Keduanya berbincang dengan akrab. Lamanya waktu yang sempat memisahkan, membuat Sandi dan Erlina menceritakan banyak hal.
"Jadi katakan padaku, apakah kau sudah menikah?" telusur Sandi lebih privasi setelah sebelumnya hanya membahas soal masa-masa sekolah mereka.
"Hmm, belum."
"Belum?"
"Kurasa tak ada satu pria pun yang tertarik padaku," elak Erlina tersenyum tipis.
"Astaga, Lina. Kamu pintar, cantik, menarik, dan kau bilang tidak ada satu pria pun yang tertarik padamu? Hanya pria bodoh yang tak bisa melihat sebuah permata secantik dirimu." Erlina tertawa seketika. Mimik lucu yang ditunjukkan Sandi membuatnya tergelak tiada habis. "Hei, kenapa kau tertawa?"
"Habisnya kamu itu lucu. Sama seperti dulu." Erlina makin keras dengan gelak tawanya.
Wajah Sandi berubah masam karena merasa mendapat ejekan dari teman lamanya itu.
"Ok, ok. Maaf." Erl
Sandi baru dari toilet dan sudah kembali ke meja dimana ia dan Erlina bertemu untuk makan malam. Namun betapa terkejutnya dia ketika melihat perempuan itu sedang memegang ponselnya, seperti bicara dengan seseorang. Erlina terkejut saat tiba-tiba Sandi merebut ponsel di tangannya. Pria itu melihat pada layar ponsel, siapa gerangan orang yang menelpon. Dua kali lebih kaget lagi ketika tau yang menghubungi adalah Anita. "Anita?" "San. Dari mana saja kamu? Kenapa seorang perempuan yang mengangkat telponmu?" "Maaf, aku baru dari toilet." "Lalu, siapa perempuan itu?" "Hmm....dia--," Sandi melirik sekilas pada Erlina yang menunduk, merasa tak enak hati karena sebelumnya sudah lancang mengangkat telpon milik Sandi tanpa izin, "temanku." Senyap. Tak ada sahutan dari seberang telpon. Sandi jadi gelisah sendiri. "O
Anita menjadi panik. Refleks ia meletakkan tas yang dijinjingnya begitu saja dan balik berputar, mengecek daun pintu. Benar saja kata Rama. Pintu itu tak bisa dibuka. Meski harus mengeluarkan seluruh tenaga, Anita tetap tak mampu membukanya. "Kenapa bisa begini? Sejak kapan pintu ini rusak?" tanya Anita makin panik. Ia masih berusaha menarik tuas pintu. "Bagaimana kita bisa keluar dari sini?" Anita membalik badan, melihat pada Rama. Pria itu hanya menatapnya dengan pandangan datar. Sama sekali tidak ada rasa cemas atau khawatir sama sekali. "Salah sendiri tidak membaca peringatan di luar," ujar Rama enteng. Anita berdecak, merutuki kecerobohannya sendiri. "Ayo bantu aku membuka pintu ini!" "Percuma! Sampai pingsan pun kau tak akan bisa membukanya." "Lalu bagaimana kita bisa keluar?" Akal Anita bergerak mencari car
Sandi pulang dalam keadaan lesu. Ia tidak menemukan Anita setelah mencarinya ke beberapa tempat. Bahkan di rumah perempuan itu, Sandi tidak menemukan keberadaan kekasihnya disana. Rumahnya dalam keadaan gelap, itu berarti Anita masih belum pulang.Sekarang Sandi berpikir, apakah kekasihnya itu sedang keluar dengan Rama, rivalnya. Sempat terbersit ingin meminta nomor telpon milik Rama, memastikan benarkah kalau Anita memang bersamanya. Tapi Sandi mengurungkan niat karena merasa tak enak hati. Hanya saja, hatinya dipenuhi rasa kecewa jika itu memang benar terjadi.Kenapa Anita tidak jujur? Kami bersaing secara adil. Secara sehat. Kenapa harus diam-diam tanpa memberitahuku lebih dulu? "Kau sudah pulang, Sayang?" Teguran itu membuat Sandi menoleh ke arah datangnya suara.Sandi yang awalnya ingin melangkah langsung menuju kamarnya jadi mengurungkan niat melihat ibundanya tengah sibuk di meja makan, me
