"Jangan ngelamun gitu. Mbak gak bermaksud apa-apa. Tuhan lebih tau yang terbaik buat pernikahan kalian. Nikmati dulu masa berduanya, kalau udah anak pasti repot," ujar Mbak Yuni seakan menyemangatiku. Aku tersenyum simpul. Menikmati masa berdua? Rasanya itu bukan hal sulit untuk pasangan yang sudah menikah, tetapi beda dengan pernikahanku. "Adiknya Kenzo cowok atau cewek, Mbak?" tanyaku tiba-tiba penasaran. "Belum cek, Mbak. Nunggu Mas kamu senggang dulu, lagi banyak kerjaan katanya."Aku mengangguk-anggukan kepala seolah mengerti. "Mas Rifki masih gila kerja ternyata," kataku ceplas-ceplos. Hal itu dibalas kekehan oleh Mbak Yuni. Toh, yang aku bilang benar adanya. Dulu, saat Mas Rifki belum menikah ia seakan orang paling sibuk di dunia. Sekalinya pulang ke rumah saat mendengar kabar perceraian orang tua kami. "Mas kamu emang orang yang enggak bisa lepas dari kerjaan, Ser." Aku melihat jelas senyum manis terbit dari bibir Mbak Yuni. "Dulu, saat masa pacaran, Mas kamu justru l
—POV Samuel Aku dan Reno sudah tiba di Makassar. Kami langsung menuju ke lokasi di mana proyek sedang berjalan. Sejujurnya, proyek di Makassar ini sudah 80% dan kemungkinan dua atau tiga bulan lagi bangunan yang dipercayakan kepada Amor's Group sudah siap digunakan oleh klien kami sebagai pemiliknya. "Saya senang bekerja sama dengan Pak Samuel, hasilnya benar-benar sesuai yang saya harapkan," ucap Ricky, klien kami. Aku juga merasa kagum sendiri melihat bangunan yang sebentar lagi bisa klien kami tempati bersama istrinya. Dari konsep sampai furniture yang mereka pilih, benar-benar sangat berkesan. "Istri saya pasti senang melihat rumah yang di desain secantik ini," lanjut Ricky. "Tidak salah saya memilih Amor's Group, ini di luar ekspektasi saya.""Pak Ricky dan istri pantas medapatkan ini semua. Rumah yang indah untuk keluarga kecil kalian," ucapku tersenyum tipis. "Saya sudah cek, semuanya aman, Pak." Reno tiba-tiba datang melapor.Aku menoleh padanya. "Bagian halaman belakang
"Demi kebaikan Kak Kinan. Apa kalian bisa menjauh dari kehidupan kami?"Kalimat itu terus terngiang di kepala. Aku pun menghentikan mobil di tepi jalan, memukul setir mobil dan berteriak kencang meluapkan segala emosi. Lagipula, siapa yang ingin terlibat jauh dengan mereka? Kalau bukan karena tingkat kepedulian Mas Samuel yang tinggi, dan tak ada Anin sebagai penghalang, mungkin pernikahanku tak akan menjadi taruhannya, juga dengan kesakitan yang diterima Bayu dan keluarga. Itu tak mungkin terjadi jika Mbak Kinan baik-baik saja dan Mas Samuel melepaskan masa lalunya. Kami bisa hidup bahagia di jalan masing-masing. Justru sekarang harapan itu pupus. "Akh! Kenapa semua masalah harus bertumpuk di kepala!" teriakku frustrasi sendiri. Tin! Tin! Tin! Aku melihat ke arah spion. Mobil sport hitam terlihat melanju kencang dan berhenti tepat di samping kanan mobilku. Lalu, kaca mobil itu terbuka lebar. Aku dapat melihat jelas wajahnya, seorang pria yang usianya kurang lebih 30-an. Tiba-tib
