Setelah puas menangis di dalam taksi, Evita meminta si sopir untuk mengantarnya ke sebuah alamat. Bukan ke kediaman keluarga Ferdinata, melainkan ke alamat kos kedua temannya, Ranti dan Dewi.Turun di pintu masuk gang, Evita berjalan kaki menuju tempat kos Ranti dan Dewi. Wanita itu berjalan gontai, bahkan hanya menanggapi sekadarnya saja beberapa orang yang menyapa. Malam memang belum terlalu larut, masih banyak warga yang berseliweran di sana. Namun, saat tiba di depan kamar kos Ranti dan Dewi, Evita mendapati lampu kedua kamar tersebut padam."Apa mereka belum pulang?" gumamnya."Belum pada pulang, Mbak!" seru tetangga kos yang letaknya berseberangan dengan kamar Ranti dan Dewi.Evita membalik badan."Oh, belum ya, Bu?" ucapnya pada tetangga kos itu."Belum, Mbak," sahutnya lagi.Evita mengangguk, kemudian tersenyum tipis sebagai ucapan terima kasih karena sudah diberi informasi.Melemaskan bahu sembari membuang napas keras melalui mulut, Evita lantas melepas kedua heels yang memb
"Pak Grady?" cicit Ranti.Wanita muda itu meneliti penampilan Grady. Jas yang sudah tidak terkancing dan dasi yang dilonggarkan menggantung di leher. Dugaan Ranti, bosnya ini tadi pergi bersama Evita ke sebuah acara."Apa Evita di sini?" tanya Grady to the point.Ranti membasahi bibir sambil mengerutkan alis. Bukankah dia tadi sudah menyuruh Evita untuk memberitahu suaminya? Lantas, mengapa sekarang Grady bertanya seperti itu padanya?"Apa dia ada di dalam?" tanya Grady sekali lagi.Ranti tergagap."Umh ... anu, Pak. Emh ..." Wanita itu tersenyum bodoh sambil menggaruk kepala. Bola matanya bergulir liar, menghindari objek di hadapannya.Jawaban itu mengundang hela napas lelah, kemudian Grady memutar mata jengah. Pada saat itu, tak sengaja netranya menangkap heels yang mirip dengan milik istrinya di rak sepatu. Alisnya berkerut, lantas lelaki itu membungkuk. Memungut heels tersebut dan memperhatikannya baik-baik. Setelah benar-benar yakin, Grady kembali mengarahkan pandangan pada Rant
Sempat tercengang beberapa waktu setelah mendengar pertanyaan Evita, Grady lantas mendengkus pelan. Lelaki itu tertawa kecil lalu menyentuh dahi istrinya, yang langsung dihindari oleh Evita.“Kamu tadi nggak jatuh di toilet, kan? Udah tiba-tiba ngilang, eh sekarang nanya yang aneh-aneh,” tanya Grady setengah bercanda.Evita menarik napas dalam sambil menundukkan kepala.“Apa aku terlihat sedang bercanda di sini?” tanya wanita itu dengan suara lirih.Seketika, tawa Grady berhenti. Lelaki itu kembali memasang raut serius dan menggeser posisi duduknya menjadi lebih serong ke arah sang istri.“Hei ….” Grady meraih tangan Evita lalu menggenggamnya. Sementara satu tangannya menyelipkan anak rambut wanita itu ke belakang telinga. “Sori,” ucapnya lembut.Sudut bibir Evita terangkat. Wanita itu memaksakan sebuah senyum di tengah rasa sesak yang mendera batinnya.“Bukan kamu yang harus minta maaf, Grad, tapi aku,” ucap Evita. “Aku memang nggak pantas jadi istri kamu. Aku terlalu kotor, bahkan s
