Suara ketukan pintu terus terdengar, semakin keras dan memekakkan telinga.Tok! Tok! Tok!Ezra berdiri tegang di dekat pintu, pistol kecil di tangannya bergetar. Peluh menetes deras dari pelipisnya, sementara dadanya naik turun dengan cepat. Ketukan itu berhenti sesaat, dan justru membuat Ezra semakin gelisah.“Siapa?!” Ezra berteriak lagi, merasa panik dan marah.Masih tidak ada jawaban.Ezra menarik napas dalam-dalam, mencoba menguatkan diri. Namun, sebelum pria itu bisa berpikir lebih jauh—Brak!Pintu penginapan itu didobrak paksa dengan suara keras. Seketika, Ezra refleks menekan pelatuk pistol di tangannya.Dor!Suara tembakan menggema di ruangan sempit itu. Seorang pria berseragam polisi yang berdiri paling depan langsung terhuyung ke belakang dan jatuh ke lantai dengan darah mengalir deras dari kepalanya.“Berhenti!” teriak salah satu polisi lainnya, penuh perintah.Polisi itu melangkah maju dan menendang pistol dari tangan Ezra sebelum pria itu sempat menembak lagi. Pistol it
“Seharusnya kita reuni saat pernikahan Pak Ezra dengan Gauri,” tukas seorang mahasiswa yang pernah Ezra ajar dengan mata berkaca-kaca. “Bukan ke pemakaman beliau.”Langit pagi itu mendung, seolah turut berduka atas kepergian salah satu anak manusia. Angin berembus pelan, mengusik dedaunan di sekitar kompleks pemakaman Keluarga Uno.Seorang pendeta berdiri di depan peti kayu berwarna cokelat gelap yang dihiasi bunga lili putih. Di sekelilingnya, hanya ada sedikit pelayat, terbatas pada keluarga dekat, sahabat, dan beberapa orang yang pernah mengenal Ezra.“Betul,” sahut teman yang berdiri di sebelahnya. “Tapi kita cukup beruntung, karena tidak semua orang bisa masuk ke lahan pemakaman Keluarga Uno.”Thomas berdiri di barisan paling depan, mengenakan jas hitam dengan dasi yang rapi. Wajah pria tua itu pucat, garis-garis usianya terlihat lebih jelas dari biasanya.Namun, meski terpukul, pria tua itu tetap memimpin upacara pemakaman dengan penuh kewibawaan. Di sampingnya, Rusdi, berdiri d
“Apa yang mereka inginkan dari kerja sama ini?” tanya Adam pada seseorang di seberang telepon sambil memandang cahaya matahari lembut yang masuk melalui jendela, menerangi ruangan perawatan VIP di salah satu rumah sakit terbaik di kota Jakarta.Adam duduk di sofa dengan postur tegap, satu tangan memegang ponsel, sementara tangan lainnya menelusuri dokumen yang tersebar di meja kecil di depannya. Di sekitar sofa, ada laptop terbuka, beberapa map tebal, dan secangkir kopi yang sudah hampir dingin.“Saya paham bahwa Harraz Mall harus menarik perhatian publik dengan langkah ini,” ujar Adam serius. “Tapi brand sebesar itu memerlukan penawaran yang lebih kuat. Saya akan mengatur ulang kontraknya besok.”Sebuah keheningan singkat mengisi ruangan sebelum suara kecil terdengar dari ranjang di belakangnya.“Mas Adam?”Adam langsung tersentak, jantungnya berdebar keras. Suara itu begitu lembut, tetapi cukup untuk menghentikan dunianya sejenak. Dengan gerakan cepat, Adam menoleh, matanya membelal