"Jadi Erlina masih belum punya pacar?""Nggak tau, Jeng Sari. Dia tuh sulit banget kalau disuruh dekat laki-laki. Katanya takut nggak cocok dan bikin sakit hati.""Tapi kan umurnya sudah cukup untuk menikah. Jadi mau nunggu apa lagi?"Perbincangan kecil antara mama Sandi dan Kayla, ibunda dari Erlina terhenti sesaat. Kayla mengubah letak duduknya, mendekat pada Sari. Dengan suara rendah, ia melanjutkan obrolan yang semula terjeda, menjawab pertanyaan Sari."Ssssttttttt! Jangan bilang-bilang ya, Jeng. Sebenarnya, Erlina belum ingin menjalin hubungan dengan pria manapun karena dia masih berharap kepada seseorang.""Oh...ya? Jadi dia sudah pernah jatuh cinta?" Kayla mengangguk. "Jadi penasaran seperti apa laki-laki yang anak itu harapkan.""Ehm....sebenarnya laki-laki itu--.""Ma, Kinara telpon kalau dia sudah sampai di bandara. Dia minta aku menjemputnya sekarang." Ka
Keduanya bertemu enam tahun lalu, tepatnya saat Kinara masih sekolah menengah pertama. Kegiatan tour yang diadakan oleh sekolah tempat gadis berusia empat belas tahun itu, mempertemukan dirinya dengan sosok Erlina yang kebetulan juga melakukan ekspedisi dengan teman kampusnya. Saat itu Kinara yang terlihat masih polos sedang tersesat dari rombongan sekolah. Ia menangis sendiri karena takut, sampai akhirnya bertemu dengan Erlina. "Kenapa kau menangis gadis manis? Dimana keluargamu?" Dengan sikap takut-takut, Kinara menjawab pertanyaan Erlina. "Aku terpisah dari teman-temanku, Kak." Erlina terkejut dan ikut panik karenanya. "Kenapa kau tid
Rama mengakhiri makan siangnya dengan sendawa keras, membuat Anita melebarkan mata tak percaya. "Kenapa menatapku seperti itu?" Rama memprotes tak terima. "Kau, jorok!" Rama hanya mencebik dan berdiri untuk mencuci piringnya sendiri. "Tunggu!" Anita mengejar. "Mau cuci piring ya?" Rama mengangguk saja, tanpa angkat bicara. "Titip, dong!" Mata Anita mengerjap beberapa kali, memohon dengan netranya. Bibir Rama tertarik sebelah dengan kedua alis yang menyatu. Ia cemberut, namun tetap merebut piring kotor di tangan perempuan itu. "Sejak kapan kau berani menyuruh atasanmu sendiri?" "Sejak kau masak seenaknya di rumahku. Salah siapa kau main masak semaunya disini?" "Aku akan memotong gajimu." "Boleh. Asal kau tambah tiga kali lipat bonus bulananku." Rama menggeleng pasrah. Kalau dilanjutkan, perdebatan