“Nah, ini dia sudah datang. Baru juga diomongin,” seloroh Lody.“Ngomongin apa?” tanya Grady seraya duduk di kursinya.“Paradise,” jawab Lody.“Oh,” sahut Grady singkat, seperti tak tertarik untuk membahas masalah itu.Dia lantas tersenyum pada Evita yang sedang mengambilkan sarapan untuknya. “Banyakin sayurnya,” titah lelaki itu.Patuh, Evita menyendok tumisan brokoli dan udang dari mangkok lalu meletakkannya di piring Grady. Dia juga menambahkan cumi goreng tepung untuk melengkapi menu sarapan sang suami.“Makasih,” ucap Grady ketika mendapatkan piringnya.“Jadi, mulai kapan kamu akan berangkat?” tanya Arman.“Lusa,” jawab Grady santai sembari menyendok makanan dari piring lalu memasukkannya ke mulut.“Yakin, bakal tahan nggak pulang dua bulan?” ledek Lody sambil menatap penuh arti pada Evita.Sontak tangan Evita yang sedang mengambil lauk berhenti bergerak. Wanita itu berpaling pada Grady yang sempat melirik padanya, tapi buru-buru menurunkan pandangan dan sok sibuk dengan makanann
Beberapa hari selepas Grady pergi ke luar kota, keadaan masih aman terkendali. Sepertinya pekerjaan Lody di kantor juga sedang banyak, sehingga Evita jarang bertatap muka dengan lelaki itu di rumah. Namun, ini tak lantas membuat Evita tenang. Masih banyak waktu yang tersisa untuk menggenapi dua bulan kepergian Grady. Maka selama itu pula, tinggal satu atap dengan Lody masih menjadi ancaman serius untuknya.Di saat sedang menghabiskan waktu membaca buku, tiba-tiba saja Evita teringat dengan ucapan ayah mertuanya. Lelaki paruh baya itu pernah menyarankannya untuk melanjutkan pendidikan. Dan sepertinya itu adalah ide yang cukup bagus untuk menghindari Lody di rumah. Dengan kesibukan yang dia miliki, paling tidak bisa meminimalisir pertemuannya dengan predator berbahaya itu.Meninggalkan bukunya, Evita beralih ke layar ponsel dan mulai melakukan penelusuran yang dibutuhkannya. Wanita itu mencari referensi beberapa Universitas yang sekiranya cocok untuk dirinya.“Mencari tempat belajar?” s
Rasa perih yang melilit di ulu hati, memaksa Evita untuk beranjak dari tempat tidur. Wanita itu mendesis lirih sambil menekan perut bagian atas. Belakangan ini, dia terlalu fokus mencari informasi tentang beberapa perguruan tinggi untuk melanjutkan pendidikan, hingga seringkali melewatkan waktu makan.Jam di layar ponsel masih menunjukkan pukul 1 dini hari. Waktu yang masih cukup panjang untuk beristirahat, tetapi dengan rasa sakit seperti ini, Evita tidak akan bisa tidur dengan nyenyak. Wanita itu pun akhirnya memutuskan untuk mencari obat maag di kotak persediaan. Sayang, dia tidak memilikinya di kamar ini, sehingga dia harus turun ke lantai bawah untuk mencarinya.Cahaya temaram dari lampu-lampu sudut menjadi penerang ketika wanita itu menuruni anak tangga. Kotak persediaan obat itu ada di dapur, dan dia sedang menuju ke sana.Evita mengambil kotak tersebut dan membawanya ke meja bar, karena di sana ada lampu duduk yang bisa dia gunakan sebagai penerangan tanpa harus menyalakan lam
“Apa yang kalian lakukan?!” Gracy memekik dengan mata melebar, kala melihat suami dan adik iparnya dalam keadaan tidak senonoh.Lampu yang tiba-tiba menyala dan jeritan Gracy membuat dua orang di sana terkejut bukan main. Keduanya berpaling ke arah yang sama, dengan wajah yang menggambarkan ekspresi serupa.“Gracy,” cicit Lody.Lelaki itu memutar kepala ke arah Evita, lalu mendorong wanita itu hingga terjerembab ke lantai. “Akh!” rintih Evita, menggunakan telapak tangannya untuk menahan badan.“Dasar wanita jalang! Sudah kubilang jangan menggodaku!” hardik Lody, berlagak seolah Evita lah yang merayu dirinya.Evita mencengkeram piyama yang terbuka di bagian dada. Dia sama sekali tak menyangka bahwa Lody akan memutar balikkan fakta dengan begitu kejam. Dia lantas melihat pasangan suami dan istri itu secara bergantian. Di wajahnya tergambar ketakutan dan kepanikan yang begitu kentara.Usai mendorong Evita, Lody menarik cepat ritsletingnya yang sempat terbuka, kemudian menghampiri Gracy
