Ketika Stella terbangun di pagi hari dan keluar dari kamarnya, hendak ke kamar mandi untuk mencuci muka, dia dikejutkan dengan kehadiran Raelina yang sedang duduk di sofa ruang tamu dan menonton TV dengan lingkaran hitam di bawah kelopak matanya.
“Apa kau begadang semalam?” Stella duduk di sebelahnya setelah mencuci mukanya dengan membawa botol air dingin di tangannya. Dia masih memakai piyamanya.
Hari ini adalah hari Minggu. Dia mendapat jatah libur hari ini dan tidak pergi ke rumah sakit. Berbeda dengan Raelina yang mulai bekerja Senin besok.
“Bisa dibilang begitu,” jawab Raelina dengan lesu. Dia dengan malas menonton berita pagi sambil bersandar di lengan sofa.
“Ada apa dengan matamu? Apa kau habis menangis?” Penglihatan Stella cukup tajam untuk melihat mata Raelina merah dan bengkak.
“Apa terjadi sesuatu kemarin?”
Semalam dia mendapat sift dan pulang larut malam hingga tidak memperhatikan Raelina saat dia pulang tadi malam.
Raelina menatapnya sesaat dan memeluknya tubuh rampingnya sambil mengeluh. “Aku memang tidak menyembunyikan apa pun padamu.”
Stella membusungkan dadanya dengan bangga. “Karena aku adalah orang yang peka. Jangan mengalihkan pembicaraan dan cerita apa yang terjadi selama kau pulang kampung?”
Satu-satunya hal paling menjengkelkan dari Stella, rasa ingin tahunya yang tinggi dan suka bergosip. Dia hampir seperti wartawan dengan segala ingin tahunya yang tinggi.
“Aku bertanya-tanya kenapa kau tidak beralih profesi menjadi wartawan saja.” Raelina bergumam pelan.
“Hehe, aku pernah mempertimbangkannya. Jadi apa yang terjadi kemarin?”
Dengan malas Raelina menceritakan pertemuannya dengan mantan suaminya dan curhat sedikit.
“Dia lagi?” Stella mendengus bosan dan mengalihkan pandangannya ke televisi setelah Raelina selesai bercerita.
Raelina mengangguk dengan cemberut.
“Kau ke sini untuk menata masa depan atau ingin mengulang kisah lama dengan mantan suamimu?”
“Tentu saja untuk menata masa depanku. Laki-laki itu hanya sekadar numpang lewat.” Raelina mengomel setelah mendengar kalimat terakhir Stella.
“Jadi kenapa matamu merah dan bengkak habis menangis?” sindir Stella.
Raelina cemberut tidak bisa membalasnya. Merasa sedih di dalam hati karena tidak mendapat hiburan dari sahabat terkasihnya.
Mungkin dia benar-benar bosan dengan cerita tentang mantan suaminya.
“Lupakan saja, hari ini hari Minggu. Jangan ganggu suasana hati dengan cerita menyedihkan. Ayo kita belanja di mal hari ini.” Stella berdiri sembari meregangkan tubuhnya yang ramping.
“Belanja? Yuk, lah!”
Raelina menjadi lebih bersemangat. Belanja adalah obat paling efektif untuk memperbaiki mood.
Tanpa menunggu Stella, dia bersenandung pergi ke kamarnya untuk mandi.
“Dasar.” Stella bergumam melihatnya begitu bersemangat. Dia juga pergi ke kamarnya untuk bersiap-siap joging.
***
Waktu masih pagi tetapi mal sudah ramai oleh pengunjung. Mal akan selalu ramai setiap akhir pekan. Raelina dan Stella sudah berkeliling membeli beberapa barang. Tangan mereka penuh dengan beberapa paper bag berisi barang-barang yang mereka beli.
Keduanya berhenti sejenak di toko merek gaun yang mereka sukai dan berkeliling di dalam toko untuk mencari gaun yang menurut mereka menarik.
