Setelahnya, Ela segera berjalan memasuki ruangan saat terdengar suara dengkuran keras dari arah dalam.Sontak Darren segera mengikuti dengan wajah penasaran."Orang ini benar-benar! Hey! Bangun!" teriak Ela seraya menendang kuat tubuh Pram yang terbujur di atas alas kardus. Berdiri tegak sembari berkacak pinggang.Namun seberapa keras pun Ela berusaha membangunkan Pram. Pria berusia tiga puluh tahun itu tak kunjung kembali mendapatkan kesadarannya. Bahkan suara dengkuran itu terdengar semakin keras dari sebelumnya. Membuat Ela menatapnya dengan wajah frustasi.Ela sebenarnya mengetahui jika mantan suaminya itu adalah seorang pria yang tidak mudah dibangunkan saat tidur oleh suara apa pun. Bahkan mungkin Pram bisa tidur saat perang terjadi disekitarnya.Tak lama Ela segera berjalan cepat keluar dari dalam ruangan. Namun belum sempat Darren kembali mengikutinya, Ela telah kembali membawa seember penuh air yang ia dapat dari kamar mandi di sebelah gudang.Byur!Tanpa banyak membuang waktu
Sementara itu. Pram mulai membersihkan air yang masih menggenang di lantai gudang. Membasahi beberapa barang yang harus segera ia keringkan. Sebab jika tidak melakukan tugasnya dengan baik, mungkin hukumannya akan tambah diperberat oleh sang atasan yang sengitnya mengalahkan seorang iblis.Kedongkolan yang mengumpul membuat dada Pram seketika kembali sesak. Membuat pria dengan tubuh basah kuyup itu membanting kasar gagang pel ke atas lantai."Gabriela sialan! Jika aku terus terkurung di tempat ini, lantas bagaimana aku bisa menemukan Ela secepatnya! Aku tak bisa menahannya terlalu lama!" teriak Pram dengan nafas memburu. Rasa nyeri pada dada saat mengingat kembali wajah sang mantan istri membuatnya gelisah. Tanpa bisa mengartikan perasaan yang dirasakan kala itu. Tatapan sengit ia layangkan pada gagang pel yang menjadi bahan pelampiasan amarahnya.Tak lama, getaran benda pipih dalam saku celana berhasil mengejutkan pria berambut gondrong itu. Pram pun sontak merogoh saku celananya unt
"Bisakah kalian berhenti berseteru di sini?! Jika masih ingin membuat keributan, silakan keluar!"Pram yang hendak mengetuk pintu, dibuat kembali menarik buku-buku jarinya yang telah menyentuh daun pintu ruangan pribadi milik sang atasan, atau lebih tepatnya ruangan pribadi milik mantan istrinya. Saat terdengar suara lantang Ela dari dalam ruangan.Setelah dirasa kondisi cukup sunyi. Pram kembali mengetuk pintu dengan buku-buku jarinya. Menarik nafas dalam-dalam sebelum mendapatkan sahutan dari dalam. Ia tak ingin terlihat gugup sebelum memastikan dengan mata kepalanya sendiri jika sang atasan dan mantan istrinya adalah orang yang sama."Masuk!"Setelah mendengar sahutan dari Ela, Pram segera memutar gagang pintu dan beranjak memasuki ruangan dengan langkah ragu. Kala mendapati dua sosok pria yang tengah duduk di sisi kanan dan kiri sang atasan."Bu," ucap Pram lirih seraya melangkah ragu mendekati meja kerja milik Ela. Kepalanya mengangguk sekilas dengan senyum canggung.Entah mengap
