Tujuh
*** Jantungku berdebar tak karuan, setengah jam berlalu hasil dari pemeriksaan belum jua keluar. Semoga masih ada harapan, duniaku akan sangat hancur jika sematan mandul memang benar adanya. Salahku, yang sedari dulu selalu menunda untuk memeriksakan diri. Kini, keluarga Bang Afdal seakan yakin bahwa akulah yang sedang bermasalah. Mendesah resah, otak mulai diselimuti banyak pikiran. "Mbak Mella," panggil seorang Suster. Membuat diri beranjak senang, "Silakan masuk, dokter sudah menunggu." Menarik napas panjang, langkahku terasa gontai. Ketakutan mulai menyergapi diri, ini merupakan kali pertama untuk aku. Senyum mengembang dari bibir sang dokter, kebetulan dia seorang wanita. Setidaknya lebih bisa mengerti, duduk dengan tenang beliau mulai membacakan hasil yang sudah kutunggu. "Jadi, kesimpulan dari semua yang sudah saya jelaskan. Mbak Mella ... Sehat, tidak sedang mengalami kemandulan." Alhamdulillah, air mataku menetes mengucap terima kasih berulang kali. Menatap hasil pemeriksaan, dengan tangan gemetar. "Ta-pi dok, lima tahun menikah. Saya belum dikaruniai anak," ucapku. Menunduk sedih, merasa Tuhan sedang memberi sebuah hukuman. "Oh ya? Hm, suaminya ke mana? Biar sekalian diperiksa." Pertanyaan darinya, tak ayal membuat diri terasa hancur berkeping. Lidah seakan kelu, masa harus curhat di sini? Memandang sekeliling ruangan, aku yang belum siap. Tak lagi mampu menjawab pertanyaan, terlalu sedih jika harus mengenang masa lalu. "Maaf, jika apa yang saya tanyakan barusan terlalu privasi buatmu. Sabar, anak adalah titipan dari Sang Maha Kuasa. Kelak, Dia akan memberi jika sudah waktunya tiba." Nyeees, hatiku berangsur membaik. Terlalu bucin, kala sudah mengenang mantan yang tengah berbahagia bersama wanita lain. "Nggak apa, dok. Penting saya sudah tahu, tentang kesehatan diri sendiri." Mengulum senyum dengan sedikit terpaksa, gegas aku pamit. Tak ingin terjerumus dalam kubangan nestapa, move on Mella! Mendekap sebuah kertas di tangan, semoga kelak bisa membungkam mereka yang terus saja menghina. Jangan-jangan, yang mandul itu kamu lagi Bang! Mengusir pikiran yang terasa berdenyut, segera langkah kaki beranjak pergi. Namun, tertahan karena melihat sosok yang sangat dikenal. "Nggak sabar aku, semoga anak kita berjenis kelamin laki-laki. Penerus usaha keluarga," ujar sang laki, sembari mengelus perut si wanita. Apaaa? Jadi, itu bukan anak Bang Afdal. Keterlaluan kamu Andini! Wanita jalang, kenapa pula harus membohongi semua orang? Napasku makin tersengal, berdiri dari kejauhan. Menatap dua sejoli, yang tengah bercanda ria. Rasakan kamu Bang! Karma dibayar tunai, apa yang akan kamu lakukan saat tahu belangnya Andini? Sudahlah, ngapain juga aku mikirin dia! Setidaknya, aku tahu bahwa Andini tak sebaik yang mereka kira. Bersenandung ria, kaki kembali melangkah. Tak ingin mencampuri urusan mereka, cukup tahu dan bisa dijadikan senjata kelak. "Kamu, nggak ngantor?" tanya Ibu, ketika aku baru saja turun dari mobil. Memang, waktu sudah menunjukkan pukul sebelas. Harusnya aku tengah berkutat, bersama dokumen yang membuat pusing. "Nanti, Bu. Habis dzuhur kayaknya, aku mau rehat bentar." Tersenyum manis, Ibu terus mengekor dari belakang. Mungkin, tak biasanya melihat diriku senang. "Ada kabar baik," kataku. Duduk santai, sembari mengeluarkan hasil pemeriksaan. "Alhamdulillah, aku nggak mandul Bu." Merampas kertas dengan kasar, beliau terpekik senang. Mengucap hamdallah berulang