Kemudian Arya berkata dengan cuek, "Aku sudah panggilkan ambulans untuk Zayn dan Yosef. Mereka ada di rumah sakit ini sekarang."Hatiku terguncang. Aku menatap Arya dengan kaget. "Benarkah?"Arya tersenyum getir. "Tidak ada gunanya aku membohongimu."Aku menjilat bibirku. Aku bertanya dengan suara tegang, "Lalu ... di bangsal mana Zayn sekarang?""Mereka langsung dilarikan ke dalam IGD. Sepertinya masih dioperasi sekarang.""IGD?"Hatiku terguncang. Aku bertanya dengan suara kaget. "IGD mana?"Arya tidak merespons. Dia membawaku berjalan keluar.Di lantai dua, aku melihat anggota Keluarga Hale menunggu di depan ruang operasi dengan cemas.Arya berkata padaku, "Yang di dalam itu Yosef. Zayn di ruang seberang."Sebelum aku sempat berbicara, Arya tiba-tiba menunjuk ke depan.Tidak ada seorang pun di depan ruang operasi di seberang.Sedangkan di sisi Yosef, orang-orang dari Keluarga Hale menangis di sana. Anto juga tampak sedih dan lesu.Rasa ironis melanda hatiku.Sama-sama adalah putrany
Arya langsung mengepalkan tangan di sisi tubuhnya, seolah-olah akan meninju Anto pada detik berikutnya.Hatiku panik. Aku buru-buru memegang lengan Arya.Arya melirikku. Kedinginan dalam matanya berkurang sedikit.Arya tersenyum padaku dalam diam. Terbersit kegetiran di ekspresinya.Aku memegang lengan Arya dengan erat, tetapi tidak tahu bagaimana cara menghiburnya.Rani bergegas memegang tangan Anto dan berteriak dengan marah sambil menunjuk kami, "Mereka ... mereka tidak hanya melukai Yosef, mereka juga ingin Yosef dipenjara. Cepat beri mereka pelajaran."Mendengar itu, Anto menoleh pada aku dan Arya dengan sikap dingin.Anto jelas termangu ketika melihat Arya. Lalu, dia mengernyit.Arya menyeringai sinis. "Beri pelajaran? Bagaimana Tuan Anto ingin memberi pelajaran pada kami? Beradu dengan kami secara terang-terangan atau menggunakan taktik curang seperti bertahun-tahun lalu?"Ekspresi Anto berubah seketika. "Apa maksudmu?"Arya mencibir. "Tuan Anto harusnya tahu apa maksudku."Anto
Suara Rani yang melengking makin memekakkan telinga.Dari tadi, Arya menatap mereka sambil menyeringai.Aku tidak tahan lagi. Aku membawa Arya berjalan ke ruang operasi Zayn.Rani terus mencecar kami, tetapi dihentikan oleh Anto.Aku duduk di luar ruang operasi bersama Arya.Arya menundukkan kepala. Keagresifannya sudah berkurang, tetapi sekujur tubuhnya diselubungi kesedihan.Aku tahu Arya teringat akan masa kecilnya dan orang tuanya.Aku merapatkan bibir, tidak tahu bagaimana cara menghibur Arya. Aku berujar, "Aku tahu, dendam sebesar itu tidak bisa dilupakan dengan mudah. Aku juga tidak berhak membujukmu untuk melupakannya.""Hanya saja, ini rumah sakit, ada banyak orang. Kamu juga adalah tokoh publik.""Kalau kamu berkelahi dengan Anto di sini, dampaknya buruk bagimu.""Ya," sahut Arya.Aku melirik Arya sekilas dan diam. Aku terbengong menatap pintu ruang operasi yang tertutup rapat.Tidak tahu bagaimana kondisi Zayn saat ini.Hatiku sakit setiap kali memikirkan Zayn berlumuran dar