Langkah Pram mendadak terhenti di depan tangga darurat yang menjulang tinggi. Membuat pria itu menghela nafas berat."Apa aku masih harus melewati ini? Berapa lama lagi aku bisa sampai di atas?" keluh Pram.Sesekali mata Pram melirik ke arah meja resepsionis dari ekor matanya."Kesempatan bagus!" lirih Pram seraya mengintip dari balik dinding.Pram segera mengendap ke arah salah satu pintu elevator yang kebetulan sedang terbuka lebar, kala tak ia dapati seseorang yang tengah memperhatikannya di sekitar sana."Ayo cepat tertutup!" gumam Pram lirih dengan rasa panik yang mulai menguasai diri. Jari telunjuknya berulang kali menekan tombol agar pintu bisa cepat tertutup. Sementara tatapan waspada ia tujukan ke arah resepsionis wanita yang tengah sibuk di meja kerjanya, hingga tak menyadari kehadirannya kala itu."Huh ... syukurlah ...."Tubuh Pram mendadak merosot jatuh saat pintu elevator akhirnya tertutup sempurna. Tangan kanannya berkali-kali mengusap dada saat detak jantungnya terasa
"Ela, kenapa diam saja? Sebenarnya kamu kenapa?" tanya Deo yang semakin khawatir saat tak kunjung mendapatkan jawaban."Tidak ada apa-apa, aku hanya merasa mendengar suara dari sini. Mungkin hanya perasaanku saja," jawab Ela berkelit, sebelum kembali memasuki ruangan pribadinya dengan wajah datar. Sedangkan tangannya beberapa kali mengusap lembut peluh yang menetes deras dari pelipis dengan sapu tangan merah jambu yang diambil dari saku jasnya.Tak ingin banyak bertanya, Darren segera mendorong gagang kursi roda sang kakak ke dalam ruangan. Meski dirinya kerap tak akur dengan Deo, namun bagaimana pun mereka adalah saudara kandung yang dilahirkan dari rahim yang sama. Jadi wajar baginya menolong sang kakak yang saat ini merasa kesulitan untuk bergerak.Deo dan Darren sesekali melirik ke arah meja kerja Ela, saat mencium aroma yang begitu menggugah selera."Makanan apa itu?" tanya Darren seraya mengarahkan telunjuknya ke atas meja kerja Ela."Nasi, apa Anda tidak pernah makan nasi sebel
"Tidak," jawab Ela singkat seraya mengayunkan lengannya kasar hingga berhasil terlepas dari genggaman tangan Deo.Namun seketika itu Deo kembali menghentikan langkah Ela dengan kedua tangannya yang dengan cepat merengkuh tubuh wanita itu dari belakang.Sementara Ela hanya mampu terdiam. Wajahnya terperangah menyaksikan reaksi yang tak pernah ia duga sebelumnya.Detak jantung Deo yang berirama cepat terasa jelas berdenyut di punggung Ela. Membuat Ela kembali merasa gelisah. Tak mampu mengartikan perasaannya lagi kali ini.'Apa yang terjadi? Kenapa aku tidak bisa mengendalikan diri?'Deo merasa bingung akan sikapnya yang berlebihan. Namun alih-alih segera melepaskan tubuh Ela dari pelukannya, pria yang kini menyadari perbuatannya dengan jelas itu malah semakin mengeratkan pelukannya. Rasa nyaman yang tak bisa dijelaskan membuatnya enggan melepaskan tubuh Ela.Sementara Ela berusaha keras melepaskan diri. Namun sekuat apa pun tenaga yang ia keluarkan saat ini, tak mampu menandingi kekuat
Pria dengan mata yang mulai mendung itu mengingat kembali bagaimana pernikahan itu terjadi di masa lalu.Setelah menyelesaikan tugasnya untuk menyembunyikan Ela dari kota, Pram menerima uang sebesar satu miliar dari Arsenio.Pram dan almarhum sang ibu kemudian berpura-pura menjadi seorang penyelamat yang menemukan Ela di pinggiran sungai. Sebab rasa balas budinya itu, mau tak mau Ela harus menyetujui lamaran Pram yang terus dituntut sang ibu untuk segera menikah.Lambat laun, Pram yang kecanduan judi dan obat-obatan terlarang menghabiskan uang secara diam-diam, yang hendak digunakan sang ibu untuk membangun rumah dan usaha toko sembako. Alhasil, sang ibu meninggal sebab mengalami serangan jantung.Tak ada sedikit pun rasa suka atau pun kasihan pada Ela. Hingga pada suatu malam, kebodohan itu terjadi. Pram yang sedang mabuk berat mengikat Ela dan menyetubuhinya paksa, hingga kemudian Ela hamil dan melahirkan anak pertama mereka, yakni Meli.Namun penderitaan Ela tak cukup sampai di sit