Erlina masih setia menatap gadis yang saat ini sibuk mondar-mandir di dekatnya. Meski demikian, tangannya tetap bergerak dengan lincah menyelesaikan rancangan baju yang sedang ia garap."Mau sampai kapan kamu mondar-mandir begitu, hmm? Apa kakimu tidak pegal?" tegurnya dengan suara rendah."Mbak," Kinara tak menyelesaikan kalimatnya. Ia berpikir dengan keras bagaimana cara menyusun kalimat yang ingin ia sampaikan pada Erlina. Gadis berponi itu menggigit kuku-kukinya, sajak bimbang, "aku sudah melihat perempuan itu."Erlina yang tadinya menunduk pada gaun di depannya, terdiam sejenak menafsirkan maksud ucapan Kinara."Menurutku dia cukup cantik," Kinara berucap lagi dan Erlina menoleh pada gadis yang sudah ia anggap sebagai adiknya itu. "Tapi kalau dibandingkan sama Mbak Lina dia masih belum apa-apa kok." Kinara menambahi kalimat sebelumnya."Kau menyelidiki pacar kakakmu?" tanya Erlina ter
Wulan terkejut melihat Anita datang dengan mendung di wajahnya. Terlihat sekali kalau temannya itu sedang dalam keadaan kesal."Ada apa denganmu?" tanyanya."Nggak pa-pa," sahut Anita singkat dan sedikit culas."Nggak pa-pa kok wajahmu cemberut begitu?""Wajahku emang begini. Kamu aja yang salah tafsir."Hanya terdengar helaan napas dari Wulan, menanggapi sangkalan Anita. Kepalanya mendongak dengan tangan bertopang dagu, seperti sedang memikirkan sesuatu."Apakah mungkin karena gosip itu?" gumam Wulan seperti pada dirinya sendiri. Namun Anita yang tersindir refleks menoleh langsung padanya."Gosip apa?" Anita seakan tidak tahu."Tentang Bu Marsa dan Pak Rama. Hari ini semua orang kantor membicarakan mereka kan?""Mana ada? Aku nggak dengar sama sekali kok."Wajah Anita menunduk dalam, menyembunyikan keboho
Satu kantor Ardyatama Corp dibuat heboh. Pasalnya Arya membawa kabar penting buat seluruh staf disana. Berita mengenai pernikahan sang direktur dengan salah satu karyawannya, menjadi topik utama. Hampir di setiap sudut kantor bergerombol para karyawan yang sedang membahas berita pernikahan dadakan itu. Ya, akhirnya Rama berhasil menikahi Anita kembali. Perempuan yang ia cintai selama ini. "Duh, aku harus beli gaun baru kalau gitu," gumam Wulan bingung sendiri. Seorang teman yang kebetulan ada di dekatnya juga ikut menyela. "Sepertinya aku juga. Gimana kalau kita beli sama-sama? Aku punya kenalan pemilik butik. Pakaian yang dia jual bagus-bagus loh. Dan yang pasti kita akan dikasih harga miring," ujar perempuan bernama Dinda itu. "Benarkah? Wah....boleh tuh. Nanti ya kita kesana sama-sama." "Eh, tapi ngomong-ngomong nih, Anita beruntung ya dapetin Pak Rama. Udah ganteng, kaya pula." Dinda mulai
Semua orang di ruang tamu dibuat terkejut begitu Sandi muncul di tengah-tengah mereka. Kinara spontan berdiri dan menghampiri kakaknya, bertanya apa yang terjadi."Mas, gimana? Apa yang Mbak Anita katakan?""Mas ingin bicara sama Mama dan kalian secara pribadi."Jawaban Sandi sudah bisa ditebak kalau masalahnya sedikit serius. Sandi mendekati mamanya dan membisikkan sesuatu pada perempuan berjilbab itu. Setelah pamit pada sang tuan rumah untuk keluar sebentar, Sandi memulai percakapan dengan keluarganya."Apa yang terjadi, Nak? Kenapa kamu mengajak Mama dan adik-adikmu keluar?" tanya Sari penasaran. Saat ini mereka sedang duduk melingkar di sebuah meja bundar, di teras rumah Anita."Aku ingin mengatakan sesuatu pada kalian." Sandi menatap Mama dan kedua adiknya, bergantian. "Dan apa yang akan Sandi katakan ini akan menjadi keputusan yang Anita ambil nantinya.""Ada apa sih
