Fathan tidak pernah seperti ini, padahal sudah hampir satu tahun tidak bersetubuh dengan wanita. Biasanya dia tidak akan pernah tahan.Hanya satu alasannya, Aurel. Wanita itu yang merubahnya seperti ini. Rasa cinta yang begitu besar pada wanita itu. Hanya menyentuh dengan bergandengan saja sudah berhasil membuat desiran di dadanya. Sesuatu yang belum pernah Fathan alami sebelumnya. Mungkin pernah, tapi dia sudah lupa.Fathan selalu menahan diri setiap kali matanya berhenti di bibir Aurel. Mungkin segan akan hijab anggun yang selalu menutupi aurat Aurel, dia tidak berani hanya untuk sekedar mengecup bibir manis kekasihnya itu. Apakah alasan itu yang membuat Fathan tidak sabar menikahi Aurel? Tidak. Dia memang serasa mau mati setiap kali tidak bertemu Aurel. Mati karena menahan rindu yang menyesakkan dada. Bahkan, dia tidak bisa berkonsentrasi dalam pekerjaan. Selalu terbayang wajah Aurel.Fathan yakin, dengan meminang Aurel menjadi istrinya, segala gejala rindu itu akan usai. “Senyu
Jemari Aurel menepuk-nepuk area kasur yang ada di sebelahnya. Matanya yang semula terpejam, menyipit sebentar, sebelum terbuka lebar. Dia langsung terduduk. Sosok yang semalam menyediakan lengannya untuk kepala Aurel, pagi ini, sudah tidak ada di sana. Aurel menoleh ke sekeliling ruangan itu. Tapi, tidak juga dia menemukan sosok yang dicari.Sambil merentangkan kedua tangan ke atas, Aurel pun bangkit dari tempat tidur.Tanpa malu akan terlihat jelek, dia menguap selebar mungkin. Rasa kantuk masih sedikit tersisa. Dia mendekati kamar mandi, menempelkan telinganya di pintu, tapi mau selengket apapun tetap saja tak terdengar suara dari dalam sana.“Fathan?” panggil Aurel diikuti dengan pukulan pelan di pintu. Tidak ada juga yang menyahut.Aurel menggigit bibir bawahnya. ‘Kemana, sih kamu, Fathan?’Dia beralih ke arah televisi. Mengambil ponselnya dari atas nakas. Baru saja mau mencari kontak suaminya itu, tiba-t
“Aurel! Aurel!” Panggil Fathan. Dia berusaha mengejar istrinya, yang berjalan cepat. Hentakan kaki Aurel menyiratkan perasaan marahnya.Aurel tetap berjalan tergopoh-gopoh. Dia tidak menyahut panggilan Fathan itu, apalagi menoleh.Fathan mempercepat langkahnya. Namun ketika berhasil meraih pergelangan Aurel, malah ditepis dengan kasar. Satu-satunya cara adalah dengan menghalangi jalan wanita itu.“Aurel, Aurel!” Fathan berhasil menangkap kedua pergelangan tangan Aurel, tapi wanita itu berusaha sekuat tenaga untuk melepaskannya.Saat sadar kalau kekuatan Fathan lebih besar darinya, Aurel pun menyerah untuk memberontak. Dia menatap tajam mata suaminya itu. “Honey~”“Stop panggil aku dengan sebutan itu! Geli aku karena malah teringat wajah wanita tadi.”“Okay. Okay.” Fathan juga melepaskan genggaman tangannya. Dia tidak mau menyakiti Aurel.“Aku perjelas lagi biar semuanya lebih bisa membuka mataku, ya. Jadi, kamu