Mereka adalah Henry dan Cindy.Cindy berlari kemari dan terengah-engah.Cindy melirik Arya sekilas. Lalu, dia berdiri di depanku dan mencelaku, "Apa yang terjadi sebenarnya? Kak Zayn masih baik-baik saja kemarin, kenapa jadi begini hari ini? Apa lagi yang kamu lakukan padanya?"Aku menundukkan tatapan dan diam saja.Cindy tiba-tiba menangis. Ekspresinya panik dan cemas. "Ayo jawab. Apa yang terjadi dengan Kak Zayn? Pagi ini, Kak Zayn pergi dari rumahku untuk menyelamatkanmu. Kenapa kamu baik-baik saja, tapi Kak Zayn dioperasi? Ayo katakan!"Aku perlahan menatap Cindy dan berujar dengan cuek, "Tidak ada yang perlu kukatakan padamu.""Kamu ...." Cindy tampak seperti akan pingsan.Arya bergegas memegangi Cindy. Dia berkata dengan suara rendah, "Zayn ditikam 3 kali oleh Yosef dan sedang dioperasi sekarang. Kami juga tidak tahu bagaimana keadaan di dalam.""Yosef berengsek! Di mana dia? Aku pergi tuntut dia," tukas Henry sambil memukul kursi.Arya melirik Henry sekilas. Dia berujar, "Yosef
Tak lama kemudian, Zayn dibawa ke bangsal. Cindy dan Henry mengikutinya.Arya menatapku. "Kamu tidak ikut?"Aku menggelengkan kepala. "Yang penting dia selamat."Lalu, aku berdiri dan berjalan ke arah lift.Baru berjalan dua langkah, penglihatanku menghitam dan aku pingsan.Saat kehilangan kesadaran, aku mendengar Arya memanggil namaku dengan cemas.Tidak tahu berapa lama aku pingsan. Saat aku siuman, hari sudah malam.Di sekitar sunyi senyap sehingga suara napas yang ada di dalam kamar sangat jelas.Aku menolehkan kepala. Arya sedang duduk di samping jendela dan menatapku.Melihat aku sudah siuman, Arya menaruh majalah di tangannya dan berjalan kemari."Apa kamu sudah merasa lebih baik?" tanya Arya.Aku mengangguk, tidak bersuara.Arya bertanya lagi, "Mau makan apa? Aku belikan."Aku awalnya ingin menolak, tetapi teringat akan janin dalam kandunganku, aku berubah pikiran. "Terserah kamu.""Oke."Arya menatap lurus padaku, lalu berjalan keluar.Aku duduk di kasur dan menoleh ke luar je
Hatiku tersentak kaget. Aku tiba-tiba sadar bahwa Arya bukan orang yang sederhana.Arya duduk di kursinya dan memainkan kotak rokok dengan jengkel.Menurutku, sebagian penyebab Arya merasa jengkel adalah karena Yosef. Hanya saja, Arya tidak ingin mengakui hal tersebut.Usai makan bubur, aku berujar pada Arya, "Kamu bisa keluar kalau mau merokok, tidak perlu menjagaku sepanjang waktu. Aku akan tidur habis makan. Kamu bisa pulang dan istirahat."Kemudian, Arya beranjak dari kursi dan berjalan keluar.Sudut mulutku berkedut. Mengapa aku merasa Arya sepertinya sudah tidak sabar ingin pergi dan hanya menunggu omonganku ini.Arya tiba-tiba berhenti di ambang pintu dan menanyaiku dengan heran, "Aneh sekali, kenapa kamu tidak tanyakan kondisi Zayn saat ini padaku?"Hatiku sakit ketika mengungkit tentang Zayn.Aku merapatkan bibir, lalu menjawab, "Yang penting Zayn sudah selamat."Arya menyeringai. "Kebetulan, Zayn juga tidak bertanya tentangmu.""Benarkah?" Aku tersenyum dengan kaku. "Cindy me
Suara Zayn sangat serak dan lemas, juga ada sedikit keluhan.Aku membuka mulut dan ingin memberi penjelasan, tetapi aku tidak tahu harus berkata apa.Pada akhirnya, aku berkata, "Lepaskan aku."Sebaliknya, Zayn memegang pergelangan tanganku dengan lebih erat.Sebenarnya, inilah rasa suka dan kepedulian, 'kan?Jika dipikirkan kembali, Zayn selalu membatasi kebebasanku dengan galak dan marah tanpa alasan.Jika dipikirkan dengan sudut pandang lain, itu bukan rasa benci, melainkan peduli dan rasa suka.Berpikir demikian, hatiku luluh.Aku menggenggam tangan Zayn seraya membungkuk dan mengecup bibirnya.Mata Zayn membelalak. Dia menatapku dengan cengang.Aku tersenyum padanya. "Lepaskan aku dulu. Aku pergi buka lampu, gelap sekali."Meski begitu, Zayn tetap tidak melepaskan tanganku.Aku tersenyum tak berdaya. Aku hanya bisa melepaskan tangan Zayn dari tanganku.Ketika aku akhirnya berhasil, tatapan mata Zayn melekat padaku sepanjang waktu.Aku pergi membuka lampu. Lalu, aku membungkuk dan