—Apartemen Setelah pertengkaran tadi, aku dan Mas Samuel sudah sampai di apartemen. Karena tak lama dari itu kami langsung pergi dari sana, sebab hari sudah malam, malam pun sudah gelap. "Mas tunggu di sini dulu, aku mau ambil obat merah."Aku buru-buru pergi mengambil kotak P3K sedangkan Mas Samuel menunggu di ruang tamu. Setelah mendapatkan apa yang kucari, dengan cepat kulangkahkan menghampiri Mas Samuel dengan wajah babak belurnya. Aku duduk di sampingnya, posisi kami kini saling berhadapan. Dengan cekatan, aku mengoleskan obat merah kesegala luka yang berada di sekitar wajahnya. Tadi, aku juga melihat Mas Samuel sempat mimisan. Sesekali Mas Samuel meringis kaka luka itu tak sengaja kutekan. Namun, yang paling parah yaitu luka di bagian bibir. Karena pelapis bibir Mas Samuel sampai robek dan aku yakin itu pasti perih sekali. "Lain kali jangan main tonjok-tonjok kaya tadi, Mas. Aku tau Mas emosi, tapi enggak perlu pake kekerasan," omelku masih setia mengobati luka tersebut, ka
"Kamu enggak pernah jujur, Mas," lirihku. Mas Samuel menatapku bingung. Tangannya masih setia di pinggangku. Yang berbeda hanya jarak di antara kami sudah tak sedeket tadi. Kini aku pun bisa bernapas dengan benar. Menatapnya dengan penuh kekecewaan. "Saya makin enggak ngerti sama kamu Serena." Pria itu menjauh dariku. Berkacak pinggang dengan satu tangan memegang kepala pertanda bingung, pusing atau bahkan tak mengerti dengan segala sikapku. "Kamu menyalahkan seolah-olah saya paling salah di sini. Kamu enggak pernah berpikir jernih tentang saya Serena."Dia menatapku dengan perasaan yang benar-benar membuatku sakit. Tatapan pilu dengan rahang mengeras terlihat pria itu ingin marah, tapi berusaha ditahan. "Saya enggak jujur sama kamu karena ketakutan saya sangat besar Serena. Saya bahkan enggak bisa memaafkan diri saya sendiri jika kamu terluka karena kesalahan saya. Saya takut Baskara menyakiti kamu."Air mataku turun makin deras. Ini terasa sakit, sangat sakit. "Baskara melangk
—Pukul 07.00 WIB"Masak apa?" tanya Mas Samuel tiba-tiba muncul dari belakang. Aku menoleh sebentar ke arahnya. Lalu kembali fokus masak nasi goreng dan telur ceplok untuk sarapan pagi ini. Di meja makan sudah tersedia susu dan roti, sebab yang aku tahu suamiku itu jarang sekali makan nasi.Tak ada hal romantis seperti di film-film ataupun drama. Tidak ada adegan di mana sang kekasih memeluk pasangannya dari belakang ketika sedang memasak. Kalian jangan mengharapkan itu. "Nasi goreng?" tanyanya. Aku tak menanggapi apa pun. Mau pria itu suka atau tidak yang penting aku sudah memasak. Menyiapkan segala keperluannya untuk pergi ke kantor, termasuk pakaian dan sarapan seperti sekarang ini. "Saya sarapan roti aja," putus Mas Samuel langsung duduk di meja makan. Terserah. Aku juga tak mempermasalahkan hal tersebut. Itu pilihannya dan harus kuhargai. Namun, yang perlu kalian tahu, aku termasuk orang yang sarapan pagi itu harus yang berat-berat. Contohnya nasi. Sedangkan Mas Samuel keba
—Sekolah Anin, jam istirahatAku menatap gerbang di depanku dengan perasaan yang sulit dideskripsikan. Entah apa yang aku pikirkan sampai aku memutuskan menemui Anin di sekolahnya. Bangunan yang ramah kanak-kanak itu tampak ramai. Sebelum masuk ke dalam, aku menghela napas dulu. Memegang ransel dengan kuat dan berjalan mencari keberadaan Anin. Aku terus mengedarkan pandangan ke segala arah. Anak itu tak mungkin ada di kelas, sebab sekarang sedang jam istirahat yang artinya aku harus mencari