kali, bersyukur dengan awal yang bahagia tentunya. "Apa Ibu bilang, harusnya dari dulu kamu periksa. Sekalian bawa si Afdal, biar keluarganya tahu." Berucap dengan menggebu, aku terkikik. Ibu, adalah kekuatan besarku saat ini. Setelah kehilangan Bapak, di usia kecil. Bagai teletubies, kami saling berpelukan. Tertawa dengan menangis, semua rasa seakan bercampur menjadi satu. "Satu lagi, Bu. Pas di RS, aku ketemu Andini. Gandengan sama cowok lain, dan Ibu tahu? Aku syok, ketika tahu anak yang tengah dikandung merupakan hasilnya bersama cowok lain. Bukan sama Bang Afdal," ungkapku. Kembali tertawa riang, biarlah bahagia di atas penderitaanmu sayang! "Gila juga si Andini," sahut Ibu berdecak tak percaya. "Nah 'kan, makannya jangan suka nyakitin hati orang. Buktinya, sudah Allah beri balasan setimpal." Mengangguk setuju, justru hatiku belum sepenuhnya puas. Rasa dendam masih menghiasi seluruh hati, menginginkan lebih dari itu. "Mella, setelah semua yang terjadi. Rencana apa yang akan kamu lakukan? Hm, menikah lagi misalnya." Menatap tak percaya, aku sama sekali belum ada calon. Terlebih, rasa takut dikhianati masih saja terus mengungkung. Membelai rambut panjangku dengan lembut, lagi Ibu membuka percakapan. "Jangan takut, Mell. Tidak semua pria, memiliki perangai yang sama." Memang. Namun, sejauh ini fokusku hanya terhadap karier. Urusan jodoh biarlah Allah yang mengatur, menjadi janda selamanyapun tak masalah. "Mella paham, Bu. Masalah itu, kita bahas nanti deh." Mengibaskan rambut dengan perlahan, berharap beliau lebih memahami isi hatiku saat ini. *** "Wow, jadi hubungan mereka sudah berjalan lama. Dan bodohnya, Bang Afdal seakan dibutakan." Menggeram marah, informasi dari Serly benar mengejutkan. Kenapa dia sampai nggak tahu? Terjatuh dalam pesona Andini, yang ternyata tak sebaik yang semua orang kira. "Nyonya dan Tuan, tahu? Tentang hubungan mereka, Ser?" Menggeleng lemah, Serly yakin betul dengan penyelidikannya kali ini. "Backstreet, hubungan mereka tak direstui. Pria itu hanya dari keluarga biasa, mereka lebih condong pada mantan suamimu." Tentu, yang kutahu Bang Afdal salah satu orang kepercayaan mereka. Pastinya dengan senang hati menerima sebagai mantu, meski dengan tega menyakiti hati yang lain. "Serly, segera kirim bukti perselingkuhan mereka. Pastikan, Bang Afdal sendiri yang menerima," titahku merasa sudah waktunya, menenggelamkan perasaan sang mantan. "Hah, kamu serius? Niat banget kepengen dia sakit," tanyanya. Menatap lekat, sembari berdecak tak percaya. Kenapa nggak? Milyaran luka telah ia torehkan, balasan setimpal tentu pantas untuk menghukum Bang Afdal. Dengan begitu, hatinya akan terbuka lebar. Tidak lagi menyanjung sebuah kepalsuan, di mana Andini hanya sedang bersandiwara. "Lakukan secepatnya, Serly. Pastikan rumah tangga mereka goyah," ujarku berharap mereka merasakan apa yang pernah kualami. Mengangguk setuju, Serly berbalik badan. Syukurlah, aku hanya ingin memberi suatu pelajaran. Semoga, bisa sedikit menampar mereka yang terus saja memandang hina orang lain. Sepeninggal Serly, pikiranku terus menerawang jauh. Mengetuk bolpoint pada meja, rasa tak sabar begitu menekan. Bagaimana tanggapan Bang Afdal? Tentu ia murka bukan? Biar tahu rasa, bahwa dikhianati adalah hal paling menyakitkan. Saat rasa percaya hilang, dengan kelakuan tak menyenangkan. Tunggu, sayang. Saat di mana, hari itu datang. Ahh, akan lebih bagus jika dirinya melihat langsung