"Kembalilah Serena, pulang ke rumah suamimu. Ibu selalu dukung apa pun keputusan kamu," ujar Ibu. Ibu mendekatiku, lalu memeluk erat tubuhku. Mendapat pelukan itu justru air mataku luruh dalam hitungan detik, tangisku pecah. Aku menangis di pelukan Ibu. Ini hal menyakitkan yang pernah aku terima. "Kamu kuat." Ibu melepaskan pelukan itu, lalu mengusap air mataku. "Saat kamu bilang dan kamu yakin, ingin menikah dengan Samuel. Ibu tak bisa mencegah itu, walau Ibu tau badai dalam rumah tangga pasti selalu ada. Ibu percaya sama kamu. Kamu pasti bisa melewati ini semua."Aku mengangguk setuju. Walau dengan napas tercekat sekalipun, sakit yang tak ada habisnya. Aku harus berdiri tegak. Bukan melawan badainya, tapi melewatinya. Ibu menepuk pundakku, lagi lagi senyum itu terpancar dari bibirnya. Ibu menyemangati diriku lewat senyuman. Aku tak bisa apa-apa, kepergian Ibu kembali meruntuhkan segalanya. "Kenzo! Gelasnya jangan dibawa lari, nanti jat–toh," ucap Mbak Yuni langsung memelankan s
"Halo, kenapa, Ren?"Itu, Reno. Barusan dia meneleponku. Untung aku sudah di dalam kamar. Di bawah sana, aku melihat Anin dan Kenzo sedang bermain mobil-mobilan dengan boneka sebagai penumpangnya. "Saya mau melaporkan bahwa Pak Samuel kembali mengunjungi Bu Kinan di jam makan siang, Bu. Maaf karena saya telat kasih tau Bu Serena," jelas Reno. "Gak apa-apa, Ren. Sekarang suami saya di mana, sudah kembali ke kantor?" "Sudah, Bu. Pak Samuel ada di ruangannya," balas Reno dari seberang sana. Aku menghembuskan napas kasar. Informasi dari Reno tak begitu membuat aku sakit. Aku bahkan biasa saja. Seolah sakit itu sudah biasa ku terima. Sekarang, aku mulai menjalankannya dengan lapang hati. Meski tak mudah, aku harus terbiasa membebaskan masalah yang ada. Karena semuanya malah menjadi beban pikiran ketika dipikirkan lebih dalam. "Reno, soal kamu yang sering kasih saya informasi kaya gini, suami saya enggak tau kan?" tanyaku. Entah kenapa pertanyaan itu tiba-tiba terbesit di kepala. Aku
Pukul tujuh malam. "Kita di mana, Ma?" tanya Anin kebingungan. Aku mengusap rambut Anin. "Anin mau ketemu Papa kan? Di sini kita bisa ketemu sama Papa."Pasalnya, kini kami sudah berada di depan unit apartemen milik Bella dan di sampingnya adalah apartemen Mas Samuel. Setelah dari rumah Ibu, kami memang sempat mandi dan berganti pakaian, lalu aku mengajak Anin ke sini. Berniat melancarkan aksi dengan membawa anak itu sebagai umpannya. Tunggu, aku tak bermaksud jahat. Sama sekali tidak. "Papa ada di sini, Ma?"Aku mengangguk. Lalu mengabari Bella bahwa aku sudah di depan apartemennya, sebab sedari tadi pintu tersebut tak kunjung dibuka. "Sorry gue... " Bella menatapku seolah meminta penjelasan. "Hai, Anin?" sapanya. Anin yang disapa seperti itu langsung tersenyum, walau terlihat raut muka kebingungan dari wajahnya. "Ah, masuk-masuk. Sorry tadi gue dari toilet." Aku pun menuntun Anin masuk ke dalam. Bella dengan cepat menyenggol lenganku. Ia seakan bertanya, kenapa Anin bisa iku