keberadaan Anin di kantin. Saat kakiku melangkah ke arah kantin, tiba-tiba mataku tertuju kepada anak kecil yang sedang duduk sendirian di bangku taman kanak-kanak dengan bekal dan botol minuman di sampingnya. "Mama!" teriak Anin menyadari keberadaanku. Aku tersenyum ke arahnya. Bergegas pergi menghampiri Anin. Sesampainya di hadapan Anin, aku langsung duduk di sampingnya. "Anin kenapa sendirian di sini? Teman-temannya ke mana?" tanyaku sedikit bingung. "Itu teman-teman Anin lagi pada main, M
"Serena?" panggil seseorang dari samping kananku. Kami sama-sama menoleh ke samping. Aku sontak terkejut mendapati Mbak Yuni sudah berdiri tegak di depan sana dengan raut wajah sama terkejutnya denganku. Buru-buru aku menghampiri Kakak iparku itu dengan perasaan berkecamuk di dalam dada. Aku was-was sendiri, takut perempuan itu mendengar obrolanku dengan Bayu. "Mbak Yuni?" sapaku terdengar gugup. "Kamu jemput Serena?" tanya Mbak Yuni. Aku mengangguk patah-patah. Menoleh sebentar ke arah Bayu. Pria itu masih setia berdiri di belakang sana, hal itu justru membuatku panik. "Bayu? Om-nya Anin bukan?" sapa Mbak Yuni berjalan ke arah Bayu. Napasku langsung tercekat. Serena, kamu benar-benar bodoh. Sudah dapat dipastikan bahwa Mbak Yuni pasti mengenal Bayu, apalagi mengingat tempat belajar Anin dan Kenzo di satu titik yang sama. Ya, aku benar-benar ceroboh kali ini. "Tante, Ibunya Kenzo?" tanya Bayu sedikit ragu. Mbak Yuni mengangguk dan terlihat tersenyum tipis. "Kamu kayanya seum
Sudah beberapa hari ini, Mas Samuel rutin bertamu ke rumah Ibu. Entah apa tujuannya, tapi pria itu selalu saja menyempatkan waktu datang ke sini sekalipun baru pulang kerja. Ia juga membelikan banyak main untuk Sakti. Ah, perihal itu, aku sudah memberitahu Sakti. Semuanya, tanpa ada yang terlewat. Anak itu kesenangan sendiri, ia memang sempat tidak mau bicara padaku, tapi akhirnya dibujuk Mas Samuel hingga kini kami seperti keluarga. "Tumben Samuel belum datang? Biasanya dia jam 6 sudah ada di sini," ujar Ibu mengompori. Ya, biasanya Mas Samuel datang setiap jam 6 pagi ke sini. Ikut sarapan bersama kami dan setelahnya mengantar Sakti berangkat sekolah. Namun, sudah setengah 7 tapi batang hidung pria itu belum juga kelihatan. Aku sedikit, khawatir takut ia kenapa-kenapa. "Udah, dihabiskan dulu sarapannya. Kalau Samuel beneran nggak jemput Sakti, kamu bisa antar Sakti dulu. Ke butik bisa belakangan," ujar Ibu. Aku memang memutuskan kerja di butik Ibu. Aku dibimbing Ibu menjadi desai
1 Minggu kemudian. Di 1 Minggu ini, aku tidak banyak berjumpa dengan orang-orang sekitar. Semenjak pindah ke rumah ibu, waktuku dihabiskan bersama ibu dan Sakti. Aku juga telah mengurus beberapa surat kepindahan dan akhirnya saat ini aku bisa mendaftarkan Sakti ke TK. Soal panggilan dari Sky Group, aku memilih menolaknya. Waktu itu sempat tahap interview, tapi tidak jadi karena diriku memilih pergi. Aku—mungkin tidak akan bisa bekerja di bawah naungan Mas Samuel. "Kamu udah apply lamaran ke perusahaan, Mas?" tanya Mas Rifki yang pagi-pagi sudah ada di rumah Ibu. Pertanyaan itu langsung dapat anggukan dariku. Kami saat ini sedang sarapan bersama, Mas Rifki datang bersama istri dan anaknya hanya karena aku mendaftarkan Sakti ke TK di mana tempatnya sama dengan Sekolah Dasar Kenzo. Mbak Yuni menyahut, "Kamu jadi kerja di tempat Mas Rifki, Ser? Ngelamar posisi apa?" "Iya, bagian admin Mbak. Jalur referensi Mas Rifki. Katanya lagi ngebutuhin admin di sana," balasku apa adanya. Tiba
