***Perusahaan. Pukul tujuh belas lewat dua puluh menit."Paman Louise, kita antar Ela pulang dulu," ucap Deo pada sang pengawal yang tengah mendorong kursi rodanya di lobi perusahaan setelah keluar dari dalam elevator."Baik, Tuan," jawab singkat paman Louise."Tidak perlu repot-repot, saya bisa pulang naik taksi," sahut Ela dengan wajah datarnya. Berjalan cepat mendahului Deo dan paman Louise yang tengah berjalan dengan langkah gontai."Tidak bisa! Aku sudah berjanji pada Om Matthew untuk mengantarmu pulang," protes Deo dengan kedongkolan yang mulai menyesakkan dada."Tapi saya tidak mau," ucap Ela datar tanpa menghentikan langkah kakinya. Bahkan merasa enggan untuk sekedar menoleh ke arah lawan bicaranya.Sontak kalimat datar itu membuat paman Louise terperangah tak percaya. Sebab baru kali ini, bahkan seumur hidupnya mendengar kalimat penolakan datar itu dari mulut Ela pada Deo yang berinisiatif mengantarkannya pulang.Manik hitam dengan kantung mata kendur itu mengamati setiap g
"Ini nomor ruangannya, Pak."Resepsionis wanita itu memberikan sebuah catatan kecil yang ditulis dengan tulisan tangan. Sebelum kembali menyunggingkan senyum ramah."Terima kasih."Matthew sontak segera meraih catatan kecil itu, sebelum beranjak pergi bersama Ela yang tengah mengekor di belakang tubuhnya.Keduanya berjalan cepat seraya mengamati setiap tulisan yang tergantung di samping pintu ruangan yang berderet di sepanjang lorong.Hingga pada akhirnya, mereka menemukan tulisan yang sama persis seperti tulisan tangan resepsionis wanita yang berada dalam genggaman tangan Matthew."Ini ruangannya. Ayo masuk," ucap Matthew menatap Ela dan pintu ruangan secara bergantian.Perasaan gelisah yang amat sangat mulai kembali Ela rasakan. Jujur saja, dirinya belum siap untuk bertemu dengan ingatannya di masa lalu yang belum sepenuhnya kembali.Kini daun pintu perlahan terbuka saat sang ayah mulai memutar gagang pintu dan mendorongnya perlahan.Namun sosok wanita dengan rambut digelung asal it
"Tolong periksa kondisi Istri saya, Dok!" pinta Matthew dengan kecemasan berlebih. Berdiri tegak di samping ranjang setelah membantu sang putri untuk meletakkan tubuh lemah sang ibu di atas tempat tidur pasien.Lantas dokter itu hanya mengangguk. Sementara kedua tangannya tengah sibuk memeriksa denyut jantung dan tekanan darah dari pasiennya yang menderita gangguan jiwa."Tidak ada masalah serius, Pak. Ibu Clarissa hanya mengalami guncangan emosi yang hebat, sebab itu tak kuasa menahannya dan akhirnya kehilangan kesadaran," ucap dokter muda itu menjelaskan dengan rinci.Namun baru saja dokter itu kembali membereskan peralatan medisnya. Suara lenguhan berat yang terdengar dari Clarissa membuat ketiganya terkejut. "Ngh ...."Ela nampak berdiri di belakang sang ayah dengan melipat kedua tangannya di depan dada, seraya mengigiti ujung kuku jari kanannya. Guna menghilangkan kecemasan berlebih yang saat ini tengah menyelimuti hati.Sementara Matthew dan dokter tampan itu hanya terdiam. Meny
