"Masuklah!" ucap Ela dengan sedikit membenarkan posisi duduknya. Ia tak ingin terlalu memperlihatkan kegugupan yang kini tengah ia alami.Begitu pula dengan Deo. Wajahnya seketika menegang dari balik topeng saat daun pintu mulai bergerak perlahan.Nampak peluh mengucur deras membasahi wajah Pram, dengan deru nafas memburu yang terdengar tak beraturan. Kakinya yang berbalut sepatu bekas berjalan perlahan menuju meja kerja Ela dan mulai memindahkan dua cangkir kopi ke atas sana.Dengan melihat ekspresi wajah Pram yang masih menunjukkan sorot ketakutan, membuat Ela menyimpulkan jika sang suami tidak mendengar percakapan dirinya dan Deo dari arah luar pintu.'Fiuh ...! Syukurlah'Ela seketika menghela nafas lega seraya mengelus dada. Jika sampai apa yang ia khawatirkan benar-benar terjadi, Ela tak tahu lagi harus berbuat apa untuk bisa melakukan penyiksaan selanjutnya pada pria busuk itu."Mana yang manis?" tanya Ela dengan memasang wajah datar. Ia tak ingin kecemasannya terlihat jelas ol
Deo menatap lekat ke arah Ela, sementara Ela seketika memutar kepala menghadapnya, seolah begitu terkejut mendengar pengakuan itu.Namun Ela segera memalingkan wajahnya saat tatapan keduanya kembali bertemu.***Malam harinya. Kediaman Matthew. Pukul delapan lewat dua puluh menit."Ela, Papa punya sesuatu untukmu."Matthew yang baru memasuki rumah segera menghampiri Ela yang tengah mengambil segelas air di dapur. Berjalan cepat dengan wajah sumringah. Kedua tangannya menyembunyikan sesuatu dari balik tubuh tambunnya.Ela yang terkejut sebab baru menyadari kehadiran sang ayah hanya memutar kepala menghadap Matthew dengan raut wajah penuh tanya."Tada ...!" ucap Matthew berniat mengejutkan sang putri dengan dokumen yang dikeluarkannya dari balik punggung. Namun alih-alih terkejut, Ela hanya terdiam seribu bahasa. Menatap sebuah dokumen yang berbalut map coklat di genggaman tangan sang ayah."Kamu tidak terkejut?" tanya Matthew memastikan saat tak mendapatkan respon yang ia harapkan dar
***Perusahaan. Pukul sebelas malam."Huh ...! Capeknya ...."Pram menghela nafas berat, setelah akhirnya selesai mengerjakan seluruh tugas yang diberikan untuknya.Dengan gagang pel yang masih ia genggam. Pram memutar tubuhnya ke kanan dan kiri untuk sekedar merenggangkan ototnya yang kaku. Bunyi gemretak membuat tubuhnya seketika merasa enteng."Sekarang waktunya istirahat," gumam Pram berbicara pada dirinya sendiri. Menyenderkan gagang pel di samping dinding kamar mandi dan mulai beranjak pergi dengan langkah gontai.Pram berjalan ke segala arah. Seluruh penjuru ruangan tak luput dari pengamatannya. Nampak sunyi dan mencekam.Kini pria berperawakan tinggi nan kurus itu berdiri di ambang pintu dapur. Berkacak pinggang dengan helaan nafas berat. "Jika seperti ini penampakannya, di mana aku harus tidur sekarang?"Kebingungan hebat mulai ia rasakan, saat tak mendapati lagi satu orang pun yang berlalu lalang di sekitarnya. Nampaknya seluruh pekerja telah pulang dan terlelap di rumahnya
***Toilet perusahaan. Pukul tujuh lewat tiga puluh pagi."Ngh ...."Pram melenguh panjang, kala baru kembali mendapatkan kesadarannya.Mata dengan bulu lentik itu mengerjap perlahan. Merasakan cahaya terang yang mulai menyilaukan mata."Aku di mana?" gumam Pram bersusah payah mengeluarkan suara. Bertanya pada dirinya sendiri. Tangannya memegangi kepala yang seketika terasa berdenyut nyeri. Hingga