Raelina tertarik dengan gaun biru yang dipajang di tengah toko. Ketika dia meraba tekstur gaun itu sebuah tangan mungil juga menarik gaun itu dari tangannya.
Dia menoleh dan melihat seorang gadis berwajah cantik juga menatapnya dengan ekspresi cemberut di wajahnya.
“Aku duluan yang melihat gaun ini.”
Raelina tertegun sejenak menatap wajah yang akrab di depannya.
Gadis itu adalah Arina, adik perempuan Yosua, sekaligus mantan adik iparnya.
Penampilannya tampak banyak berubah dari yang dia ingat. Arina menjadi lebih dewasa.
Raelina dan Arina seumuran tetapi ada beberapa perbedaan menonjol di antara mereka, seperti tinggi badan mereka. Tubuh Raelina tinggi dan langsing. Stella selalu mengatakan tubuhnya seperti model. Berbeda dengan Arina, dia tinggi badannya tidak berubah sejak dia mengenalnya.
Di masa lalu dia mungil dan langsing. Sekarang tubuhnya sudah berkembang kecuali tinggi badannya. Dia terlihat sedikit berisi dibandingkan dengan Raelina.
Cara Arina melihatnya tampak melihat orang yang tidak dikenalnya. Sepertinya dia tidak mengenal Raelina.
“Hei, bisakah kau melepaskan tanganmu. Jika robek kau harus mengganti ruginya!”
Sudut bibir Raelina tertarik menatap gadis itu datar.
Sikap kasar Arina sama sekali tidak berubah. Raelina mencibir dalam hati.
Arina tumbuh dan besar di dalam keluarga berpengaruh dan dihormati. Tetapi sikapnya sangat tidak mencerminkan seorang yang berasal dari keluarga yang dihormati. Dia selalu memandang rendah orang yang tidak sederajat dengannya.
Di masa lalu Raelina akan selalu mengalah padanya, membuat Arina merasa superior di depan ‘kakak iparnya’, dan selalu menggertaknya.
Tetapi sekarang dia tidak akan mengalah pada seseorang seperti Arina.
“Maaf Nona, apa kau sudah membeli gaun ini?”
“Belum.” Arina mengerutkan dahinya melihat perempuan di depannya. Dia merasa pernah melihat di suatu tempat.
“Lalu kenapa kau membuat klaim seolah gaun ini milikmu?”
“Karena aku melihat gaun ini duluan, tentu saja aku memilikinya.” Arina mengangkat dagunya angkuh dan memerintah seorang karyawan toko di sebelahnya. “Cepat bungkuskan gaun ini untukku.”
Raelina mendengus dan menahan gaun yang hendak diambil Arina.
“Maaf, apa kau mengerti istilah siapa cepat dia dapat?”
Karena Arina membuat klaim karena melihat gaun itu duluan maka dia menggunakan klaim juga.
Arina mengerutkan keningnya dan memelototinya. Tetapi ketika dia melihat perempuan itu lebih teliti, dia samar-samar mengingat seseorang dia kenal di masa lalu.
“Ah, aku ingat. Bukankah kau si udik bau itu?” Arina memandang Raelina dari atas ke bawah dengan heran dan menghina.
Sedikit terkejut dengan penampilan Raelina berbeda dengan yang dia ingat di masa lalu.
Benarkah, perempuan di depannya adalah gadis kampung yang memiliki wajah cokelat kusam?
Wanita di depannya cantik dengan bentuk tubuh proporsional. Wajahnya wajah putih mulus dengan make up tipis. Kulitnya lebih cerah dibandingkan dengan kulit Arina. Pakaian yang dikenakan Raelina bahkan sangat modis.
Arina merasa kurang percaya diri dan terhina berhadapan dengan Raelina. Bagaimana gadis kampung yang dulunya tidak bisa dibandingkan dengannya memiliki perubahan pesat dalam selera mode dan penampilan.
“Wow, kau sudah banyak berubah rupanya? Sulit mengenalimu sebagai gadis kampung!” sindirnya dengan tatapan menghina.