“Memang, Fathan itu punya masa lalu yang lebih ke arah negatif. Dia suka ke club, sering pergi sama perempuan yang entah siapa aku sendiri juga ngga kenal. Tapi, satu yang aku pastikan ke kamu, Rel. Dia benar-benar berubah belakangan ini, mungkin sejak ketemu kamu. Dia sering di rumah, nemenin si kembar main.” Davina berusaha sekuat mungkin agar nilai Fathan kembali naik di mata Aurel.Sambil memanyunkan bibirnya, Aurel duduk di sofa depan Davina. Ditopangnya dagu dengan berpangku di pinggir sofa. “Aku terlihat childish, kan? Bukannya menyelesaikan masalah, tapi malah dibawa sampai ke sini.”Davina mengelus paha Aurel. “Aku bisa paham.”“Yang bikin aku kesel sampai sekarang itu, kenapa dia ngga pernah cerita tentang itu.”“Kamu gila, Rel?! Ngga mungkin dia cerita sama kamu. Pasti takut kalau kamu ngga bakalan mau sama dia.”“Justru itu. Seharusnya dia cerita semuanya. Sama aja dia ngga percaya sama aku. Aku bakal terima dia apa adanya, ko
“Mau makan apa?” tanya Rafa seraya memalingkan wajah dari deretan etalase makanan. Di dekatnya juga ada beberapa siswa yang kebingungan harus memilih apa. Sedangkan di bangku-bangku kantin sudah hampir terisi penuh. Dia harus buru-buru kalau mau dapat tempat duduk.Di sebelahnya, Aurel masih memandangi etalase penjual makanan satu-persatu. “Yang di ujung itu apa, ya? Agak rame dari tadi. Belum pernah lihat juga.”Rafa memanjangkan leher supaya bisa melihat spanduk di bagian atas. “Siomay. Baru jualan kayaknya. Mau coba yang itu?”Aurel mengangguk. “Aku cari tempat duduk. Kamu yang pesen, ya?” cetusnya sambil berbalik dan menyisir bangku-bangku dengan matanya.Aurel langsung menemukan tempat duduk. Di sudut, dekat pintu masuk. Ketika duduk, dia bisa melihat Rafa tengah mengambil es teh kemasan dari dalam lemari pendingin. “Rel, kamu sama, Rafa?” Seorang siswa dengan rambut keriting mengembang sebatas leher datang sambil membawa
Tumpukan map di depan Rafa menjadi prioritas utama lelaki itu pagi ini. Absen kantor serta laporan kinerja dari pegawai honorer yang harus dicek dan ditandatangani. Tiba-tiba ponselnya bergetar. Rafa sengaja mematikan nada deringnya yang menurutnya mengganggu. Getaran sudah cukup memberitahunya kalau ada yang menelepon. Tanpa melihat, di raihnya ponsel itu.“Ya?”“Pa.” Suara Davina. Ketegasan nadanya sangat khas sekali. “Ya, Ma.”“Kayaknya aku ngga bisa jemput Aurel di rumah sakit,” ucapnya. Sebuah pernyataan.Rafa meletakkan penanya. Pandangannya langsung tegak. “Kenapa?” Keningnya berkerut. Otaknya berusaha menebak apa maksud Davina memberitahukan hal itu.“Mau nganter si kembar playgroup. Papa lupa? Wajar, Mama juga lupa, kok.” Davina memerhatikan kedua anaknya yang bermain di kursi belakang, mengenakan seragam putih krem. Lalu, ke
Fathan terus melihat jam tangannya. Entah apa yang dia harapkan. Jarum jamnya berhenti atau berputar lebih cepat? Yang pasti dia terlihat sangat gusar. Kaki kirinya terus bergerak dan benaknya diselimuti sensasi tidak nyaman.Pintu terbuka. Seorang lelaki yang mengenakan jas hitam rapi masuk, lantas mendekati meja Fathan. Tubuhnya tegap. Wajahnya kaku dan tampak serius. “Lima belas menit lagi rapat mau dimulai, Pak,” lapornya.Fathan menghela napas sesaat setelah lelaki itu pergi. Dia melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya untuk yang kesekian kali. Jam sepuluh tepat itu masih lima belas menit lagi. Waktu yang sama dengan kepulangan Aurel dari rumah sakit.“Maaf, Pak, Ibu. Saya tidak bisa menjaga Aurel dengan baik.” Fathan hanya bisa menunduk, malam itu. Kedua tangannya bertumpu di paha. Malu rasanya mengangkat pandangan dan harus melihat wajah orang tua Aurel yang tampak bersedih.Mereka ber