Meski sebisa mungkin Heni dan Rangga mencairkan suasana dengan mengajak ngobrol salah satu dari tamunya, namun tetap saja suasana kaku dan tegang masih menyelimuti. Seperti ada kabut tebal yang menyelubungi ruang tamu tersebut. Dan pada akhirnya, hanya kebungkaman yang terjadi. Memperkukuh kesenyapan di antara banyaknya orang dalam ruangan itu. Sementara itu.... Ketiga orang di ruangan yang berbeda masih duduk membeku dalam kebisuan. Penantian yang mereka tunggu, bukan sesuatu yang menyenangkan bagi ketiganya. Mereka tahu, keputusan apapun yang akan diambil hari ini, akan menyakiti hati seseorang. "Apa kalian siap dengan keputusan yang akan ku ambil hari ini?" Manik mata Anita menatap dua pria di seberangnya, bergantian. "Apapun keputusanmu, kami harus siap menerimanya, Anita," cetus Rama mendahului. Di sisi lain, Sandi nampa
Heni menatap keempat tamunya dengan tubuh tegang. Ini kali pertama ia sebagai seorang ibu menghadapi langsung yang namanya calon besan. Sandi mengurai senyum lebih dulu pada ibu kekasihnya, membuat ketegangan Heni sedikit berkurang."Mari masuk," ia mempersilahkan.Sandi mengangguk lalu mengajak mama dan dua adiknya masuk.Rio dan Anita menyalami keluarga Sandi diikuti Dona kemudian. Setelahnya Anita menyuruh mereka duduk, sementara Dona masuk ke dalam membantu mamanya menyiapkan suguhan."Sebelumnya aku minta maaf. Karena sebelum kita masuk ke topik pembicaraan, aku ingin kita menunggu tamu yang lain datang dulu," Anita mendahului.Pemberitahuannya sedikit membuat Sandi terkejut."Siapa Sayang? Apakah keluargamu yang lain?" tanya Sandi cepat."Kau akan tahu nanti kalau mereka sudah datang."Sandi menatap Anita lekat. Berusaha menyelidik m
Heni dan Rangga sampai di rumah Anita tepat siang hari. Tampak sang putri tengah duduk seperti menanti kedatangan mereka."Ma, Pa, aku merindukan kalian." Anita memeluk orang tuanya penuh kerinduan. Matanya yang menangkap sekelebat bayangan wanita muda masuk ke dalam rumah, sedikit terkejut juga heran. Ia pun langsung menanggapi, "Dona ikut juga, Pa?""Adikmu berkeras untuk ikut. Katanya bosan di rumah terus," jawab Rangga melepas jaket kulitnya lalu duduk di sofa. Heni yang biasanya terus masuk ke dalam, kini hanya mengikuti apa yang Rangga lakukan. Duduk di sampingnya."Hai, Mbak. Rumah daerah sini lumayan juga ya. Aku barusan lihat-lihat," seru Dona dari jauh. Wajahnya terlihat sangat berseri."Kamu nggak tanya kabar Mbak dulu malah asik lihat-lihat rumah. Emang nggak kangen?" cetus Anita merengut."Iya deh. Dona juga kangen sama Mbak kok." Dona memeluk kakaknya. "Gimana tinggal disini,
