"Ma, mamahkenapa sih kok kelihatan cemberut sekali dari kemarin? Apa Mama sakit?" tanya Jeny saat melihat Sinta memang tengah murung. Kali ini wanita paruh baya itu sedang menggendong sang cucu, baby Thea.Sinta menggeleng dengan cepat, "?ama tidak apa-apa kok, Jen. Mama tidak sakit hanya saja memang ada sesuatu hal yang sedang mama pikirkan," ucap Sinta lirih.Jeny segera mengambil posisi duduk tepat di samping Mamanya. Kali ini baby Thea memang sedang tidur di pangkuan sang nenek. "Ada apa sih Ma ?kKatakan saja pada Jeny siapa tahu Jeny bisa membantu. Nggak enak lho kalau lihat Mama terus murung kayak gini. Nanti takutnya si baby juga akan ikut sedih kalau neneknya sedih," ucap Jeny tengah merayu dan membujuk sang Mama.Sinta terkekeh tetapi senyuman itu hanya sesaat saja, wanita paruh baya itu menghela nafas panjang. Kemudian dia pun mulai bercerita. "Mama begitu merasa bisalah pada Raja, karena telah memaksakan kehendak. Mama sudah ingin memisahkan dia dengan Stella, Mama juga men
PyarrRasanya ada sakit di dalam hati dan dada Sinta, mendengar jawaban dari Sinta tersebut. Tetapi kembali lagi dia ingat dengan semua ucapan tajamnya beberapa waktu yang lalu. Kemungkinan besar hal itu lah yang membuat Stella tak bisa lagi menerima Raja."Maafkan semua yang pernah Tante lakukan dan katakan pada kamu Stella. Itu semua tak ada hubungannya sama sekali dengan Raja." Sinta merasa sangat perlu menjabarkan hal ini. "Tante lah yang berandil besar memisahkan kamu dengan Raja. Padahal Tante sangat tahu jika Raja itu begitu mencintai kamu."Sekuat tenaga Sinta menahan tangis, karena dia ingin berbicara dengan jelas. Sehingga Stella mau menerima Raja lagi.Ah .. waktu memang berputar dengan begitu cepat, kemarin A, sekarang bisa saja langsung berubah menjadi B. Semua tak ada yang bisa ditebak.Sementara itu, di sebrang saat ini Stella sedang memejamkan matanya, sembari tangan kanannya memegang bagian kening yang sepertinya sakit itu.Tanpa Sinta mengatakan hal itu, sebenarnya
TokTok Tok"Apa Mama boleh masuk?" Kepala Sinta menyebut di balik pintu kamar Raja.Seulas senyum tipis langsung disuguhkan Raja pada ibunya itu. "Silahkan, Ma." Seperti biasa pria itu akan berbicara dengan lemah lembut pada semua orang. Sinta hanya tersenyum dan kembali menutup pintu itu, kemudian dia duduk tepat di samping sang anak. Di sofa berwarna hitam yang ada di kamar putranya itu."Apa Mama menganggu?" Sinta kembali bertanya dengan hati hati, sepetinya.Dengan segera juga Raja menggelengkan kepala. Pria single itu nampak masih menggunakan pakaian kantor lengkap. Sepetinya setelah pulang dari kantor beberapa menit yang lalu, aku dia belum berniat membersihkan diri. "Nggak kok Ma. Ada apa, Ma? Apa ada yang bisa Raja bantu?" Suara itu terdengar lirih.Mendengar kata kata sang putra, meski itu tidak mengartikan kesedihan, tetapi rasa nyeri juga timbul di hati Sinta.Sebagai seorang ibu, meski tak begitu dekat dengan sang anak, tetapi Sinta tahu kesedihan hati Raja, yang ditu
"Aku berangkat dulu ya, Ma." Arjuna mencium kening Rara pagi itu setelah semua siap. Setelahnya pria itu juga mengelus perut sang istri yang semakin membuncit. "Titip para jagoan ini ya.""Tentu, Pa. Hati hati ya." Rara membalas dengan senyum terbaiknya, sembari mencium punggung tangan sang suami. Setelahnya, Raja pun segera masuk ke dalam mobil, dimana Bella dan juga Daffa sudah menunggu siap untuk berangkat ke sekolah.Rara melambaikan tangan hingga mobil sedan Camry berwarna putih metalik itu keluar dari gerbang.Hari ini Rara memang sengaja tak berangkat ke kantor. Selain memang tak ada hal penting yang akan dia kerjakan, dia juga sedang menunggu kedatangan Stella. Kemarin, sahabatnya itu menelepon dengan suara yang parau. Rara yakin jika temannya itu sedang butuh tempat untuk curhat."Bi, tolong nanti siapkan pisang coklat keju ya." Rara memberikan titah pada sang pembantu. Request makanan kesukaan Stella. Stella sudah berjanji akan datang pagi pagi, itu lah kenapa saat ini Ra