“Jangan bergerak terlalu banyak, Gauri” pinta Adam sambil mendorong kursi roda Gauri perlahan, membawa wanita itu ke taman rumah sakit. “Dokter bilang kamu masih perlu banyak istirahat. Aku tidak akan mengampuni diriku jika setelah ini terjadi sesuatu pada dirimu lagi.”Gauri tersenyum tipis dengan pipi memerah. Wajah wanita itu jauh lebih cerah dibanding hari-hari sebelumnya.“Aku tidak bergerak sama sekali, Mas Adam. Kamu yang menaruh aku untuk duduk di sini, di kursi roda, bukan?” Gauri tidak ingin kalah.Adam menoleh sejenak ke arah Gauri dengan tatapan yang tenang dan menghangatkan. Ada senyum tipis yang menghiasi bibirnya.“Kalau kamu tidak ingin duduk di sini, aku bisa mengembalikanmu ke ranjang perawatan,” tukas Adam berpura-pura marah, padahal sedang menahan tawa.Gauri tertawa kecil, menyentuh tangan Adam yang berada di pegangan kursi roda. “Tidak usah. Di sini jauh lebih menyenangkan. Terima kasih sudah membawaku keluar.”Angin sore yang sejuk menyapu wajah mereka saat Adam
“Ini pasti hari spesial, bukan?” tebak Arum sambil memindai ruangan.Suara alunan piano yang lembut mengisi suasana restoran mewah itu. Lampu-lampu kristal menggantung tinggi, memancarkan cahaya hangat yang menciptakan atmosfer elegan.Adam duduk di sebuah meja dekat jendela besar, mengenakan setelan jas hitam sempurna. Di depannya, Arum, terlihat sangat antusias dengan wajah merona yang sulit disembunyikan.“Ini pilihan restoran yang bagus, Adam,” lanjut Arum sambil tersenyum. “Akhirnya, kamu mulai mengerti bahwa wanita-wanita pilihan Mama punya kualitas yang sepadan denganmu.”Adam hanya mengangkat alis sedikit, lalu menyesap air putih dari gelas kristalnya. Senyum kecil muncul di wajah pria itu, meskipun matanya tetap dingin.“Mama sangat yakin malam ini akan menjadi momen besar, ya?” tanya Adam.“Tentu saja!” Arum tertawa kecil sambil merapikan gaunnya yang berkilauan. “Mama tahu kamu keras kepala, Adam, tapi setidaknya sekarang kamu mulai membuka hati untuk pilihan yang tepat. Ja
"Bagaimana dengan Mama Arum?" tanya Gauri pelan, matanya menatap Adam yang baru saja duduk di kursi di samping ranjangnya.Pagi tadi, Gauri mendengar bahwa Arum dilarikan ke rumah sakit. Dan baru sore ini, dia bisa mengonfirmasi hal itu ke Adam.Adam menghela napas panjang, menatap Gauri dengan tatapan lembut. “Hipertensinya kambuh semalam, dan sekarang Mama dinyatakan mengalami stroke.”Gauri terkejut, matanya membulat. “Stroke?”Adam mengangguk, rahangnya sedikit mengeras. “Semalam setelah aku bilang ingin membatalkan perceraian dan ingin kembali denganmu, Mama sangat marah. Mama belum bisa menerima itu.”“Mas Adam ….” Gauri menggigit bibir, matanya terlihat berkaca-kaca. “Aku ingin menjenguk Mama Arum.”Adam menatap Gauri cukup lama sebelum akhirnya menghela napas dan mengangguk pelan.“Kamu boleh menjenguknya. Tapi ada syarat!” tukas Adam.“Syarat?” Gauri menaikkan alis. “Apa?”“Kamu hanya boleh menjenguk Mama saat kamu sudah sembuh dan mengenakan gaun cantik yang biasa kamu pakai
“Aku terlalu banyak minum,” gumam Gauri pelan. Dia memberikan gelas kosong pada pelayan yang lewat di depannya.Gauri Bentlee menelan ludah saat detak jantungnya semakin tak karuan. Dalam satu tahun pernikahan, malam ini adalah pertama kalinya Adam Harraz mengajak Gauri menghadiri sebuah pesta donasi bergengsi. Pesta donasi ini diselenggarakan oleh komunitas penggiat kesehatan mental, yaitu Heal the Hearts Club bertajuk Asa Bibit Bangsa Korban Bencana Gempa Bumi. Acara ini hanya dihadiri oleh kalangan kelas atas di kota Jakarta.Gauri dan Adam terlibat pernikahan kontrak yang konyol. Gauri perlu melunasi utang keluarganya dan Adam harus menikah demi memperoleh jabatan CEO di perusahaan keluarga.Gauri menatap Adam yang berdiri di sebelahnya."Ikut aku!" Adam menggandeng tangan Gauri. Adam menghampiri salah satu meja yang diisi oleh beberapa kenalannya. Dia hendak memperkenalkan Gauri pada mereka.“Selamat malam, Pak Adam. Wah, ini dia langganan donatur terbesar setiap ada pesta dona
