Perusahaan Willson Group. Pukul sepuluh pagi.Drrttt ... Drrttt ....Getaran pada sebuah benda pipih yang terletak dalam saku celana begitu menganggu sang pemilik saat tengah berkutat dengan cangkir-cangkir kopi di depannya."Astaga ... kapan selesainya pekerjaanku jika terus diganggu seperti ini?"Pram mendengus kesal. Hingga di detik berikutnya pria itu mengambil kasar ponselnya dalam saku celana. Terlihat sebuah notifikasi panggilan telepon dari nomor tidak dikenal. Terpampang jelas dari layar ponsel yang tak sepenuhnya retak.Tak berpikir banyak, Pram segera menjawab panggilan telepon tersebut, seraya menyelipkan benda pipih itu di antara bahu dan telinganya dengan kepala meneleng ke kiri. Sedang kedua tangannya kembali berkutat pada beberapa bungkus kopi dan air panas dalam termos."Halo," sapa Pram pada seseorang dari seberang telepon."Bagaimana? Sudah mempertimbangkan kembali tawaranku tempo hari?" jawab suara berat yang tak begitu asing dalam indra pendengaran Pram.Suara itu
Tok! Tok! Tok!Dengan helaan nafas panjang, Pram mulai mengetuk pintu dengan buku-buku jarinya. Rasa gelisah seketika menghantam, saat baru pertama kali menaruh benda asing dalam minuman yang ia sajikan untuk seseorang. Mungkinkah jika terjadi sesuatu dia akan dimasukkan dalam jeruji besi?Pram menggeleng cepat. Menghilangkan segala kemungkinan yang akan terjadi setelah obat itu bereaksi pada Deo. Bagaimana pun juga, dia telah menyiapkan diri dari segala sesuatu yang akan terjadi setelahnya."Masuk!"Setelah mendengar sahutan dari dalam, Pram segera menekan gagang pintu ke arah bawah. Melangkah pasti memasuki ruangan dengan menenteng nampan berisikan dua cangkir teh hangat.Pram kembali merasa risih dan gelisah, tatkala tatapan sengit kembali Deo layangkan padanya. Namun pria berusia tiga puluh tahun itu berusaha bersikap wajar. Tangannya perlahan memindahkan cangkir-cangkir teh ke atas meja. Satu di dekat Ela dan satu lagi di dekat Deo. Ia tak ingin cangkir itu tertukar dan berakhir
"Hentikan rasa cemasmu dan bersikaplah seperti biasa. Jangan membuat Pram merasa curiga dan membuatnya melakukan cara lain untuk mencelakaimu. Aku ada di sini, dan masih mampu untuk melindungimu," tegas Deo dengan penuh keyakinan. Kembali memegangi kedua pundak Ela dan sedikit mengguncangnya. Meyakinkan sang kekasih jika semuanya akan baik-baik saja dalam lindungannya.Ela mengangguk cepat, sebelum menghamburkan diri ke rengkuhan Deo yang seketika membuat perasaannya membaik.Pria yang tengah duduk di atas sofa panjang berwarna coklat susu itu awalnya tertegun. Namun lama kelamaan dirinya mencoba membiasakan diri. Membalas pelukan Ela seraya mengusap lembut punggungnya. Mungkin dengan begini wanita itu akan merasakan perasaan aman.Sementara itu. Pram berlari cepat menuju kamar mandi paling dekat dengan ruangan pribadi sang atasan. Membuang sembarang nampan kosong yang ada di tangannya, sebelum sedikit berjongkok di depan wastafel."Huwek, huwek!"Pram memijat tengkuknya, berusaha men
