Bella mengusap air matanya yang sudah meluncur membasahi pipinya. "Tetep aja kamu lebih pentingin perusahaan daripada aku. Perusahaan nggak bakal ngerasain sakit kalau dipandang rendah, perusahaan nggak bisa nangis, perusahaan juga nggak bakal sedih kalau image-nya jelek. Tapi aku? Aku manusia, Ray. Kamu tahu, hari ini kamu udah nyakitin aku. Nyakitin aku buat yang kedua kalinya, bahkan sekarang semua orang tahu.""....""Apa sih, yang kamu pikirin sebenernya? Apa kamu nggak mikirin gimana perasaan aku? Kenapa sih, kamu kayak gini? Apa menurut kamu, aku ini nggak pantes jadi pacar kamu sampai-sampai kamu nutup-nutupin hubungan kita? Apa segitu takutnya kamu, ngadepin masalah kayak gini cuma demi menjaga nama baik perusahaan kamu?"Rayhan tetap diam, berusaha tidak menatap wajah Bella yang sedang menangis. Dia menatap ke mana pun asal bukan ke tempat Bella. Untuk kali ini menghindari kontak mata dengan Bella seolah wajib dia lakukan agar dia tidak goyah akan keputusan yang sudah diambil
"Kamu kenapa sih, kayak gini? Apa sebenernya bukan ini yang kamu harepin dari aku?" tanya Bella tak habis mengerti dengan sikap Rayhan akhir-akhir ini padanya.Rayhan tidak menjawab."Terus apa yang kamu mau?""Kamu pulang aja. Kamu nggak bawa mobil, kan? Minta Mike buat anterin kamu." Rayhan berjalan ke atas. "MIKE, ANTERIN BELLA PULANG!"Mike yang ternyata diam-diam menguping pembicaraan mereka dari atas, langsung saja pergi sebelum Rayhan melihatnya. Dia masuk ke kamarnya dan menutup pintu kamar pelan-pelan tanpa ada suara. Wajahnya terlihat tegang, takut kepergok menguping.Bella berjalan keluar rumah dengan menangis. Mungkin tadi maksud Bella tidak bawa mobil, karena nanti pulangnya akan diantar oleh Rayhan. Tapi ternyata .... Entahlah, kenapa Rayhan berbuat seperti itu? Hal tersebut menyisakan tanda tanya besar di benaknya.Mike segera saja keluar kamar karena mendengar teriakan Rayhan memintanya mengantar Bella. Dia menoleh sebentar ke kamar Rayhan, lalu berlari menuruni anak ta
Vicko duduk santai di sebuah taman bermain anak-anak. Di sana ada berbagai macam mainan anak, mulai dari ayunan, jungkit-jungkit, perosotan, dan masih banyak lagi. Karena ini hari Minggu, taman bermain cukup ramai dikunjungi para anak kecil beserta mama atau papanya.Kesendirian Vicko berakhir dengan kedatangan seseorang bersepatu hak tinggi yang berjalan mendekatinya. Vicko langsung menyingkirkan dua gelas kopi instan yang sejak tadi dia letakkan di sebelahnya, untuk memberi tempat orang itu duduk di sana."Silahkan duduk."Evellyn duduk di sebelah Vicko dengan setengah hati. Pandangannya lurus ke depan---melihat dua orang anak kecil bermain ayunan bersama orangtuanya. Mereka semua tampak bahagia. Berbanding terbalik dengan suasana hati dua orang yang kini duduk memandangi mereka."Kopi." Vicko menyerahkan segelas kopi pada Evellyn."Simpan saja. Aku tidak mau apa-apa dari tangan kamu," ujar Evellyn dengan dinginnya.Vicko pun menyerah dan meletakkan gelas kopi di sisi yang lain."Ak
