Brio warna merah itu memarkir sembarang di pinggir jalan. Karena Ineu juga belum tahu pasti, di mana tepatnya rumah orang tua Talia.
Wanita dengan pakaian ketat berkacamata hitam itu turun dari mobilnya. Lalu ia menghampiri salah seorang di sana yang tampan dengan berkutat di depan rumahnya.“Bu, tahu rumah ibunya Talia, gak?” sahut Ineu dari luar pagar. Membuat penghuni rumah yang sedang ada di luar itu keheranan.“Talia mana ya, Mbak?” jawab wanita paruh baya berdaster. Dia tatapi seluruh badan Ineu dari ujung kepala sampai ke ujung kaki. Tak ada yang terlewat sama sekali.“Itu, Talia yang punya suami namanya Guntur. Talia deh, emang banyak nama Talia, ya?” Ineu menjawab lagi masih dari luar pagar. Ternyata, pendidikan yang dia makan sampai sarjana, tidak membuat etikanya bagus. Malah, dia seperti tidak pernah diajari bagaimana sopan santun dan tata Krama saat bertanya. Apalagi pada orang asing dan itu di kawasan orang lain.“Ada dua TaIneu pergi meninggalkan tempat yang sudah membuat dirinya gila. Yang benar saja, orang yang ditanya alamat benar-benar, malah menjerumuskannya ke rumah orang tidak waras. Apa jangan-jangan di blok sana semua orang tidak punya otak? Ineu menggerutu kesal di dalam mobilnya.Waktu yang berharga dia buang percuma. Alamat Talia yang jelasnya tidak dia kantongi. Tentu saja rumit kalau harus mencari satu persatu rumah di pinggiran kota besar.Ineu sudah keluar dari gang yang tadi dia datangi mengharap menemukan rumah Talia. Berkali-kali mengembuskan nafas dengan lega, karena untung saja tidak sampai masuk ke rumah orang gila tadi. Kalau sampai dia sudah ikut duduk, dikunci di dalam, lalu dia disakiti? Ah, gila. Hari ini benar-benar gila menurutnya.Ineu benar-benar mengumpat buruk pada orang yang sudah menunjukkan alamat palsu untuknya. Ingin ngomel dan singgah dulu ke rumah informan tadi, tidak temui wanita itu di luar. Dia malas kalau harus menge
“Ineu, kamu ngapain menemui Talia?”Terkejut bukan main Ineu dibuatnya. Di depan mata dia melihat atasannya yang memecat dirinya tadi, keluar dari mobil mewahnya, dan kini bicara seakan bosnya sudah mengenal Talia.Talia pun terkejut dengan kemunculan Mirza secara tiba-tiba. Entah alasan apa pria yang telah lama menjadi bos suaminya itu, lewat jalur sana.“Pak Mirza?” Ineu heran menatap Mirza yang berdiri tegap menghampiri mereka. Malah, kenapa memanggil nama Talia seperti akrab sekali? Sejak kapan mereka saling kenal dekat seperti itu? Ineu bingung. Entah apa yang sebenarnya terjadi.“Talia, apa dia menyakiti kamu? Saya lihat dari jauh tadi dia tarik tangan kamu. Lalu dia menunjuk wajah kamu.” Mirza mengetahui apa yang terjadi sebelumnya. Mata bos Guntur itu ternyata sangat tajam. Dari jarak jauh, dia bisa melihat dengan detail.Ineu pun jadi serba salah. Ah, kenapa harus ada bosnya? Maksudnya, mantan bos.“Pak Mirza, saya ….” I
“Aduh, tolong!”Seorang wanita paruh baya keluar dari dalam mobil yang baru saja menabrak pembatas jalan. Terlihat dia memegangi kepala, mungkin karena pusing. Mungkinkah karena benturan atau sudah sakit sebelumnya?“Astaghfirullah!” Talia berlari menuju mobil warna hitam berjenis sedan itu. Terkejut bukan main, karena dilihatnya dari dalam roda empat itu keluar seorang wanita paruh baya.Talia langsung memberikan pertolongan. Dia raih tubuh wanita itu dan membawanya sedikit menjauh dari mobil tersebut. Talia pun memanfaatkan tembokan tempat tanaman depan rumah orang, untuk membawa ibu itu duduk.“Ibu pusing? Apa yang terjadi sampai Ibu menabrak, Bu?” Talia bertanya saking cemasnya, namun Ibu itu sedikit sulit menjelaskan.“Aduh, saya sakit kepala.”Talia tidak membawa air minum. Dia sejenak menyenderkan paruh baya itu dan inisiatif untuk mencari minum di dalam mobil. Ada. Talia pun segera memberikan wanita itu pertolongan pertama dengan memberi minum.“Minum dulu, Bu.” Gesit Talia m