"Ada apa, Dok?" tanya Matthew memastikan saat tak melihat dengan jelas keadaan yang ada dalam ruang rawat sang istri.Seketika itu pun dokter mulai tersadar dengan menggelengkan kepalanya cepat. "Ti-tidak ada apa-apa."Dokter muda itu kembali melanjutkan langkah kakinya memasuki ruangan. Membuat ruangan itu kembali senyap dengan keheningan malam."Maaf menganggu, saya hanya ingin menyampaikan, jika Ibu Clarissa saat ini diijinkan pulang untuk melakukan pemulihan di rumah," jelas dokter itu seraya menatap Clarissa dan Ela secara bergantian. Sontak kabar itu membuat keduanya tersenyum bahagia. Meski pun sebenarnya Ela masih tak mampu mengartikan perasaan sendiri.Setelahnya, Ela dan Matthew mulai membantu Clarissa untuk keluar dari ruangannya. Menuntunnya dengan begitu berhati-hati.Terlalu lama berada dalam lingkup rumah sakit membuat Clarissa sedikit kesulitan untuk berjalan terlalu lama. Namun dokter tetap melarangnya menggunakan kursi roda, untuk proses pemulihan dan agar cepat terb
"Ba-baik, Tuan," ucap bibi Gwen dengan bibir bergetar halus. Ketakutan hebat mulai menguasai hati wanita paruh baya itu. Tangannya yang mulai gemetar tak karuan seketika memutus sambungan telepon dari Deo dan bergegas menelpon Darren sesuai permintaan sang majikan.Tut ....Bunyi telepon yang terhubung membuat kepanikan bibi Gwen semakin menjadi. Melihat sang nyonya menggerang keras seraya mencengkeram kuat rambutnya, membuat bibi Gwen mengigiti kuku jari dengan perasaan harap-harap cemas. 'Ayo, Tuan Darren ... angkat teleponnya!'"Halo."Sapaan dari seberang telepon membuat bibi Gwen tersenyum bahagia. Sebab pada akhirnya Darren mengangkat telepon setelah beberapa kali terdengar bunyi telepon terhubung."Tuan Darren. Bisakah Anda ke rumah Tuan Matthew sekarang? Ini darurat!" ucap bibi Gwen dengan kepanikan hebat yang tak mampu ia tutupi."Ada apa? Apakah terjadi sesuatu pada Ela? Saya akan segera pergi ke sana!"Nampaknya Darren salah mengartikan maksud dari bibi Gwen yang belum semp
"Apakah tak ada sama sekali ingatan tentangku?" tanya Darren dengan sedikit menaruh harapan. Sebab hingga kini, ternyata Darren masih menaruh hati pada Ela yang telah dijodohkan dengan sang kakak.Namun lagi-lagi Ela hanya menggeleng. Entah apa alasannya. Namun Ela merasa tak nyaman berada di samping Darren tanpa seorang pun selain mereka berdua. Sungguh berbeda saat bersama dengan Deo. Bahkan saat hanya berdua sekali pun, tak ada perasaan canggung sama sekali. Mungkinkah karena Ela sudah terbiasa, sebab Deo yang selalu menemaninya setiap hari?Hingga kedatangan Matthew berhasil mengejutkan keduanya yang sedang duduk terdiam kala itu."Darren! Tante Clarissa sudah sadar," teriak Matthew dari ambang pintu ruang tidurnya.'Syukurlah, dengan begini aku tidak harus tersiksa dengan kecanggungan lagi' Batin Ela seraya bernafas lega.Sontak Darren dan Ela yang mendengar suara itu segera bangkit dan bergegas. Menghampiri sang ayah yang tengah menunggu di ambang pintu dengan perasaan cemas.'K
Darren yang seketika bisa menangkap isyarat mata itu, sontak mengangguk cepat."Iya, Tante. Saya akan mengantar Ela pergi bekerja sebentar, setelah itu datang lagi ke mari untuk melanjutkan pemeriksaan Anda," ucap Darren seraya tersenyum getir. Sebab dirinya yang saat itu menyadari maksud Ela yang ingin melindungi Deo dari amukan Clarissa. Dan hanya menggunakannya sebagai alasan agar Ela bisa cepat pergi."Tidak perlu memeriksaku. Awasi Ela selama bekerja! Jangan biarkan Deo mendekatinya dengan cara apa pun! Aku menyetujui perjodohan itu jika kamu menggantikan posisi Deo untuk bersanding dengan Putriku," tegas Clarissa dengan tatapan tajam. Memberi peringatan pada Darren untuk menjaga Ela dari sang kakak yang saat ini tengah menunggu di halaman rumah. Lantas, apa yang harus ia lakukan saat ini?"Ma," lirih Ela seraya menatap sang ibu dengan wajah kecewa."Ini semua demi kebaikanmu, Ela. Jika kamu tidak menuruti perintah Mama untuk menjauhi Deo, maka bersiaplah untuk kehilangan Mama se
