“Pak,” panggil Bagas.Suami Evita itu tergagap. Grady berdeham, kemudian berkedip cepat beberapa kali. Lelaki itu terlalu fokus dengan sikap Evita yang seolah tak mempan dia siksa. Pikirannya hanya dipenuhi dengan pertanyaan seputar cara apa yang mampu membuat Evita tersakiti.“Oh, maaf. Bisa ulangi sekali lagi?” pinta Grady.Bagas mengangguk sebagai respons.“Pihak Multitama Asia membatalkan kerjasama dengan kita.” Bagas menunjuk sebuah dokumen ke hadapan Grady. “Dan mereka telah menandatangani kerjasama dengan Primandaru Inc. beberapa jam yang lalu,” lanjut Bagas.Napas Grady terembus keras.“Kurang ajar!” Lelaki itu menggebrak meja lalu meremas dokumen di hadapan dan melemparnya dengan asal. “Sudah kuduga, Primandaru akan menghasut mereka. Licik sekali!” geram Grady.“Bukan hanya itu, Pak.” Bagas memasang raut tegang di wajahnya. Asisten Grady itu kemudian mengelurkan ponsel dan menunjukkan layarnya pada sang atasan. “Mereka juga mencuri ide kita,” lanjut Bagas.Wajah Grady langsun
Pelukan hangat menjadi jawaban atas permintaan maaf itu. Evita langsung menghambur dalam dekapan Grady, dengan netra yang berurai air mata.“Aku sudah memaafkan kamu, Grad. Aku selalu memaafkanmu,” ucap wanita itu disertai air mata haru.Sebuah usapan lembut, Grady berikan di kepala hingga punggung Evita seraya berkata, “Makasih, Sayang.”Perlahan-lahan, senyum di bibir Grady memudar. Berganti dengan sebuah seringai keji serta netra yang menyorot licik seraya membatin, ‘Makasih, karena kamu sudah membuka pintu untukku.’Evita sama sekali tidak curiga. Meski di awal dia sempat merasa permintaan maaf ini begitu mendadak dan aneh. Namun, usaha untuk memahami perasaan sang suami justru berakhir menjadi bumerang untuk diri sendiri.Usai mendapatkan maaf dari sang istri, sikap Grady berubah menjadi lebih lembut. Seperti sebelumnya, Grady memang pandai bersandiwara. Setiap ucapan manisnya mampu membuat Evita dengan begitu mudah terpedaya.Pagi itu, Grady yang sebelumnya tidak pernah lagi men
Suara pintu yang diketuk dengan cepat, membuat Evita tergesa-gesa keluar dari kamar mandi. Wanita itu berjalan sambil mengikat tali jubah mandi. Sampai-sampai, rambutnya yang setengah basah, dia biarkan tergerai begitu saja.“Iya, sebentar,” teriak Evita agar seseorang di luar sana berhenti mengetuk.Semakin Evita dekat dengan pintu, semakin panik pula dirinya. Karena selain suara ketukan, Evita juga mendengar suara tangisan. Wanita itu pun mendengarkan dengan seksama, sampai akhirnya dia tahu siapa yang menangis di depan pintu kamar.“Tania!” seru Evita seraya berlari lebih cepat ke arah pintu.Buru-buru dia buka pintu dan wanita itu langsung dihadapkan pada Tania yang menangis sesenggukan. Evita berjongkok, menyejajarkan tingginya dengan gadis kecil itu.“Tania! Apa yang terjadi? Kenapa kamu nangis, Sayang?” tanyanya cemas seraya menyeka air mata di wajah Tania.“Ma—mama ….” Gadis kecil itu terbata-bata dan justru melanjutkan ucapannya dengan raung tangisan. Jari mungil gadis itu me