—Apartemen, POV Samuel. Aku memutuskan pulang ke apartemen. Hari ini lelah sekali. Sesampainya di dalam, hal yang pertama kulakukan ialah melonggarkan dasi. Rasanya sesak seharian memakai dasi apalagi mengingat project di Singapore jauh dari kata baik-baik saja. Dibarengi dengan itu, aku juga melepas jam tangan Rolex lalu meletakkannya di meja. Satu per satu kancing kemeja kubuka, sampai pada akhirnya kemeja itu bisa kulepas dengan lega. Juga melepas celana panjang tersebut, hingga tersisa boxer pendek. Aku masuk ke dalam kamar mandi dan membiarkan guyuran shower membasahi seluruh tubuhku. Rasanya percikan air mandi lebih menenangkan dibanding notifikasi surat pemutusan kerja dari pihak Angela Clarissa. Ku pejamkan mata sebentar, menikmati dinginnya air yang mencoba menusuk ke dalam kulit putihku. Lama menghabiskan waktu di kamar mandi, akhirnya aku bergegas dan memakai baju santai dengan setelan kaos dan celana pendek. Aku pun mengambil ponsel, mencari nama Serena dan mengetik s
—POV Serena"Tolong lepaskan Mbak Kinan. Demi aku, Mas."Aku memintanya melepaskan Mbak Kinan, sebab aku sudah tak sanggup lagi. Perkataan Ibu soal mereka berciuman terus menghantui. Aku tak tahu sebab-akibatnya sampai ciuman itu terjadi, Ibu juga tak memberitahuku lebih lanjut. Karena bisa kutebak, Ibu pasti langsung pergi setelah melihat itu semua. "Serena, kita bisa lupain sejenak permasalahan ini?" Mas Samuel berkacak pinggang, lalu meremas rambutnya sendiri. Pria itu tampak frustrasi. Ia bahkan membalas tanpa menatap kedua bola mataku. "Saya enggak tau. Saya bingung, Serena. Saya tau ini salah. Yang saya lakuin jelas menyakiti kamu. Tapi untuk melepas Kinan setelah apa yang sudah saya perjuangan selama ini demi kesembuhannya, itu sulit. Saya harus ngeliat Kinan sembuh, supaya saya bisa lega melepas Anin. Semuanya masih tentang Anin, enggak pernah berubah.""Enggak, Mas. Kamu salah. Justru yang aku liat sekarang bukan karena Anin, tapi karena perempuan itu Mbak Kinan." "Kamu t
Seusai menjemput Anin. "Anin, pokoknya bilang sama Papa kalau Anin pengen tidur bertiga sama Mama dan Papa, ya? Kalau Papa nyuruh Anin tidur di kamar sebelah, Anin jangan mau, oke?" ucapku mewanti-wanti Anin. Anak itu mengangguk setuju tanpa protes sedikitpun. Lantas aku tersenyum senang. Meski Anin anak yang penurut, tak jarang ia juga banyak mau dan memprotes apa yang ia tak suka. Aku lega, sebab kali ini Anin gampang diatur. Kutekan bel apartemen Mas Samuel. Lama tak ada jawaban dari dalam. Aku melirik ke arah di mana Anin terus menautkan jari-jemarinya dengan tanganku. Ia tak bisa diam seakan ingin cepat masuk ke dalam. "Tadi ngapain aja di apartemen Tante Bella?" tanyaku menunggu pintu terbuka. Belum sempat Anin menjawab, pintu sudah terbuka. Mas Samuel muncul dari balik pintu dan Anin yang melihat itu langsung memeluk sang Papa. Mas Samuel pun dengan gerak cepat mensejajarkan tubuhnya dengan Anin, lalu memeluk tubuh kecil anaknya. "Papa gendong Anin!" pinta anak itu. Tanp
"Ma, ini bagus enggak?" tanya Anin meminta persetujuanku. Aku menghampirinya. "Ganti baju tidur aja, ini sudah malam waktunya tidur.""Mama bantu," ucapku membantu Anin menggantikan bajunya. Setelah Anin selesai berganti baju. Mas Samuel melihat senang karena baju yang Anin kenakan sangat pas di tubuh anaknya, meski itu hanya baju tidur sekalipun. "Cantik banget anak Papa," puji Mas Samuel. "Ayo tidur, Pa. Anin udah ngantuk. Ayo, Ma?" ajak anak memandang kami satu per satu. Lalu, Mas Samuel