"Kamu nggak kerja, Sarah?" Bu Endang bertanya pada Sarah setelah mereka berdua baru saja selesai melaksanakan salat subuh.Sarah mencium punggung tangan ibunya dengan takdzim. "Belum untuk sekarang Bu. Mungkin besok." Sarah berkata sambil tersenyum manis."Jika memang kamu sudah tak nyaman kerja disana, lebih baik kamu cari kerja di tempat lain saja, Sarah." Raut wajah wanita paruh baya itu nampak khawatir.Tak salah jika akhirnya Bu Endang jadi mengkhawatirkan tentang tempat kerja Sarah. Setelah kini Sarah tak lagi menjadi istri Ardi, Bu Endang merasa takut jika Sarah tak akan nyaman bekerja satu kantor dengan sang mantan suami. Apa lagi mengingat jika hubungan yang pernah terjalin dulu begitu tidak baik.Sarah tersenyum penuh artis, ditepuknya telapak tangan Bu Endang yang sejak tadi masih digenggamnya. "Sarah belum memikirkan hal itu Bu. Nanti malam saja." Ada hal yang tentu saja disembunyikan oleh Sarah. Apa lagi jika bukan rasa sakit hati. Hanya saja tentu wanita itu tak ingin me
"Terima kasih telah terus bersama dengan Sarah, Bu. Jika tak ada ibu, mungkin Sarah sudah semakin hilang arah." Sarah kemudian memeluk ibunya .Tak terkira rasa terima kasih Sarah pada sang ibu. Karena memang tak ada lagi tempat kita kembali selain pada ibu. Wanita yang benar benar menyayangi kita apa adanya tanpa balas jasa.Terhitung sudah dua hari Sarah kembali pulang ke rumah kontrakan Bu Endang. Setelah kemarin ditalak Ardi dan diusir dari rumah mantan suaminya itu. Untung saja pernikahan mereka hanya pernikahan siri alias secara agama, jadi tak perlu repot repot menuju ke pengadilan agama. Tak butuh proses lama untuk menjadikan Sarah berstatus menjadi janda.Kadang memang banyak hal rasanya seperti membuat kita kecewa, seakan Tuhan tak menuruti segala keinginan kita. Padahal sebenarnya semua itu adalah berkah, karena Tuhan nyatanya tidak memberikan apa yang kita inginkan, tetapi apa yang kita butuhkan."Maaf ya, dulu ibu sempat melarang karena kamu hanya akan dinikahi di balik t
"Dasar perempuan jalang! Cepat pergi kamu dari rumah ini!" Bu Mira kembali berteriak, saat itu Ardi pun sedikit kaget. "Cepat pergi atau kuse-ret kamu!!"Bu Mira sudah akan maju untuk menyeret Stella, sedangkan Dewi dan Dita mengikuti di belakangnya."Hentikan Bu!" Yang berteriak ternyata bukan Sarah, tetapi Ardi. "Jangan lagi menghina Sarah."Raut wajah para anggota keluarga itu nampak terkejut dengan ucapan pria itu. Kemudian Ardi menoleh pada Sarah. "Pergilah Sarah. Semoga kamu bisa mendapatkan ganti yang lebih baik dariku. Maafkan aku ya."Sarah sedikit kaget juga dengan perubahan sikap Ardi yang begitu drastis setelah mengucapkan kata talak tadi. Dia sempat berpikir jika mungkin mantan suaminya itu menyesal karena telah mengakhiri hubungan itu. Tetapi sejurus kemudian seperti ada yang kembali mengingatkan pada Sarah. Seperti apa sikap Ardi, yang selama mereka menikah malah sama sekali tak pernah memperlakukan dia seperti layaknya seorang istri."Tentu Mas. Tuhan tak pernah tidur.
Brak brak brak"Dewi bangun!" Pagi buta itu, Bu Mira sudah menggedor pintu kamar Dewi. Setelahnya, wanita itu ganti menggedor kamar Dita, yang terletak tepat di samping kamar Dewi.Brak BrakBrak"Dita bangun kamu. Ini sudah siang! Kamu itu anak gadis, jadi jangan bangun siang-siang!" eriak bu Mira dengan penuh emosi.Merasa tak mendapatkan respon sama sekali dari kedua putrinya, bu Mira pun kembali menggedor dengan keras pintu kamar itu, dengan teriakan yang sangat melengking di pagi hari."Duh ternyata repot banget kalau nggak ada Sarah. Ngapain sih Ardi kemarin itu sampai menalak Sarah? Coba saja ada Sarah, pasti aku sekarang masih tidur dan mainan hp di kamar." Bu Mira begitu emosi dengan dirinya sendiri saat ini.Sejak kemarin malam setelah kepergian Sarah, wanita paruh baya itu tak dapat memejamkan matanya sama sekali. sSepertinya dia merasakan apa yang sedang dirasakan oleh Ardi saat ini. Rasa penyesalan karena telah mengusir Sarah dari rumah ini."Seharusnya Ardi juga menge