Keesokan harinya. Kediaman Matthew pukul tujuh lewat tiga puluh pagi.[Hari ini aku tidak bisa menjemputmu. Aku memiliki urusan penting di perusahaan]Begitulah isi pesan singkat dari Deo yang dikirimkan melalui aplikasi hijau ke ponsel milik Ela.Berulang kali wanita itu menghela nafas panjang setelah membaca isi pesan singkat tersebut.Ting!Belum sempat Ela kembali meletakkan ponselnya di dalam tas, sebuah pesan singkat kembali membuat ponselnya berdering.[Tenanglah, akan aku usahakan urusannya selesai sebelum waktu makan siang tiba. Setelah itu aku akan pergi menemuimu]Ela terdiam, dan tak berniat membalas pesan singkat itu sama sekali.Niat hati menunggu mobil Deo di depan pagar rumah untuk menghindari sang ibu, namun ternyata yang ditunggu tak dapat datang kala itu.Kini wanita yang telah siap dengan pakaian dinasnya itu beranjak kembali memasuki halaman. Berjalan cepat menuju garasi mobil. Sesekali matanya menatap arloji yang tengah melingkar di pergelangan tangannya."Tck! T
Tak berpikir panjang, Ela segera melangkah mendekati Sela, mantan pekerjanya tersebut dan berjongkok di depannya, guna melepaskan tali."Apa yang sebenarnya terjadi padamu? Kenapa kamu bisa berada di sini?" tanya Ela dengan raut wajah panik. Sedang tangannya mencoba dengan cepat melepas simpul ikatan pada tali tambang tersebut."Hmm ...!"Namun ada yang aneh. Sela terus-menerus menggeleng cepat dengan ketakutan hebat. Menggerang keras seraya menatap sesuatu di belakang Ela. Seolah tengah memberi tahu Ela untuk segera pergi dari sana.Namun belum sempat Ela mengartikan isyarat mata Sela, sebuah tangan kekar membekapnya dari belakang."Hmm ...!"Ela dan Sela yang belum sepenuhnya terlepas dari ikatan tali sama-sama menggerang keras. Namun usaha mereka berakhir sia-sia. Sebab aroma obat bius dari sapu tangan yang dipegang tangan kekar pria itu membuat Ela perlahan kehilangan kesadaran."Hmm ...!"Mata Sela membulat sempurna. Diiringi air mata ketakutan yang tak henti mengalir deras dari
"Apa maksudmu?"Meski Ela sudah mengetahui hal itu, namun wanita itu tetap saja berpura-pura tidak mengetahuinya."Kamu adalah Ela, Istriku," jawab Pram singkat. Menaikkan sedikit dagu Ela agar pandangan keduanya saling bertemu."Tidak! Aku bukan Istrimu!" hardik Ela seraya memalingkan wajah.Kekecewaan itu kembali menghantam dada, membuat Pram kembali menarik tangannya dari dagu Ela."Kenapa?"Suara Pram yang serak dan parau membuat Ela kembali menatap wajah mantan suaminya."Kenapa menggugat cerai secara sepihak?! Aku tidak mau bercerai denganmu! Ayo kita kembali seperti dulu," lanjutnya dengan nada kian meningkat. Seolah tengah memaksakan kehendak.Lengan Pram mengusap kasar wajahnya, tatkala bulir bening mulai jatuh menetes membasahi pipi.Sedang Ela seolah tak memiliki sedikit pun belas kasih. Wanita itu menyeringai sinis seraya menatap ke arah lain."Apa maksudmu ingin aku kembali banting tulang untuk menghidupimu? Menyiksaku dengan kepalan tanganmu?! Memaksaku melahirkan anak l
Dengan luka hitam lebam di ekor mata dan cairan merah yang mulai keluar dari sudut bibir, Pram menatap waspada pada sosok pria dengan tenaga mengerikan di hadapannya. Berjalan gontai seraya meletakkan kedua tangannya di saku celana. Sedang jas hitam itu mulai tergantung di bahu kiri."Bukan manusia? Lalu kamu ini jenis spesies apa? Bahkan pukulanmu terasa seperti gigitan semut," cibir Deo seraya merundukan tubuhnya di depan Pram. Satu tangannya mencengkram kuat rahang Pram hingga membuat wajah pria itu menghadap ke arahnya tanpa mampu berkutik sedikit pun.Tanpa disadari. Satu lagi tangan Deo memasukkan sesuatu ke dalam mulut Pram yang berasal dari dalam saku celana. Terasa mengalir begitu saja seperti air. Sontak Pram mengelapi lidahnya sesaat setelah Deo kembali berdiri tegak."Apa ini? Apa yang baru saja kamu masukkan ke dalam mulutku?!"Pram kembali dikuasai kepanikan hebat, kala firasat buruk mulai terlintas dalam pikirannya. Sedangkan kedua telapak tangannya yang digunakan untuk
