "Ak
[Kha, Nafisah mengalami kontraksi. Sepertinya akan melahirkan. Sekarang kami dalam perjalanan menuju ke rumah sakit Harapan Bunda. Kamu cepatlah menyusul.]Pesan dari Sezha yang seketika membuat Shaka panik. Dengan tangan gemetaran dia membereskan buku-bukunya. "Karena saya ada keperluan, tolong kalian kerjakan tugas harian halaman selanjutnya."Segera dia berlari keluar kelas setelah mengucapkan salam. Ruang guru yang ditujunya. Meminta tolong pada piket untuk menggantikan dirinya tiga jam ke depan. "Ada apa?" Geri yang baru masuk ruang guru langsung mengerutkan keningnya. Ada yang tak biasa dengan rekan kerjanya yang satu ini. "Istriku akan melahirkan," jawab Shaka tanpa menoleh ke lawan bicaranya. Yang nnya sibuk memasukkan barang-barangnya ke dalam ransel miliknya. "Katanya masih seminggu lagi, kok jadi sekarang. Dokter gak kompeten," gerutu Shaka sambil bergumam. Geri yang berdiri tak jauh darinya hanya mengulas senyum tipis, seolah melihat dirinya sendiri setahun yang lalu.
Kabar bahagia tidak hanya datang dari keluarga kecil Shaka dan Nafisah. Dari luar pulau pun terdengar kabar yang tak kalah menggembirakan. Kabar dari dua sejoli yang terikat karena keterpaksaan. Arsya dan Kirana sudah mendaftarkan pernikahan mereka ke KUA setempat. Ternyata dalam hitungan bulan cinta itu akhirnya tumbuh di hati keduanya. Pernikahan yang terjadi karena keterpaksaan itu pun kini sudah sah di mata hukum dan agama. "Kehamilan Nafisah benar-benar membawa banyak keberkahan. Banyak berita bahagia setelah hadirnya calon anakmu itu, Kha." komentar Zamar sesat setelah Shaka memberitahu tentang keadaan perkebunan yang semakin baik juga tentang hubungan Arsya dengan Kirana. "Alhamdulillah, Mas benar. Banyak hal baik setelah kehadirannya. Aku benar-benar bersyukur atas anugrah yang Alloh berikan." Shaka pun tak henti-hentinya mengucap syukur atas anugrah yang tidak pernah ia sangka akan diberikan dalam waktu secepat ini. Saat menikahi Nafisah, pria itu tak pernah berani walau
"Kayaknya kamu hamil deh, Naf." Seorang wanita cantik dengan hijab hijau toska berjalan masuk dengan seorang anak kecil di sebelahnya. "Mbak Sezha." Nafisah sedikit kaget melihat kakak iparnya yang tiba-tiba muncul. "Pintu gerbangnya gak dikunci. Nutupnya juga gak bener, jadi kami bisa langsung masuk." Sezha langsung menjelaskan tanpa ditanya. "Tapi aku sudah menguncinya kok," sahut Aydan dengan menepuk dadanya. "Terima kasih Aydan." Shaka mengacungkan dua jempolnya. "Sepertinya istri kamu itu hamil, Ka." Ujar Sezha mengulangi ucapannya tadi. "Beneran, Mbak" tanya Shaka dengan mata berbinar. "Dilihat dari tanda-tandanya sih gitu." Wanita berkulit putih bersih itu meletakkan tasnya diatas meja. Setelahnya memanggil Qiara yang sejak tadi memegangi tangan Bundanya. "Main sama Kak Aydan, ya. Bunda gak papa, sayang...." bujuk Sezha pada gadis kecil yang menampilkan raut wajah sedih. "Tadi Bunda muntah-muntah," jawab Qiara. Mata gadis kecil itu sudah mengembun. Nafisah mengurai s
"Hidup tak selamanya tentang kebahagiaan. Namun terkadang hidup itu tentang menghadapi masalah dengan senyuman dan semangat. Hidup tidak akan lebih baik tanpa masalah tapi akan lebih bijak setelah mengalami banyak ujian."Hari terus bergulir tanpa terasa sudah lima bulan berlalu setelah kembali Shaka dan Nafisah ke Jakarta. Hari-hari mereka lalui selayaknya pasangan pada umumnya. Kadang bermesraan tak jarnah juga berdebat yang diakhiri dengan pengakuan salah dari Shaka. Seminggu sekali Aska akan menjemput Qiara untuk menginap di apartemen laki-laki itu dan satu bulan sekali berkunjung ke rumah kakek dan neneknya yang ada di luar kota. Namun tentu saja mengikuti jadwal kegiatan Qiara yang semakin besar semakin padat dengan Olimpiade dan eskul sekolahnya. "Ya Alloh.... Kak Shaka, kan sudah dibilangin kalah habis mandi handuknya jangan ditaruh di kasur. Tuh.... ada jemuran kecil di balkon," omel Nafisah begitu masuk kamar. Wanita itu baru saja dari kamar putrinya, memastikan gadis kec
Sudah di putuskan, Shaka dan Nafisah akan kembali ke Jakarta segera setelah kepulangan Arsya bersama Kirana. Tak mau menunggu lama satu haribsetalah kepulangan Arsya, suami Nafisah itu pun segera pamit. Sebelum pergi Shaka menyerahkan segala urusan perkebunan kembali pada Arsya. Tak lupa Shaka juga menceritakan tentang tawaran keluarga Gracia yang bersedia menanggung segala kerugian atas perbuatan Gracia dan Hartama yang sengaja berniat merusak citra baik hasil perkebunan milik mereka. "Aku sudah melaporkannya dan wanita itu sudah beberapa kali dipanggil ke kantor polisi namun masih sebagai saksi. Untuk kelanjutannya terserah kamu," ujar Shaka di malam sebelum keberangkatannya. "Silahkan, kamu putuskan sendiri apa yang menurutmu baik untuk perkebunan ini. Mulai hari perkebunan ini sepenuhnya tanggung jawabmu dan aku tidak akan ikut campur lagi. Tapi, jika boleh aku memberi saran, jangan pernah membukakan pintu untuk kucing yang pernah mencuri ikan di rumahmu." Tak bisa di pungkiri