Fathan langsung menghempaskan punggungnya ke kursi. Beban di pundaknya terasa sangat berat hingga butuh penopang. Kedua tangannya memegangi setir. Dia menekan tombol start tapi hanya berdiam diri sambil melihat kekejauhan. Di luar sana hanya ada deretan mobil yang di parkir.Fathan menoleh sesaat ke arah pintu masuk ruang IGD saat mobil ambulans datang dan langsung berhenti di sana. Bayangan dirinya yang bersembunyi di balik dinding depan pintu IGD kemarin terngiang kembali. Sosok mertuanya yang langsung menghampiri Rafa dan memarahinya. Tidak seharusnya. Karena Fathan-lah menantu mereka. Dialah yang seharusnya ditegur oleh mereka.‘Karena mereka masih terbawa suasana kalau Rafa adalah menantu mereka. Tidak.'Fathan menutup matanya seperti menahan sakit. Tangannya memegangi kepalanya yang terasa pening. ‘Kenapa aku ngga mengenali pertandanya. Tidak. Bukan sejak hari itu saja. Se
Dengan mata yang membengkak, Aurel sudah bersiap dengan peralatan membersihkan pekarangan rumah. Selepas Subuh tadi, diperhatikannya halaman depan yang rumputnya sudah memanjang. Begitu juga dengan bunga-bunga dan tanaman yang dulu peliharan almarhum ibunya sudah tumbuh tidak karuan, dia hendak merapikannya. Hitung-hitung bisa menghilangkan sejenak kesedihannya.Namun, langkah Aurel terhenti. Dia terkejut mendapati Ridho berada di depan pagar rumah ini.“Ngapain kamu di sini, Dho?” tanyanya seraya menghampiri pagar dan membuka kuncinya. Seharusnya jam tujuh begini, Ridho sudah berada di kantor. Kok malah ada di depan rumah ini? Kalau bukan urusan yang penting, tidak mungkin mau ke sini.“Itu ....” Ridho terlihat meragu. Bukannya lekas menjawab, dia malah menoleh ke arah jalan gang ini.Aurel juga ikut melihat ke sana. Menerka sekiranya ada jawaban di ujung jalan i
Selesai sarapan, Shanum memegangi perutnya. “Padahal, hanya semangkuk kecil begitu. Tapi, udah bikin kenyang banget,” ujarnya dengan bibir yang tersenyum puas.Saat mengangkat pandangannya, dia menemukan Ghani yang berjalan cepat di lorong hendak ke arah luar. “Ghani,” gumamnya senang. Lalu, berlari kecil ke arah cowok itu.Ghani sudah berpakaian seragam putih abu-abu lengkap dengan tas punggungnya, yang hanya tercantol di bahu kanannya. Dari langkahnya yang cepat, cowok itu masih terlihat penuh emosi.“Ghani, Ghani,” panggil Shanum.Yang dipanggil sempat menoleh, tapi begitu tahu suara itu milik siapa dia langsung malah kian mempercepat langkahnya. Namun selebar-lebarnya langkah Ghani, tetap terkejar oleh Shanum, yang pantang menyerah.Gadis itu menangkap pergelangan tangan Ghani. “Tunggu," pintanya agak memaksa. Kemudian, mengatur napasnya yang tersengal-sengal. “Aku harus jelasin kalau tujuanku ke sini bukan untuk menjadi penerus perusahaan Fadel Group. Aku cuma mau ....”“Bullshit