"Angkat tangan! Kami Polisi sudah mengepung tempat ini!"Suara keras yang berasal dari toa polisi membuat suasana kala itu berubah mencekam. Diiringi suara hentakan kaki dari beberapa pasang kaki menggema dalam gudang kosong yang telah lama tak beroperasi.Detik berikutnya, muncul beberapa polisi berseragam menodongkan pistol ke segala arah, tatkala baru memasuki ruangan tempat Ela di sekap."Bu Gabriela!"Sela yang menerobos pertahanan Polisi segera menghampiri Ela yang tengah meringkuk dengan kaki dan tangan yang masih terikat. Pertemuan haru itu berlangsung selama beberapa menit. Saat Sela berusaha melepaskan ikatan tali."Dia tersangkanya, Pak! Tangkap orang itu!"Suara berat bak provokator itu menunjuk tubuh Pram yang terkulai lemas di atas lantai. Sedang meja kayu masih berada di atas tubuhnya."Apakah kamu yang memanggil Polisi untukku? Terima kasih, Sela," ucap Ela seraya tersenyum tipis, sedang air mata haru mulai berjatuhan dari ekor mata. Sebelum simpul ikatan tali itu bena
"Tidak perlu. Berdebat dengan orang bodoh hanya akan menambah orang bodohnya jadi dua," cibir Ela seraya melengos pergi."Setelah operasinya selesai, Laura akan dipindahkan ke ruang rawat inap selama satu minggu. Seluruh administrasi rumah sakit sudah saya tanggung. Setelah ini jangan cari saya dengan alasan apa pun. Saya sudah tak memiliki hubungan dengan kalian," pungkas Deo sebelum menyusul langkah sang istri meninggalkan rumah sakit. Tak ia hiraukan tatapan tak berdaya dari ayah Laura.****Lima bulan kemudian.Setelah putusan sidang mengenai kasus penculikan dan pembunuhan berencana Pram dan Arsenio, yang kini dihukum penjara seumur hidup, Ela dan Deo pada akhirnya bisa hidup dengan tenang.Bahkan Laura pun tak lagi terdengar kabarnya setelah kejadian hari itu."Kenapa sekarang kita tinggal di sini? Apa Darren tidak kesepian tinggal sendiri?" tanya Ela sesaat setelah memasuki kediamannya."Dari pada dia, aku lebih memikirkan kamu. Kalau ada apa-apa pas aku tidak ada di rumah baga
"Tidak! Tunggu, Tuan Deo! Tolong jangan hiraukan ucapan Istri saya. Dia memang terbiasa berkata tanpa berpikir terlebih dahulu. Tolong, jangan tinggalkan Laura dalam keadaan seperti ini." Ayah Laura berlari ke arah Deo dan bersimpuh di kakinya.Belum sempat Deo menimpali, suara derit pintu ruang rawat yang terbuka membuat seluruh pasang mata menatap ke arahnya.Seorang dokter wanita terlihat muncul dari balik pintu yang kembali ditutup rapat. "Apakah ada keluarga Pasien di sini?""Saya Mamanya, Dok!" Ibu Laura gegas berlari menghampiri dokter."Begini, Bu. Dengan berat hati saya sampaikan bahwa, janin yang dikandung Putri Ibu tak dapat diselamatkan. Saya meminta persetujuan keluarga untuk segera melakukan tindakan operasi pengangkatan janin. Karena jika itu sampai telat dilakukan, nyawa Ibunya pun akan terancam," jelas dokter."Lakukan segera, Dok. Lakukan apa pun agar nyawa Putri saya selamat.""Baik, Bu. Silakan tanda tangani berkas ini setelah Anda melunasi administrasinya." Dokter