Tidak ada lagi yang dapat terlelap setelah kejadian itu. Mereka berkumpul di ruang tamu, menunggu kedatangan Grady. Sejak Gracy menghubungi dan meminta lelaki itu pulang dengan cepat tanpa memberitahu permasalahan yang terjadi, Grady langsung tancap gas kembali ke Jakarta. Kebetulan waktu itu dia sedang berada di Semarang untuk mengurus pekerjaan lain yang ada di sana. Dan perjalanan yang normalnya akan memakan waktu tempuh sekitar 5-6 jam melalui tol itu dapat dia takhlukkan dalam waktu 3 jam saja. Jalanan lengang saat dini hari, menjadi faktor pendukung. Lelaki itu sangat mengkhawatirkan kondisi Gracy yang menghubunginya sambil menangis. Terlebih lagi, dia tak bisa mendapatkan informasi dari pihak lain, karena tak satu pun dari mereka yang menjawab panggilannya.Matahari masih mengintip malu-malu dari langit timur ketika Grady memarkirkan mobil dengan asal di halaman. Lelaki itu berlari masuk ke rumah dengan tergesa, dan mendapati anggota keluarganya sedang berkumpul di ruang tamu.
Lika-liku kehidupan yang dilalui Evita, membuat wanita itu merasa seperti naik roller coaster. Meski terlalu banyak kisah pahit yang dia rasakan, namun tak sedikit pula air mata haru yang tumpah oleh kebahagiaan."Sudah siap?" tanya Yuliati seraya tersenyum hangat.Evita menarik napas dalam lalu mengangguk kecil. Rasa gugup yang memenuhi benak, membuat sekujur tubuhnya terasa kaku. Dia lantas menyambut uluran tangan Yuliati dengan telapak tangannya yang sedingin es."Sudah dua kali kok masih gugup," komentar Yuliati seraya terkekeh renyah."Aku takut, Bulik," kata Evita.Yuliati memutar badan, menatap pada Evita dengan ails berkerut samar."Takut kenapa?" tanyanya peduli.Evita meneguk ludah lalu menundukkan kepala, tidak tahu harus menjawab apa.Dengan lembut, Yuliati mengusap lengan keponakannya. Dia pun tersenyum hangat sebelum kembali berujar, "Bulik ngerti, apa yang telah terjadi di masa lalu kalian itu sangat menyakitkan. Bulik juga ndak akan bisa memaksa kamu untuk menjalani se
“Kamu di sini? Ini benar kamu, kan?” Grady mengurai pelukan lalu menangkup wajah Evita. Matanya menatap tak percaya pada si wanita. Dia lantas meneliti wajah mantan istrinya dengan seksama, khawatir salah melihat dan berakhir dengan kekecewaan.Evita menganggukkan kepala. Di sela-sela tangis, terselip senyum haru untuk sang mantan suami. Dia lantas menyentuh tangan Grady yang mendarat di pipinya.“Ini aku, Grad. Aku sudah maafin kamu, tapi kamu jangan pergi. Aku nggak mau kamu pergi,” ujar wanita itu dengan suara parau.Kedua netra Grady pun tampak berkaca-kaca. Terharu, bahagia yang teramat sangat. Apa yang dia pikir akan menjadi sesuatu yang tidak mungkin untuk digapai, ternyata Tuhan menggariskan takdir yang sebaliknya.“Terima kasih, Sayang. Terima kasih,” ucap lelaki itu seraya menarik tubuh Evita dalam dekapan.Mereka berpelukan erat dengan jiwa yang melebur dalam bermacam-macam emosi positif yang memenuhi benak. Sampai-sampai mereka menjadi pusat perhatian dari orang-orang yang