Pria itu tetap diam dan hanya menatapku dengan wajah muram.Aku berdiri dan berjalan keluar.Dia tiba-tiba menarikku dengan begitu kuat hingga luka di tubuhnya terbuka.Kudengar dia mengerang dan darah langsung menembus kain kasa.Aku terkejut dan buru-buru mendekat untuk memeriksa lukanya. Kulihat darah yang mengalir semakin banyak dan sebagian besar kain kasa langsung memerah.Aku sangat cemas sampai menangis."Bagaimana ini? Sakit tidak? Sekarang apa yang harus kulakukan? Aku akan memanggil dokter."Zayn menarikku lagi.Dia menatapku dengan murung, sudut bibirnya membentuk senyuman mencela diri sendiri, "Ngapain memanggil dokter? Bukankah kamu membenciku? Bukankah lebih baik aku mati kehabisan darah?""Lebih baik apa? Dasar orang gila aneh!"Aku hanya bisa berteriak padanya, "Kamu bodoh sekali. Siapa bilang aku membencimu? Kapan aku bilang aku tidak mau bertemu denganmu?""Kamulah yang selalu membuat tebakan sembarangan dan suka marah-marah.""Kamu tidak tahu betapa cemasnya aku saa
Herman tersenyum, "Aku cuma mau memperkenalkanmu, dia adalah Audrey yang merupakan adik Irvin.""Ah! Kamu Audrey?"Perawat itu menatapku, lalu berkata dengan cemas dan penuh semangat, "Irvin sering mengungkitmu di depanku, aku juga sangat ingin bertemu denganmu dan Bibi.""Tapi akhir-akhir ini pekerjaanku sangat sibuk, sibuk bersaing untuk mendapatkan posisi, serta sibuk mencari sumber ginjal untuk Bibi. Jadi aku sama sekali nggak punya waktu untuk menemui kalian.""Maafkan aku, aku benar-benar minta maaf karena sudah beberapa kali mengingkari janji. Aku juga selalu ingin minta maaf secara pribadi padamu."Perawat di depanku berkata dengan tulus, yang tidak terdengar seperti sedang berpura-pura.Aku tidak bisa menahan diri untuk berpikir apakah pikiranku terlalu berlebihan?Sebenarnya Sella sama sekali tidak bermasalah, dia memang sangat sibuk sampai mengingkari janji denganku?"Audrey, kamu nggak marah padaku, 'kan?"Saat aku sedang berpikir, perawat di depanku tiba-tiba bertanya deng
Setelah tiba di Rumah Sakit Harmoni, aku langsung mendatangi meja resepsionis di bagian rawat inap."Permisi, apakah ada perawat yang bernama Sella di sini?"Perawat itu menatapku, lalu mengangguk, "Benar, ada perawat bernama Sella di sini. Ada apa kamu mencarinya?""Ada masalah pribadi yang mau kukatakan padanya, bolehkah tolong panggil dia untuk bertemu denganku?""Maaf, Nona. Saat ini waktu Sella bekerja, dia sepertinya sedang sibuk.""Kalau begitu aku akan menunggu di sana, tolong kasih tahu aku kalau dia sudah nggak sibuk, terima kasih."Setelah berkata pada perawat, aku duduk di kursi untuk menunggu.Tidak lama kemudian, seseorang memanggil namaku, "Nona Audrey?"Aku tertegun sejenak, aku melihat Herman sedang menghampiriku begitu menoleh.Herman masih mengenakan jas putih, temperamennya terlihat elegan dan lembut. Sepasang kacamata berbingkai emas membuat Herman terlihat seperti orang yang mengetahui sopan santun."Nona Audrey, kenapa kamu datang ke rumah sakit? Apakah kamu data