perselingkuhan sang istri. Akan lebih seru dan menegangkan. Memutar otak, dengan cepat. Aku ada rencana baru, untuk membongkar semua di depan mata kepala Bang Afdal. Hm, mungkin saja yang mandul adalah dirimu Bang. Terbukti, anak yang dikandung Andini adalah hasil pergulatan dengan pria lain. ***Delapan***"Besar juga kantormu," pujanya. Namun, dengan suara yang terdengar ketus.Sekian lama tak berjumpa, entah apa yang membawa beliau datang. Dengan gaya khasnya, yang selalu menunjukkan ketidaksukaan.Netranya yang tajam, terus menyapu seluruh ruangan. Sesekali mulutnya mengoceh banyak hal, "Mella ... Ibu mau bicara."Aku mendengkus sebal, apa katanya tadi? Mau bicara? Nah, yang barusan apa? Ck, geram sudah rasanya. Merusak mood, yang sudah kubangun beberapa hari ke belakang."Bagi duit dong!" Tangan yang satu, dibiarkan menengadah. Tanpa rasa malu, "Anggap saja sebagai ganti rugi, 'kan selama menikah Afdal yang sudah banting tulang buatmu."Damn! Matre sekali dirimu, wahai mantan mertua! Sepeserpun aku tak sudi, membiarkan setiap jerih payah dinikmati olehmu! "Bu, itu 'kan kewajiban dia sebagai suami. Masa harus ganti rugi segala? Mana ada," elakku, tak mau diperalat begitu saja. "Banyak omong kamu! Katanya orang kaya, tapi, ngasih duit aja pelit. Lima puluh juta, lumayan
Sembilan***"Kesel aku sama kamu," kataku sambil melempar tas branded yang baru terbeli beberapa bulan lalu. Niat untuk pulkam, lagi tertahan karena ada satu hal penting yang tak bisa diwakilkan."Siapa sih orangnya? Memang, nggak bisa kamu tangani sendiri?"Mengibaskan rambut ke belakang, kutatap sekretaris tersebut. Menelisik wajah, yang tampak santai sambil tersenyum mencurigakan.Lagi, demi sebuah pekerjaan rela mengorbankan hati Ibu. Yang sudah meronta meminta pulang ke kampung halaman, beliau kekeuh ingin perginya bersama aku."Duitnya gede Mell," teriak Serly, antusias. Allahu Akbar, kalau sudah urusan yang satu itu dia memang parah. "Sayangnya, nih orang mau temu langsung sama kamu."Mendelik tajam, rasa kepoku seakan meronta. "Cepat katakan, dari Perusahaan mana dia?" Bukan menjawab, Serly hanya terkikik dengan senyum menggoda. Menyebalkan sekali, "Hm, dia ... Biasa masak. Kayak chef gitu."Netraku terbelalak sempurna mendengar pengakuan darinya. Chef? Lantas, apa urusannya
Sepuluh ***"Mell, ini rumah aku juga 'kan? Segera, setelah kita rujuk semua akan kembali seperti yang dulu." Aku meneguk ludah, demi mendengar kehaluan sang mantan. Benar nggak ada akhlak, memutuskan seorang diri tanpa bertanya terlebih dulu.Ketiganya merangsek masuk ke dalam rumah, mengabaikan ketidaksukaan yang terpancar jelas di kedua netraku dan Ibu. Enak saja, aku tetap nggak sudi! Jangan harap, kalian ikut menikmati setiap apa yang sudah menjadi perjuanganku selama hidup. "Pede sekali kamu, bahkan kamu belum tanya. Mau atau nggaknya, udah menyimpulkan sendiri. Ck," sahutku berdecak sebal. Kok, ada spesies macam mereka? Benar-benar langka, ya kali urat malunya sudah putus. Kak Indri dan Ibunya, terus menatap rumahku dengan netra berbinar. Sesekali terdengar pujian dari bibir mereka, takjub dengan apa yang sudah kuperoleh. "Pasti mau, sayang. Aku tahu betul, kamu nggak bisa hidup tanpa aku! Lagian, kekayaan yang kamu miliki saat ini. Pasti bukan hasil sendiri, bisa jadi ban