Evita tidak mengira kalau dia akan bertemu lagi dengan Arman, Gracy, bahkan Tania. Orang-orang yang berasal dari masa lalunya itu kini tengah duduk di teras rumah Yuliati.“Sini sama Mama, Sayang,” bujuk Gracy pada Tania yang tidak mau turun dari pangkuan Evita.Tania menggeleng dan malah memeluk leher Evita semakin erat.“Aku mau sama Tante saja,” kata gadis kecil itu.Evita memang tidak mengatakan apa-apa, tetapi wanita itu membalas pelukan Tania tak kalah erat. Seolah ingin menunjukkan bahwa dia juga sangat menyayangi anak itu, bahwa dia sangat merindukan gadis kecilnya yang kini sudah terlihat lebih besar.“Untuk apa kalian datang kemari?” tanya Evita dengan suara sedikit serak.Setelah Yuliati meninggalkan Evita bersama keluarga Ferdinata, hanya celotehan Tania yang menjadi penengah di antara mereka. Evita pun menjawab sekadarnya. Meski sudah berusaha terlihat ramah, namun tetap saja gurat kesedihan yang tergambar di wajah wanita itu tidak dapat ditutupi.“Maaf kalau kami datang
Sebuah mobil yang memasuki halaman rumah Yuliati mengundang perhatian. Yuliati dan beberapa pegawainya yang tengah mengemas snack pun langsung melihat ke luar rumah, ketika mereka mendengar deru halus mesin kendaraan roda empat tersebut.“Siapa yang datang?” gumam Yuliati.Wanita paruh baya itu mengelap tangan pada celemek lalu bangkit. Netranya masih mengarah pada mobil di luar yang baru saja berhenti. Tampak asing, Yuliati tidak pernah melihat mobil tersebut sebelumnya. Sempat berpikir bahwa mungkin saja itu adalah Grady, namun saat melihat seorang gadis kecil yang turun dari kendaraan tersebut, Yuliati semakin penasaran.“Anak siapa, ya? Ndak pernah lihat,” gumamnya lagi.Penasaran dengan tamunya, Yuliati pun keluar dari rumah. Kening wanita itu berkerut, menunggu sambil memperhatikan baik-baik penumpang mobil yang mulai menjejakkan kaki di halaman rumahnya satu persatu.“Ma, Tante ada di sini, ya?” Gadis kecil yang turun paling pertama dari mobil itu, terlihat bertanya pada seseor
Memang tidak salah jika ada yang bilang bahwa ikhlas adalah ilmu yang sangat tinggi. Bukan hal yang mustahil, tetapi tidak banyak orang yang mampu menakhlukkan ikhlas pada level tertinggi.Tak berbeda dengan Grady. Meski dia sudah berusaha merelakan Evita untuk mencari kebahagiannya sendiri, akan tetapi masih saja ada rasa sakit yang menyentil hati. Tidak hanya sekali dua kali, keinginan untuk mengingkari ucapan itu menggoda iman si lelaki. Namun, saat ingat bahwa hal tersebut hanya akan semakin memperkeruh hubungannya dengan Evita, lelaki itu pun berusaha keras untuk melawan keinginan hati. Apa pun yang terjadi, dia harus bisa bertahan agar Evita tidak semakin membencinya.Atensi Grady teralih pada dering ponsel yang terselip di saku celananya. Dia berhenti melangkah lalu mengambil ponsel tersebut untuk melihat siapa yang menghubungi. Setelahnya, dia angkat pandangan dan berkata pada orang yang sedang bersamanya.“Duluan saja. Nanti saya nyusul,” ujar lelaki itu.Dia lantas menepi ke
Semua mata terpusat pada arah sumber suara, pada seorang lelaki yang baru saja muncul dengan langkah yang semakin dekat dengan mereka. Wajah yang tidak asing, tampak tersenyum ramah pada keluarga tersebut.“Maaf, aku datang sepagi ini,” ucap Grady saat berhenti melangkah beberapa meter di hadapan Evita dan keluarganya. Lelaki itu berpaling sejenak pada dua pegawai toko bunga yang mengantar pesanannya, lalu berkata, “Tolong turunin bunganya.”Setelah itu, Grady kembali melihat pada Evita yang tengah mengetatkan rahang, tampak begitu murka terhadap dirinya. Wanita itu berjalan cepat dengan tangan mengepal, menghampiri Grady. Kemudian, sebuah tamparan mendarat di wajah si lelaki dengan begitu keras dan tiba-tiba.Plak!Wajah Grady turut berpaling mengikuti arah tamparan tersebut. Dia sentuh sisi wajah yang terasa panas dengan tenang. Dia tidak akan marah, meski Evita menghajar dirinya. Grady merasa itu masih belum sebanding dengan apa yang pernah dia lakukan pada wanita tersebut.“Pergi