“Hey, kamu siapa? Di mana yang punya nomor ini?”Di sana seorang pria terkejut bukan main. Dia beranjak dari duduknya yang sedari tadi terlihat santai. Tapi tidak saat ini.Talia kini jadi risau. Ah, selalu saja sejak sekolah dasar dia sering dilanda demam panggung. Padahal, belum ketemu juga dengan orangnya.Talia melirik Bu Wanda yang juga sedikit mendengar suara putranya menuduh di kejauhan sana. “Maaf, Pak, ini … ini saya Talia. Saya yang membawa ibunya Bapak. Beliau bersama saya, Pak.” Talia dengan gugup menjawab. Sehingga apa yang keluar dari mulutnya itu terdengar campur aduk dan ambigu. Dibawa? Bawa ke mana jadinya?“Hah, kamu bawa mama saya? Heh, kamu maling? Kamu mau sandera mama saya?” pekik di kejauhan sana. Pria itu terkuras emosinya. Bagaimana bisa ibunya diculik?“Eh, bukan, Mas. Tapi ….”Baru saja Talia akan menjelaskan lagi. Nama Bu Wanda sudah dipanggil untuk masuk ke ruangan dokter.Membuat Talia segera mematikan panggilan sepihak setelah melihat Bu Wanda coba bang
“Di mana Mama saya, ya? Saya lacak ada di sini.”“Siapa nama ibu Anda, Pak?”“Bu Wanda Karina.”“Oh, Bu Wanda Karina baru saja selesai pemeriksaan dokter. Coba diperiksa di ruangan depan ya, Pak, sepertinya masih istirahat di sana.”Pria itu gegas secepatnya menuju tempat yang diinformasikan. Langkahnya itu tidak tenang. Dia sangat mencemaskan ibunya.“Suara anak saya itu. Tolong kamu keluar cek ya, Nak?” pinta Bu Wanda. Membuat Talia pun mengangguk cepat untuk segera keluar ruangan.Talia sudah berpindah berdiri. Dia melihat ke arah kiri sumber suara, dan dia melihat seorang pria tinggi, gagah, dan rupawan berjalan cepat ke arahnya.Talia menyangka, apa pria itukah putra Bu Wanda?“Ada Ibu saya? Bu Wanda namanya.”Tepat sasaran. Pria yang memakai pakaian rapi setelan kantor itu bertanya pada Talia. Tanpa dia ketahui sebelumnya kalau yang dicari memang di sana.“Oh, Mas putranya Bu Wanda? Iya, Mas, di sini.”Pria yang baru saja bertanya itu mengernyit. Jadi wanita yang ditanya itu, be
“Talia, kamu antar siapa ini? Jangan-jangan pria ini pacar kamu, ya? Kamu juga selingkuh dari Guntur?”Telinga Talia memekak. Tiba-tiba saja wanita yang selama ini selalu memanfaatkan hidupnya, muncul tanpa diundang.“Bu Lastri?” ucap Talia memanggilnya ‘ibu’, tidak lagi mama, karena seakan malas dan tidak perlu sedekat itu lagi. Sebentar lagi juga jadi mantan mertua.“Ibu? Kamu panggil saya ibu? Hemh, baguslah. Jangan panggil saya mama lagi.” Lastri mendelik dengan sinis. Mertua yang akan segera menjadi mantan bagi Talia, tidak memperlihatkan gelagat baik.Talia masih terdiam. Apalagi dia tidak enak dengan dua orang asing yang baru saja bertemu. Masak iya harus jadi kambing hitam Bu Lastri?“Siapa dia, Nak?” tanya Bu Wanda pada Talia, karena ia dan putranya pun belum melanjutkan langkah kaki.“Saya ini mertuanya Talia. Tapi, sebentar lagi juga jadi mantan mertua. Dia nuduh anak saya selingkuh. Eh, nyatanya kalian juga ada main di belakang, ya?” celetuk Lastri lagi tanpa ada etika sed