Aku mengabaikannya.Irvin memapahku sambil mengerutkan bibirnya, "Sudahlah, kamu pasti punya kesempatan untuk bertemu dengannya di masa depan. Apa yang kamu takuti?""Minggir!"Aku menepis tangannya dengan marah, lalu berjalan ke depan.Alasan kenapa aku sangat ingin menemui Sella adalah untuk memastikan bahwa tidak ada masalah pada sumber ginjal ibuku.Hanya saja, kakakku sama sekali tidak mengerti.Meskipun aku mengatakan ini padanya, Irvin akan menyalahkanku karena terlalu curigaan dan berprasangka buruk pada pacarnya.Singkatnya, aku sama sekali tidak ingin berbicara dengan Irvin.Otak seseorang yang sudah dibodohi dengan cinta benar-benar sangat menakutkan.Menyebalkan sekali.Irvin mengikutiku sampai ke lantai bawah, dia berlari untuk menarikku saat melihatku terus berjalan ke depan tanpa menoleh ke belakang, "Apa yang kamu lakukan? Ayo, aku akan mengantarmu pulang."Aku menghempaskan tangannya, "Nggak perlu, kamu pulang sendiri saja!""Huh, apa lagi yang mau kamu lakukan?!"Irvi
Aku kembali menatap rumah ini.Jika dilihat dari lingkungan rumah ini, Sella sepertinya adalah perempuan yang mencintai kebersihan dan menjalani kehidupan yang elegan.Kalau bukan karena Sella selalu mengingkari janji dan bertindak dengan misterius, aku juga tidak ingin mencurigainya.Hanya saja, sebentar lagi aku akan segera bertemu dengannya!Saat berpikir seperti ini, aku menatap ke arah kamar tidur utama.Hanya saja, aku melihat Irvin berjalan keluar dari kamar dengan ekspresi kecewa pada detik berikutnya.Aku mengerutkan keningku, kurang lebih sudah mengetahui apa yang telah terjadi.Aku menghampiri Irvin, lalu mengangkat sudut mulutku, "Dia nggak ada di dalam, 'kan?"Irvin tidak mengatakan apa pun.Aku mendengus, "Terlihat jelas kalau dia melakukan kesalahan dan nggak berani menemui kita.""Jangan bicara seperti itu."Irvin masih membela wanita itu, "Sella punya urusan mendadak, jadi dia nggak bisa menunggu kita di rumah, dia bahkan meninggalkan catatan untukku.""Dia juga kirim
Irvin menyipitkan matanya, lalu menatapku dengan tatapan tidak puas, "Lihatlah, kamu mulai curigaan lagi. Kampung Sella memang di desa pegunungan, tapi itu nggak berarti keluarganya miskin, nggak berarti Sella juga nggak bekerja, 'kan?""Nenek kita juga tinggal di kota yang terpencil, tapi itu nggak berati Ibu miskin, 'kan?"Aku mengerutkan bibirku tanpa mengatakan apa pun.Ucapannya masuk akal juga.Lupakan saja, aku akan mengetahui situasinya setelah naik ke atas.Irvin membeli beberapa makanan ringan dan buah-buahan.Aku mengeluarkan hadiah dari dalam mobil, lalu memasuki apartemen bersamanya.Dekorasi apartemen ini lumayan bagus, seperti dekorasi hotel bintang lima.Kami menaiki lift hingga ke lantai 15.Irvin membawaku ke depan sebuah pintu di ujung koridor.Aku mengira Irvin ingin mengetuk pintu, tapi siapa sangka dia menoleh untuk berkata padaku, "Audrey, ingatlah untuk tersenyum. Jangan pasang ekspresi sedatar ini, kalau nggak Sella akan curiga kalau kamu nggak menyukainya."Ak
Aku menatap Irvin dengan tatapan curiga, "Akhirnya pacarmu mau bertemu dengan kita? Jangan-jangan kamu nggak bilang padanya kalau kamu membawaku?""Ck!"Raut wajah Irvin langsung memasam. "Lihatlah, kamu meragukan kebaikan orang lain dengan pikiran jahatmu. Aku sudah bilang padanya kalau aku akan bawa kamu untuk menemuinya.""Awalnya Sella bilang kondisinya masih buruk, rumahnya juga sangat berantakan, dia takut meninggalkan kesan yang buruk padamu.""Kemudian aku bilang pada Sella kalau kamu nggak keberatan, baru dia memperbolehkan kita pergi ke rumahnya.""Tapi kamu malah memikirkan hal-hal yang negatif tentangnya lagi."Aku melirik Irvin tanpa mengatakan apa pun.Berdasarkan sikap Irvin yang selalu melindungi pacarnya, semua ucapanku salah di matanya.Lupakan saja, aku hanya ingin menemui Sella untuk memastikan dia tidak bermasalah.Aku berharap Sella benar-benar tidak bermasalah dan tulus menyukai Irvin. Dengan ini, sumber ginjal yang ditemukan kemungkinan besar tidak bermasalah.A