Sebelas"Serly ...," teriakku. Terlonjak kaget, begitu mendapati sang mantan yang tengah duduk di sudut ruang tamu.Menghela napas panjang, rupanya Bang Afdal masih terus bersikeras untuk bisa memenangkan hati yang sudah dilukai. "Ngapain lagi dia? Kenapa nggak diusir? Bikin sesak," cecarku menatapnya melalui pembatas kaca. Harusnya, aku senang dengan hadirnya dirimu. Kembali memadu kasih. Namun, milyaran luka yang terasa menyakitkan seakan menghalau. "Dia maksa, katanya ... Kepengen ngobrol penting," ungkap Serly. Mengendikkan bahu, lantas buru-buru menyuruhku untuk menemui sang pujaan yang tak lagi hadir di hati.Melangkah gontai, dengan sesekali mendengkus sebal. Kutatap dirinya, duduk berdampingan. Berharap, hari ini merupakan kali terakhir kami berjumpa. "To the point! Waktuku nggak banyak," titahku, memandangnya dengan kebencian luar biasa. Bang Afdal meraih tanganku, segera kutepis kasar. Haram, disentuh olehnya usai kejadian kemarin. Hampir saja kami bergulat, kalau saja
Dua Belas"To-long, kasihani kami Mella ...," pintanya. Lagi menggunakan air mata, sambil bersimpuh penuh derita.Berdecak sebal. Kutatap beliau, yang datang seorang diri tanpa ditemani kedua anak kebanggaannya. Kenapa hari-hariku seakan sibuk? Justru dengan kehadiran mereka, yang datang silih berganti. "Bu, coba bangun! Kenapa lagi? Apaaa ucapanku kemarin belum jelas?"Bukan jawaban yang kudengar, melainkan jeritan suaranya yang didominasi dengan tangisan pilu. Kalau sudah begini, aku bisa apa? "Ibu lapar ...," sahutnya. Lantas menunduk lebih dalam, seakan malu dengan apa yang baru saja diucapkan. "Afdal jatuh miskin, nggak ada duit buat sekadar beli makanan."Mendelik tajam, aku menelisik wajahnya. Takut jika beliau sedang drama, demi meraup hartaku yang susah payah didapat.Merogoh uang dalam tas branded, satu lembar berwarna merah kuselipkan pada tangan beliau. Cukuplah untuk makan hari ini, bersyukur aku masih baik. Bila ingat perlakuannya tempo lalu, mana sudi memberi sepeser
Tiga Belas"Za, lagi apa kamu?" tanyaku, usai membuka pintu ruangan. Sedikit tercengang saat mendapati dirinya, "Nggak kerja?"Reza mengulum senyum, wajah tampannya membuat hati meleleh tak karuan. Jantung seakan berdebar kencang, "Kangen." Kugigit bibir bawah, sibuk menetralkan rasa yang makin bergejolak. Dan apa katanya tadi, kangen? Haruskah aku senang, atau menjadi beban?Ditariknya tanganku lembut, kecupan singkat ia berikan di area sana. Hati berdesir, tak menyangka akan perlakuannya yang secara tiba-tiba."Cantik," pujanya. Sambil mengelus wajahku, "Serius Mell, aku kangen. Sampai nggak bisa tidur." Ia terkekeh pelan, menarik tangannya untuk menjauh. Jujur ada rasa tidak rela, berharap masih ada waktu untuk kami bercengkrama.Melangkah lebar, aku terduduk lesu pada kursi kekuasaan. Masih kaget dengan perlakuan Reza, ada semacam perasaan ingin memeluk. Sebab, aku juga tengah merasakan rindu yang sama. "Kok, diam? Kamu marah? Maaf." Ish, andai kamu tahu Za. Aku nggak marah, han
Empat BelasLama, aku terdiam. Meraba dada yang kian sesak, bulir bening terus berjatuhan. Merasa takdir begitu jahaaaat, tak sekalipun berbaik hati untuk sekadar menentramkan.Menarik napas panjang, kupandangi secarik kertas yang sudah berhasil memporak-porandakan hati. Ada tulisan tangan Bang Afdal di sana, emosiku makin naik sekarang! Satu kotak berisi perhiasan, raib tanpa sisa. Beserta uang tunai yang sengaja kusimpan, juga dibawa kabur oleh Bang Afdal dan keluarganya.Beruntung, kehilangan sebagian kecil harta. Tak membuat diri jatuh miskin, karena milyaran uang disimpan rapi pada bank. Meremas kertas dengan kasar, kuhapus air mata.Tak ada gunanya lagi, untuk menangis. Bukan harta saja yang dibawa, Ibu turut serta dalam rencana mereka. Bodoh!Aku sendiri yang membiarkan ular masuk ke dalam rumah, begitu buas dan memberi gigitan tatkala lengah.Berbulan lamanya, Bang Afdal masih belum percaya jika aku beneran kaya? Pura-pura tak tahu, atau gimana sih?Berdecak kesal, segera ku