***Kediaman Matthew. Pukul tujuh malam.Bunyi bergemelunting dari benturan sendok, garpu dan piring memenuhi penjuru ruang makan kala itu.Beberapa sosok pelayan wanita, tak terkecuali bibi Gwen, nampak berdiri tegak di belakang sang majikan yang sibuk menyantap berbagai hidangan di atas meja makan.Sesekali pengasuh wanita yang sudah cukup berumur itu menuangkan segelas air dalam teko bening ke dalam gelas kaca untuk anak asuhnya tercinta.Tak ada yang berani bersuara sedikit pun, sebelum Clarissa memulai obrolan dengan sang putri yang masih sibuk menjejalkan makanan ke dalam mulutnya."Bagaimana pekerjaanmu hari ini, Ela? Apakah kehadiran Darren sangat membantu dalam pekerjaanmu hari ini?" tanya Clarissa setelah meletakkan sendok dan garpunya di atas piring kosong.Sontak pertanyaan itu membuat Ela terdiam. Menghentikan seluruh aktivitas menyendok dan mengunyah makanannya. Pandangan matanya menatap ke arah lain, seolah merasa risih dengan pertanyaan yang diajukan oleh sang ibu."Ma
"Tidak perlu. Berdebat dengan orang bodoh hanya akan menambah orang bodohnya jadi dua," cibir Ela seraya melengos pergi."Setelah operasinya selesai, Laura akan dipindahkan ke ruang rawat inap selama satu minggu. Seluruh administrasi rumah sakit sudah saya tanggung. Setelah ini jangan cari saya dengan alasan apa pun. Saya sudah tak memiliki hubungan dengan kalian," pungkas Deo sebelum menyusul langkah sang istri meninggalkan rumah sakit. Tak ia hiraukan tatapan tak berdaya dari ayah Laura.****Lima bulan kemudian.Setelah putusan sidang mengenai kasus penculikan dan pembunuhan berencana Pram dan Arsenio, yang kini dihukum penjara seumur hidup, Ela dan Deo pada akhirnya bisa hidup dengan tenang.Bahkan Laura pun tak lagi terdengar kabarnya setelah kejadian hari itu."Kenapa sekarang kita tinggal di sini? Apa Darren tidak kesepian tinggal sendiri?" tanya Ela sesaat setelah memasuki kediamannya."Dari pada dia, aku lebih memikirkan kamu. Kalau ada apa-apa pas aku tidak ada di rumah baga
"Tidak! Tunggu, Tuan Deo! Tolong jangan hiraukan ucapan Istri saya. Dia memang terbiasa berkata tanpa berpikir terlebih dahulu. Tolong, jangan tinggalkan Laura dalam keadaan seperti ini." Ayah Laura berlari ke arah Deo dan bersimpuh di kakinya.Belum sempat Deo menimpali, suara derit pintu ruang rawat yang terbuka membuat seluruh pasang mata menatap ke arahnya.Seorang dokter wanita terlihat muncul dari balik pintu yang kembali ditutup rapat. "Apakah ada keluarga Pasien di sini?""Saya Mamanya, Dok!" Ibu Laura gegas berlari menghampiri dokter."Begini, Bu. Dengan berat hati saya sampaikan bahwa, janin yang dikandung Putri Ibu tak dapat diselamatkan. Saya meminta persetujuan keluarga untuk segera melakukan tindakan operasi pengangkatan janin. Karena jika itu sampai telat dilakukan, nyawa Ibunya pun akan terancam," jelas dokter."Lakukan segera, Dok. Lakukan apa pun agar nyawa Putri saya selamat.""Baik, Bu. Silakan tanda tangani berkas ini setelah Anda melunasi administrasinya." Dokter