****Empat bulan kemudian."Bagaimana perkembangan kasusnya, Sayang?" tanya Ela pada Deo yang baru memasuki kamar, setelah selesai menghadiri sidang kasus kematian Clarissa."Ternyata pelaku adalah teman masa kecil Mama. Dia menyukai Mama sejak lama, tapi Mama tak pernah membalas perasaannya. Hal itu yang memicu pelaku melakukan penganiayaan, saat tak sengaja menjadi Dokter di rumah sakit jiwa tempat Mama dirawat. Dengan bukti-bukti yang telah terkumpul, pada akhirnya Hakim telah memvonis hukuman yang setimpal setelah beberapa kali persidangan," jawab Deo panjang lebar. Pria itu melonggarkan dasi yang melingkar di lehernya sebelum merebahkan diri di atas tempat tidur."Apa hukumannya?" tanya Ela penasaran seraya berjalan mendekat."Penjara seumur hidup dan denda.""Itu tidak setimpal! Seharusnya orang itu mendapatkan hukuman mati! Kenapa kamu tidak membiarkan aku ikut ke persidangan hari ini?" geram Ela tak terima."Kamu hamil. Lihat perutmu sudah sebesar apa? Aku tidak ingin kesehata
"Rasanya aku sudah tidak ada tenaga untuk berjalan. Tubuhku rasanya lemas sekali."Deo gegas berjalan mendekati sang istri. Tanpa pikir panjang, Deo segera membopong Ela di depan tubuhnya dan membawanya ke luar. "Aku akan menggendongmu, jangan khawatirkan yang lain, yang paling penting kamu harus segera sembuh."Namun sesaat setelah Deo baru sampai di ujung tangga, Laura dengan cepat menghadangnya dengan merentangkan kedua tangan. "Mau ke mana?" ketusnya dengan tatapan mengintimidasi. Namun Deo bersikap acuh. Setelah menatap sengit wajah Laura untuk sekilas, Deo segera melangkah menerobos pertahanan Laura. Namun lagi-lagi Laura menghentikan langkah Deo kembali. "Mau ke mana?" ucapnya mengulangi pertanyaan awal."Minggir, ini tidak ada urusannya denganmu," jawab Deo datar tanpa ekspresi."Tentu ada. Aku adalah Istrimu."Deo yang pada akhirnya kehabisan kesabaran menampakkan kilat amarah dalam tatapannya. "Aku bilang, minggir!" bentak Deo lantang.Laura seketika itu membeku dengan wajah
Dalam balutan pakaian tidur transparan, seluruh bekas merah yang Deo ciptakan terekspos sepenuhnya.Hal tersebut tentunya membuat Laura diam mematung dengan tatapan tak percaya. "I-itu ... kalian benar-benar melakukannya di belakangku?" geram Laura tak terima.Ela lantas mengerinyitkan dahi sejenak. Hingga wanita itu sepenuhnya mengerti jika yang tengah dimaksud Laura adalah bekas cupang di leher dan dadanya. "Maksudmu ini? Mau aku melakukannya di hadapanmu sekarang? Boleh," sindir Ela seraya menunjuk bercak merah di lehernya.Setelah lama bersabar pada akhirnya stok kesabaran Laura pun habis. Wanita itu mendorong tubuh Ela keras hingga membuat Ela berdiri terhuyung dan hampir terjungkal ke belakang. "Minggir! Aku mau bicara dengan Deo!"Namun sayangnya aksi Laura gagal setelah Ela gegas menarik gagang pintu hingga membuat Laura tak bisa memasuki celah yang sempit. "Heh! Kamu yang harusnya minggir! Untuk apa memasuki kamar orang?! Sana, pergi ke kamarmu sendiri!" bentak Ela dengan lan
Ela mengerinyitkan dahi. Merasa geli mendengar kalimat yang baru saja memasuki gendang telinganya."Astaga ... tidakkah kamu merasa sadar diri? Deo menikahimu hanya karena terpaksa. Papamu terus berlutut di bawah kakinya, berharap kamu mendapatkan pengobatan tanpa sedikit pun mengeluarkan uangnya. Dia juga memohon agar Deo tidak langsung menceraikanmu saat itu, bernegosiasi agar kalian bercerai setelah anak yang kamu kandung lahir, agar tak membuat aib di keluarga," jelas Ela panjang lebar.Sontak Laura kembali dibuat mematung. Tak menyangka akan mendapatkan suguhan dari kebusukan ayahnya dari mulut Ela."Itu tidak mungkin! Ini adalah Anak Deo! Tanggung jawabnya.""Cih! Semua orang sudah tahu kebusukanmu dan Arsenio, termasuk aku. Jadi tidak perlu mengungkit aibmu jika kamu masih memiliki rasa malu. Tanpa persetujuan dariku pun, Deo sudah membuangmu dari jauh-jauh hari," pungkas Ela sebelum kembali memasuki ruangan dan menutup pintu kamar dengan keras. Merasa tak ada lagi yang perlu d