Lima BelasTubuhku lemah, kepala terasa makin berdenyut. Mengutuk kinerja orang-orang, yang belum jua menemukan keberadaan Ibu. Malaikat tak bersayap, tanpamu apalah aku! Dua hari berlalu, hampir frustasi karena belum ada celah untuk memecahkan misteri yang ada. Ke mana sebenarnya mereka? Cerdas sekali, kenapa pula harus mengorbankan Ibu?Terisak dalam nestapa, pagi yang mendung. Hujan terus-menerus, seakan satu rasa dengan apa yang kualami. Jahat sekali kamu Bang!Mengambil penuh, apa yang menjadi kelemahan. Ibu adalah harta satu-satunya, tak mampulah aku hidup tanpa adanya beliau!"Mell," ucap seseorang. Masuk ke dalam kamar, dalam keadaan hancur berantakan. "Sampai kapan, kamu akan begini?"Aku mendongak, menghapus air mata yang sedari tadi mengalir. Ahh, Reza rupanya. Sosoknya kembali datang, "Yakin. Ibu pasti akan ditemukan."Mendesah sedih, aku menunduk lebih dalam. Terduduk lesu, keyakinan memang terus terpatri. Namun, keajaiban seakan enggan untuk menghampiri.Bagaimana jika
Dua Puluh LimaKasus wanita bernama Rere, terasa berjalan secara lambat. Ia yang bungkam, seakan memperpanjang banyak hal. Tetap tidak mau membuka mulut, perihal siapa dalang di balik semua kekacauan.Bahkan, ia rela terus mendekam di balik jeruji demi melindungi nama orang yang sudah membuat dirinya susah. Benar-benar aneh! Masih merasa yakin, bahwa dirinya akan terbebas dari segala tuntutan. Aku yang geram, mati-matian membayar pengacara handal untuk menyelesaikan segala perkara!Di rumah saja, tak ayal membuat diri merasa bosan. Maklum, dari awal aku memang wanita karier. Belum terbiasa, kalau tidak ingat Ibu dan suami malas rasanya hanya berdiam diri. Memang, ada Serly yang bisa diandalkan. Tetap saja, aku juga ingin berkecimpung langsung. Toh, kerjaan yang aku lakukan tak seberat yang dikira."Kalau bosan, kamu cari kesibukan lain sayang. Kerja di rumah juga bisa," tutur Ibu. Yang masih saja bersikeras itu, "Dengarkan Ibu ... Fokuslah agar segera memberi cucu."Aku tersenyum ge
Dua Puluh EmpatRasa geram masih terus menyusup ke dalam relung jiwa, kalau bukan karena paksaan suami dan Ibu. Hari ini juga, ingin rasanya meluncur bebas menemui wanita bernama Rere yang sengaja menebar fitnah. Serly, satu-satunya yang diharapkan turut memberi deret panjang atas kekesalan. Tak bisa dihubungi, dalam via manapun. Mendesah resah, nyatanya aku tak bisa istirahat dalam kondisi seperti saat ini. Harusnya, dia terus memberi kabar terkait perkembangan kasus wanita tersebut. Ingin sedikit memberi pelajaran langsung, bukan ditahan di dalam kamar. Mengutuk diri, karena ambruk pada saat yang tidak tepat. Aku hanya bisa pasrah, berharap akan ada kabar baik di kemudian hari. Pintu kamar terbuka, sosok Ibu menyembul. Memberi seutas senyum, sambil membawa nampan berisi makan dan minuman. Netraku justru sibuk, mencari sosok yang lain. Suami, ke mana dia? Sepagi ini sibuk, bahkan tak sempat menyapa diri yang tengah sakit. "Pagi sayang," sapa beliau. Sibuk menata makanan, "Makan