“Biar saya bantu,” ucap seorang pria berambut tebal dengan kedua mata coklat menawan mengulurkan tangan. Dia tersenyum hangat. Gauri menyambut uluran tangan pria asing itu dan segera mengucapkan terima kasih.Gauri kehilangan wajah di pesta pertamanya bersama Adam. Dia berjalan keluar gedung menuju tempat parkir dengan kaki terkilir dan menahan tangis.Dada Gauri terasa sangat sesak. Adam sudah keterlaluan. Bagaimana bisa Adam melakukan hal seperti itu dengan wanita lain saat berada di satu tempat yang sama dengan Gauri.Gauri masuk ke dalam mobil Adam setelah Denny–sopir Adam membukakan pintu. Dia meluapkan tangisannya tanpa takut mempermalukan Adam. Tangisnya sangat menyayat hati, penuh luka dan amarah.“Sudah berapa lama ini berlangsung?” Gauri memukul dadanya berkali-kali, berharap sesak hilang dari sana.Sejak awal pernikahan ini memang tidak dimulai dengan cinta. Namun, bukan berarti hati Gauri mati rasa hingga tidak merasa apa-apa setelah lama tinggal bersama.Pintu mobil terb
"Bagaimana dengan Mama Arum?" tanya Gauri pelan, matanya menatap Adam yang baru saja duduk di kursi di samping ranjangnya.Pagi tadi, Gauri mendengar bahwa Arum dilarikan ke rumah sakit. Dan baru sore ini, dia bisa mengonfirmasi hal itu ke Adam.Adam menghela napas panjang, menatap Gauri dengan tatapan lembut. “Hipertensinya kambuh semalam, dan sekarang Mama dinyatakan mengalami stroke.”Gauri terkejut, matanya membulat. “Stroke?”Adam mengangguk, rahangnya sedikit mengeras. “Semalam setelah aku bilang ingin membatalkan perceraian dan ingin kembali denganmu, Mama sangat marah. Mama belum bisa menerima itu.”“Mas Adam ….” Gauri menggigit bibir, matanya terlihat berkaca-kaca. “Aku ingin menjenguk Mama Arum.”Adam menatap Gauri cukup lama sebelum akhirnya menghela napas dan mengangguk pelan.“Kamu boleh menjenguknya. Tapi ada syarat!” tukas Adam.“Syarat?” Gauri menaikkan alis. “Apa?”“Kamu hanya boleh menjenguk Mama saat kamu sudah sembuh dan mengenakan gaun cantik yang biasa kamu pakai
“Ini pasti hari spesial, bukan?” tebak Arum sambil memindai ruangan.Suara alunan piano yang lembut mengisi suasana restoran mewah itu. Lampu-lampu kristal menggantung tinggi, memancarkan cahaya hangat yang menciptakan atmosfer elegan.Adam duduk di sebuah meja dekat jendela besar, mengenakan setelan jas hitam sempurna. Di depannya, Arum, terlihat sangat antusias dengan wajah merona yang sulit disembunyikan.“Ini pilihan restoran yang bagus, Adam,” lanjut Arum sambil tersenyum. “Akhirnya, kamu mulai mengerti bahwa wanita-wanita pilihan Mama punya kualitas yang sepadan denganmu.”Adam hanya mengangkat alis sedikit, lalu menyesap air putih dari gelas kristalnya. Senyum kecil muncul di wajah pria itu, meskipun matanya tetap dingin.“Mama sangat yakin malam ini akan menjadi momen besar, ya?” tanya Adam.“Tentu saja!” Arum tertawa kecil sambil merapikan gaunnya yang berkilauan. “Mama tahu kamu keras kepala, Adam, tapi setidaknya sekarang kamu mulai membuka hati untuk pilihan yang tepat. Ja