penggalan demi penggalan ingatan malam itu kembali terlintas dalam ingatannya.Sontak Pram tertegun sejenak. Sebelum mengamati setiap inci dari tempatnya tersadar kala itu."I-ini ... toilet? Bagaimana bisa aku sampai di sini? Mungkinkah ...."Pram mencoba menerka dengan asumsinya sendiri. Hingga tubuhnya seketika bergidik ngeri saat beranggapan jika arwah sang putri yang tak terima dengan perlakuannya semasa hidup, menyeretnya paksa ke tempat ini. Sungguh mengerikan jika hal itu benar-benar terjadi.Pram yang mulai panik segera bangkit dari closet duduk. Memutar gagang pintu toilet yang ter
Namun seketika Pram menggelengkan kepalanya cepat. Menghilangkan segala macam prasangka buruk yang tak masuk akal dalam pikirannya.'Tidak mungkin! Ela dan Gabriela jelas-jelas adalah dua orang yang berbeda. Bahkan dibandingkan dengan penampilannya saja mereka sungguh bukan orang yang sama!'Tak ingin terlalu banyak mengulur waktu yang akan membuat hukumannya diperberat. Pram segera beranjak untuk membersihkan diri.Sementara itu, Ela yang kini dalam suasana hati yang baik, setelah menyaksikan putaran rekaman CCTV kemarin malam, beranjak pergi memasuki ruangan pribadinya.Namun saat baru membuka pintu ruangan, Ela dikejutkan dengan kehadiran Deo yang secara tiba-tiba menyembulkan kepala dari balik pintu. Sontak hal itu membuat tubuh Ela tersentak hingga hampir terjungkal ke arah belakang. Beruntungnya Ela masih berpegangan pada gagang pintu kala itu."Tuan Deo! Tidak adakah kesibukan lain yang lebih bermanfaat selain mengejutkan saya setiap hari?!" ucap lirih Ela dengan penuh penekana
"Masuk!" perintah Ela pada seseorang dari balik pintu, seraya membenahi rambutnya yang sedikit berantakan.Tak berselang lama, daun pintu mulai bergerak masuk. Memperlihatkan Pram yang telah selesai membersihkan diri. Berdiri tegak dengan menundukkan wajah di ambang pintu dengan memilin ujung bajunya merasa canggung.Sementara Ela masih berusaha mengatur nafas. Menyembunyikan kepanikan hebat yang sebelumnya menyelimuti hati."Haruskah setiap kali kamu datang aku harus menyuruhmu masuk? Jangan menghalangi jalan!" cibir Ela dengan ketegasan. Namun tak sedikit pun memiliki niat untuk menatap lawan bicaranya."Ma-maafkan saya, Bu Gabriela," ucap Pram dengan emosi yang tertahan. Kedua tangannya mencengkram kuat ujung baju yang sebelumnya ia pilin. Berjalan perlahan menuju hadapan sang atasan yang kini tengah sibuk dengan berkas di meja kerjanya.Sesekali mata pria berperawakan kurus itu melirik ke arah Deo yang tengah menatapnya tajam. Sontak Pram segera memalingkan wajah kala menyadari De
***Perusahaan. Pukul tujuh belas lewat dua puluh menit."Paman Louise, kita antar Ela pulang dulu," ucap Deo pada sang pengawal yang tengah mendorong kursi rodanya di lobi perusahaan setelah keluar dari dalam elevator."Baik, Tuan," jawab singkat paman Louise."Tidak perlu repot-repot, saya bisa pulang naik taksi," sahut Ela dengan wajah datarnya. Berjalan cepat mendahului Deo dan paman Louise yang tengah berjalan dengan langkah gontai."Tidak bisa! Aku sudah berjanji pada Om Matthew untuk mengantarmu pulang," protes Deo dengan kedongkolan yang mulai menyesakkan dada."Tapi saya tidak mau," ucap Ela datar tanpa menghentikan langkah kakinya. Bahkan merasa enggan untuk sekedar menoleh ke arah lawan bicaranya.Sontak kalimat datar itu membuat paman Louise terperangah tak percaya. Sebab baru