"Aku masih ingin hidup," imbuh Deo semakin menjauhkan piring.Laura membeku. Rasa sesaknya dada semakin terasa, hingga ia hampir tak dapat menahannya."Akhirnya ...." ucap syukur Darren sesaat setelah menyadari kehadiran Ela yang tengah berjalan mendekat. Membawa sebakul nasi di tangannya.Ela meletakkan masakannya di atas meja. Aroma sedap khas masakan rumah menguar memenuhi penjuru ruangan."Nah ... ini baru makanan. Dari jauh saja sudah tercium aroma sedapnya." Darren gegas membalik piring dan mengambil centong nasi. Namun niatnya urung kala Deo menepuk kasar lengannya. "Aku dulu! Di mana sopan santunmu sebagai adik?""Astaga ...." keluh Darren."Sudah-sudah! Masih banyak kok nasinya, jangan berebut!" Ela lantas duduk di samping Deo dan mulai mengisi piring suaminya.Tatapan matanya sekilas tertuju pada Laura yang berdiri mematung di hadapannya. Menatap tak suka dengan kehadiran Ela."Eh? Kenapa masakan Laura utuh? Kamu tidak cicipi? Dia buatnya penuh cinta, loh," ledek Ela pada su
Deo dan Ela yang baru hendak memadu kasih dikejutkan dengan teriakkan gaduh dari luar ruangan."Kak! Istrimu gila! Cepat selamatkan aku!" Suara Darren kembali terdengar untuk yang kedua kalinya.Deo yang hendak memeluk pinggang ramping sang istri pun langsung mengurungkan niatnya.Pria itu memejamkan mata erat menahan kedongkolan dalam hati. Disertai helaan nafas berat yang sekali berhembus begitu kasar. "Astaga Anak ini! Padahal dari brojol sampai sekarang tidak pernah memanggilku Kakak. Ayo lihat! Kemasukan jin apa dia sampai bisa berubah seperti itu." Deo beranjak bangkit dari atas ranjang.Raut wajah sedikit kecewa Ela tunjukkan. Padahal awalnya ia sempat merasa ragu. Namun setelah baru memulai, rasanya ia tak ingin menghentikan aktivitas itu.Keduanya pun kini keluar dari dalam ruangan. Menghampiri sumber suara yang diduga kuat berasal dari ruangan paling pojok di lantai dua."Astaga ...." timpal Deo kala mendapati Laura yang masih memegangi kedua kaki Darren erat.Wanita dengan
Deo dan Ela seketika saling bertukar pandang, sebelum pandangan mata Deo beralih menelisik gerak-gerik istri keduanya. "Apa yang sedang kamu lakukan di sini?"Laura membeku. Wajahnya menoleh, menatap datar ke arah Deo. "Apa matamu sedang rabun jauh? Tidak lihat aku sedang membereskan barang-barangku?"Lantas Deo mengangga. "A-apa?!" Deo beranjak turun dari atas ranjang mendekati Laura yang tengah menyeret koper di depan pintu."Keluar!" bentak Deo melempar kembali beberapa koper dan tas ke luar ruangan.Kilat amarah yang terpancar dari wajah Deo membuat Laura membeku di tempat."Aku bilang keluar!" Deo mengulangi kalimatnya dengan suara yang semakin meninggi. Sedang telunjuknya mengarah ke arah pintu kamar yang masih terbuka lebar.Bentakan keras yang tak pernah Laura dapatkan dari sosok pria yang sama di masa lalu membuat tubuhnya berkali-kali berlonjak kaget."Tapi kenapa? Kenapa dia bisa di sini, sedangkan aku tidak?" tanya Laura kala stok kesabarannya mulai menipis. Menunjuk ke ar