Suara dering ponsel mampu membangunkan tidur nyenyak 'ku. Panggilan itu berasal dari Reno. "Kenapa, Reno?" tanyaku bersandar di kepala ranjang. Kepalaku terasa berat. Mungkin efek mabuk semalam. "Di kantor ada Pak Rifki, Pak. Beliau menunggu di ruangan Bapak," jelas Reno. Aku mengerutkan kening. Untuk apa Rifki datang ke kantorku? "Saya segera ke sana," ucapku langsung memutus sambungan. Aku beranjak dari ranjang dengan kepala yang masih terasa pening. Namun, pandanganku tertuju kepada meja yang di atasnya terdapat lampu tidur. Di sana terdapat satu gelas air dengan sepucuk surat di bawahnya. > [Ini jamu yang bisa buat badan kamu lebih enakan. Jangan lupa diminum kalau sudah bangun. /from Serena]Aku tersenyum hangat membaca pesan tersebut. Kupikir perempuan itu marah karena semalam tanpa sadar aku telah membuatnya tidak berdaya di ranjang. Tanganku menggapai gelas tersebut dan meminumnya hingga tandas. Bentuk perhatiannya yang seperti membuatku makin yakin bahwa Serena hanya cu
Cekalan itu langsung terlepas ketika kami sampai di luar, tepatnya di depan mobil pria itu. Aku jadi tidak enak dengan Elmar yang masih di dalam. Pria itu pasti kecewa karena diriku pergi begitu saja tanpa mengucap sepatah kata. Saat kulihat, tatapan elang penuh amarah seketika tertuju padaku. Aku masih syok dengan kedatangannya yang di luar kendali. Apalagi melihat sorot matanya yang begitu menakutkan. Sehingga siapa pun yang melihatnya tidak berani menyapa, bahkan melirik saja mungkin tidak sampai. Setiap pergerakannya tidak lepas dari bola mataku. Meski aku takut sendiri, tapi pandanganku tidak bisa lepas darinya. Ia membuka jas yang menempel ditubuhnya, menyisakan kemeja putih sebagai pakaian yang kenakan. Tanpa diduga, jas hitam yang sempat ia copot tersebut beralih posisi sehingga kini aku yang memakai jas kebesaran itu. Tatapan kami bertemu. Tentu saja aku terkejut. Perhatiannya barusan membuat jantungku berdebar kencang. "Masuk," tegasnya berjalan lebih dulu ke arah mobil.
Saat ini, aku sedang mengobati luka Mas Samuel. Meski lukanya tidak cukup serius, tapi jika dibiarkan bisa jadi infeksi. Apalagi pukulan yang diberikan cukup keras sehingga sudut bibir pria itu sobek sedikit. Ah, soal Mas Rifki, ia sudah ditenangkan oleh Mbak Yuni. Aku menuangkan alkohol ke atas kapas, memegang dagu Mas Samuel tidak asa-asa. Pria itu meringis kala lukanya tidak sengaja ku tekan. Ini kedua kalinya aku melihat Mas Samuel terluka oleh kakakku, tapi soal rumah sakit. Apakah aku harus menanyakannya pada pria ini? "Tanya aja. Nggak usah ngeliatin saya kaya gitu," ucap Mas Samuel. Aku salah tingkah sendiri. Menurunkan tangan dari dagunya, lalu menatapnya lamat-lamat. "Yang dibilang Mas Rifki itu... benar?" tanyaku hati-hati. "Soal saya yang masuk rumah sakit karena kakak kamu?" Langsung kuberi anggukkan. "Soal itu, memang benar. Kejadiannya udah lama. Lagipula, saya masih hidup sampai sekarang. Jadi, pukulan Mas kamu nggak seberapa buat saya."Nggak seberapa bagaimana?