memandangku. Ia menatap pakaianku seolah ada yang aneh. Saat Anin menarik tangan kami menuju ke ranjang, Mas Samuel justru menghentikan itu semua. "Kamu ganti baju dulu, di lemari ada baju tidur."Mas Samuel mengatakan itu dengan membawa Anin lebih dulu ke ranjang besar tersebut. Aku pun menurut, langsung mengganti pakaian dengan baju tidur di dalam kamar mandi. Setelah selesai, aku menghampiri Anin dan Mas Samuel yang tampaknya sedang bermain game di Ipad. Naik ke atas ranjang tanpa asa-asa
—Pukul 7 pagi. Aku membuka mata perlahan. Cahaya matahari sudah masuk lewati celah jendela kamar. Memegang kepala, lumayan sakit. Badanku terasa pegal-pegal. Apakah ini efek tadi malam? Ah, entahlah. Yang jelas aku harus segera bangun dan menyiapkan sarapan untuk Mas Samuel dan Anin. Namun, saat menoleh ke samping tempat tidur tak ada Mas Samuel di sana. Hanya ada Anin yang masih tertidur pulas. Ke mana pria itu pergi? Aku pun turun dari ranjang, keluar dari kamar mencari keberadaan suamiku itu. "Mas?" Aku menoleh ke sana ke mari, memanggilnya berharap Mas Samuel mendengarku. "Mas Samuel?" panggilku lagi karena tak kunjung ada jawaban. Aku mengusap kasar wajahku sendiri dengan satu tangan di atas meja makan. Mas Samuel tak ada di apartemen. Pria itu pergi bahkan tanpa memberitahuku lebih dulu. Aku menyipitkan mata, melihat sesuatu menempel seperti kertas notes di lemari pendingin. Berjalan ke sana dan membaca isi pesan yang tertulis di kertas kecil tersebut. "Saya sudah pesank
Sudah beberapa hari ini, Mas Samuel rutin bertamu ke rumah Ibu. Entah apa tujuannya, tapi pria itu selalu saja menyempatkan waktu datang ke sini sekalipun baru pulang kerja. Ia juga membelikan banyak main untuk Sakti. Ah, perihal itu, aku sudah memberitahu Sakti. Semuanya, tanpa ada yang terlewat. Anak itu kesenangan sendiri, ia memang sempat tidak mau bicara padaku, tapi akhirnya dibujuk Mas Samuel hingga kini kami seperti keluarga. "Tumben Samuel belum datang? Biasanya dia jam 6 sudah ada di sini," ujar Ibu mengompori. Ya, biasanya Mas Samuel datang setiap jam 6 pagi ke sini. Ikut sarapan bersama kami dan setelahnya mengantar Sakti berangkat sekolah. Namun, sudah setengah 7 tapi batang hidung pria itu belum juga kelihatan. Aku sedikit, khawatir takut ia kenapa-kenapa. "Udah, dihabiskan dulu sarapannya. Kalau Samuel beneran nggak jemput Sakti, kamu bisa antar Sakti dulu. Ke butik bisa belakangan," ujar Ibu. Aku memang memutuskan kerja di butik Ibu. Aku dibimbing Ibu menjadi desai
1 Minggu kemudian. Di 1 Minggu ini, aku tidak banyak berjumpa dengan orang-orang sekitar. Semenjak pindah ke rumah ibu, waktuku dihabiskan bersama ibu dan Sakti. Aku juga telah mengurus beberapa surat kepindahan dan akhirnya saat ini aku bisa mendaftarkan Sakti ke TK. Soal panggilan dari Sky Group, aku memilih menolaknya. Waktu itu sempat tahap interview, tapi tidak jadi karena diriku memilih pergi. Aku—mungkin tidak akan bisa bekerja di bawah naungan Mas Samuel. "Kamu udah apply lamaran ke perusahaan, Mas?" tanya Mas Rifki yang pagi-pagi sudah ada di rumah Ibu. Pertanyaan itu langsung dapat anggukan dariku. Kami saat ini sedang sarapan bersama, Mas Rifki datang bersama istri dan anaknya hanya karena aku mendaftarkan Sakti ke TK di mana tempatnya sama dengan Sekolah Dasar Kenzo. Mbak Yuni menyahut, "Kamu jadi kerja di tempat Mas Rifki, Ser? Ngelamar posisi apa?" "Iya, bagian admin Mbak. Jalur referensi Mas Rifki. Katanya lagi ngebutuhin admin di sana," balasku apa adanya. Tiba