Arya berpikir sejenak, lalu berkata sambil tersenyum, "Aku nggak kenal, kenapa?""Herman bilang Sella adalah adik seperguruannya, jadi aku berpikir kamu kemungkinan mengenal Sella karena kamu berteman dengan Herman.""Aku nggak kenal," ujar Arya. Kemudian dia berkata sambil tersenyum, "Herman adalah pria yang tampan, jadi ada banyak adik seperguruan yang mengejarnya, aku nggak terlalu memerhatikan hal ini. Mungkin aku pernah bertemu dengan Sella yang kamu maksud, tapi aku nggak punya kesan apa pun pada namanya."Arya tertegun sejenak, lalu bertanya, "Ada masalah apa, Audrey?"Aku menceritakan semuanya pada Arya.Arya terdiam selama beberapa saat, lalu bertanya dengan suara yang berat, "Bagaimana situasi Bibi sekarang?""Kondisi ibuku sudah stabil sekarang, tapi sebelum ini dokter bilang kalau ibuku cuma punya waktu enam bulan lagi. Kalau kami masih nggak menemukan ginjal yang cocok untuk melakukan transplantasi ginjal, ibuku mungkin akan mengalami gagal ginjal.""Jadi aku mau tanya ten
Saat aku pergi ke rumah sakit untuk melakukan pemeriksaan sebelum ini, aku tidak sengaja melihat Arya sedang berbicara dengan seorang dokter.Setelah dipikir-pikir, dokter yang berbicara dengan Arya sepertinya adalah Dokter Herman.Pantas saja aku merasa Herman sangat familier.Saat itu aku hanya menatap mereka dari kejauhan, jadi kesanku pada Herman tidak terlalu kuat. Tapi tampang dan temperamen Herman sangat menonjol, jadi kurang lebih aku memiliki sedikit kesan tentangnya.Ternyata Herman adalah teman Arya?Apakah Arya meminta bantuan Herman untuk membuat hasil pemeriksaanku yang menunjukkan bahwa aku tidak bisa mengandung?Saat sedang berpikir, Irvin tiba-tiba menarik lenganku, "Kenapa kamu malah bengong? Aku sedang bicara denganmu."Aku menarik diri dari pikiranku, lalu meliriknya, "Kenapa?""Sella jatuh sakit karena ibu kita, jadi aku mau menjenguknya. Apakah kamu mau pergi bersamaku?""Baiklah."Tentu saja aku akan pergi dengan Irvin, karena aku sangat ingin melihat wajah pacar
"Ya, kami lulus dari sekolah kedokteran yang sama, saat ini Sella bekerja sebagai perawat magang di rumah sakit kami."Aku ingin bertanya lebih banyak, tapi kakakku menarik lenganku dan berbisik kepadaku, "Apa yang kamu lakukan? Bertanya hal-hal yang lain. Tidak sopan sama sekali.""Dokter Herman sudah membantu Ibu menemukan ginjal yang cocok.""Kamu hanya perlu mengucapkan terima kasih banyak pada Dokter Herman. Kenapa tanya yang lainnya?"Aku melirik kakakku.Apa kakakku pikir mudah untuk menemukan ginjal?Herman tampaknya melihat kecurigaanku.Herman mengeluarkan kartu identitas kerjanya sambil tersenyum padaku. "Nona Audrey, ini kartu identitas kerjaku."Aku melihatnya sekilas.Herman, Dokter Penyakit Dalam, Rumah Sakit Harmoni.Aku menuliskan nama rumah sakit itu dan memuji Herman, "Profesor Herman benar-benar hebat.""Nona Audrey, terima kasih atas pujianmu." Herman menyingkirkan lencana kerjanya dan berkata padaku, "Aku baru saja memeriksakan ibumu secara menyeluruh. Kondisi fis