“Tadi Mama pergoki dia jalan sama ibu-ibu, sama laki-laki juga. Laki-laki itu pakai baju rapi kantoran gitu. Pasti kerja di kantor.”Lastri malamnya langsung laporan pada putra semata wayangnya. Padahal sudah greget dari tadi. Hanya saja, antri di klinik membuat Lastri kembali lebih lama dari yang diharapkan.Mendengar itu, Guntur pun terkejut bukan main. “Apa?” Padahal, seharusnya dia tidak sekaget itu. Bukankah akan segera berpisah?“Iya. Jangan-jangan dia selingkuh ya?” Lastri bertanya dengan niat mengompori. Sejak kejadian diusir dari rumah besannya, omongannya tidak didengar, Lastri seakan dendam pada Talia dan keluarga. Dia sudah dipermalukan. “Aku gak tahu, Ma. Apa jangan-jangan dia mencari pria yang lebih dariku jabatannya? Ah, mana bisa. Dia kan bukan siapa-siapa. Dia tampan, Ma?” Guntur yang risau hatinya kini terpancing ingin tahu.“Sepertinya gitu sih. Soal tampan, … em … ya dikitlah lumayan tampan.” Jawaban Lastri tentu saja membuat Guntur dirundung kesal. Kok bisa ibu
Setelah beberapa minggu menunggu, hari persidangan kedua perceraian antara Talia dan Guntur akhirnya tiba. Setelah proses perceraian pertama berjalan sangat lancar, karena hanya dihadiri Talia, inilah kali berikutnya.Talia, yang telah mempersiapkan diri dengan baik, tiba di pengadilan lebih awal dengan penuh percaya diri. Sementara itu, Guntur tampak lebih tegang dan gelisah. Karena di waktu ini, Talia akan memperlihatkan bukti yang kuat, kenapa alasan mereka berpisah.Hakim memulai persidangan dengan meminta Talia untuk menyajikan bukti-bukti yang mendukung klaimnya tentang perceraian. Talia menyajikan beberapa dokumen yang menunjukkan bahwa Guntur telah melakukan perselingkuhan bersama wanita yang bernama Ineu Wulandari. Bukti dari beberapa buah pesan, didukung gambar-gambar yang memperlihatkan mereka jalan berdua. Bahkan, ada pada sebuah tempat yang hanya dipesan mereka berdua. Sebuah foto mesra pun nampak di sana.Guntur baru ngeuh
Pernikahan Ineu dengan Guntur telah selesai dilaksanakan. Mulai dari acara akad nikah sampai resepsi pernikahan, dilanjutkan mengabadikan foto pernikahan mereka, telah berjalan dengan mulus.Tamu undangan yang hadir juga nyaris satu persen. Hanya saja, tidak ada pihak mantan dari Ineu. Anak semata wayang Ineu juga tidak ada. Hanya sanak keluarga Ineu terdekat saja yang hadir.Selesai acara tentu saja banyak hal yang dinanti. Meski masih ribet beberes barang-barang yang menjadi aksesoris dan pelengkap di acara pernikahan, tuan rumah tidak ikut mengerjakan. Apalagi Lastri, ibu kandung Guntur itu memiliki pikiran khusus di malam hari ini.Belum terlalu larut, bahkan senja baru saja lenyap dari pandangan mereka. Baru saja terdengar adzan Maghrib. Lastri pun belum memutuskan untuk pulang dari rumah putranya. Dia masih ingin tetap ada di sana untuk ikut serta membuka isi amplop dari para tamu undangan.Dia berharap Guntur–putranya segera mengganti uang yang dipinjam. Ditambah lagi nanti dib
“Hah, Mas mau dijodohin sama saya? Apa saya nggak salah dengar?” Setelah termenung beberapa saat, Talia mengutarakan keterkejutannya. Bukan ke-gr-an tapi memang dia ingin mengkonfirmasi takutnya salah dengar.“Iya. Entah kamu punya apa sampai Mama saya ngebet pengen jodohin saya sama kamu. Padahal nilai plus kamu cuma karena pernah nolongin Mama saya.” Dengan enteng tanpa beban, Ardhya mengatakan hal itu kepada Talia. Apalagi matanya yang melarak lirik kesana kemari. Membuat Talia merasa bahwa laki-laki dihadapannya itu tidak dewasa sama sekali.“Ya ampun, Mas, Saya yakin itu hanya gertakan Ibu Mas saja. Mungkin ibu Mas Ardhya mengatakan hal itu karena kesal sama anaknya yang nggak kawin-kawin, Mas. Apalagi kalau beliau sampai melihat kejadian tadi. Saya yakin Mas Ardhya akan dihukum di rumah.”Ardhya langsung mengangkat dagunya.“Kamu jangan berani-berani ya katakan hal tadi sama mama saya. Lagi pula saya juga udah putus sama perempuan gak tau diri itu. Dasar perempuan matre!” pekik