Vicko mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang---membelah kota Jakarta. Beruntungnya dia tidak terjebak macet di jam makan siang seperti ini. Walaupun sedang memegang kendali mengemudi, Vicko tidak bisa fokus seluruhnya ke jalanan. Sebagian pikirannya tertuju ke tempat lain. Saat dia memarkir mobilnya di depan sebuah toko bunga, ingatannya tentang pertemuannya dengan Evellyn sebelum ini pun kembali terbayang di pikirannya. Ya, karena ingatan itulah yang membuatnya tidak fokus pada jalan raya sejak tadi. Flashback sebelumnya "Dulu waktu kamu meninggalkan aku, aku sedang mengandung anak kamu." "Apa maksud ucapan kamu, Evellyn?" Vicko tampak shock karena dia baru kali ini mendengar tentang hal itu. Evellyn tampak berusaha tetap tenang dan arogan seperti sebelumnya, walaupun mungkin di dalam hatinya dia merasakan sakit yang luar biasa. Akhirnya dia akan menceritakan sebuah alasan dan rahasia besar yang sebenarnya dia sudah bertekad untuk tidak akan mengatakannya pada siapapun. "
Melissa masih memantau. Biar bagaimana pun pacarnya itu adalah mantan playboy ulung. Siapa tahu saja jiwa playboy nya mendadak keluar lagi begitu berurusan dengan wanita. "Tenang aja. Aku nggak akan bocorin ke siapa-siapa, kok. Jadi kamu tahu nggak, siapa orangnya?" Mike sedang berusaha membujuk. "Iya, aku yang akan tanggung jawab pokoknya. Santai aja lah." Mike terlihat menunggu dengan tak sabar. "Oke. Oh iya, sip. Makasih ya, Melda Sayang. Nanti akan aku kirim hadiah buat si kembar. Yoi. Bye ...." Mike mengakhiri sambungan telepon dengan senyum merekah. "Siapa tadi si Melda Sayang itu?" tanya Melissa sinis. "Namanya dia Melda Sayang? Aneh banget?" Mike tersenyum karena Melissa cemburu. "Nggak usah cemburu." "Siapa yang cemburu? Enggak, ya." "Melda itu dulu temen SMA aku, Mel. Dia kebetulan kerja di Daily News dari setahun yang lalu. Dia udah nikah dan punya dua anak, kok. Masa iya kamu curiga?" "Terus emang harus banget ya kamu manggilnya pake 'sayang' segala? Kan bisa bikin
"Aku sengaja memberikan kamu obat yang berbeda dengan dosis tinggi karena kamu menolak untuk dirawat. Lagipula aku kan nyuruh kamu buat istirahat di rumah. Kamu malah pergi kerja." Naura justru mengomeli Rayhan."Dirawat apa? Kamu mau ngurung aku di rumah sakit lagi? Aku baru keluar rumah sakit tiga hari yang lalu lho, Ra. Yang bener aja dong, kamu." Rayhan yang paling keberatan jika harus dirawat di rumah sakit, langsung mengajukan protes pada Naura.Naura hanya bisa menghela napas menghadapi kekeraskepalaan Rayhan. "Ray, aku nggak perlu kasih tahu kamu berkali-kali kan, tentang kondisi kamu sekarang? Jadi aku harap kamu jangan keras kepala dan nurut sama aku, please. Datang lagi ke rumah sakit. Seenggaknya kamu harus diinfus dan menjalani beberapa pemeriksaan rutin."Rayhan memahami kekhawatiran Naura. Dia juga sadar diri bahwa penyakitnya semakin parah. Tanpa obat-obatan, Rayhan tak yakin dia masih bisa bernapas sekarang ini. Tapi dirawat di rumah sakit? Dia paling benci akan hal i
Malam harinya, Mike tampak berjalan mondar-mandir mirip setrikaan rusak di kamarnya. Sebelah tangannya memegang ponsel yang dia tempelkan di telinga kanannya. Dia sedang bertelepon dengan seseorang."Iya, Sayang. Aku langsung marah pas ketemu Rayhan terus aku nonjok dia."Melissa tampak khawatir. "Mike, emang kamu harus banget ya, pake nonjok Rayhan segala? Kamu nggak mau dengerin penjelasan dia dulu gitu?"Mike terlihat sangat frustrasi. "Aku tadi terlalu emosi, Sayang. Jadi aku langsung tonjok aja muka dia pas ketemu. Lagipula si Rayhan tuh diem aja aku kata-katain. Dia nggak melakukan pembelaan apapun, seolah-olah apa yang aku bilang ke dia itu dibenarkan sama dia.""Ya jelas dia diem aja, Mike. Kamu main tonjok aja. Kalau kamu nggak pake marah-marah dan bicara baik-baik, Rayhan pasti mau ngasih penjelasan ke kamu. Kamu kan kakaknya." Melissa berusaha menasihati Mike. "Terus juga ya, kita nggak bisa main percaya aja sama wartawan itu. Siapa tahu aja dia bohong."Awalnya Mike juga b