kali ini, bahkan seumur hidupnya mendengar kalimat penolakan datar itu dari mulut Ela pada Deo yang berinisiatif mengantarkannya pulang.Manik hitam dengan kantung mata kendur itu mengamati setiap g
"Ini nomor ruangannya, Pak."Resepsionis wanita itu memberikan sebuah catatan kecil yang ditulis dengan tulisan tangan. Sebelum kembali menyunggingkan senyum ramah."Terima kasih."Matthew sontak segera meraih catatan kecil itu, sebelum beranjak pergi bersama Ela yang tengah mengekor di belakang tubuhnya.Keduanya berjalan cepat seraya mengamati setiap tulisan yang tergantung di samping pintu ruangan yang berderet di sepanjang lorong.Hingga pada akhirnya, mereka menemukan tulisan yang sama persis seperti tulisan tangan resepsionis wanita yang berada dalam genggaman tangan Matthew."Ini ruangannya. Ayo masuk," ucap Matthew menatap Ela dan pintu ruangan secara bergantian.Perasaan gelisah yang amat sangat mulai kembali Ela rasakan. Jujur saja, dirinya belum siap untuk bertemu dengan ingatannya di masa lalu yang belum sepenuhnya kembali.Kini daun pintu perlahan terbuka saat sang ayah mulai memutar gagang pintu dan mendorongnya perlahan.Namun sosok wanita dengan rambut digelung asal it
"Tidak perlu. Berdebat dengan orang bodoh hanya akan menambah orang bodohnya jadi dua," cibir Ela seraya melengos pergi."Setelah operasinya selesai, Laura akan dipindahkan ke ruang rawat inap selama satu minggu. Seluruh administrasi rumah sakit sudah saya tanggung. Setelah ini jangan cari saya dengan alasan apa pun. Saya sudah tak memiliki hubungan dengan kalian," pungkas Deo sebelum menyusul langkah sang istri meninggalkan rumah sakit. Tak ia hiraukan tatapan tak berdaya dari ayah Laura.****Lima bulan kemudian.Setelah putusan sidang mengenai kasus penculikan dan pembunuhan berencana Pram dan Arsenio, yang kini dihukum penjara seumur hidup, Ela dan Deo pada akhirnya bisa hidup dengan tenang.Bahkan Laura pun tak lagi terdengar kabarnya setelah kejadian hari itu."Kenapa sekarang kita tinggal di sini? Apa Darren tidak kesepian tinggal sendiri?" tanya Ela sesaat setelah memasuki kediamannya."Dari pada dia, aku lebih memikirkan kamu. Kalau ada apa-apa pas aku tidak ada di rumah baga
"Tidak! Tunggu, Tuan Deo! Tolong jangan hiraukan ucapan Istri saya. Dia memang terbiasa berkata tanpa berpikir terlebih dahulu. Tolong, jangan tinggalkan Laura dalam keadaan seperti ini." Ayah Laura berlari ke arah Deo dan bersimpuh di kakinya.Belum sempat Deo menimpali, suara derit pintu ruang rawat yang terbuka membuat seluruh pasang mata menatap ke arahnya.Seorang dokter wanita terlihat muncul dari balik pintu yang kembali ditutup rapat. "Apakah ada keluarga Pasien di sini?""Saya Mamanya, Dok!" Ibu Laura gegas berlari menghampiri dokter."Begini, Bu. Dengan berat hati saya sampaikan bahwa, janin yang dikandung Putri Ibu tak dapat diselamatkan. Saya meminta persetujuan keluarga untuk segera melakukan tindakan operasi pengangkatan janin. Karena jika itu sampai telat dilakukan, nyawa Ibunya pun akan terancam," jelas dokter."Lakukan segera, Dok. Lakukan apa pun agar nyawa Putri saya selamat.""Baik, Bu. Silakan tanda tangani berkas ini setelah Anda melunasi administrasinya." Dokter