Dua Puluh Tiga"Jualan tuh yang bener! Jangan cuma mau untung, tapi sukses membuat si pemakai kesakitan." Aku meringis, menatap bibir sang konsumen lekat. Hitam, dengan bintik kemerahan menyebar di arah sana. Dan, sedikit membengkak. Ini, merupakan komplain kali kedua setelah sang youtuber tempo lalu. Dan bagaimana pun caranya, kudu bisa tenang dalam menghadapi masalah tersebut. Bedanya ... Dia langsung mendatangi kediaman rumah, tidak datang menuju kantor. Wow, wanita zaman sekarang sungguh berani luar biasa. Menarik napas panjang, dan mengembuskan secara perlahan. Kuraih ponsel, Serly dialah orang paling tepat untuk aku butuhkan. "Sekarang, Ser. Dan jangan lupa, bawa semua hal yang sudah kutuliskan di chat Wa." Tersenyum lebar, kutatap sang tamu. Mencari celah, apa yang membuatnya sampai berani sekali. Semua memang salahku, sewaktu kejadian dulu tidak memberi efek jera. Yang berakibat kejadian lagi dan lagi, ini sudah keterlaluan menuding tanpa bukti! "Kamu yakin, datang hanya
Dua Puluh Dua"Mella ...," pekik seseorang, setelah sekian lama tak bertemu. "Bagaimana kabarmu? Hmm, i-tu siapa?" Nah 'kan, dia mulai kepo males sebenarnya aku tuh. Reza meraih jemariku erat, seakan ingin memperlihatkan bahwa kami adalah sepasang pengantin baru dengan rasa bahagia tak tergambarkan. "Baik. Oh ya, kenalin dia chef Reza. Suami baruku." Andini mengangguk pelan, mulutnya tampak terbuka lebar. Kaget pasti, karena aku dapet yang lebih dari sesemantan. Menarik napas panjang, tentu saja hatiku tak lantas baik-baik saja. Ada Andini di sini, wanita yang sudah berhasil merebut Bang Afdal. Untuk kemudian menghempaskan, saat dirinya sendiri yang ketahuan berselingkuh. Ahh, kadang hidup memang selucu itu. "Jadi, kamu sudah menikah lagi? Aku pikir ... Balik lagi sama doi." Aku mengendikkan bahu, mimpi bangetlah dia bisa merajut tali kasih usai menyebar luka. Kutatap sekeliling Mall, tempat sebesar ini bisa jua terasa sempit. Oh Tuhan, kenapa harus mempertemukan kami di waktu yan
Dua Puluh Satu "Ya aaaampun Mell ...," teriak Serly. Histeris, membuat diri berjengit. "Pengantin baru, kenapa rajin banget sih?"Aku mengulum senyum, sudah hafal bahwa dirinya pasti akan menggoda seperti orang-orang rumah. Mengendikkan bahu dengan cuek, aku berjalan gontai.Kerjaanku di kantor, memang sedang menumpuk. Kasian Serly, dia memang bisa diandalkan. Nantilah, aku dan Reza belum ada rencana untuk pergi honeymoon. "Mana laporan keuangan, Ser? Terkait penjualan lipmatee kita bulan ini, fantastis?" tanyaku, sengaja mengalihkan pembicaraan.Serly berdecak sebal, ia pasti menginginkan aku bercerita tentang malam pertama dan banyak hal lainnya. Kepo!Menghentakan kaki dengan cepat, sembari bibir merenggut. Ia berlari kecil, sebab tempatnya bekerja berada di luar.Kutatap sekeliling ruangan, banyak tumpukan dokumen dengan dominasi cat berwarna putih. Sehari tak bekerja, rasanya seakan berabad-abad. Hihii, time is money sayang. Reza, suamiku juga sibuk bekerja di salah satu resto
Dua Puluh Menikah, adalah hal paling ditunggu oleh kedua insan. Terlebih ada cinta di hati masing-masing, akan semakin menambah kesyahduan.Tepat hari ini, akan dilaksanakan ijab qobul. Moga menjadi yang terakhir, tak ingin kembali gagal dalam merajut sebuah mahligai bernamakan cinta.Keluarga besan sudah datang, semakin menambah detak jantung yang tidak karuan. Meski yang kedua, tetap saja rasanya beda. Di luar sempat terjadi kerusuhan, ada Bang Afdal dan keluarga yang datang. Pasti ingin menggagalkan pernikahan, beruntung security yang sigap bisa mengatasi semua. Khusus hari ini, kantor diliburkan. Semua karyawan datang, menyambut dengan suka cita sedang doa berhamburan terlontar.Sah! Alhamdulillah, air mataku menetes haru. Reza mencium keningku takzim, masih tak menduga kami akan bersatu."Terima kasih, sudah mau menerimaku." Reza berbisik, menangkup kedua wajahku dengan romantis.Sekarang, aku sudah sah menjadi istri Reza. Bukan lagi mengharap pada yang semu, harus bisa menja
