Intan berusaha menyingkirkan prasangka buruk. Namun tetap saja ia tak bisa tenang. Buah hatinya tak tampak di manapun diseputaran kafe, haruskah ia merasa tenang?
"Bagaimana ini Ky, dia tak mengenali daerah ini karena masih baru. Mungkinkah ia tersesat?"
"Tenanglah Intan, bagaimana kalau kita mencarinya berpencar? Carilah kearah sana dan aku akan mencari kearah sebelah sana. Ujarnya. Tapi...aku tidak tahu seperti apa wajahnya. Bisakah kau tunjukkan fotonya?"
Intan mengeluarkan handphone, ia membuka koleksi foto Bastian terbaru.
Okky mengamati wajah itu, lalu menyalin foto Bastian ke handphone miliknya.
"Daddy, aku ikut!" teriak Sofi saat Okky mulai bergerak.
"Baiklah, ayo kita cari bersama."
Mereka menyusuri lorong-lorong di daerah tersebut, hingga tiga puluh menit berlalu mereka tak mendapatkan apapun.
Sofi penasaran, seperti apa wajah seorang anak yang sejak tadi mereka cari. Sebab sebenarnya ia cuma membebek me
"Kamu membohongi ayahmu yang sudah tua ini? Lalu kamu menyusahkan semua orang dan juga Baskoro?"Wulan tertunduk ketakutan.Pria itu menatap sinis kepada Dani yang memakai tongkat penyangga. Sebelum kondisinya seperti itu, ayah Wulan memang sudah tak menyukai pria yang bernama Dani ini. Apalagi dengan kondisinya yang seperti itu."Kamu masih berani datang menemui Wulan?" Tangan ayah Wulan sudah bertengger di kerah baju Dani. "Kenapa?"Dani tersenyum menatap pria itu, ia tak takut dengan gertakan ayah Wulan."Tanyakan Wulan kenapa saya datang menemuinya? Atau saya katakan saja kepada penduduk di desa ini apa yang sebenarnya terjadi?"Ayah Wulan sangat kesal dibuatnya."Apa maumu?" Ucapnya dengan sangat mengintimidasi."Aku harus menikahinya dan menjadi ayah dari anakku, atau aku akan membeberkan semuanya!" Dani mengancam.Ayah Wulan mendorong tubuh Dani dan membuatnya tersungkur di tanah.Sedangkan Wulan tak
Batin Intan berperang, antara pulang ke Jakarta atau menetap di Singapura. Sudah bagus ia bertahan untuk tidak merindukan Baskoro di tempat sejauh ini. Akan tetapi jika ia kembali ke Jakarta, Bastian bisa bertemu dengan Baskoro, Bastian pasti sangat menyukainya. Jika ia kembali ke Jakarta, ia harus berurusan dengan ayahnya, karena menurut informasi pak Joko, ayahnya telah menemukan Villa tempat ia menyembunyikan Bastian. Anak buah ayahnya terus memantau penerbangan dan juga semua orang yang berkaitan dengannya. Sayangnya Intan tak pernah kelihatan berhubungan dengan Bobby setelah membeli perusahaan defisit itu, dimana ia memakai uang yang ia sembunyikan dengan baik, perusahaan tidak akan bisa melacak jalur pengeluarannya itu. "Baiklah, mungkin aku harus menundanya hingga keadaan membaik," gumamnya. Suasana kafe sedikit lengang di pagi hari, biasanya akan mulai ramai ketika jam makan siang hingga malam hari. Intan mengembangkan senyumnya saat Okk
Abraham mengucapkan sambil terbata-bata. Tubuhnya terbaring lemah. Beberapa saat yang lalu ia sempat pingsan karena shock. Tak perduli bagaimana lemah tubuhnya, ia harus bisa menangani ini setelah ia mengusir putrinya.Ia tahu kemampuan putrinya dalam memimpin sebuah perusahaan tak bisa diragukan lagi. Tapi insiden melarikan diri dari pernikahan membuatnya sangat terpukul."Kamu bahkan lebih memilih jadi pelayan kafe daripada menikah dengan pilihanku?" Abraham merasa lelah, kegagahannya dulu telah dimakan usia.Memiliki anak semata wayang membuatnya hanya mengandalkan Intan. Disaat kelemahan menghampirinya, membuatnya teringat masa yang telah lalu."Kamu harusnya beruntung bisa menikah dengan lelaki kaya sepertiku. Aku bisa memberikan apa saja yang ingin kau beli dengan uang," saat itu istrinya Denis Anggraini menangis di malam pertamanya. Ia tak rela menikah dengan Abraham demi melunasi utang orang tuanya."Aku akan bekerja untukmu dan melunasi hu