Gracy berlari dan menghambur dalam pelukan Grady ketika adik laki-lakinya itu datang.“Grace? Kamu nggak apa-apa?” tanya Grady cemas.Tidak ada yang Gracy ucapkan sebagai jawaban. Wanita itu hanya menggeleng dan tersedu dalam dekapan.Grady pun tidak mencecarnya lagi, karena dia tahu hal itu hanya akan membuat Gracy semakin tertekan. Lelaki itu mengusap punggung sang kakak sampai akhirnya Gracy sedikit lebih tenang dan mulai bisa bicara. Mereka duduk bersisian di sofa dengan Grady yang terus menggenggam tangan sang kakak.“Aku nggak nyangka kalau dia akan melakukan kekerasan seperti ini,” ujar Grady.“Dia sudah lama selingkuh, Grad. Dan bodohnya, selama ini aku nggak pernah curiga,” adu Gracy.Grady menundukkan kepala sambil menarik napas dalam. Dia ingin bilang pada sang kakak kalau dia sudah tahu sejak lama, bahkan pernah memergoki dengan mata kepala sendiri bahwa kakak iparnya itu memang suka bermain wanita. Namun, sepertinya hal itu hanya akan menambah berat beban yang dirasakan G
“Siap?” tanya Grady.Evita mengangguk lantas bangkit menyambut uluran tangan si lelaki. Hari ini, Grady akan mengajak Evita untuk membeli gaun. Lelaki itu mengatakan bahwa tamu undangan yang lain adalah orang-orang penting, sehingga dia ingin Evita tampil sempurna.Keduanya pergi ke butik ternama yang ada di salah satu pusat perbelanjaan. Barang-barang yang dijual semuanya bermerek terkenal, dan harganya sudah pasti sangat mahal. Namun, Grady bersikeras untuk mengajak Evita membeli salah satu pakaian di sana.“Tolong carikan gaun malam yang cocok untuk istri saya,” kata Grady pada salah satu pegawai butik.Pegawai itu meneliti penampilan Evita. Sejenak kemudian, dia tersenyum ramah.“Mari silakan ikut saya, Bu,” kata si pegawai.Melihat pegawai itu berjalan ke bagian dalam butik, Evita lantas mengikutinya.“Postur Ibu sangat proporsional, akan banyak gaun yang cocok untuk Ibu,” kata pegawai itu.“Tapi tolong pilihkan yang tidak terlalu terbuka ya, Mbak,” pinta Evita.“Ibu tenang saja.
Gaun yang akan Evita kenakan sudah terbeli. Pada saat hari itu tiba, Grady sengaja meminta Evita untuk pergi ke salon guna merias diri. Lagi-lagi dengan alasan Grady ingin istrinya tampil sempurna di hadapan para kolega.“Ini nggak berlebihan, Grad? Aku bisa kok dandan sendiri,” kata Evita.“Nggak usah membantah. Lagian, salahnya di mana kalau aku ingin istriku terlihat cantik?” Grady menjawab dengan sorot mata lelah, karena sejak tadi Evita banyak menawar.Evita diam saja. Wanita itu menundukkan kepala sambil meremas paperbag berisi gaun yang mereka beli kemarin malam. Memang tidak salah jika seorang suami ingin melihat istrinya tampil cantik. Hanya saja, Evita merasa seperti dirinya akan dipamerkan pada rekan-rekan Grady.Menepis segala pikiran buruk itu, Evita menurut apa kata suaminya. Wanita itu pergi ke salon untuk merias wajah dan menata rambut. Grady bilang bahwa lelaki itu akan menjemputnya lagi setelah semua selesai.Begitu semua beres, Evita segera menghubungi Grady untuk m
Evita meneguk ludah. Tatapan Grady sangat mengintimidasi, hingga wanita itu hanya bisa berdiri kaku tanpa sepatah kata yang terucap ketika Grady menggenggam tangannya.“Aku ingin membuat pengakuan sama kamu,” ucap lelaki itu tanpa melepas tatapan matanya.Bibir Evita tampak bergerak-gerak. Wanita itu seperti ingin mengatakan sesuatu, namun lidahnya terasa kelu.“Jadi, sebenarnya undangan makan malam itu nggak pernah ada. Aku bohong sama kamu,” aku Grady.Mata wanita itu membola. Spontan dia menahan napas saat mendengar pengakuan suaminya. Seketika itu, ketakutan memenuhi rongga dada. Berbagai pikiran buruk pun berbondong-bondong menyerang kepala. Evita menarik tangan dari genggaman, namun Grady tak mau melepaskannya.“Hei, jangan takut!” kata Grady seraya menggenggam semakin kuat kedua tangan istrinya. “Aku belum selesai bicara,” lanjut lelaki itu.Terukir sebuah senyum di sudut bibir Grady. Lelaki itu menarik tangan Evita mendekat lalu kembali berkata, “Undangan makan malam itu meman