****Empat bulan kemudian."Bagaimana perkembangan kasusnya, Sayang?" tanya Ela pada Deo yang baru memasuki kamar, setelah selesai menghadiri sidang kasus kematian Clarissa."Ternyata pelaku adalah teman masa kecil Mama. Dia menyukai Mama sejak lama, tapi Mama tak pernah membalas perasaannya. Hal itu yang memicu pelaku melakukan penganiayaan, saat tak sengaja menjadi Dokter di rumah sakit jiwa tempat Mama dirawat. Dengan bukti-bukti yang telah terkumpul, pada akhirnya Hakim telah memvonis hukuman yang setimpal setelah beberapa kali persidangan," jawab Deo panjang lebar. Pria itu melonggarkan dasi yang melingkar di lehernya sebelum merebahkan diri di atas tempat tidur."Apa hukumannya?" tanya Ela penasaran seraya berjalan mendekat."Penjara seumur hidup dan denda.""Itu tidak setimpal! Seharusnya orang itu mendapatkan hukuman mati! Kenapa kamu tidak membiarkan aku ikut ke persidangan hari ini?" geram Ela tak terima."Kamu hamil. Lihat perutmu sudah sebesar apa? Aku tidak ingin kesehata
"Rasanya aku sudah tidak ada tenaga untuk berjalan. Tubuhku rasanya lemas sekali."Deo gegas berjalan mendekati sang istri. Tanpa pikir panjang, Deo segera membopong Ela di depan tubuhnya dan membawanya ke luar. "Aku akan menggendongmu, jangan khawatirkan yang lain, yang paling penting kamu harus segera sembuh."Namun sesaat setelah Deo baru sampai di ujung tangga, Laura dengan cepat menghadangnya dengan merentangkan kedua tangan. "Mau ke mana?" ketusnya dengan tatapan mengintimidasi. Namun Deo bersikap acuh. Setelah menatap sengit wajah Laura untuk sekilas, Deo segera melangkah menerobos pertahanan Laura. Namun lagi-lagi Laura menghentikan langkah Deo kembali. "Mau ke mana?" ucapnya mengulangi pertanyaan awal."Minggir, ini tidak ada urusannya denganmu," jawab Deo datar tanpa ekspresi."Tentu ada. Aku adalah Istrimu."Deo yang pada akhirnya kehabisan kesabaran menampakkan kilat amarah dalam tatapannya. "Aku bilang, minggir!" bentak Deo lantang.Laura seketika itu membeku dengan wajah
Dalam balutan pakaian tidur transparan, seluruh bekas merah yang Deo ciptakan terekspos sepenuhnya.Hal tersebut tentunya membuat Laura diam mematung dengan tatapan tak percaya. "I-itu ... kalian benar-benar melakukannya di belakangku?" geram Laura tak terima.Ela lantas mengerinyitkan dahi sejenak. Hingga wanita itu sepenuhnya mengerti jika yang tengah dimaksud Laura adalah bekas cupang di leher dan dadanya. "Maksudmu ini? Mau aku melakukannya di hadapanmu sekarang? Boleh," sindir Ela seraya menunjuk bercak merah di lehernya.Setelah lama bersabar pada akhirnya stok kesabaran Laura pun habis. Wanita itu mendorong tubuh Ela keras hingga membuat Ela berdiri terhuyung dan hampir terjungkal ke belakang. "Minggir! Aku mau bicara dengan Deo!"Namun sayangnya aksi Laura gagal setelah Ela gegas menarik gagang pintu hingga membuat Laura tak bisa memasuki celah yang sempit. "Heh! Kamu yang harusnya minggir! Untuk apa memasuki kamar orang?! Sana, pergi ke kamarmu sendiri!" bentak Ela dengan lan
Ela mengerinyitkan dahi. Merasa geli mendengar kalimat yang baru saja memasuki gendang telinganya."Astaga ... tidakkah kamu merasa sadar diri? Deo menikahimu hanya karena terpaksa. Papamu terus berlutut di bawah kakinya, berharap kamu mendapatkan pengobatan tanpa sedikit pun mengeluarkan uangnya. Dia juga memohon agar Deo tidak langsung menceraikanmu saat itu, bernegosiasi agar kalian bercerai setelah anak yang kamu kandung lahir, agar tak membuat aib di keluarga," jelas Ela panjang lebar.Sontak Laura kembali dibuat mematung. Tak menyangka akan mendapatkan suguhan dari kebusukan ayahnya dari mulut Ela."Itu tidak mungkin! Ini adalah Anak Deo! Tanggung jawabnya.""Cih! Semua orang sudah tahu kebusukanmu dan Arsenio, termasuk aku. Jadi tidak perlu mengungkit aibmu jika kamu masih memiliki rasa malu. Tanpa persetujuan dariku pun, Deo sudah membuangmu dari jauh-jauh hari," pungkas Ela sebelum kembali memasuki ruangan dan menutup pintu kamar dengan keras. Merasa tak ada lagi yang perlu d