Ketukan di pintu tidak juga membangunkan Shanum. Makanya, salah satu pelayan rumah tangga berambut pendek itu memilih untuk membuka pintu. Dia tidak kaget melihat sosok Shanum masih terlelap di atas tempat tidur, dia sudah dapat menduganya.Sejak kepala asisten rumah tangga menunjuknya menjadi pelayan Nona Muda baru, pelayan bermata kecil ini sudah tahu kalau perjalanannya akan sangat panjang dan berat. Maka dari itu, dia sudah memenuhi hatinya dengan kuota kesabaran yang ekstra.“Non,” panggil pelayan dengan name tag Minah itu. Digoyangkannya perlahan namun intens kaki Shanum. Tugasnya adalah membangunkan majikan baru ini. Dan, ternyata itu menjadi tantangan sendiri untuknya karena Shanum tidak jua kunjung membuka matanya.Pantang menyerah sekaligus menambah stok sabarnya lagi dan lagi, Minah menggoyangkan lengan atas Shanum kali ini. “Non, bangun. Sebentar lagi harus sarapan. Bapak yang nyuruh Non ikut.”Sontak, Shanum membuka matanya. Dia langsung melotot. Tatapannya langsung tertu
Karena lantai yang berkarpet tebal, kedatangan Ridho tidak diketahui oleh Fathan. Tiba-tiba saja dia sudah berada di dekat Shanum. Dia mengangguk pada Fathan, yang menyadari kedatangannya.“Aku sudah menelepon Ridho untuk mengantarkan kamu pulang,” ujar Fathan menjelaskan kenapa sekretarisnya itu ada di sini.Tapi, sepertinya, Aurel sedang tidak fokus ke sana. Dia meraih pergelangan tangan Shanum. “Kamu yakin dengan keputusan ini? Hampir tiga tahun kamu akan tinggal di sini. Itu lama, Num.”Tatapan Shanum tertuju pada ibunya. “Itu artinya Shanum juga akan berpisah sama Ibu dan Dewi, kan?”“Iya,” jawab Aurel seraya mengangguk mantap. “Coba kamu pikirkan sekali lagi.”“Tiga tahun tidak lama. Dengan keseruan di sekolah, waktu akan berlalu dengan cepat. Saya juga tidak akan mengekang kamu untuk bertemu ibumu atau teman-temanmu. Kamu bisa mengunjungi mereka di akhir pekan atau pas liburan. Saya tidak sejahat Ibumu, yang melarang kita bertemu.” Di akhir kalimatnya, Fathan menatap tajam Aure
Manik mata Feny bergetar seraya membulat sempurna. ‘Dia datang?’“Aurel, kan?” tanya Feny, meskipun sudah tahu jawabannya. Ini percakapan mereka yang pertama.Aurel tidak langsung menjawab. Dia merasa tidak memiliki kewajiban untuk menanggapi pertanyaan itu. Manik matanya bergerak ke arah sosok yang muncul di belakang Feny. “Shanum!” sergahnya kesal.Feny bergegas menoleh. Dia menemukan sosok gadis itu bergegas bersembunyi di balik badannya.Aurel pun melangkah masuk. Dibiarkannya koper berada di luar. “Kenapa kamu ke sini?! Ibu sudah melarang kamu ke sini! Kenapa malah bandel begini?! Ayo, pulang!” Dia berusaha meraih pergelangan tangan Shanum, tapi anaknya itu terus menghindar.“Kenapa dia tidak boleh ke sini? Dia tidak boleh bertemu dengan ayah kandungnya sendiri?”Aurel, Feny, dan Shanum menoleh ke arah sumber suara. Fathan muncul dengan tatapan tajam, namun ekspresinya datar saja.Bagi Aurel, lelaki itu banyak berubah. Dulu, senyuman begitu murah terpampang di wajahnya. Tapi, tid
Praaang! Piring putih berles gold terlepas dari genggaman Aurel. Wanita itu tidak langsung menangkapnya, malah hanya menatapinya saja. Matanya sempat menutup saat piring itu beradu dengan lantai keramik.Napas Aurel tersengal. Dadanya sempat terasa sesak. Dia diam sebentar.Setelah berhasil mengatasi rasa kagetnya, barulah Aurel bergerak untuk membereskan kekacauan ini.Ini masih pagi. Belum satu jam berlalu semenjak Shanum berpamitan pergi sekolah tadi. Sudah jadi jadwal harian kalau Aurel membereskan rumah sebelum pergi ke pasar. Dan, entah kenapa, pagi ini piring itu luput dari genggamannya. Aurel tidak pernah seperti ini. Ceroboh bukanlah salah satu sifat khasnya.Aurel membereskan pecahan piring dengan telaten. Dia tidak mau tersisa satu pecahan sekecil apapun, yang nanti bisa saja melukai kakinya atau Shanum. Kemudian, dia melanjutkan mencuci piring yang tertunda.“Kenapa perasaanku jadi ngga enak gini?” gumam Aurel sambil memegangi dadanya. “Semoga Shanum ngga kenapa-kenapa.”N