“Itu, semuanya sudah saya ganti rugi. Beres kan?” Ardhya nampak sudah mengotak-atik handphone miliknya. Sedangkan orang yang berseteru di sana sudah tidak ada lagi. Bahkan, kendaraannya pun sudah enyah. Ya, hanya Ardhya yang sanggup dan mampu bertanggung jawab di cafe plus resto itu.“Terima kasih. Tapi bukan berarti Mas nanti bisa porak-porandakan lagi kafe ini ya, Mas? Ini peringatan. Kalau sampai terjadi lagi, saya gak akan segan-segan bawa Mas ke kantor polisi!” kata manajer itu sedikit mengancam. Dia terlihat sudah melihat nominal uang masuk, untuk memperbaiki barang-barang yang rusak. Di sana ternyata sudah ada Talia. Dia tadi maju ke depan dan ikut menengahi. Apalagi Talia juga merasa kalau itu sebuah perikemanusiaan. Talia datang untuk meredam suasana. Sayangnya, perempuan yang masih diakui Ardhya masih pacarnya itu sudah pergi dengan pria yang berseteru dengan Ardhya. Mereka juga seperti menghindar, tak mau ganti rugi.Ardhya sudah
Talia menepikan kendaraan. Dia seperti melihat Ardhya yang ada dalam perkelahian itu. Ada juga seorang wanita yang menjerit-jerit, seakan berusaha menengahi. Ditambah orang-orang sekitar, mereka meraih keduanya masing-masing untuk menghentikan perseteruan.“Cukup, kalian kayak anak kecil!” pekik wanita yang memakai pakaian seksi itu. Talia melihat dengan jelas, memang benar di sana Ardhya. Apa sedang memperebutkan wanita?“Sudah-sudah, kalian akan kami bawa ke kantor polisi kalau terus membuat gaduh!” Salah seorang warga berkata. Keduanya pun kini memang nampak sejenak meredam emosi.Talia semakin mendekat. Dia sangat penasaran, kenapa sampai mereka beradu? Padahal tadi Ardhya baik-baik saja, malah marah-marah pada Talia. Sekarang berhenti di tempat berbeda, dan sudah berkelahi?“Mas, bagaimana, kalian mau kami bawa?” tanya salah seorang warga lagi yang sedang menahan pria asing yang satunya. Mereka tampak sebaya, pasti sedang memperebutkan sesuatu.“Oke, kita pergi saja. Dasar orang
“Mas Ardhya, maafin saya, Mas. Saya gak sengaja. Tadi saya ….” Talia benar-benar sulit untuk bicara. Menjelaskan apa? Ardhya tidak akan tahu menahu dengan kronologi yang terjadi.Talia terlihat bingung. Dia takut juga dikira mengada-ada. Kok bisa kebetulan itu mobilnya Ardhya ya?“Saya, apa? Kamu ngapain coba di sini? Jelasin kalau bener lagi ada sesuatu.” Ardhya sengaja menggertak Talia yang kini mematung kebingungan. Ardhya menyangka, kalau itu hanya akal-akalan Talia agar bisa merusak dan mengganggu hidupnya. Ardhya menduga Talia dendam pada dirinya.“Saya … saya lagi ….” Intinya Talia juga bingung. Apa dia perlu bicara kalau sedang mengintip Mirza tadi yang sedang berkomplot dengan preman? Tapi Ardhya tahu apa? Ini sama sekali bukan urusannya.“Pokoknya kamu harus ganti rugi. Lihat, mobil saya jadi lecet!”Talia yang masih kebingungan pun kaget bukan main. Dia seperti disambar oleh petir ketika diminta ganti r