Ekspresi Raelina datar menatap tatapan menghina gadis di depannya.
“Ya, kau juga banyak berubah. Menjadi lebih cebol,” balasnya pedas.
Dulu tinggi badan mereka hampir sama. Jika mereka berdua berbicara, kepala mereka tentu akan sejajar. Lima tahun kemudian Raelina harus menunduk ke bawah untuk berbicara dengan Arina.
Tinggi Arina hanya sebatas dada Raelina dan itu membuat Arina merasa kecil setelah mendengar kalimatnya. Wajahnya memerah terbakar amarah.
Tinggi badannya merupakan masalah sensitif baginya. Di antara teman-temannya yang memiliki banyak perubahan pertumbuhan tinggi badan, hanya dia masih sama seperti saat SMA. Jika dia memiliki tubuh langsing, Arina akan percaya diri dengan tinggi badannya.
Tetapi dalam beberapa tahun tubuhnya menjadi lebih berisi dan itu membuatnya merasa gemuk di antara teman-temannya yang langsing seperti super model.
Tidak peduli seberapa banyak dia diet, lemaknya di tubuhnya akan mudah tumbuh setiap kali dia makan.
Kata-kata Raelina menyentuh titik sakitnya dan dia benci mendengar itu dari seseorang yang dia pandang rendah.
Arina memelototinya, sebelum dia bisa memarahinya seorang wanita paruh baya datang menghampirinya.
“Arina apa kau sudah mendapatkan gaun yang kau inginkan?”
“Ibu ....” Arina langsung mengeluh begitu melihat ibunya datang. “Aku yang duluan melihat gaun itu, tetapi perempuan murahan itu mengambilnya.”Raelina memutar bola matanya dalam hati. Sudah begitu dewasa masih kekanak-kanakan untuk mengeluh pada ibunya di depan umunya. Tampaknya waktu tidak mengubah sifat asli Arina.Wina menatap perempuan muda yang ditunjuk Arina. Seperti putrinya, dia merasa familier dengan wanita itu.“Ibu, dia si udik bau itu,” bisik Arina di samping ibunya.Setelah mendengar kalimat Arina dan mengamati sebentar, dia mengenali Raelina. Keningnya berkerut melihat Raelina dari bawah ke atas, dia tidak bisa menyembunyikan keterkejutan dan penghinaan di matanya.Raelina menatap ibu dan anak itu dengan wajah tanpa ekspresi. Dulu dia berpikir ibu dan anak itu bersikap sombong padanya sesuai dengan status keluarga mereka.Tetapi setelah beberapa pikiran dia mencibir m
“Bagaimana hari pertama magangmu?” Stella bertanya dengan kedua tangan di masukan di saku jas putih khas dokter.“Lumayan ....” Raelina di sebelahnya memakai jas dokter yang sama. Dia sudah mulai magang di rumah sakit yang sama dengan Stella.Mereka berdua berjalan menuju ke kantin sambil mengobrol tentang hari pertama magang Raelina. Raelina mengikuti Stella mengambil nampan dan mengisi nampannya dengan lauk. Stella membawanya menuju ke salah satu meja berisi empat orang berjas dokter.Stella menyapa mereka sebelum duduk di samping dokter bergender wanita. Raelina mengikutinya dan duduk berhadapan dengan tiga dokter laki-laki.Mereka mendongak memandang Raelina dengan rasa ingin tahu dan menyapanya.“Hai, apa kau dokter magang baru?” Seorang dokter laki-laki yang terlihat lebih muda di antara mereka mengulurkan tangannya pada Raelina dengan se