'Tapi kenapa?'Kalimat itu urung Deo ucapkan kala Ela telah pergi menjauh tanpa menunggu jawaban darinya. Mata sendunya menatap punggung Ela yang mulai menghilang sesaat setelah memasuki mobil mewah milik sang adik."Kita pergi sekarang, Tuan?"Hingga suara paman Louise seketika mengejutkan Deo kala tersadar dari lamunannya."Iya," jawab Deo singkat dengan semangat yang mulai pudar.Pria paruh baya yang merupakan seorang pengawal pribadi itu sesekali melirik sang majikan dari kaca yang tergantung di atas kemudi. Memperhatikan raut wajah yang tak sepenuhnya dapat ia artikan. Hanya kesedihan yang dapat paman Louise tangkap dari sorot mata pria dari balik topeng kala itu.'Mungkinkah Tuan Deo merasa cemburu?'Hampir tiga puluh menit berlalu, kedua mobil itu melaju menembus kebisingan kota. Hingga berhenti di sebuah halaman parkir luas yang berada di depan gedung perusahaan yang menjulang tinggi.Deo masih terdiam membisu. Memperhatikan Darren yang tengah membukakan pintu mobil untuk Ela,
"Tidak perlu. Berdebat dengan orang bodoh hanya akan menambah orang bodohnya jadi dua," cibir Ela seraya melengos pergi."Setelah operasinya selesai, Laura akan dipindahkan ke ruang rawat inap selama satu minggu. Seluruh administrasi rumah sakit sudah saya tanggung. Setelah ini jangan cari saya dengan alasan apa pun. Saya sudah tak memiliki hubungan dengan kalian," pungkas Deo sebelum menyusul langkah sang istri meninggalkan rumah sakit. Tak ia hiraukan tatapan tak berdaya dari ayah Laura.****Lima bulan kemudian.Setelah putusan sidang mengenai kasus penculikan dan pembunuhan berencana Pram dan Arsenio, yang kini dihukum penjara seumur hidup, Ela dan Deo pada akhirnya bisa hidup dengan tenang.Bahkan Laura pun tak lagi terdengar kabarnya setelah kejadian hari itu."Kenapa sekarang kita tinggal di sini? Apa Darren tidak kesepian tinggal sendiri?" tanya Ela sesaat setelah memasuki kediamannya."Dari pada dia, aku lebih memikirkan kamu. Kalau ada apa-apa pas aku tidak ada di rumah baga
"Tidak! Tunggu, Tuan Deo! Tolong jangan hiraukan ucapan Istri saya. Dia memang terbiasa berkata tanpa berpikir terlebih dahulu. Tolong, jangan tinggalkan Laura dalam keadaan seperti ini." Ayah Laura berlari ke arah Deo dan bersimpuh di kakinya.Belum sempat Deo menimpali, suara derit pintu ruang rawat yang terbuka membuat seluruh pasang mata menatap ke arahnya.Seorang dokter wanita terlihat muncul dari balik pintu yang kembali ditutup rapat. "Apakah ada keluarga Pasien di sini?""Saya Mamanya, Dok!" Ibu Laura gegas berlari menghampiri dokter."Begini, Bu. Dengan berat hati saya sampaikan bahwa, janin yang dikandung Putri Ibu tak dapat diselamatkan. Saya meminta persetujuan keluarga untuk segera melakukan tindakan operasi pengangkatan janin. Karena jika itu sampai telat dilakukan, nyawa Ibunya pun akan terancam," jelas dokter."Lakukan segera, Dok. Lakukan apa pun agar nyawa Putri saya selamat.""Baik, Bu. Silakan tanda tangani berkas ini setelah Anda melunasi administrasinya." Dokter