"Aku masih ingin hidup," imbuh Deo semakin menjauhkan piring.Laura membeku. Rasa sesaknya dada semakin terasa, hingga ia hampir tak dapat menahannya."Akhirnya ...." ucap syukur Darren sesaat setelah menyadari kehadiran Ela yang tengah berjalan mendekat. Membawa sebakul nasi di tangannya.Ela meletakkan masakannya di atas meja. Aroma sedap khas masakan rumah menguar memenuhi penjuru ruangan."Nah ... ini baru makanan. Dari jauh saja sudah tercium aroma sedapnya." Darren gegas membalik piring dan mengambil centong nasi. Namun niatnya urung kala Deo menepuk kasar lengannya. "Aku dulu! Di mana sopan santunmu sebagai adik?""Astaga ...." keluh Darren."Sudah-sudah! Masih banyak kok nasinya, jangan berebut!" Ela lantas duduk di samping Deo dan mulai mengisi piring suaminya.Tatapan matanya sekilas tertuju pada Laura yang berdiri mematung di hadapannya. Menatap tak suka dengan kehadiran Ela."Eh? Kenapa masakan Laura utuh? Kamu tidak cicipi? Dia buatnya penuh cinta, loh," ledek Ela pada su
Deo dan Ela yang baru hendak memadu kasih dikejutkan dengan teriakkan gaduh dari luar ruangan."Kak! Istrimu gila! Cepat selamatkan aku!" Suara Darren kembali terdengar untuk yang kedua kalinya.Deo yang hendak memeluk pinggang ramping sang istri pun langsung mengurungkan niatnya.Pria itu memejamkan mata erat menahan kedongkolan dalam hati. Disertai helaan nafas berat yang sekali berhembus begitu kasar. "Astaga Anak ini! Padahal dari brojol sampai sekarang tidak pernah memanggilku Kakak. Ayo lihat! Kemasukan jin apa dia sampai bisa berubah seperti itu." Deo beranjak bangkit dari atas ranjang.Raut wajah sedikit kecewa Ela tunjukkan. Padahal awalnya ia sempat merasa ragu. Namun setelah baru memulai, rasanya ia tak ingin menghentikan aktivitas itu.Keduanya pun kini keluar dari dalam ruangan. Menghampiri sumber suara yang diduga kuat berasal dari ruangan paling pojok di lantai dua."Astaga ...." timpal Deo kala mendapati Laura yang masih memegangi kedua kaki Darren erat.Wanita dengan
Deo dan Ela seketika saling bertukar pandang, sebelum pandangan mata Deo beralih menelisik gerak-gerik istri keduanya. "Apa yang sedang kamu lakukan di sini?"Laura membeku. Wajahnya menoleh, menatap datar ke arah Deo. "Apa matamu sedang rabun jauh? Tidak lihat aku sedang membereskan barang-barangku?"Lantas Deo mengangga. "A-apa?!" Deo beranjak turun dari atas ranjang mendekati Laura yang tengah menyeret koper di depan pintu."Keluar!" bentak Deo melempar kembali beberapa koper dan tas ke luar ruangan.Kilat amarah yang terpancar dari wajah Deo membuat Laura membeku di tempat."Aku bilang keluar!" Deo mengulangi kalimatnya dengan suara yang semakin meninggi. Sedang telunjuknya mengarah ke arah pintu kamar yang masih terbuka lebar.Bentakan keras yang tak pernah Laura dapatkan dari sosok pria yang sama di masa lalu membuat tubuhnya berkali-kali berlonjak kaget."Tapi kenapa? Kenapa dia bisa di sini, sedangkan aku tidak?" tanya Laura kala stok kesabarannya mulai menipis. Menunjuk ke ar