Evita meneguk ludah, melihat Yuliati menatap penuh emosi kepadanya.“Bulik,” cicit Evita.“Ya Tuhan, Nduk,” ujar wanita paruh baya itu.Yuliati langsung menghampiri Evita dan memeluk keponakannya itu dengan erat.“Kenapa kamu ndak pernah bilang sama Bulik, Nduk? Kenapa kamu merahasiakan ini dari Bulik?” Yuliati mengurai pelukan lalu menangkup kedua sisi wajah Evita. Kedua pipi wanita paruh baya itu sudah basah oleh air mata yang membanjir.Sepintas, Evita melirik pada Yonik yang masih berdiri di ambang pintu sambil menundukkan kepala. Dugaannya, Yonik telah menceritakan semuanya kepada Yuliati. Tadinya, Evita ingin marah. Namun, saat ingat bahwa permintaan maaf Grady ditayangkan langsung, wanita itu meredam kembali kemarahannya. Karena tidak menutup kemungkinan bahwa Yuliati melihat tayangan itu dan bertanya pada Yonik.“Maaf, Bulik,” ucap Evita lirih. Wanita itu menundukkan kepala dalam-dalam, tak berani memandang wajah buliknya.Yuliati membersit ingus lalu merangkul Evita. Berusaha
Dejavu. Grady pernah membuat acara semacam ini untuknya saat dia masih bekerja di Neo Creative. Bedanya, sekarang mereka menjadi tontonan seluruh masyarakat Surabaya dan sekitarnya. Evita malu. Alih-alih menjawab sapaan lelaki itu, Evita justru menundukkan kepala untuk menyembunyikan wajah dari sorotan kamera, meski hal itu sudah sangat terlambat. Sungguh, dia ingin lari dari sana secepat mungkin. Namun, kakinya seolah sudah menyatu dengan lantai. Sendi-sendi di tubuhnya terasa kaku. Otaknya pun serasa membeku, hingga dia tak memiliki kendali untuk menggerakkan tubuhnya sendiri.Grady menoleh ke sekitar lalu tersenyum pada orang-orang yang ada di sana sebagai ucapan terima kasih karena sudah membantu dirinya melakukan semua ini.“Terima kasih untuk bantuannya. Maaf merepotkan kalian pagi-pagi begini,” ucap Grady pada semua orang yang terlibat dalam acara tersebut.Setelah itu, Grady kembali mengarahkan pandangan pada Evita yang tampak salah tingkah dan mati gaya di hadapannya. Lelaki
Apakah Evita masih cinta pada Grady?Pertanyaan itu terdengar mudah, namun sangat sulit untuk Evita jawab. Yonik baru saja melempar pertanyaan yang sangat sensitif, hingga wanita itu lebih memilih diam tak mengatakan apa-apa.Evita bahkan tidak tahu apa yang sebenarnya dia rasakan. Lisannya bisa saja berkata tidak, tetapi mengapa jika mengingat lelaki itu batinnya masih saja terasan sesak? Kalaupun dia jawab masih cinta, keinginan untuk bersama lagi rasanya sudah sirna dari dalam dada.Tak berbeda dengan Evita yang merasakan dilema, Yonik pun mencicipi hal serupa. Pembicaraannya dengan Evita mengenai masalah tersebut berakhir ketika wanita itu enggan untuk menjawab pertanyaannya. Di samping itu, Yuliati pun keburu pulang dari belanja dan ikut nimbrung mengobrol dengan mereka.Berkali-kali Evita memberi isyarat pada Yonik, memperingatkan lelaki itu untuk tidak menceritakan apa yang baru saja dia katakan tentang Grady kepada Yuliati. Melihat Yuliati yang begitu baik terhadap dirinya, Ev