****Empat bulan kemudian."Bagaimana perkembangan kasusnya, Sayang?" tanya Ela pada Deo yang baru memasuki kamar, setelah selesai menghadiri sidang kasus kematian Clarissa."Ternyata pelaku adalah teman masa kecil Mama. Dia menyukai Mama sejak lama, tapi Mama tak pernah membalas perasaannya. Hal itu yang memicu pelaku melakukan penganiayaan, saat tak sengaja menjadi Dokter di rumah sakit jiwa tempat Mama dirawat. Dengan bukti-bukti yang telah terkumpul, pada akhirnya Hakim telah memvonis hukuman yang setimpal setelah beberapa kali persidangan," jawab Deo panjang lebar. Pria itu melonggarkan dasi yang melingkar di lehernya sebelum merebahkan diri di atas tempat tidur."Apa hukumannya?" tanya Ela penasaran seraya berjalan mendekat."Penjara seumur hidup dan denda.""Itu tidak setimpal! Seharusnya orang itu mendapatkan hukuman mati! Kenapa kamu tidak membiarkan aku ikut ke persidangan hari ini?" geram Ela tak terima."Kamu hamil. Lihat perutmu sudah sebesar apa? Aku tidak ingin kesehata
"Rasanya aku sudah tidak ada tenaga untuk berjalan. Tubuhku rasanya lemas sekali."Deo gegas berjalan mendekati sang istri. Tanpa pikir panjang, Deo segera membopong Ela di depan tubuhnya dan membawanya ke luar. "Aku akan menggendongmu, jangan khawatirkan yang lain, yang paling penting kamu harus segera sembuh."Namun sesaat setelah Deo baru sampai di ujung tangga, Laura dengan cepat menghadangnya dengan merentangkan kedua tangan. "Mau ke mana?" ketusnya dengan tatapan mengintimidasi. Namun Deo bersikap acuh. Setelah menatap sengit wajah Laura untuk sekilas, Deo segera melangkah menerobos pertahanan Laura. Namun lagi-lagi Laura menghentikan langkah Deo kembali. "Mau ke mana?" ucapnya mengulangi pertanyaan awal."Minggir, ini tidak ada urusannya denganmu," jawab Deo datar tanpa ekspresi."Tentu ada. Aku adalah Istrimu."Deo yang pada akhirnya kehabisan kesabaran menampakkan kilat amarah dalam tatapannya. "Aku bilang, minggir!" bentak Deo lantang.Laura seketika itu membeku dengan wajah
Dalam balutan pakaian tidur transparan, seluruh bekas merah yang Deo ciptakan terekspos sepenuhnya.Hal tersebut tentunya membuat Laura diam mematung dengan tatapan tak percaya. "I-itu ... kalian benar-benar melakukannya di belakangku?" geram Laura tak terima.Ela lantas mengerinyitkan dahi sejenak. Hingga wanita itu sepenuhnya mengerti jika yang tengah dimaksud Laura adalah bekas cupang di leher dan dadanya. "Maksudmu ini? Mau aku melakukannya di hadapanmu sekarang? Boleh," sindir Ela seraya menunjuk bercak merah di lehernya.Setelah lama bersabar pada akhirnya stok kesabaran Laura pun habis. Wanita itu mendorong tubuh Ela keras hingga membuat Ela berdiri terhuyung dan hampir terjungkal ke belakang. "Minggir! Aku mau bicara dengan Deo!"Namun sayangnya aksi Laura gagal setelah Ela gegas menarik gagang pintu hingga membuat Laura tak bisa memasuki celah yang sempit. "Heh! Kamu yang harusnya minggir! Untuk apa memasuki kamar orang?! Sana, pergi ke kamarmu sendiri!" bentak Ela dengan lan
Ela mengerinyitkan dahi. Merasa geli mendengar kalimat yang baru saja memasuki gendang telinganya."Astaga ... tidakkah kamu merasa sadar diri? Deo menikahimu hanya karena terpaksa. Papamu terus berlutut di bawah kakinya, berharap kamu mendapatkan pengobatan tanpa sedikit pun mengeluarkan uangnya. Dia juga memohon agar Deo tidak langsung menceraikanmu saat itu, bernegosiasi agar kalian bercerai setelah anak yang kamu kandung lahir, agar tak membuat aib di keluarga," jelas Ela panjang lebar.Sontak Laura kembali dibuat mematung. Tak menyangka akan mendapatkan suguhan dari kebusukan ayahnya dari mulut Ela."Itu tidak mungkin! Ini adalah Anak Deo! Tanggung jawabnya.""Cih! Semua orang sudah tahu kebusukanmu dan Arsenio, termasuk aku. Jadi tidak perlu mengungkit aibmu jika kamu masih memiliki rasa malu. Tanpa persetujuan dariku pun, Deo sudah membuangmu dari jauh-jauh hari," pungkas Ela sebelum kembali memasuki ruangan dan menutup pintu kamar dengan keras. Merasa tak ada lagi yang perlu d