“Jangan bergerak terlalu banyak, Gauri” pinta Adam sambil mendorong kursi roda Gauri perlahan, membawa wanita itu ke taman rumah sakit. “Dokter bilang kamu masih perlu banyak istirahat. Aku tidak akan mengampuni diriku jika setelah ini terjadi sesuatu pada dirimu lagi.”Gauri tersenyum tipis dengan pipi memerah. Wajah wanita itu jauh lebih cerah dibanding hari-hari sebelumnya.“Aku tidak bergerak sama sekali, Mas Adam. Kamu yang menaruh aku untuk duduk di sini, di kursi roda, bukan?” Gauri tidak ingin kalah.Adam menoleh sejenak ke arah Gauri dengan tatapan yang tenang dan menghangatkan. Ada senyum tipis yang menghiasi bibirnya.“Kalau kamu tidak ingin duduk di sini, aku bisa mengembalikanmu ke ranjang perawatan,” tukas Adam berpura-pura marah, padahal sedang menahan tawa.Gauri tertawa kecil, menyentuh tangan Adam yang berada di pegangan kursi roda. “Tidak usah. Di sini jauh lebih menyenangkan. Terima kasih sudah membawaku keluar.”Angin sore yang sejuk menyapu wajah mereka saat Adam
“Apa yang mereka inginkan dari kerja sama ini?” tanya Adam pada seseorang di seberang telepon sambil memandang cahaya matahari lembut yang masuk melalui jendela, menerangi ruangan perawatan VIP di salah satu rumah sakit terbaik di kota Jakarta.Adam duduk di sofa dengan postur tegap, satu tangan memegang ponsel, sementara tangan lainnya menelusuri dokumen yang tersebar di meja kecil di depannya. Di sekitar sofa, ada laptop terbuka, beberapa map tebal, dan secangkir kopi yang sudah hampir dingin.“Saya paham bahwa Harraz Mall harus menarik perhatian publik dengan langkah ini,” ujar Adam serius. “Tapi brand sebesar itu memerlukan penawaran yang lebih kuat. Saya akan mengatur ulang kontraknya besok.”Sebuah keheningan singkat mengisi ruangan sebelum suara kecil terdengar dari ranjang di belakangnya.“Mas Adam?”Adam langsung tersentak, jantungnya berdebar keras. Suara itu begitu lembut, tetapi cukup untuk menghentikan dunianya sejenak. Dengan gerakan cepat, Adam menoleh, matanya membelal
“Seharusnya kita reuni saat pernikahan Pak Ezra dengan Gauri,” tukas seorang mahasiswa yang pernah Ezra ajar dengan mata berkaca-kaca. “Bukan ke pemakaman beliau.”Langit pagi itu mendung, seolah turut berduka atas kepergian salah satu anak manusia. Angin berembus pelan, mengusik dedaunan di sekitar kompleks pemakaman Keluarga Uno.Seorang pendeta berdiri di depan peti kayu berwarna cokelat gelap yang dihiasi bunga lili putih. Di sekelilingnya, hanya ada sedikit pelayat, terbatas pada keluarga dekat, sahabat, dan beberapa orang yang pernah mengenal Ezra.“Betul,” sahut teman yang berdiri di sebelahnya. “Tapi kita cukup beruntung, karena tidak semua orang bisa masuk ke lahan pemakaman Keluarga Uno.”Thomas berdiri di barisan paling depan, mengenakan jas hitam dengan dasi yang rapi. Wajah pria tua itu pucat, garis-garis usianya terlihat lebih jelas dari biasanya.Namun, meski terpukul, pria tua itu tetap memimpin upacara pemakaman dengan penuh kewibawaan. Di sampingnya, Rusdi, berdiri d
Suara ketukan pintu terus terdengar, semakin keras dan memekakkan telinga.Tok! Tok! Tok!Ezra berdiri tegang di dekat pintu, pistol kecil di tangannya bergetar. Peluh menetes deras dari pelipisnya, sementara dadanya naik turun dengan cepat. Ketukan itu berhenti sesaat, dan justru membuat Ezra semakin gelisah.“Siapa?!” Ezra berteriak lagi, merasa panik dan marah.Masih tidak ada jawaban.Ezra menarik napas dalam-dalam, mencoba menguatkan diri. Namun, sebelum pria itu bisa berpikir lebih jauh—Brak!Pintu penginapan itu didobrak paksa dengan suara keras. Seketika, Ezra refleks menekan pelatuk pistol di tangannya.Dor!Suara tembakan menggema di ruangan sempit itu. Seorang pria berseragam polisi yang berdiri paling depan langsung terhuyung ke belakang dan jatuh ke lantai dengan darah mengalir deras dari kepalanya.“Berhenti!” teriak salah satu polisi lainnya, penuh perintah.Polisi itu melangkah maju dan menendang pistol dari tangan Ezra sebelum pria itu sempat menembak lagi. Pistol it