Jam istirahat berakhir. Raelina berjalan menyusuri lorong rumah sakit dengan tangan di masukan ke dalam saku jasnya, kembali bekerja. Dia tiba-tiba menghentikan langkahnya melihat seorang wanita hamil lewat di depannya tersenyum sembari mengelus perut buncitnya.Raelina tertegun dan tanpa sadar mengangkat tangannya memegang perutnya yang rata. Dulu dia juga bahagia merasakan kehidupan di dalam perutnya.Setiap detail pertumbuhan kehidupan kecil yang tumbuh di dalam perutnya tercetak jelas ingatannya. Dia akan terus tersenyum dan berbicara dari waktu ke waktu pada si kecil.Tetapi kebahagiaan itu tidak berlangsung lama.Raelina menunduk menyembunyikan matanya yang mulai berkaca-kaca. Ini adalah rasa sakit dalam hidupnya, lebih dari saat dia mendengar kebohongan dalam pernikahannya.Ponsel di saku jas Raelina bergetar. Dia dengan cepat menghapus kebasahan di sudut matanya dan menga
“Apa yang ingin kau bicarakan denganku?”Suaranya yang dingin menyentakkan Yosua dari lamunan singkat dan kembali ke akalnya. Dia menatap ekspresi datar wanita di depan untuk beberapa saat dengan tatapan rumit.“Lima tahun yang lalu ... Apa yang sebenarnya terjadi padamu?”“Apa maksud Anda?” Raelina bertanya dengan nada kosong.“Kau meninggalkan surat cerai dan pergi tanpa penjelasan apa pun.” Tangan Yosua terkepal saat mengatakan itu. Dia menatap wanita di depannya dengan ekspresi suram.Dia baru mengetahui bahwa Raelina pergi sendiri ke Inggris untuk melanjutkan studinya. Dia tahu betapa takutnya wanita itu di tempat yang tidak dikenalnya, apalagi di negara asing. Mengapa dia pergi sendiri di negara asing tanpa siapa pun menemaninya. Dari mana dia mendapat uang sebesar itu untuk melanjutkan pendidikan di luar negeri.
Yosua tercengang. Matanya membelalak menatap Raelina tidak percaya. “Kau ... Apa yang kau lakukan padanya?”“Apa maksudmu?” Raelina memelotinya dengan agresif. Kegugurannya adalah titik sakitnya. Tetapi nada menuduh dalam suara Yosua membuatnya marah.“Kau pikir aku membunuhnya!”“Itu ....” Yosua tidak melanjutkan dan menatap Raelina dengan kening berkerut. Rahangnya mengeras, tatapi dia tidak berkata apa-apa.Lalu apa yang membuatnya pergi ke luar negeri? Bahkan kembali menjadi dengan dokter. Dia pernah mendengar dari suatu tempat beberapa wanita merasa terbebani memiliki anak saat mereka mengejar karier. Dia hanya berpikir Raelina juga begitu dan tidak ingin memiliki beban mengurus anak, sebab itu dia ....Raelina meng
Yosua berbalik mendengar pergerakan dari ranjang. Dia menyungging senyum biasa dan duduk di samping Raelina.“Kau akan ke mana?” Raelina bertanya dengan cemas sekaligus panik. Dia tidak siap akan ditinggalkan. Dia tidak akan pernah mengungkit pemandangan yang dia lihat di taman rumah sakit selama Yosua tidak pernah berpikir untuk meninggalkannya.Yosua meraih tangan Raelina dengan menyesal. “Maafkan aku, tetapi aku mendapat misi mendadak ke luar negeri.”Raelina membeku, menatapnya dengan mata membelalak.“Ka-kau akan pergi?” tanyanya dengan suara tercekat. “Ya, misi di luar negeri ini mungkin akan memakan waktu lama. Kuharap kau bisa menjaga dirimu sendiri selama aku tidak ada.”“Aku ....” Raelina ingin mengatakan bahwa dia