Suara dering ponsel mampu membangunkan tidur nyenyak 'ku. Panggilan itu berasal dari Reno. "Kenapa, Reno?" tanyaku bersandar di kepala ranjang. Kepalaku terasa berat. Mungkin efek mabuk semalam. "Di kantor ada Pak Rifki, Pak. Beliau menunggu di ruangan Bapak," jelas Reno. Aku mengerutkan kening. Untuk apa Rifki datang ke kantorku? "Saya segera ke sana," ucapku langsung memutus sambungan. Aku beranjak dari ranjang dengan kepala yang masih terasa pening. Namun, pandanganku tertuju kepada meja yang di atasnya terdapat lampu tidur. Di sana terdapat satu gelas air dengan sepucuk surat di bawahnya. > [Ini jamu yang bisa buat badan kamu lebih enakan. Jangan lupa diminum kalau sudah bangun. /from Serena]Aku tersenyum hangat membaca pesan tersebut. Kupikir perempuan itu marah karena semalam tanpa sadar aku telah membuatnya tidak berdaya di ranjang. Tanganku menggapai gelas tersebut dan meminumnya hingga tandas. Bentuk perhatiannya yang seperti membuatku makin yakin bahwa Serena hanya cu
Cekalan itu langsung terlepas ketika kami sampai di luar, tepatnya di depan mobil pria itu. Aku jadi tidak enak dengan Elmar yang masih di dalam. Pria itu pasti kecewa karena diriku pergi begitu saja tanpa mengucap sepatah kata. Saat kulihat, tatapan elang penuh amarah seketika tertuju padaku. Aku masih syok dengan kedatangannya yang di luar kendali. Apalagi melihat sorot matanya yang begitu menakutkan. Sehingga siapa pun yang melihatnya tidak berani menyapa, bahkan melirik saja mungkin tidak sampai. Setiap pergerakannya tidak lepas dari bola mataku. Meski aku takut sendiri, tapi pandanganku tidak bisa lepas darinya. Ia membuka jas yang menempel ditubuhnya, menyisakan kemeja putih sebagai pakaian yang kenakan. Tanpa diduga, jas hitam yang sempat ia copot tersebut beralih posisi sehingga kini aku yang memakai jas kebesaran itu. Tatapan kami bertemu. Tentu saja aku terkejut. Perhatiannya barusan membuat jantungku berdebar kencang. "Masuk," tegasnya berjalan lebih dulu ke arah mobil.
Saat ini, aku sedang mengobati luka Mas Samuel. Meski lukanya tidak cukup serius, tapi jika dibiarkan bisa jadi infeksi. Apalagi pukulan yang diberikan cukup keras sehingga sudut bibir pria itu sobek sedikit. Ah, soal Mas Rifki, ia sudah ditenangkan oleh Mbak Yuni. Aku menuangkan alkohol ke atas kapas, memegang dagu Mas Samuel tidak asa-asa. Pria itu meringis kala lukanya tidak sengaja ku tekan. Ini kedua kalinya aku melihat Mas Samuel terluka oleh kakakku, tapi soal rumah sakit. Apakah aku harus menanyakannya pada pria ini? "Tanya aja. Nggak usah ngeliatin saya kaya gitu," ucap Mas Samuel. Aku salah tingkah sendiri. Menurunkan tangan dari dagunya, lalu menatapnya lamat-lamat. "Yang dibilang Mas Rifki itu... benar?" tanyaku hati-hati. "Soal saya yang masuk rumah sakit karena kakak kamu?" Langsung kuberi anggukkan. "Soal itu, memang benar. Kejadiannya udah lama. Lagipula, saya masih hidup sampai sekarang. Jadi, pukulan Mas kamu nggak seberapa buat saya."Nggak seberapa bagaimana?