Seandainya namanya saja yang sama, itu sangat mungkin. Akan tetapi sangat mustahil kalau Baskoro si miskin itu bisa menjadi tandingannya dalam berbisnis. Dia bahkan dengan mudah dilibas pada saat mengelola proyek jalan Merah Putih pada waktu itu. Mana mungkin Baskoro akan menjadi tandingannya? Nggak level! Dengan langkahnya yang dibantu dengan tongkat, Abraham masih terlihat gagah dan berwibawa. Bagaimanapun ia selalu hidup dengan dada membusung sejak kecil. Dia adalah Tuan besar dikeluarga Wijaya. Tidak ada kata merendah atau direndahkan. "Berikan aku berkas itu!" Abraham meminta sekretaris mengambil berkas penolakan dari PT Perkasa Jasa Engineering. "Apakah kita akan menuntutnya Tuan?" Asisten pribadi Abraham bertanya. "Tunggu! Aku harus meneliti dulu apakah kesalahan ada di pihak kita atau tidak," ucapnya. Abraham sibuk dengan semua berkas-berkas itu. Namun sangat aneh karena semua kesalahan tertumpu pada perusahaannya. ***
"Stress karena rindu?" Intan menggigit ujung ibu jarinya, sedikit bingung memikirkannya. Mungkinkah? "Tenanglah, anakmu nggak apa-apa, yang penting infeksinya sudah diobati. Jadi jangan terlalu kuatir," "Bukan begitu Ky, Bastian sepertinya kangen sama ayahnya. Aku nggak tahu harus bagaimana," risaunya. Okky mendesah, dulu ketika Istrinya meninggalkan mereka, Sofi juga mengalami shock dan sakit. Butuh waktu lama untuk bisa beradaptasi. "Sofi juga mengalaminya dulu," ucapnya pelan. "Aku harus bertanya dengan Bobby, apakah putraku bisa bertemu ayahnya," ucapnya lagi. "Hallo," Intan sudah tak sabar untuk menelpon sahabatnya itu. "Bob, Bastian sakit. Apakah Baskoro bersamamu?" "Apa? Bastian sakit?" "Iya, dia selalu menanyakan Baskoro. Aku takut terjadi apa-apa, jadi aku harus berbicara dengan Baskoro," desaknya. "Tapi, Baskoro sedang ada rapat besar. Bisakah kamu menunggu barang sebentar?"
"Maksudnya kalian sedang tahap berpacaran atau mau menikah?" Baskoro memastikan."Bas, terimakasih sudah mau datang."Intan mengalihkan pembicaraan yang menurutnya nggak penting."Apa ini masuk akal? Kau membawa Bastian sejauh ini tanpa bertanya kepadaku. Dan kau merawatnya dengan sembrono. Bagaimana bisa seorang anak menderita infeksi pencernaan sehingga harus dirawat di rumah sakit? Itu pasti kelalaian ibunya."Entahlah, Baskoro seakan ingin marah saat itu. Bisa jadi karena Bastian yang sakit, bisa juga karena pria yang bersama Intan ini yang mengaku sebagai mantan pacarnya. Sementara dia adalah mantan suaminya. Dan lagi bagaimana ia mengatakan hal semacam itu disaat Bastian meringkuk di ranjang rumah sakit."Kau pikir aku mau begini? Aku ibunya yang selama ini mengurusnya, kamu tidak pernah tahu bagaimana aku merawatnya bukan?" Intan tak kalah sengit membantah ucapan Baskoro. "Alih-alih kau menjenguknya pertama kali, kau malah menyalahkank
Sedikit mengejutkan karena Abraham tiba-tiba memintanya untuk bisa bekerja sama. Tidak perduli apakah itu siasat buruk atau baik, Baskoro tetap akan menghadapinya. Ia akan terlibat dalam kehidupan Abraham secara langsung. Baskoro melihat Intan yang sedang menyuapi Bastian bubur, wajah bocah itu sudah tidak pucat lagi. Di tangannya ada sebuah mainan. Ia menatap dengan senyuman saat Baskoro tiba. "Ehem," Baskoro sedikit berdehem saat mendekati mereka. "Daddy, Bastian sudah boleh pulang hari ini. Apakah Daddy akan tetap bersama kami?" Senyum diikuti raut kebingungan mewarnai wajah Baskoro. "Bagaimana dengan Mommy, apakah Daddy boleh tinggal?" "Tidak! Di kafe sudah tidak ada tempat lagi. Bukankah Bastian tahu kamar kita sudah cukup sempit, Daddy tidak mungkin tidur bersama kita." "Biarkan Daddy tidur di sofa Mommy." Bastian menjawab ucapan Intan. "Ehem, Daddy tidur di penginapan. Bastian bisa tidur di penginapan denga
Wajah gadis itu menatap Intan penuh harap. Bagaimana ia akan menyelesaikan ini? Tidak hanya Okky yang ada disana, tapi Baskoro juga menatapnya intens."Eh_ begini Sofi, lain kali kita bicarakan lagi oke? Dan Sofi bisa bermain dengan Bastian dulu di atas. Bastian baru saja membeli seekor anak kucing bernama Miki." Intan mencoba menghilangkan kegugupannya.Baskoro masih belum berkedip melihatnya, seakan momen yang tepat untuk menambah kegaduhan dan perdebatan sengit sebelumnya."Sepertinya Bastian sudah benar-benar pulih?" Okky mencairkan suasana."Sepertinya begitu, terimakasih atas bantuamu tempo hari. Aku tidak pernah melihatnya sakit seperti itu.""Hmm, baiklah. Silahkan kalian mengobrol dengan santai, sepertinya kalian serius dalam menjalin hubungan," ujar Baskoro hendak meninggalkan mereka."Bas, urusan kita belum selesai.""Tidak, aku mau Bastian bersamaku." Ucapnya tegas. Baskoro melangkah pergi, dalam hati ia tersenyum. '