Matahari bersinar cerah bersama angin sepoi-sepoi membelai pipi wanita berambut hitam sepanjang punggung begitu dia keluar dari kafe dengan dua gelas cappucino, satu untuk dirinya dan satunya untuk Stella.Dia melirik jam tangannya yang menunjukkan pukul empat sore. Masih tersisa dua puluh menit sebelum waktu istirahatnya berakhir.Raelina menggunakan sisa waktu istirahatnya dengan berjalan santai ke rumah tempatnya bekerja yang tidak jauh dari kafe untuk melihat-lihat bangunan perkotaan yang memiliki banyak perubahan dari yang dia ingat. Rok putih sepanjang lutut berkibar tertiup angin ketika sebuah kendaraan melaju dengan kecepatan tinggi.Beruntung rok agak panjang hingga tidak tersibak sampai terbuka ke paha seperti seorang wanita yang tengah menunggu di pinggir jalan. Beberapa pemuda bersiul melihat sekilas celana dalam wanita ber-rok mini. Si Wanita itu mengumpat dan memaki pengendara sepeda motor itu.Raelina
Wanita paruh baya itu menggeram memelototi wanita muda yang memanggilnya ibu.“Ibu ... Ini aku Raelina.” Air mata tergenang di mata Raelina. Merasa tikaman rasa sakit di dadanya.Meskipun waktu sudah berlalu sepuluh tahun, dia masih mengenali wajah ibu kandungnya. Dia berumur sepuluh tahun saat ibunya pergi dan masih mengingat wajah ibunya dengan sangat jelas. Tetapi ibu kandungnya sendiri tidak mengenalinya.Mata wanita paruh baya itu seketika menjadi cerah mendengar ucapan Raelina. Dia dengan serakah menatap pakaian yang dikenakan Raelina terbilang sangat bagus.Anak perempuan yang dia tinggalkan empat belas tahun yang lalu kini hidup dengan baik dan memakai pakaian-pakaian bagus. Dia pasti punya banyak uang!“Benarkah kau Raelina? Oh anakku sayang. Kau akhirnya tidak melupakan ibumu!” Wanita paruh baya itu langsung memeluk Raelina dan menangis tersedu-s
“Roger ketua. Aku akan mendapatkannya dalam lima menit.” “Aku memberimu waktu dua menit,” putus Romi tegas nan dingin tanpa menerima bantahan. Yosua tidak sabar menunggu sampai lima menit. Lima menit baginya bisa membunuh Raelina. Danis tersentak menerima ultimatum dari sang Jenderal dan berkata tergesa-gesa. “Baik Kapten!” Danis sigap mengutak-atik komputernya di sisi ruang lain. Setelah beberapa saat, tidak butuh dua menit bagi Romi segera mendapatkan lokasi mobil penculik itu. “Kerja bagus,” puji Romi pada bawahannya. Dia tidak sadar Danis baru saja mengelap keringat dinginnya. Romi membuka komputernya dan memeriksa lokasi kamera yang dikirim Danis padanya. Dia memandang sebuah mobil yang bergerak menuju ke arah selatan sebelum berhenti di sebuah gudang garam terbengkalai. Setelah memastikan lokasinya, dia mengirim lokasi gudang itu pada Yosua. “Baik, terima kasih,” ujar Yosua menerima alamat lokasi dari Romi
Raelina membantu Zenith mandi dan berpakaian, sebelum turun dari kamarnya untuk memberi salam pada ayah mertuanya. Yosua masih belum kembali dari joging paginya.Raelina membiarkan Zenith berjalan sendiri sambil memegang tangannya saat menuruni tangga.“Tidak mau! Ayah, aku tidak mau pergi!”Dari lantai bawah terdengar berisik suara tangisan Arina.Raelina berhenti dan melirik ke bawah dengan penasaran melihat apa yang terjadi.Dia melihat keluarga Rajjata berkumpul di ruang tamu, termasuk Yosua yang mengenakan pakaian yang dipakai untuk berolah raga.Terlihat Arina dan Wina sedang ditahan oleh beberapa pria bersetelan hitam. Beberapa pria itu memegang dua koper besar di tangan mereka.Arina meronta melepaskan cengkeraman dua orang pria yang menahannya sebelum berlari berlutut memegang kaki Hendry yang duduk di sofa.“Ayah, kumohon jangan mengirimkan aku luar negeri.” Arina menangis memohon.