Sembilan BelasAku meraung, melempar bantal dan guling ke sembarang arah. Tampak marah, berdosa usai melakukan hal tercela beberapa waktu lalu bersama Bang Afdal. Kenapa diri begitu mudah, terjatuh pada pesona yang sama? Padahal, sudah dicurangi berkali-kali. Bodoh, adalah sematan terbaik untuk aku. Allah, sudah begitu baik. Menitipkan banyak rezeki, melalui jualan aku selama ini. Namun, apa yang tengah aku balas? Hanya berlumuran dosa, tanpa pernah mau berujung pada kebaikan. Hari ini. Aku menutup diri, terkunci pada kamar. Menolak keras saat Ibu memanggil untuk mengajak makan, bahkan mungkin mati lebih baik untuk aku saat ini.Memukul keras pada tubuh, jujur aku merasa jijik. Kemarin sempat ternodai oleh sang mantan, yang sudah berubah bukan mahrom. Malu bercampur kecewa, seakan bercampur menjadi satu. "Mella, makan dulu sayang. Jangan buat Ibu khawatir," teriaknya. Lagi dengan isak tangis yang menyesakkan, "Kamu hanya manusia biasa. Pernah salah, bukan berarti tidak bisa memper
Delapan BelasSeminggu berlalu, Alhamdulillah produk kami mengalami pemesanan yang membludak. Ratusan reselerr tersebar di Indonesia, seakan berbondong untuk mendapatkan lipmatee cream. Alhamdulillah. Bersyukur, lagi Allah memberi ladang rezeki yang tiada habisnya. Sibuk, sudah pasti. Namun, aktivitas tersebut menjadi sangat menyenangkan.Aku abai terhadap Reza, dan pengakuan cinta yang sudah diucap berulang kali. Pasrah jika memang ia harus bersanding dengan wanita lain, mungkin kita tidaklah berjodoh.Maafkan. Fokusku kali ini hanya pada karier, menghapus tuntas jejak rasa untuk Bang Afdal. Agar tak ada hati yang terluka, jika aku masih menyimpan nama lain. Urusan jodoh, aku tahu Allah sudah mengatur dengan sedemikian rupa. Namun, untuk menjemput masihlah sangat jauh. Menatap pembukuan pada meja, aku mendesah senang. Meski ada kegetiran tentang Reza, tetap tak bisa menutupi kegembiraan.Hari ini, akan ada pengiriman produk ke seluruh penjuru Indonesia. Belum merambah ke ujung dun
Tujuh BelasPagi yang sibuk, rencana peluncuran produk terbaru akan dilakukan siang ini. Segala persiapan begitu menyita waktu, Alhamdulillah sudah ada model yang mau bekerjasama. Hanya ada lima varian warna, yang akan diluncurkan. Maklum masih pemula. Natural Nude, Soft Pink. Nude Brown, Nude Purple. Chili Red. Itulah beberapa nama lipmatee cream, moga best seller.Kutatap Serly, yang tengah bolak-balik. Rasa lelah, seakan sirna dengan senyum manis yang tercetak di bibir."Kak, cantik nggak?" tanya, sang model. Usai menggunakan lipmate cream berwarna natural nude, yup aku suka. Cantik.Ada beberapa sesi poto, yang harus si model lakoni. Biasa hanya memamerkan bagian bibir, dengan warna lipmate berbeda. Ada lagi, di mana keseluruhan tubuh tak lupa bibir yang menjadi sorotan utama. Guna memasarkan produk kami, halal dengan menggunakan bahan aman. Sesi poto tentu diambil di ruangan khusus, lumayan besar dengan menampung puluhan orang. Tersenyum puas, aku sangat berharap akan ada lad