Fathan baru saja usai mengganti kemejanya dengan kaos putih dan celana abu-abu gelap ketika Feny masuk, lantas bergegas menghampirinya.“Apa maksudnya? Kamu punya anak dengan Aurel? Kamu ngga pernah cerita sama aku,” cecar Feny, yang sudah tidak sabar menanti jawaban Fathan.Tapi, yang ditanya malah memasang wajah datar.“Pa,” panggil Feny setengah merajuk. “Aku butuh penjelasan kamu.”Setelah hanya memunggungi Feny, akhirnya Fathan menoleh. “Aku sendiri ngga tahu kalau Aurel menyimpan anak itu dariku. Seharusnya, kamu yang paling paham kenapa dia melakukan hal itu.”“Ini artinya kamu percaya pengakuan anak itu, yang bilang kalau kamu adalah papanya? Gimana kalau dia bohong? Gimana kalau dia cuma mengincar hartamu aja?”Fathan mengambil ponsel genggam, yang ada di nakas. “Aku percaya dia, seperti aku percaya sama omongan kamu dulu kalau Ghani adalah anakku. Aku mau ke ruang kerja dulu. Ada beberapa laporan yang mau aku bicarakan dengan Ridho.”Masih belum puas, Feny meraih pergelangan
Sepatu Shanum beberapa kali menginjit. Kepalanya menoleh ke kiri, ke arah yang dikiranya sebagai kedatangan mobil milik Fathan.Shanum berdiri di depan pintu hotel bersama Fathan juga Ridho.Ridho bergegas maju ketika melihat mobil sedan hitam datang. Dia membukakan pintu untuk Fathan, yang langsung masuk. Kemudian, bergerak ke pintu lain, lantas membukanya. Dia menatap ke arah Shanum.Shanum yang tercengang sekaligus mengagumi mobil hitam yang mengkilap itu sadar kalau sudah ditunggu Ridho. Tanpa melenyapkan senyuman manisnya, Shanum masuk ke mobil melalui pintu yang dibukakan oleh Ridho.“Terima kasih, Pak,” ucapnya sebelum masuk.Ridho sendiri duduk di kursi depan, di samping sopir.Jemari Shanum mengetuk lututnya ketika mobil mulai melaju. Sekali lagi, dia menikmati pesona gedung-gedung tinggi ini.Tapi, tidak lama. Perlaham, diam-diam, dia menoleh ke sisi kanannya. Diperhatikannya secara seksama pria di sisi kanannya itu, yang tengah asyik membuka tap dan membaca beberapa laporan
“Ini ketiga kandidat brand ambassador koleksi kita yang baru, Pak.” Siska menyodorkan beberapa map ke depan Fathan.Sebagai atasan, di mana semua keputusan berujung padanya, Fathan pun menimang ketiga profil selebriti yang ada di hadapannya.“Sebagai manajer pemasaran, pasti kamu sudah memiliki kandidat, 'kan?” tebak Fathan.“Benar, Pak. Kandidat Saya pada Cathrine. Secara visual dia sempurna dan elegan sesuai koleksi kita. Masalah kontrak pun sudah kami jelaskan ke mereka, dan ketiganya setuju. Tinggal menunggu pilihan final hari ini saja.”“Tapi, bukannya dia sering terlibat scandal percintaan, ya?” tanya Syaf berusaha mengingat. Cathrine memang beberapa kali viral karena ketahuan pacaran dengan beberapa aktor dan penyanyi ternama.“Meskipun begitu, namanya tidak pernah redup. Apapun yang dia kenakan selalu sold out. Karena itu, karismanya masih cukup menjanjikan,” jawab Siska penuh keyakinan. Dia tahu kalau pertanyaan ini akan terlontar dari salah satu petinggi perusahaan yang ada