Arina terisak di sebelahnya.Hendry mendengus lalu menatap pelayan di sebelah Romi.“Sekarang katakan apa yang sebenarnya terjadi?”Pelayan itu sejenak menatap ke sekeliling dengan ekspresi gugup. Ketika tatapan dan bertemu mata dingin Yosua, dia langsung menundukkan kepalanya merasa bersalah dan takut.“Maafkan saya, saya hanya menerima perintah Nona Arina untuk mengantar sampanye itu pada Tuan Yosua. Tapi bukan aku yang memasukkan obat perangsang dalam minum itu, melainkan Nona Arina!” ujarnya sambil menunjuk Arina.Yosua dan Hendry langsung menatap Arina dengan mata ekspresi suram. Perilaku Arina sudah tidak bisa ditoleransi lagi.“Kakak ... ayah ... aku ....” Arina terbata-bata, dia tidak bisa mengelak lagi. Dia menatap ngeri cambuk tebal dan berduri di tangan kepala pelayan.Dia tidak akan bisa membayang rasa sakit saat cambuk itu merobek kulitnya.Dia buru-buru merangkak memeluk kaki ay
“Ayah, apa yang terjadi di sini?”Yosua bertanya heran melihat beberapa orang berkumpul di d ruang keluarga. Kepala pelayan berdiri di samping sofa Hendry.Sementara Yosep dan Romi yang jarang berkumpul duduk di masin sofa. Arina dan Wina berlutut di depan mereka dengan kepala tertunduk.Wina dan Arina mendongak melihat Yosua sudah datang.“Kakak!” Arina hendak merangkak ingin menghampirinya namun langsung dibentak oleh Hendry.“Tetap di tempatmu!” Hendry melempar Arina asbak rokok di atas meja.Asbak itu melayang dan mengenai lantai sampai hancur berkeping-keping di samping.“Kyaaaa ....” Arina berteriak ketakutan dan menangis.Dia buru-buru menjauhi pecahan kaca dan kembali berlutut di sebelah Wina.Dia menundukkan kepalanya sambil terisak ketakutan.Yosua berkedip melihat tindakan ayahnya yang jarang marah menjadi brutal tanpa ragu melempar asbak rokok ke arah adi
“Apa yang sudah kamu lakukan pada suamiku?!” Semua orang menahan napas menonton dengan tertarik apa yang akan terjadi selanjutnya. Leah mendekatinya berpura-pura gugup. “Raelina, aku bisa jelaskan ini ... aku dan Yosua tidak bermaksud melakukan ini di belakangmu ... kami—“ Sebelum Leah menyelesaikan ucapannya, Raelina tiba-tiba mendorong tubuh Yosua dan menghampirinya dnegan cepat. Tangannya terangkat cepat menampar Leah keras. Suara tamparan keras itu bergema di koridor. Tak sampai situ, Raelina menjambak rambut Leah kuat. Semua orang tersentak kaget dan ngeri. “Akh, sakit! Apa yang kamu lakukan?!” Leah menjerit memegang tangan Raelina yang menjambak rambutnya. “Aku tanya apa yang kamu lakukan pada suamiku!” Raelina ganas menarik rambut Leah dengan kedua tangannya. “Kamu berani memberinya obat perangsang! Begitu inginkan kamu mengambil suamiku! Kamu jalang kotor! Beraninya kamu bermain trik kotor me