Saat ini Talia berada di perjalanan pulang. Dia memutuskan untuk tidak ikut bersama Mirza karena tidak enak sama sekali.Tadi Talia coba menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Tentu saja itu untuk memperjarak agar perasaan Mirza tidak semakin dalam pada dirinya.Talia berharap Mirza bisa bertemu dengan perempuan lain dan memikirkan orang lain. Kalau terus dekat dan sering jalan bersama Bagaimana bisa Mirza melupakan Talia?Talia membawa kendaraan dengan lumayan kencang. Rasa trauma memang masih melanda tapi dia ingin segera berada di rumah.Untung saja di perjalanan pun ramai. Dia yakin, preman tadi sudah kabur jauh.Sampai di rumah nanti, rencana Talia yaitu ingin mengompres bagian tubuhnya yang dirasa memar. Setelah itu dia pun ingin istirahat.Masih mengendarai dengan penuh kecemasan, Talia pun mengingat sesuatu. Entah kenapa ada benda yang tidak ikut dengannya. Tadi, perasaan pergi ke kondangan dia ditemani tas kecil. Sekarang mana?Talia pun kini menepi lagi. Badan terasa rings
“Turun, woy! Turun!”Suara itu membuat Talia lumayan gentar. Kenapa ada preman yang mengikutinya? Apa dia akan dijahati? Apalagi jalan menuju sepi.Talia pun terus saja menancap gas. Dia tidak mau berhenti meski sebuah motor yang ditumpangi dua orang itu terus mengejarnya. Bahkan menghimpit kendaraannya yang nyaris terguling ke sisi kiri.Talia ingin berusaha menuju tempat yang ramai. Tapi nihil, dua orang jahat itu berhasil membuat dirinya jatuh.Brakg!“Arkh!”Talia mengerang kesakitan. Meski terlihat tidak parah dan berdarah, tapi rasa sakit pasti sudah dia rasakan.“Woi, sudah gue bilang turun. Mana uang lho?”Talia benar-benar resah dan gelisah. Dia tidak melihat orang yang mendekat. Ada motor yang berlalu lalang pun, tidak sampai membuatnya jadi pusat perhatian.Kenapa berani sekali merampok di siang bolong seperti ini? Talia benar-benar bingung bercampur dengan ketakutan.“Toloooong!” Talia berteriak meminta pertolongan. Salah satu dari dua preman itu terburu-buru turun untuk m
Talia saat ini seperti akan dipermalukan oleh mantan keluarganya. Lihat saja, meski dia datang dengan Mirza, tapi sepertinya tetap dipandang sepele.“Talia, datang sama siapa? Laki-laki yang waktu itu mana?” Lastri nyeletuk dengan tatapan yang ingin mempermalukan Talia di depan beberapa orang. Tapi, kini langsung ditegur oleh Guntur yang secepatnya mendekat.“Bu, sudah. Ibu tahu, dia bosku?” Guntur membisikkan kalimat itu pada ibunya. Yang sontak saja itu membuat Lastri mematung diam. Guntur pun kembali ke kursi pelaminan.Talia dan Mirza yang menyadari pun hanya diam saja. Mereka melanjutkan langkah untuk menghampiri kedua mempelai.“Selamat ya, kalian memang cocok.” Talia menjulurkan tangan lebih dulu untuk bersalaman. Dengan penuh kepuasan, Ineu pun menyalami balik. Sedangkan Guntur di samping Ineu, sepertinya merasa gelisah.“Makasih, Talia. Makasih juga udah datang, ya? Ini pasti berat lho!” kata Ineu lagi dengan jumawa. Ingin bicara lebih dari itu, tapi ada mantan bosnya di sana
Talia berjalan bersama sejak awal dengan Mirza. Tidak ada lagi yang di kenali, ya kecuali keluarga dari keturunan Guntur sendiri. Tapi ya itu, mereka hanya cuek saja. Seakan tidak pernah ada hubungan kekerabatan di masa lalu.Entah mungkin otak mereka sudah diracuni oleh Lastri agar tidak menyapa Talia. Hingga saat Talia menyapa mereka pun, tak ada timbal balik yang baik. Membuat Talia jadi malas dan enggan berbaik hati pada mereka.“Ya ampun, Talia, datang juga, ya? Gak tahu malu, udah selingkuh, malah nampakkin muka.”Kalimat itu Talia dengar dari mulut salah seorang saudara Lastri. Yang juga didengar oleh Mirza.“Iya, tukang selingkuh. Bikin malu. Dia mau lepas dari ponakan kita yang seorang manajer kelas atas. Kasihan hidup dia.” Celetuk lagi yang lain. Padahal, selama ini komunikasi Talia dengan mereka juga tidak terlalu sering. Kalau bukan ada hajatan atau keluarga Guntur itu ada keperluan. Mereka tidak pernah akrab. Jadi, bukan masalah juga bagi Talia.Talia pun acuh saja. Dia