Sandi tak akan menyangka kalau sang adik akan menentang rencananya. Kinara berdiri dari tempatnya dengan wajah setengah geram."Ara tidak setuju, Mas!""Kenapa, Ra?""Perempuan itu bukan wanita baik-baik.""Apa maksudmu bilang begitu?""Mas nggak tau kan apa yang dia lakukan di belakang Mas Sandi?" Kinara melangkah gelisah, mondar-mandir tanpa jelas."Memang apa yang tidak aku tahu?" Sandi mendesak tak sabar.Kinara berdecak lalu mengambrukkan tubuhnya kembali, namun kali ini ia mengambil tempat tepat di samping Sandi."Apa Mas lupa kalau kemarin kita mencari Mbak Anita? Dan apa kata orang waktu itu, kekasih Mas itu keluar sama laki-laki lain bukan?" Suasana kini berubah tegang. Wajah serius mulai ditunjukkan Sari, sang mama."Apa maksud ucapanmu, Kinara? Kapan kalian mencari Anita? Dan siapa pria yang bersamanya itu?" Kal
Rama mondar-mandir dengan gelisah di ruangannya. Disana juga ada Arya yang setia mendampingi keberadaan sahabatnya."Kira-kira, apa yang akan dilakukan Sandi pada Anita?" Rama meminta pertimbangan Arya setelah merasa lelah berjalan kesana-kemari dan menghenyakkan tubuhnya di sofa tunggal. "Sandi tidak mungkin menyakiti Anita bukan?""Aku yakin dia tidak akan melakukan hal sejauh itu. Sandi sangat mencintai Anita, jadi tidak mungkin berbuat sekasar itu padanya.""Ah....mungkin sebaiknya aku menyusul mereka. Aku benar-benar tidak tenang kalau hanya berdiam diri di sini terus." Rama berdiri kembali dari tempat duduknya."Tunggu Rama! Please, jangan berpikir seperti anak-anak. Aku tahu kamu mencemaskan Anita saat ini. Tapi berikan kesempatan pada Anita untuk menyelesaikan masalahnya dengan Sandi. Kau tidak harus ikut campur dalam hal ini."Tangan Rama mengepal kuat. Ia mengutuk kalimat Arya ya
Anita dan Wulan sudah siap untuk kembali ke kota. Rupanya Arya dan Rama telah menanti mereka di dekat mobil masing-masing. Kembali Anita ingat suatu hal yang ingin ia tanyakan pada Wulan. Karenanya sebelum keduanya mendekati mobil, Anita menghentikan langkah temannya itu."Lan, aku mau tanya sesuatu padamu," ujarnya perlahan."Soal apa?""Kau sama Pak Arya. Kenapa tiba-tiba kalian begitu dekat?" Pandangan Anita begitu menuntut, namun hanya ditanggapi Wulan dengan gelak tawa kecil."Nggak ada apa-apa. Kami cuma berteman saja kok.""Tidak. Kau pasti bohong. Ayo jujur padaku, apa sebenarnya yang kalian sembunyikan? Yang kutahu, kalian tak sedekat ini sebelumnya.""Kau terlalu berpikir macam-macam, Nit. Sudahlah. Ayo kita pulang. Lihat, mereka sudah tak sabar menunggu kita.""Kalau kau tidak mau menjawab, aku akan bertanya pada Pak Arya, hari ini juga."
"Kamu jadi ke mall atau tidak? Tapi maaf, Mas tidak bisa menemanimu." Suara Sandi terdengar dingin, membuat nyali Kinara sedikit ciut."Kita pulang saja," jawab Kinara lesu. Ia sungguh tak berani menatap wajah sang kakak yang jelas-jelas sedang meredam amarah.Tanpa banyak kata, Sandi melajukan mobilnya, pulang ke rumah."Mas Sandi tidak turun?" tanya Kinara saat mobil telah sampai di depan pagar, dan Sandi membuka kunci otomatis mobil, menandakan bahwa Kinara harus turun tanpa menunggu mobil masuk dalam garasi terlebih dulu."Aku masih ada perlu.""Kemana? Mencari Mbak Anita?"Tatapan tajam dilayangkan Sandi pada adiknya, membuat Kinara harus menunduk kembali karena takut. Sungguh baru kali ini kakaknya itu bersikap demikian padanya."Turunlah!" Perintah tegas itu mendapat respon cepat dari Kinara. Ia membuka pintu mobil dan turun segera. Tidak lama, dan Sandi kemb