"Bukan. Ini Melissa," ujar Melissa di ujung telepon.Senyuman mengembang di bibir Bella lenyap seketika. "Kamu, Mel. Aku pikir Rayhan.""Ya lagian kamu ini, emang sejak kapan mama kontak aku di hape kamu itu 'Rayhan'? Jangan-jangan saking bucinnya sama Rayhan, kamu namain semua kontak di hape kamu pake nama 'Rayhan'?" Melissa langsung nyerocos."Dih, sembarangan aja kamu. Ya enggaklah. Tadi aku tuh nggak sempet lihat nama di hape aku."Melissa hanya menghela napas. Dia tahu apa yang sedang dialami sahabatnya itu. Dan menurutnya wajar Bella bersikap seperti itu. "Jadi sampai sekarang si Rayhan belum juga menghubungi kamu?""Belum. Aku chat aja cuma diread doang, Mel. Ngeselin banget, tahu nggak. Padahal aku udah bela-belain dateng ke rumahnya dan chat dia duluan. Kurang nekat apa lagi coba aku, Mel?" Bella langsung curhat sambil mengomel. Karena padaa dasarnya dia cukup kesal juga dengan perlakuan Rayhan padanya. Pria itu bahkan tidak meminta maaf sudah mengatakan hal menyakitkan pada
Mike sedang sibuk dengan ponselnya---membaca berita di internet dalam keadaan tenang. Tiba-tiba ada keributan datang dan mengganggu ketenangannya. Empat anak kecil---dua perempuan dan dua laki-laki yang semuanya masih kecil-kecil berlari menghampirinya. "PAPA!!!!" Mike kaget dan buru-buru meletakkan ponselnya dan menyambut kedatangan mereka. "Ada apa? Kenapa ribut-ribut?" tanya Mike. "Kalian nggak sekolah?" "Aku belum sekolah, Pa," kata salah satu anak perempuannya yang masih kecil. "Aku masih tiga tahun." "Maksud Papa, kakak-kakak kamu itu." Mike menunjuk ketiga anaknya yang lainnya. "Kenapa kalian nggak sekolah?" "Ini kan hari Minggu, Pa," kata salah satu anak laki-lakinya. "Papa aja santai-santai di rumah, nggak kerja." "Apa?" Mike bengong. "Masa Papa nggak tahu kalau hari ini hari Minggu? Ih, ternyata Papa kita payah." Mike langsung kesal. "Hei, biar payah gini, aku ini papa kalian, tahu. Kalau Papa nggak ada, nggak mungkin kalian bakalan ada." Mike mengatakan hal-hal yan
Sepuluh Tahun Kemudian .... Bella sedang menjalani syuting film terbarunya di sebuah taman bermain. Dia berdialog panjang sekali, sampai-sampai harus mengulang sampai tiga kali karena salah terus. Dan di take ke tiga-nya .... "Kamu nggak tahu kenapa aku melakukan ini?" kata Bella dalam dialognya bersama seorang pria yang menjadi lawan mainnya. "Sudah 15 tahun aku menunggu kamu, tapi apa? Kamu hanya memberikan janji-janji tapi nggak pernah menepatinya. Kalau kamu terus seperti ini, mendingan kita---" "MAMA!!!!" Dialog Bella lagi-lagi terputus, kali ini bukan karena Bella lupa dialognya, melainkan ada yang memanggilnya di luar syuting. Dua anak laki-laki memakai seragam SD dan seorang anak perempuan memakai seragam TK berlari ke arahnya dan memasuki lokasi syuting. Mereka bertiga mendekati Bella. "CUT! CUT! CUT!!" teriak sutradara. "Aduh, ada apa lagi sih, itu?!" Sutradara mulai frustrasg "Mama, ayo pulang!" rengek salah seorang anak laki-lakinya yang kembar. "Iya, Mama!" si kemb