“Wah wah wah, sepertinya ada yang memulai pesta lebih dulu, nih,” seloroh salah satunya.“Hanya pemanasan,” balas Grady seraya menyalami ketiga lelaki itu.“Pemanasan yang benar-benar panas sepertinya,” ujar salah satu lelaki sambil memandang nakal ke arah Evita.Grady menoleh sekilas, mengikuti arah pandang lelaki itu dan berkata, “Sangat panas.”Basa-basi itu berakhir ketika Grady mengajak ketiga temannya ke sofa untuk diperkenalkan pada Evita.“Sayang, kenalin. Ini Gusti, Rendi, dan Adam.” Grady menunjuk satu persatu lelaki itu sambil tersenyum lebar. “Dan … ini istriku, Evita,” lanjut lelaki itu.Evita menahan napas. Dia bukannya tidak kenal dengan teman-teman Grady ini, bahkan dia sangat mengenal mereka. Ketiga lelaki itu adalah mantan pelanggan Evita. Bahkan tidak hanya sekali dua kali mereka menggunakan jasa wanita itu. Merupakan kebohongan besar jika sampai Evita mengaku tidak mengenal mereka.Ketiga lelaki itu memandang Evita dengan tatapan lapar. Sangat berbeda dengan saat m
Lika-liku kehidupan yang dilalui Evita, membuat wanita itu merasa seperti naik roller coaster. Meski terlalu banyak kisah pahit yang dia rasakan, namun tak sedikit pula air mata haru yang tumpah oleh kebahagiaan."Sudah siap?" tanya Yuliati seraya tersenyum hangat.Evita menarik napas dalam lalu mengangguk kecil. Rasa gugup yang memenuhi benak, membuat sekujur tubuhnya terasa kaku. Dia lantas menyambut uluran tangan Yuliati dengan telapak tangannya yang sedingin es."Sudah dua kali kok masih gugup," komentar Yuliati seraya terkekeh renyah."Aku takut, Bulik," kata Evita.Yuliati memutar badan, menatap pada Evita dengan ails berkerut samar."Takut kenapa?" tanyanya peduli.Evita meneguk ludah lalu menundukkan kepala, tidak tahu harus menjawab apa.Dengan lembut, Yuliati mengusap lengan keponakannya. Dia pun tersenyum hangat sebelum kembali berujar, "Bulik ngerti, apa yang telah terjadi di masa lalu kalian itu sangat menyakitkan. Bulik juga ndak akan bisa memaksa kamu untuk menjalani se
“Kamu di sini? Ini benar kamu, kan?” Grady mengurai pelukan lalu menangkup wajah Evita. Matanya menatap tak percaya pada si wanita. Dia lantas meneliti wajah mantan istrinya dengan seksama, khawatir salah melihat dan berakhir dengan kekecewaan.Evita menganggukkan kepala. Di sela-sela tangis, terselip senyum haru untuk sang mantan suami. Dia lantas menyentuh tangan Grady yang mendarat di pipinya.“Ini aku, Grad. Aku sudah maafin kamu, tapi kamu jangan pergi. Aku nggak mau kamu pergi,” ujar wanita itu dengan suara parau.Kedua netra Grady pun tampak berkaca-kaca. Terharu, bahagia yang teramat sangat. Apa yang dia pikir akan menjadi sesuatu yang tidak mungkin untuk digapai, ternyata Tuhan menggariskan takdir yang sebaliknya.“Terima kasih, Sayang. Terima kasih,” ucap lelaki itu seraya menarik tubuh Evita dalam dekapan.Mereka berpelukan erat dengan jiwa yang melebur dalam bermacam-macam emosi positif yang memenuhi benak. Sampai-sampai mereka menjadi pusat perhatian dari orang-orang yang