Adam menyandarkan tubuh di sofa, sambil menatap Thomas dengan dingin.“Saya menjaga sopir itu tetap hidup karena dia salah satu kunci untuk menjebloskan Ezra ke penjara,” ujar Adam tegas. “Saya butuh dia berbicara, dan jika dia mati, semua bukti yang saya punya akan melemah.”Thomas mengangguk kecil, walaupun tatapannya tetap tajam. Dia meletakkan gelas kosongnya di meja, lalu mengusap wajah dengan tangan bergetar. Pria tua itu tampak lelah, tetapi tekadnya tetap terlihat jelas.“Kamu masih berpikir saya berada di pihak Ezra, bukan?” tanya Thomas tiba-tiba.Adam tidak menjawab, tetapi mata pria itu berbicara. Dingin dan penuh kewaspadaan, sebagaimana sikap yang harus dia tunjukkan di depan sekutu lawan.Namun, yang mengejutkan, Thomas menundukkan kepala sejenak dan matanya berkaca-kaca ketika pria tua itu mengangkat wajahnya lagi.“Apa yang bisa saya bantu?” tanya Thomas, penuh kesungguhan. “Jika itu untuk Gauri, saya akan melakukannya.”Adam tertegun. Kata-kata itu membuatnya terdiam
Adam duduk di kursi kerjanya yang megah. Wajah pria itu masih tanpa emosi seperti biasa, tetapi tangannya yang mengetuk permukaan meja menunjukkan kegelisahan yang jarang terlihat.Ruangan itu sunyi, hanya diisi suara lembut jam dinding yang berdetak. Adam menunggu dengan sabar hingga akhirnya pintu terbuka, dan Denny masuk dengan langkah tergesa.“Tuan Adam,” ujar Denny sambil berdiri tegak di depan meja. “Kami mendapat laporan terbaru tentang Ezra.”Adam mengangkat wajah, matanya menatap tajam Denny. “Di mana dia sekarang?”Denny menelan ludah, ragu sejenak sebelum menjawab. “Ezra terakhir terlihat di Bandara Soekarno-Hatta pada pukul dua siang tadi. Setelah itu, dia menghilang. Tidak ada jejak keberangkatan atau keberadaan darinya, Tuan.”Adam mendengar jawaban itu dengan rahang mengeras. Napas pria itu tetap teratur, tetapi ada kilatan marah di matanya yang membuat asistennya itu terintimidasi.“Bandara?” ulang Adam pelan, terdengar dingin. “Tujuan apa yang Ezra masukkan ke sistem
“Di mana dia?” Suara Thomas menggema di koridor rumah sakit, dingin dan penuh penekanan.Pria tua itu melangkah cepat, tongkat sama sekali tidak menghalanginya. Mata Thomas memerah dan sedikit berkaca-kaca, tengah menahan deretan emosi yang menyerangnya, amarah, kepanikan, dan kesedihan.“Di ICU, Tuan Thomas,” jawab Bergas dengan tenang, mendampingi langkah pria tua itu. “Namun, menurut dokter, Nona Gauri belum sadar dan masih dalam masa kritis.”Thomas berhenti sejenak di depan pintu ruang ICU. Melalui kaca kecil di pintu, pria tua itu melihat Gauri terbaring lemah dengan berbagai alat medis terpasang di tubuhnya.Tubuh cucunya yang biasanya penuh energi kini tampak rapuh, tidak berdaya. Thomas mengepalkan tangan, rahangnya mengeras. Dia menahan napas, berusaha mengendalikan emosinya.“Direktur rumah sakit ini di mana?!” tanya Thomas tiba-tiba, suaranya rendah, tetapi penuh ancaman.Bergas mengangkat alis sedikit. “Saya akan menghubungi beliau untuk menemui Anda.”“Tidak perlu,” sahu