Daniel melihat ke foto yang dirobek Naura, lalu tersenyum kecil. "Nyerah?" Naura terdiam, memandangi fotonya yang sudah terpisah dengan foto Rayhan. "Menurut kamu?" "Aku juga udah berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan apa yang aku mau. Tapi memang, ada hal-hal yang seharusnya memang bukan menjadi milik kita. Sekeras apapun usaha kita untuk ngejar dia, kalau emang dia bukan milik kita, pasti akan tetep ninggalin kita." Naura masih diam, memandangi foto Rayhan. "Gimana kalau aku nyaranin, mendingan kamu mulai lupain dia?" tanya Daniel. "Emang itu yang mau aku lakuin sekarang," jawab Naura. "Aku udah cukup bahagia Rayhan sekarang sembuh. Aku juga bahagia, kalau Rayhan bahagia." Daniel menoleh, memandangi Naura dengan tatapan aneh. Sebuah pemikiran pun terlintas di benaknya. "Ra?" "Iya, kenapa?" "Kamu mau ikut aku ke Sidney?" tanya Daniel tiba-tiba. Naura memandang Daniel---bingung. "Sidney?" "Aku bakal bantu kamu buat bisa ngelupain Rayhan sepenuhnya," ujar Daniel. "Untuk m
Satu tahun kemudian .... Bella berlari-lari sambil membawa sepatu hak tingginya. Dia berlari di atas rerumputan hijau yang subur, dan berkali-kali dia menginjak tanah becek karena sepertinya habis hujan deras tadi malam. Tentu saja dia sangat kesusahan berlari apalagi dengan mengenakan sepatu hak tinggi, makanya dia memutuskan untuk telanjang kaki saja.Setelah lari-lari dan menghadapi beberapa rintangan, seperti tanah becek, genangan air, dan lain-lain, Bella sampai juga di tempat tujuan. Sebuah pohon besar yang sudah tidak asing lagi untuknya. Napasnya terengah-engah dan hampir saja dia tidak bisa bernapas karena terlalu lelah."Terlambat dua menit, lima puluh tiga detik," kata seseorang.Bella berteriak kesal. "HEI!"Seseorang berdiri membelakangi Bella sambil menatap pohon besar tua di depan matanya yang daunnya tampak lebat dan hijau subur. Rayhan memutar tubuhnya dan tersenyum jahil padanya. "Aku kan udah bilang, aku nggak punya banyak waktu. Aku suruh kamu dateng dalam waktu l
FlashbackRayhan dan Vicko menghabiskan akhir pekannya dengan pergi memancing sesuai rencana. Tempat yang mereka pilih untuk acara memancing adalah sebuah sungai besar yang terletak di tepi hutan. Air sungai yang jernih serta dikelilingi banyak bebatuan, menjadikan tempat itu sangat nyaman untuk bersantai sambil memancing. "Udaranya seger ya, Pa?" Rayhan yang duduk di atas bebatuan sambil memegang kail pancingnya, berkata pada sang papa yang juga melakukan hal yang sama di sebelahnya. "Iya, kebetulan cuaca agak mendung jadi nggak panas. Mudah-mudahan aja nggak hujan." Vicko menengadah ke langit dan melihat gumpalan awan abu-abu yang tersebar di langit sejak pagi tadi. "Sebenernya ya, Pa. Dari pada mancing, aku lebih suka nyemplung aja ke sungai terus berenang." Rayhan berkata sembari tertawa. "Aku udah lupa kapan terakhir kali mandi di sungai." "Waktu kamu kelas 1 SD dan Papa bawa kamu pulang sambil dijewer kupingnya." Vicko menjawab sekaligus mengingatkan. Jawaban Vicko sukses m
Sambungan flashback"Aku janji nggak akan lupa sama pelajaran sekolah kok, Ma." Bella memberikan pembelaan. "Sekolah tetep jadi yang utama buat aku. Lagian, kita pacarannya nggak akan macem-macem, kok."Rayhan mengangguk lagi, mengiyakan ucapan Bella. "Betul, Mama---emm maksud saya Tante. Kita berdua nggak akan ngelakuin hal-hal yang aneh, kok.""Saya sudah menyuruh kamu diam, ya." Evellyn melotot ke arah Rayhan. "Kenapa kamu main nyerobot saja dari tadi? Diam."Rayhan menutup mulutnya rapat-rapat dan kembali menganggukkan kepalanya.Evellyn kembali menatap ke arah putrinya. "Bella, kamu nggak pacaran aja nilai kamu sudah jelek. Kamu bahkan menempati urutan ke tiga terendah di kelas kamu. Apalagi sekarang kamu sok-sok an pacaran segala? Mau jadi apa kamu nanti? Sebenarnya kamu ke sekolah buat belajar apa buat pacaran, sih?""Aku janji bakal rajin belajar kalau Mama ngijinin aku sama Rayhan pacaran, Ma." Bella tetap bersikeras. "Kamu pikir Mama percaya? Pokoknya Mama nggak setuju kali