—Di dapurAku masih memikirkan ucapan Mbak Yuni. Entah kenapa hal itu malah menganggu konsentrasi. Mas Samuel dan Kinan tidak kembali. Dalam artian mereka tidak rujak atau menikah kembali. Apakah menutup telinga selama ini kesalahan terbesarku? "Serena?" Pikiranku saat ini penuh. Berbagai macam pertanyaan muncul di kepala. Tidak mungkin aku menyesal atas apa yang telah kupilih lima tahun yang lalu. Ya, tidak mungkin. Perasaan ini mungkin hanya sesaat saja. Perasaan memilukan karena tidak tahu bahwa nasib Mas Samuel justru lebih sulit dari dugaanku. "Astaga, Serena!" Aku tersentak. Buru-buru mematikan kompor. Menatap nanar ikan gosong di penggorengan. Miris. Bahkan ikan tersebut tidak ada yang bisa dimakan. Semuanya menghitam. "Kamu lagi mikirin apa coba? Masak kok malah ngelamun. Ikannya jadi gosong, kan," omel Ibu. Tatapku masih tertuju pada penggorengan di sana. Kecerobohanku lagi-lagi merugikan. Ibu terlihat marah juga khawatir. Aku tidak mengucapkan apa-apa, sebab masih syok
—HOTELAku sudah kembali ke hotel dengan perasaan campur aduk. Suaminya tidak sesuai yang aku harapkan. Harusnya aku lebih berhati-hati karena ketika hal buruk menimpa hidupku dengan Sakti, aku punya cara untuk menghindarinya. Kalau sudah seperti ini, apa yang harus aku lakukan, Tuhan? "Terima kasih, Mas. Aku sama Sakti ke dalam dulu," ujarku tersenyum tipis kepada Elmar. Elmar memegang tanganku kala pintu hotel hendak ditutup. Pria itu memberi kode kepada Sakti agar anak itu pergi lebih dulu ke dalam. Ia menarik tanganku sehingga kini aku berada di luar pintu. "Ada yang mau saya tanyakan sama kamu," ujar Elmar melepas cekalan tadi. Aku menekuk kedua alis. Apakah pria itu akan bertanya soal Mas Samuel? "Sejak kapan kamu dekat lagi dengan Samuel?" tanyanya. Dugaanku benar. Elmar menanyakan soal Mas Samuel. Namun, kenapa tiba-tiba begini? Ini bahkan terasa seperti interogasi, bukan tanya bertanya."Aku rasa kita nggak perlu bahas itu, Mas. Lagipula, dekat lagi atau nggak, itu hak
"Papa senang, akhirnya kita bertemu, Sakti."Bella langsung memegang pundakku. Perempuan itu juga membawa Sakti pergi menjauh dari kami. Kini, tinggal aku dan Mas Samuel yang saling berhadapan satu sama lain. Aku tidak tahu kenapa keadaan saat ini cukup mencekam. Mas Samuel terus menatapku seolah tidak ada objek lain di sekitarnya. Aku benar-benar tidak bisa berkata apa pun. Ini membuatku mati kutu. "Saya sudah melakukan tes DNA," ucap Mas Samuel makin mengejutkanku. "Ibu bilang bahwa Sakti begitu mirip dengan saya sewaktu kecil. Awalnya saya nggak berpikir demikian. Tapi, saat saya mencoba mendekat pada Sakti, saya merasa memang benar ada kemiripan antara saya dan Sakti. Itu sebabnya saya melakukan tes DNA," jelas pria itu. Mas Samuel menatapku sangat dalam. "Serena, jika Sakti memang anak kita berdua, kenapa kamu menyembunyikan hal ini dari saya?" Aku membuang wajah ke arah lain. Menarik napas di sana. Lalu menatap Mas Samuel dengan napas sedikit tercekat. "Sakti bukan anak ka
"Sakti?" panggilku langsung menghampirinya. "Kamu habis ngobrol sama siapa?" "Tadi ada uncle Samuel, Mom."Aku menatap arah pandangan Sakti. Yang terlihat hanya bagian belakangnya saja. Pria itu sudah menjauh. Ia berada di seberang jalan, lalu membuka pintu mobil dan pergi dari sana. "Mobilnya uncle Sakti bagus, ya, Mom." Aku mengangguk mengiyakan ucapan Sakti. "Lihat, uncle Samuel juga kasih mainan buat Sakti. Katanya ini mobil Tamia keluaran terbaru. Kalau besar nanti, Sakti mau jadi pembalap mobil, ya, Mom. Bolehkan?" Aku tersenyum dan mengangguk setuju. Apa pun untuk Sakti aku pasti akan perjuangkan. Cita-cita juga keinginannya sebisa mungkin akan kuberikan yang terbaik untuknya. Aku tidak ingin Sakti kekurangan apa pun. Untuk itu, aku harus berjuang lebih keras lagi. Tin! Tin! Tin! Tiba-tiba sebuah mobil berhenti di depan kami. Kaca mobil tersebut pun terbuka menampilkan sosok teman yang masih setia bersamaku hingga detik ini. "Aunty Bella!" pekik Sakti. Bella pun turun d