—Di dapurAku masih memikirkan ucapan Mbak Yuni. Entah kenapa hal itu malah menganggu konsentrasi. Mas Samuel dan Kinan tidak kembali. Dalam artian mereka tidak rujak atau menikah kembali. Apakah menutup telinga selama ini kesalahan terbesarku? "Serena?" Pikiranku saat ini penuh. Berbagai macam pertanyaan muncul di kepala. Tidak mungkin aku menyesal atas apa yang telah kupilih lima tahun yang lalu. Ya, tidak mungkin. Perasaan ini mungkin hanya sesaat saja. Perasaan memilukan karena tidak tahu bahwa nasib Mas Samuel justru lebih sulit dari dugaanku. "Astaga, Serena!" Aku tersentak. Buru-buru mematikan kompor. Menatap nanar ikan gosong di penggorengan. Miris. Bahkan ikan tersebut tidak ada yang bisa dimakan. Semuanya menghitam. "Kamu lagi mikirin apa coba? Masak kok malah ngelamun. Ikannya jadi gosong, kan," omel Ibu. Tatapku masih tertuju pada penggorengan di sana. Kecerobohanku lagi-lagi merugikan. Ibu terlihat marah juga khawatir. Aku tidak mengucapkan apa-apa, sebab masih syok
—HOTELAku sudah kembali ke hotel dengan perasaan campur aduk. Suaminya tidak sesuai yang aku harapkan. Harusnya aku lebih berhati-hati karena ketika hal buruk menimpa hidupku dengan Sakti, aku punya cara untuk menghindarinya. Kalau sudah seperti ini, apa yang harus aku lakukan, Tuhan? "Terima kasih, Mas. Aku sama Sakti ke dalam dulu," ujarku tersenyum tipis kepada Elmar. Elmar memegang tanganku kala pintu hotel hendak ditutup. Pria itu memberi kode kepada Sakti agar anak itu pergi lebih dulu ke dalam. Ia menarik tanganku sehingga kini aku berada di luar pintu. "Ada yang mau saya tanyakan sama kamu," ujar Elmar melepas cekalan tadi. Aku menekuk kedua alis. Apakah pria itu akan bertanya soal Mas Samuel? "Sejak kapan kamu dekat lagi dengan Samuel?" tanyanya. Dugaanku benar. Elmar menanyakan soal Mas Samuel. Namun, kenapa tiba-tiba begini? Ini bahkan terasa seperti interogasi, bukan tanya bertanya."Aku rasa kita nggak perlu bahas itu, Mas. Lagipula, dekat lagi atau nggak, itu hak
"Papa senang, akhirnya kita bertemu, Sakti."Bella langsung memegang pundakku. Perempuan itu juga membawa Sakti pergi menjauh dari kami. Kini, tinggal aku dan Mas Samuel yang saling berhadapan satu sama lain. Aku tidak tahu kenapa keadaan saat ini cukup mencekam. Mas Samuel terus menatapku seolah tidak ada objek lain di sekitarnya. Aku benar-benar tidak bisa berkata apa pun. Ini membuatku mati kutu. "Saya sudah melakukan tes DNA," ucap Mas Samuel makin mengejutkanku. "Ibu bilang bahwa Sakti begitu mirip dengan saya sewaktu kecil. Awalnya saya nggak berpikir demikian. Tapi, saat saya mencoba mendekat pada Sakti, saya merasa memang benar ada kemiripan antara saya dan Sakti. Itu sebabnya saya melakukan tes DNA," jelas pria itu. Mas Samuel menatapku sangat dalam. "Serena, jika Sakti memang anak kita berdua, kenapa kamu menyembunyikan hal ini dari saya?" Aku membuang wajah ke arah lain. Menarik napas di sana. Lalu menatap Mas Samuel dengan napas sedikit tercekat. "Sakti bukan anak ka
"Sakti?" panggilku langsung menghampirinya. "Kamu habis ngobrol sama siapa?" "Tadi ada uncle Samuel, Mom."Aku menatap arah pandangan Sakti. Yang terlihat hanya bagian belakangnya saja. Pria itu sudah menjauh. Ia berada di seberang jalan, lalu membuka pintu mobil dan pergi dari sana. "Mobilnya uncle Sakti bagus, ya, Mom." Aku mengangguk mengiyakan ucapan Sakti. "Lihat, uncle Samuel juga kasih mainan buat Sakti. Katanya ini mobil Tamia keluaran terbaru. Kalau besar nanti, Sakti mau jadi pembalap mobil, ya, Mom. Bolehkan?" Aku tersenyum dan mengangguk setuju. Apa pun untuk Sakti aku pasti akan perjuangkan. Cita-cita juga keinginannya sebisa mungkin akan kuberikan yang terbaik untuknya. Aku tidak ingin Sakti kekurangan apa pun. Untuk itu, aku harus berjuang lebih keras lagi. Tin! Tin! Tin! Tiba-tiba sebuah mobil berhenti di depan kami. Kaca mobil tersebut pun terbuka menampilkan sosok teman yang masih setia bersamaku hingga detik ini. "Aunty Bella!" pekik Sakti. Bella pun turun d