Bella kembali ke lantai dasar dan sampai di lapangan basket sekolah. Dulu, tempat itu selalu ramai tiap kali jam istirahat karena ada banyak murid laki-laki yang bermain basket di sana dan para murid perempuan menjadi penonton.Di sisi yang lain, dulu pernah ada sebuah panggung hiburan di sana saat pentas seni sekolah. Di panggung itu dulu Bella dan Rayhan berduet menyanyikan lagu sampai tragedi Rayhan lupa lirik dan semua teman-temannya melempari mereka dengan segala macam benda yang ada termasuk sepatu.Pengalaman yang tak akan pernah terlupakan oleh Bella."Bella!"Bella menoleh lagi mendengar namanya disebut. Lalu dia seolah berada di masa belasan tahun yang lalu, saat hujan turun ketika pelajaran olahraga.Rayhan remaja membawakan payung berwarna kuning dan menghampiri Bella remaja yang sedang asik menikmati hujan pertama di lapangan, sementara semua teman-temannya berteduh."Kamu ngapain hujan-hujanan?" tanya Rayhan remaja sambil memayungi Bella remaja yang seragam olahraganya s
Hari ini tiba-tiba Bella ingin mengunjungi SMA tempatnya dulu bersekolah. Setelah berkali-kali hanya lewat dan lebih sering mengunjungi taman belakangnya yang merupakan tempat kencan favoritnya bersama Rayhan, kali ini Bella menyempatkan mendatangi sekolah lamanya dan menyapa beberapa guru yang dulu pernah mengajarnya di kelas. SMA Pelangi---papan nama itu masih tetap terpampang dengan jelas di atas pintu gerbang. Bella sengaja datang di saat jam pelajaran berlangsung karena dia ingin berjalan-jalan di sekolah tanpa ada keramaian. Ketika melangkahkan kakinya memasuki halaman sekolah, Bella langsung bernostalgia tentang masa-masa SMA nya dulu. Seolah dia melihat dirinya sendiri yang memakai seragam SMA sedang berlarian bersama teman-temannya---dengan tawa candanya. Senyuman Bella mengembang saat dia mulai teringat masa remajanya dulu. Dia melanjutkan langkahnya menuju serambi sekolah. Suasana sangat sepi seperti yang dia harapkan dikarenakan proses belajar mengajar masih berlangsung
Bella memarkir mobilnya di tepi jalan dengan lampu sein sebelah kiri menyala. Di dalam ada Daniel yang duduk di sebelahnya. Suara kendaraan berlalu lalang menjadi latar belakang."Sebelumnya aku mau minta maaf sama kamu, Bel." Daniel membuka percakapan mereka. "Aku minta maaf karena udah minta kamu buat ketemu sama mama aku. Aku juga nggak tahu ternyata mamaku kayak gitu. Aku pikir dia minta mau ketemu kamu buat tujuan yang baik. Nggak tahunya ...." Daniel benar-benar menyesalkan semuanya."Nggak apa-apa. Aku ngerti, kok." Bella berusaha memahami perasaan Daniel, walaupun dia merasa sedikit tersinggung dengan ucapan Catherine tempo hari. "Aku juga minta maaf mewakili mama aku, Bel. Aku janji, aku bakal kasih pengertian lagi ke mama. Aku nggak akan nyerah biar mama aku bisa terima kamu.""Dan." Bella berusaha menjelaskan. "Aku yang harus minta maaf ke kamu. Mungkin selama ini aku terkesan ngasih harapan palsu ke kamu."Daniel seolah tahu apa yang akan dikatakan Bella selanjutnya, tamp