Evita tidak mengira kalau dia akan bertemu lagi dengan Arman, Gracy, bahkan Tania. Orang-orang yang berasal dari masa lalunya itu kini tengah duduk di teras rumah Yuliati.“Sini sama Mama, Sayang,” bujuk Gracy pada Tania yang tidak mau turun dari pangkuan Evita.Tania menggeleng dan malah memeluk leher Evita semakin erat.“Aku mau sama Tante saja,” kata gadis kecil itu.Evita memang tidak mengatakan apa-apa, tetapi wanita itu membalas pelukan Tania tak kalah erat. Seolah ingin menunjukkan bahwa dia juga sangat menyayangi anak itu, bahwa dia sangat merindukan gadis kecilnya yang kini sudah terlihat lebih besar.“Untuk apa kalian datang kemari?” tanya Evita dengan suara sedikit serak.Setelah Yuliati meninggalkan Evita bersama keluarga Ferdinata, hanya celotehan Tania yang menjadi penengah di antara mereka. Evita pun menjawab sekadarnya. Meski sudah berusaha terlihat ramah, namun tetap saja gurat kesedihan yang tergambar di wajah wanita itu tidak dapat ditutupi.“Maaf kalau kami datang
Sebuah mobil yang memasuki halaman rumah Yuliati mengundang perhatian. Yuliati dan beberapa pegawainya yang tengah mengemas snack pun langsung melihat ke luar rumah, ketika mereka mendengar deru halus mesin kendaraan roda empat tersebut.“Siapa yang datang?” gumam Yuliati.Wanita paruh baya itu mengelap tangan pada celemek lalu bangkit. Netranya masih mengarah pada mobil di luar yang baru saja berhenti. Tampak asing, Yuliati tidak pernah melihat mobil tersebut sebelumnya. Sempat berpikir bahwa mungkin saja itu adalah Grady, namun saat melihat seorang gadis kecil yang turun dari kendaraan tersebut, Yuliati semakin penasaran.“Anak siapa, ya? Ndak pernah lihat,” gumamnya lagi.Penasaran dengan tamunya, Yuliati pun keluar dari rumah. Kening wanita itu berkerut, menunggu sambil memperhatikan baik-baik penumpang mobil yang mulai menjejakkan kaki di halaman rumahnya satu persatu.“Ma, Tante ada di sini, ya?” Gadis kecil yang turun paling pertama dari mobil itu, terlihat bertanya pada seseor
Memang tidak salah jika ada yang bilang bahwa ikhlas adalah ilmu yang sangat tinggi. Bukan hal yang mustahil, tetapi tidak banyak orang yang mampu menakhlukkan ikhlas pada level tertinggi.Tak berbeda dengan Grady. Meski dia sudah berusaha merelakan Evita untuk mencari kebahagiannya sendiri, akan tetapi masih saja ada rasa sakit yang menyentil hati. Tidak hanya sekali dua kali, keinginan untuk mengingkari ucapan itu menggoda iman si lelaki. Namun, saat ingat bahwa hal tersebut hanya akan semakin memperkeruh hubungannya dengan Evita, lelaki itu pun berusaha keras untuk melawan keinginan hati. Apa pun yang terjadi, dia harus bisa bertahan agar Evita tidak semakin membencinya.Atensi Grady teralih pada dering ponsel yang terselip di saku celananya. Dia berhenti melangkah lalu mengambil ponsel tersebut untuk melihat siapa yang menghubungi. Setelahnya, dia angkat pandangan dan berkata pada orang yang sedang bersamanya.“Duluan saja. Nanti saya nyusul,” ujar lelaki itu.Dia lantas menepi ke
Semua mata terpusat pada arah sumber suara, pada seorang lelaki yang baru saja muncul dengan langkah yang semakin dekat dengan mereka. Wajah yang tidak asing, tampak tersenyum ramah pada keluarga tersebut.“Maaf, aku datang sepagi ini,” ucap Grady saat berhenti melangkah beberapa meter di hadapan Evita dan keluarganya. Lelaki itu berpaling sejenak pada dua pegawai toko bunga yang mengantar pesanannya, lalu berkata, “Tolong turunin bunganya.”Setelah itu, Grady kembali melihat pada Evita yang tengah mengetatkan rahang, tampak begitu murka terhadap dirinya. Wanita itu berjalan cepat dengan tangan mengepal, menghampiri Grady. Kemudian, sebuah tamparan mendarat di wajah si lelaki dengan begitu keras dan tiba-tiba.Plak!Wajah Grady turut berpaling mengikuti arah tamparan tersebut. Dia sentuh sisi wajah yang terasa panas dengan tenang. Dia tidak akan marah, meski Evita menghajar dirinya. Grady merasa itu masih belum sebanding dengan apa yang pernah dia lakukan pada wanita tersebut.“Pergi