****Empat bulan kemudian."Bagaimana perkembangan kasusnya, Sayang?" tanya Ela pada Deo yang baru memasuki kamar, setelah selesai menghadiri sidang kasus kematian Clarissa."Ternyata pelaku adalah teman masa kecil Mama. Dia menyukai Mama sejak lama, tapi Mama tak pernah membalas perasaannya. Hal itu yang memicu pelaku melakukan penganiayaan, saat tak sengaja menjadi Dokter di rumah sakit jiwa tempat Mama dirawat. Dengan bukti-bukti yang telah terkumpul, pada akhirnya Hakim telah memvonis hukuman yang setimpal setelah beberapa kali persidangan," jawab Deo panjang lebar. Pria itu melonggarkan dasi yang melingkar di lehernya sebelum merebahkan diri di atas tempat tidur."Apa hukumannya?" tanya Ela penasaran seraya berjalan mendekat."Penjara seumur hidup dan denda.""Itu tidak setimpal! Seharusnya orang itu mendapatkan hukuman mati! Kenapa kamu tidak membiarkan aku ikut ke persidangan hari ini?" geram Ela tak terima."Kamu hamil. Lihat perutmu sudah sebesar apa? Aku tidak ingin kesehata
"Rasanya aku sudah tidak ada tenaga untuk berjalan. Tubuhku rasanya lemas sekali."Deo gegas berjalan mendekati sang istri. Tanpa pikir panjang, Deo segera membopong Ela di depan tubuhnya dan membawanya ke luar. "Aku akan menggendongmu, jangan khawatirkan yang lain, yang paling penting kamu harus segera sembuh."Namun sesaat setelah Deo baru sampai di ujung tangga, Laura dengan cepat menghadangnya dengan merentangkan kedua tangan. "Mau ke mana?" ketusnya dengan tatapan mengintimidasi. Namun Deo bersikap acuh. Setelah menatap sengit wajah Laura untuk sekilas, Deo segera melangkah menerobos pertahanan Laura. Namun lagi-lagi Laura menghentikan langkah Deo kembali. "Mau ke mana?" ucapnya mengulangi pertanyaan awal."Minggir, ini tidak ada urusannya denganmu," jawab Deo datar tanpa ekspresi."Tentu ada. Aku adalah Istrimu."Deo yang pada akhirnya kehabisan kesabaran menampakkan kilat amarah dalam tatapannya. "Aku bilang, minggir!" bentak Deo lantang.Laura seketika itu membeku dengan wajah
Dalam balutan pakaian tidur transparan, seluruh bekas merah yang Deo ciptakan terekspos sepenuhnya.Hal tersebut tentunya membuat Laura diam mematung dengan tatapan tak percaya. "I-itu ... kalian benar-benar melakukannya di belakangku?" geram Laura tak terima.Ela lantas mengerinyitkan dahi sejenak. Hingga wanita itu sepenuhnya mengerti jika yang tengah dimaksud Laura adalah bekas cupang di leher dan dadanya. "Maksudmu ini? Mau aku melakukannya di hadapanmu sekarang? Boleh," sindir Ela seraya menunjuk bercak merah di lehernya.Setelah lama bersabar pada akhirnya stok kesabaran Laura pun habis. Wanita itu mendorong tubuh Ela keras hingga membuat Ela berdiri terhuyung dan hampir terjungkal ke belakang. "Minggir! Aku mau bicara dengan Deo!"Namun sayangnya aksi Laura gagal setelah Ela gegas menarik gagang pintu hingga membuat Laura tak bisa memasuki celah yang sempit. "Heh! Kamu yang harusnya minggir! Untuk apa memasuki kamar orang?! Sana, pergi ke kamarmu sendiri!" bentak Ela dengan lan
Ela mengerinyitkan dahi. Merasa geli mendengar kalimat yang baru saja memasuki gendang telinganya."Astaga ... tidakkah kamu merasa sadar diri? Deo menikahimu hanya karena terpaksa. Papamu terus berlutut di bawah kakinya, berharap kamu mendapatkan pengobatan tanpa sedikit pun mengeluarkan uangnya. Dia juga memohon agar Deo tidak langsung menceraikanmu saat itu, bernegosiasi agar kalian bercerai setelah anak yang kamu kandung lahir, agar tak membuat aib di keluarga," jelas Ela panjang lebar.Sontak Laura kembali dibuat mematung. Tak menyangka akan mendapatkan suguhan dari kebusukan ayahnya dari mulut Ela."Itu tidak mungkin! Ini adalah Anak Deo! Tanggung jawabnya.""Cih! Semua orang sudah tahu kebusukanmu dan Arsenio, termasuk aku. Jadi tidak perlu mengungkit aibmu jika kamu masih memiliki rasa malu. Tanpa persetujuan dariku pun, Deo sudah membuangmu dari jauh-jauh hari," pungkas Ela sebelum kembali memasuki ruangan dan menutup pintu kamar dengan keras. Merasa tak ada lagi yang perlu d