“Teman-teman ayo sapa kawan lama kita!” Yonis membawa Yosua pada teman-temannya yang berkumpul di sofa. Mereka melambaikan tangan pada Yosua, menyapanya. Yosua menyapa mereka dengan akrab. Sementara istri mereka yang berkumpul bergosip di sebelah sofa para lelaki melirik Yosua dengan pandangan ingin tahu. “Bro, apa kabarmu?” Salah satu pria berdiri sedikit terhuyung-huyung menghampiri Yosua. Tampaknya dia sudah mabuk melihat beberapa botol Wine, Vodka dan sampanye kosong di atas meja kaca. Yosua menahan tubuhnya agar tidak terjatuh ke lantai. “Aldy, terlalu awal untuk mabuk. Hati-hati atau kamu akan dimarahi istrimu.” Dia menggeleng-gelengkan kepalanya dan membantu temannya kembali duduk di sofanya. Pria itu cegukan dengan wajah memerah. “Jangan sebutkan perempuan jalang itu!” raungannya menarik perhatian beberapa tamu Tampaknya pria itu sudah mabuk sepenuhnya dan tidak sadar apa yang dilakukannya. “Kamu
Yosua mengambil cuti kerja satu hari untuk menghadiri pesta ulang tahun Arina bersama Raelina dan Stella.Setelah apa yang terjadi di toko gaun, Yosua sangat enggan datang ke pesta ulang tahun Arina. Namun dia harus hadir karena bukan semata-mata datang ke pesta ulang tahun Arina, karena dia sudah berjanji akan menjenguk orang tuanya bersama Raelina.Pada pukul tujuh malam, Raelina dan Yosua ke kediaman Rajjata untuk menghadiri pesta ulang tahun Arina dengan mobil. Stella ikut bersama mereka. Zeron tidak bisa ikut karena dia harus kerja kelompok di rumah temannya.Saat mereka tiba, Raelina melihat kediaman keluarga Rajjata dipenuhi dengan mobil para tamu yang berdatangan. Halaman kediaman Rajjata yang mewah dipenuhi mobil-mobil mewah yang berjejer.“Apa seperti ini pesta ulang tahun Arina yang selalu di adakan Arina?” Raelina bertanya takjub melihat betapa mewah suasana pesta kediaman Rajjata.Karena ini adalah kediaman seorang J
“Tidak ada. Ayo pergi.” Raelina menarik lengan Yosua mencegahnya melihat Fiona dalam toko.Yosua mengalihkan pandangannya bingung saat Raelina menariknya menjauh dari toko itu.Saat mereka menjauh daro toko gaun itu, Raelina melirik Yosua beberapa kali. Dia menggigit bibir bawahnya gelisah.Penampilan Fiona hari ini membuatnya gelisah. Dia bahkan lupa memberitahu Yosua dia bertemu dengan Arina dan bertengkar dengan adik iparnya.“Ada apa? Kenapa kamu terus melirikku? Ada yang ingin kamu tanyakan?” Yosua menundukkan kepalanya menatap Raelina di sebelahnya.Raelina tersentak gugup dan menggelengkan kepalanya.“Tidak apa-apa,” ujarnya mengalihkan pandangannya ke depan.Yosua mengangkat alisnya bingung, “Kamu aneh hari ini.”Raelina hanya tersenyum datar.“Aku mau ke kamar mandi,” ujarnya melangkah menuju ke kamar mandi tanpa menunggu Yosua.“Apa
Raelina membeku menatap wajah gadis itu. Dia merasa akrab dengan wajahnya.Dia melihat wajah gadis dalam foto yang dikirimkan oleh orang misterius di mana dia berpelukan dengan Yosua beberapa bulan yang lalu?Sudah lima bulan berlalu Raelina menghindari pembahasan tentang gadis itu meski Yosua bekerja sebagai pengawalnya.“Nyonya, kamu baik-baik saja ....” Gadis itu melambaikan tangannya di depan wajah Raelina melihat wanita hamil itu terdiam dengan ekspresi aneh di wajahnyaDia mencemaskan Raelina karena wanita itu sedang hamil.Raelina mengerjapkan matanya tersadar.“Ahh ....” Dia mencoba tersenyum namun wajahnya justru terlihat aneh.Raelina memeluk perutnya yang besar dan berkata pada gadis itu. “Terima kasih sudah menolongku,” ujarnya.Fiona tersenyum lega.“Syukurlah kalau Anda baik-baik saja.” Senyum wanita muda itu sangat lembut.Sekilas orang melihat d