Evita meneguk ludah, melihat Yuliati menatap penuh emosi kepadanya.“Bulik,” cicit Evita.“Ya Tuhan, Nduk,” ujar wanita paruh baya itu.Yuliati langsung menghampiri Evita dan memeluk keponakannya itu dengan erat.“Kenapa kamu ndak pernah bilang sama Bulik, Nduk? Kenapa kamu merahasiakan ini dari Bulik?” Yuliati mengurai pelukan lalu menangkup kedua sisi wajah Evita. Kedua pipi wanita paruh baya itu sudah basah oleh air mata yang membanjir.Sepintas, Evita melirik pada Yonik yang masih berdiri di ambang pintu sambil menundukkan kepala. Dugaannya, Yonik telah menceritakan semuanya kepada Yuliati. Tadinya, Evita ingin marah. Namun, saat ingat bahwa permintaan maaf Grady ditayangkan langsung, wanita itu meredam kembali kemarahannya. Karena tidak menutup kemungkinan bahwa Yuliati melihat tayangan itu dan bertanya pada Yonik.“Maaf, Bulik,” ucap Evita lirih. Wanita itu menundukkan kepala dalam-dalam, tak berani memandang wajah buliknya.Yuliati membersit ingus lalu merangkul Evita. Berusaha
Dejavu. Grady pernah membuat acara semacam ini untuknya saat dia masih bekerja di Neo Creative. Bedanya, sekarang mereka menjadi tontonan seluruh masyarakat Surabaya dan sekitarnya. Evita malu. Alih-alih menjawab sapaan lelaki itu, Evita justru menundukkan kepala untuk menyembunyikan wajah dari sorotan kamera, meski hal itu sudah sangat terlambat. Sungguh, dia ingin lari dari sana secepat mungkin. Namun, kakinya seolah sudah menyatu dengan lantai. Sendi-sendi di tubuhnya terasa kaku. Otaknya pun serasa membeku, hingga dia tak memiliki kendali untuk menggerakkan tubuhnya sendiri.Grady menoleh ke sekitar lalu tersenyum pada orang-orang yang ada di sana sebagai ucapan terima kasih karena sudah membantu dirinya melakukan semua ini.“Terima kasih untuk bantuannya. Maaf merepotkan kalian pagi-pagi begini,” ucap Grady pada semua orang yang terlibat dalam acara tersebut.Setelah itu, Grady kembali mengarahkan pandangan pada Evita yang tampak salah tingkah dan mati gaya di hadapannya. Lelaki
Apakah Evita masih cinta pada Grady?Pertanyaan itu terdengar mudah, namun sangat sulit untuk Evita jawab. Yonik baru saja melempar pertanyaan yang sangat sensitif, hingga wanita itu lebih memilih diam tak mengatakan apa-apa.Evita bahkan tidak tahu apa yang sebenarnya dia rasakan. Lisannya bisa saja berkata tidak, tetapi mengapa jika mengingat lelaki itu batinnya masih saja terasan sesak? Kalaupun dia jawab masih cinta, keinginan untuk bersama lagi rasanya sudah sirna dari dalam dada.Tak berbeda dengan Evita yang merasakan dilema, Yonik pun mencicipi hal serupa. Pembicaraannya dengan Evita mengenai masalah tersebut berakhir ketika wanita itu enggan untuk menjawab pertanyaannya. Di samping itu, Yuliati pun keburu pulang dari belanja dan ikut nimbrung mengobrol dengan mereka.Berkali-kali Evita memberi isyarat pada Yonik, memperingatkan lelaki itu untuk tidak menceritakan apa yang baru saja dia katakan tentang Grady kepada Yuliati. Melihat Yuliati yang begitu baik terhadap dirinya, Ev