"Aku masih ingin hidup," imbuh Deo semakin menjauhkan piring.Laura membeku. Rasa sesaknya dada semakin terasa, hingga ia hampir tak dapat menahannya."Akhirnya ...." ucap syukur Darren sesaat setelah menyadari kehadiran Ela yang tengah berjalan mendekat. Membawa sebakul nasi di tangannya.Ela meletakkan masakannya di atas meja. Aroma sedap khas masakan rumah menguar memenuhi penjuru ruangan."Nah ... ini baru makanan. Dari jauh saja sudah tercium aroma sedapnya." Darren gegas membalik piring dan mengambil centong nasi. Namun niatnya urung kala Deo menepuk kasar lengannya. "Aku dulu! Di mana sopan santunmu sebagai adik?""Astaga ...." keluh Darren."Sudah-sudah! Masih banyak kok nasinya, jangan berebut!" Ela lantas duduk di samping Deo dan mulai mengisi piring suaminya.Tatapan matanya sekilas tertuju pada Laura yang berdiri mematung di hadapannya. Menatap tak suka dengan kehadiran Ela."Eh? Kenapa masakan Laura utuh? Kamu tidak cicipi? Dia buatnya penuh cinta, loh," ledek Ela pada su
Deo dan Ela yang baru hendak memadu kasih dikejutkan dengan teriakkan gaduh dari luar ruangan."Kak! Istrimu gila! Cepat selamatkan aku!" Suara Darren kembali terdengar untuk yang kedua kalinya.Deo yang hendak memeluk pinggang ramping sang istri pun langsung mengurungkan niatnya.Pria itu memejamkan mata erat menahan kedongkolan dalam hati. Disertai helaan nafas berat yang sekali berhembus begitu kasar. "Astaga Anak ini! Padahal dari brojol sampai sekarang tidak pernah memanggilku Kakak. Ayo lihat! Kemasukan jin apa dia sampai bisa berubah seperti itu." Deo beranjak bangkit dari atas ranjang.Raut wajah sedikit kecewa Ela tunjukkan. Padahal awalnya ia sempat merasa ragu. Namun setelah baru memulai, rasanya ia tak ingin menghentikan aktivitas itu.Keduanya pun kini keluar dari dalam ruangan. Menghampiri sumber suara yang diduga kuat berasal dari ruangan paling pojok di lantai dua."Astaga ...." timpal Deo kala mendapati Laura yang masih memegangi kedua kaki Darren erat.Wanita dengan
Deo dan Ela seketika saling bertukar pandang, sebelum pandangan mata Deo beralih menelisik gerak-gerik istri keduanya. "Apa yang sedang kamu lakukan di sini?"Laura membeku. Wajahnya menoleh, menatap datar ke arah Deo. "Apa matamu sedang rabun jauh? Tidak lihat aku sedang membereskan barang-barangku?"Lantas Deo mengangga. "A-apa?!" Deo beranjak turun dari atas ranjang mendekati Laura yang tengah menyeret koper di depan pintu."Keluar!" bentak Deo melempar kembali beberapa koper dan tas ke luar ruangan.Kilat amarah yang terpancar dari wajah Deo membuat Laura membeku di tempat."Aku bilang keluar!" Deo mengulangi kalimatnya dengan suara yang semakin meninggi. Sedang telunjuknya mengarah ke arah pintu kamar yang masih terbuka lebar.Bentakan keras yang tak pernah Laura dapatkan dari sosok pria yang sama di masa lalu membuat tubuhnya berkali-kali berlonjak kaget."Tapi kenapa? Kenapa dia bisa di sini, sedangkan aku tidak?" tanya Laura kala stok kesabarannya mulai menipis. Menunjuk ke ar