"Aku masih ingin hidup," imbuh Deo semakin menjauhkan piring.Laura membeku. Rasa sesaknya dada semakin terasa, hingga ia hampir tak dapat menahannya."Akhirnya ...." ucap syukur Darren sesaat setelah menyadari kehadiran Ela yang tengah berjalan mendekat. Membawa sebakul nasi di tangannya.Ela meletakkan masakannya di atas meja. Aroma sedap khas masakan rumah menguar memenuhi penjuru ruangan."Nah ... ini baru makanan. Dari jauh saja sudah tercium aroma sedapnya." Darren gegas membalik piring dan mengambil centong nasi. Namun niatnya urung kala Deo menepuk kasar lengannya. "Aku dulu! Di mana sopan santunmu sebagai adik?""Astaga ...." keluh Darren."Sudah-sudah! Masih banyak kok nasinya, jangan berebut!" Ela lantas duduk di samping Deo dan mulai mengisi piring suaminya.Tatapan matanya sekilas tertuju pada Laura yang berdiri mematung di hadapannya. Menatap tak suka dengan kehadiran Ela."Eh? Kenapa masakan Laura utuh? Kamu tidak cicipi? Dia buatnya penuh cinta, loh," ledek Ela pada su
Deo dan Ela yang baru hendak memadu kasih dikejutkan dengan teriakkan gaduh dari luar ruangan."Kak! Istrimu gila! Cepat selamatkan aku!" Suara Darren kembali terdengar untuk yang kedua kalinya.Deo yang hendak memeluk pinggang ramping sang istri pun langsung mengurungkan niatnya.Pria itu memejamkan mata erat menahan kedongkolan dalam hati. Disertai helaan nafas berat yang sekali berhembus begitu kasar. "Astaga Anak ini! Padahal dari brojol sampai sekarang tidak pernah memanggilku Kakak. Ayo lihat! Kemasukan jin apa dia sampai bisa berubah seperti itu." Deo beranjak bangkit dari atas ranjang.Raut wajah sedikit kecewa Ela tunjukkan. Padahal awalnya ia sempat merasa ragu. Namun setelah baru memulai, rasanya ia tak ingin menghentikan aktivitas itu.Keduanya pun kini keluar dari dalam ruangan. Menghampiri sumber suara yang diduga kuat berasal dari ruangan paling pojok di lantai dua."Astaga ...." timpal Deo kala mendapati Laura yang masih memegangi kedua kaki Darren erat.Wanita dengan
Deo dan Ela seketika saling bertukar pandang, sebelum pandangan mata Deo beralih menelisik gerak-gerik istri keduanya. "Apa yang sedang kamu lakukan di sini?"Laura membeku. Wajahnya menoleh, menatap datar ke arah Deo. "Apa matamu sedang rabun jauh? Tidak lihat aku sedang membereskan barang-barangku?"Lantas Deo mengangga. "A-apa?!" Deo beranjak turun dari atas ranjang mendekati Laura yang tengah menyeret koper di depan pintu."Keluar!" bentak Deo melempar kembali beberapa koper dan tas ke luar ruangan.Kilat amarah yang terpancar dari wajah Deo membuat Laura membeku di tempat."Aku bilang keluar!" Deo mengulangi kalimatnya dengan suara yang semakin meninggi. Sedang telunjuknya mengarah ke arah pintu kamar yang masih terbuka lebar.Bentakan keras yang tak pernah Laura dapatkan dari sosok pria yang sama di masa lalu membuat tubuhnya berkali-kali berlonjak kaget."Tapi kenapa? Kenapa dia bisa di sini, sedangkan aku tidak?" tanya Laura kala stok kesabarannya mulai menipis. Menunjuk ke ar