Kak Shaka berdiri membelakangi pintu dengan tatapan mengarah keluar jendela. Pelan aku mendekatinya. Kulihat rahangnya mengeras dengan otot-otot leher menonjol, ekspresi marah yang jarang sekali kulihat. "Mereka sudah pergi," beritahuku namun sampai beberapa menit tak mendapat respon darinya. Mungkin Kak Shaka merasa kesal padaku. Kurasa dia merasa aku membela Gracia. "Gracia meminta maaf. Dia menyesal sudah membuat kekacauan dan merugikan banyak pihak. Katanya dia akan menggangu rugi semuanya." Kusampaikan pesan dari Gracia. Sempat tak percaya namun itulah kebenarannya. Wanita sombong itu benar-benar meminta maaf. Entah tikus atau tidak, yang pasti dia tidak mau keluarga besarnya ikut menanggung hasil perbuatannya. Aku beralih ke sofa tak jauh dari jendela. Dari posisiku saat ini terlihat jelas ekspresi wajah Kak Shaka. Wajahnya memerah dengan dada naik turun. "Semua yang terjadi tentu tak bisa dikembalikan seperti sedia kala. Tapi dengan marah dan menyimpan dendam juga tak bisa
Pov Nafisah."Kesepakatan?" Tak hanya Kak Shaka, aku pun sempat tertegun beberapa saat ketika mendengar ucapan Gracia. Wanita berpakaiannya seksi itu dengan gamblang mengutarakan tujuannya datang menemui kami. Tak ada basa-basi bahkan tanpa membiarkan kami duduk atau sekedar bersalaman. Begitu tak sopannya wanita itu sebagai tamu. Dari ekor mataku, kulihat Kak Shaka tersenyum tipis. Genggamannya yang sempat terlepas kembali ia kaitkan jemarinya pada jemariku. Tangannya terasa dingin, sedingin tatapannya pada ketiga orang tamu yang datang hari ini. "Kesepakatan katamu?" Ulang Kak Shaka lalu tersenyum remeh. "Iya, sebuah kesepakatan yang menguntungkan untukmu." Gracia dengan percaya dirinya. "Ck.... percaya diri sekali," gumam Kak Shaka masih dengan senyum tipisnya. Namun sedetik kemudian tatapan itu berubah sinis tat kala netra hitamnya mengarah pada pria paruh baya yang berdiri tepat di samping Gracia. Pria itu tampak sudah berumur lebih dari 60 tahun, dengan beberapa uban tersel
Nafisah menghela nafas panjang, berbagai pikiran berkecamuk dalam pikirannya. "Menurut Kak Shaka, apa seharusnya aku menyerahkan Qiara pada keluarga aslinya?" Shaka tersentak, tubuhnya kaku karena kaget mendengar ucapan istrinya itu. Matanya melebar dengan bibir terbuka. "Hah....."Entah pikiran dari mana tiba-tiba saja Nafisah ingin menyerahkan Qiara pada keluarga mantan suaminya. Apa dia sudah lupa sekeras apa dirinya memperjuangkan hak asuh gadis kecil itu. "Bukan aku tak sayang lagi padanya. Hanya saja....." Nafisah menunduk tak ingin melanjutkan kalimatnya. Tak ingin suasana menjadi tak nyaman. Helaan nafas terdengar dari mulut Shaka. Meski Nafisah tak mau melanjutkan kalimatnya namun Shaka tahu betul semua masalah karena kehadirannya di sisi Nafisah. "Maaf, jika situasinya jadi memburuk. Aku tak pernah berpikir wanita itu akan muncul lagi. Setelah sekian lama menghilang dan kata-kata Shaka yang membuatku yakin dia tidak akan muncul lagi untuk mengganggu kita." Pelan, Shaka m
Apa yang dilakukan Gracia sangat berdampak pada kepercayaan perusahaan yng selama ini menggantungkan bahan utama produksinya dari perkebunannya milik Shaka. Kwalitas yang buruk membuat banyak perusahaan komplain. Tak sedikit juga yang memutuskan untuk tidak lagi melanjutkan kerja sama dikarenakan selama ini keluhannya tidak pernah mendapatkan respon. Dan itu semua ulah Bimo juga beberapa karyawan yang tidak puas dengan gaji mereka sehingga dengan sadar menerimanya uang dari Gracia dan mengkhianati kepercayaan Arsya. Saat ini Shaka sedang berusaha memperbaiki keadaan. Pemasukan yang menipis dan banyaknya komplain mengharuskannya membayar ganti rugi. Tak mengapa jika hanya minta ganti rugi dan tetap melanjutkan hubungan kerja sama. Rugi sedikit asalkan tetap berjalan, itu sudah merupakan keberuntungan bagi Shaka. Sudah seminggu ini Shaka berkeliling dari perusahaan satu ke perusahaan yang lain untuk meminta maaf dan meminta kesempatan kedua untuk tetap menjadi pemasok kelapa sawit bag