“Halo?”
“Nona Helena, dari tadi kami mencoba menghubungi Anda. Bisakah Anda segera kemari?” ucap suara di seberang sana. “Keadaanya sungguh sangat mengkhawatirkan. Kami butuh transfusi darah Anda segera–.” Tiba-tiba pembicaraan itu terputus begitu saja. Helena berulang kali mengucapkan kata “halo” dengan panik, sampai akhirnya ia melihat bar sinyal ponselnya kembali menghilang.
Jantung Helena berdetak cepat akibat kalimat terakhir dari orang yang baru saja menghubunginya. Ia harus segera ke rumah sakit Digory yang berada di tengah kota sedangkan rumah duka ini terletak jauh di pinggiran, bahkan sinyal handphone yang sedari tadi timbul tenggelam seolah menghilang sekarang.
Helena tadi berangkat ke sini menumpangi mobil ambulans yang membawa jenazah Graham Digory, sedangkan tak ada satu pun moda transportasi umum yang akan melewati tempat ini, ia juga tidak bisa menghubungi taxi online karena masalah sinyal.
Helena melihat mobil yang ditumpangi Shane Digory belum berpindah dari pelataran parkir, lelaki dengan bahu lebar itu baru saja duduk di kursi pengemudi mobilnya.
“Shane!” Helena berteriak sambil menahan pintu mobil pria itu. “Kumohon izinkan aku menumpang, hanya sampai perbatasan kota saja,” pinta wanita itu dengan napas yang memburu. Helena menahan pintu mobil tepat di sebelah pria itu duduk.
Shane menaikan sebelah alisnya melihat keberanian wanita yang sudah dua setengah tahun itu menjadi istrinya. Suatu hal yang aneh karena selama ini Helena bahkan tak berani memandang tubuh pria tampan itu, tapi sekarang wanita bermata zamrud itu benar-benar tak memiliki cara lain untuk kembali ke kota selain menumpangi mobil milik suaminya. Helena akan melakukan apa pun demi seseorang yang terbaring di rumah sakit sekarang, termasuk menghadapi Shane Digory.
“Hei!” protes Shane tak terima kehadiran Helena. “Bukankah kau tahu aku tak sudi berada di dekatmu? Dan sekarang kau ingin menumpang mobilku? Kita tak perlu berpura-pura lagi kau tahu. Setelah kakek Graham meninggal, aku tak ada niat melanjutkan drama kita lagi,” tandas Shane dengan hidung berkernyit seakan jijik
“Kumohon Shane izinkan aku menumpang. Bahkan jika aku harus duduk di bagasi mobilmu aku bersedia, sampai ke stasiun bus terdekat. Aku mohon,” ujar Helena begitu memelas, kedua manik zamrudnya bahkan mulai berkaca-kaca.
Shane mengeraskan rahangnya. “Haruskah kusadarkan posisimu sekarang? Aku jijik denganmu, kau tahu?” ucap pria bersurai abu itu dengan tatapan tajam. ‘Lelaki mana lagi yang membuatnya begitu terburu-buru untuk melayani?’
Belum sempat Helena membalas ucapan Shane, sebuah rangkulan di pundak gadis itu menghentikan apa yang hendak wanita berambut hitam panjang itu katakan.
“Biar aku yang mengantar kakak ipar, Kak!” ujar Kate Windsor dengan suara nyaring ceria.
“Tidak, aku-,” tolak Helena.
Namun, Shane sudah mendorong Helena agar tak menyentuh mobilnya dan segera pria tampan itu menginjak pedal gas hingga pintu mobil Lamborghini Huracan terbanting menutup.
“Kau sungguh beruntung keluargaku masih berbuat sebaik itu untukmu,” gumam Shane yang melihat Kate Windsor melambai sambil merangkul Helena dari kaca spion.
Namun, kenyataannya tak seperti itu. Selepas mobil Lamborghini Huracan hitam yang dikendarai Shane menghilang dari pelataran parkir rumah duka itu, Kate Windsor langsung mendorong tubuh Helena dengan kasar.
“Ish menjijikan!” rutuk Kate Windsor sambil mengibaskan lengan.
“Mana mobilmu? Ayo kita segera pergi,” ucap Helena tanpa basa-basi. Ia sudah tak peduli tentang apapun, sekarang pikirannya hanya ingin segera ke rumah sakit tempat orang yang paling ia sayangi berada.
Tawa melengking keluar dari mulut Kate Windsor. “Siapa kau berani menyuruhku seperti itu? Kau hanya anak pelayan yang sebentar lagi akan kembali ke kasta rendahmu setelah kakakku menceraikanmu.”
Helena mengembuskan napasnya, menahan kesal. Ia sudah tahu di mana letak strata sosialnya dibandingkan keluarga Digory, apalagi keluarga tiri suaminya itu selalu mengingatkannya tentang hal itu. Yang ia inginkan mereka segera mengantarkannya ke rumah sakit.
“Aku tahu posisiku, Kate. Tolong bisakah kau mengantarkanku? Aku mohon,” pinta Helena menekankan kalimat ‘tolong’. Ia sudah memastikan hal ini pasti terjadi, Kate Windsor dan siapapun dari keluarga Digory tidak mungkin benar-benar menolongnya, karena itu Helena tadi benar-benar memaksakan diri ingin menumpangi mobil Shane.
“Tidak, aku tidak mau,” ucap gadis yang berbeda usia lima tahun di bawah Helena.
“Tapi kau sudah mengatakan akan mengantarkanku pada Shane,” erang Helena.
“Dan? Kau mau melaporkanku pada kakakku?” tanya Kate dengan seringai licik di wajahnya. “Kau tahu kan, diantara kau dan aku, siapa yang lebih ia percaya?”
Helena menelan salivanya. Ia tahu jawaban dari pertanyaan Kate yang terakhir. Shane tak pernah sekalipun mendengar apa yang wanita berambut hitam panjang itu katakan, apalagi mempercayainya.
“Aku mohon Kate, aku akan melakukan apapun tapi bisakah kau mengantarku sekarang?” Sekali lagi wanita bermanik se warna hijau zamrud itu bertanya.
Tiba-tiba sebuah mobil bentley flying spur hitam berhenti di samping mereka. Seorang wanita dengan kacamata hitam besar yang nyaris menutupi setengah wajahnya berada di dalam kursi penumpang.
“Apa yang kau lakukan? Cepat naik, pengacara menunda pembagian harta warisan itu sampai Shane bisa menghadiri acara itu,” ucap Theresia Windsor sambil menurunkan kaca mobilnya. Ia adalah ibu tiri Shane Digory.
Kate tersenyum, ia langsung memutari mobil yang dinaiki ibunya itu dan bergegas naik ke kursi belakang. Tapi ketika Kate sudah duduk di dalam mobil, ia langsung membanting pintu mobil bentley hitam itu hingga menutup, tepat di depan muka Helena saat gadis itu hendak menaiki mobil.
“Kate!” jerit Helena karena terkejut, ia nyaris terjepit pintu mobil.
“Siapa yang mengizinkan mu menaiki mobil ini? Kau hanya mengotori mobil ini,” ucap Theresia Windsor sebelum memerintahkan sopirnya untuk menjalankan mobil itu.
“Tunggu!” jerit Helena mengejar mobil itu, dan dengan nekatnya ia menghalangi mobil yang ditumpangi keluarga tiri Shane Digory.
“Kau gila!” bentak Theresia setelah mobilnya berhenti mendadak. “Astaga kau memang sudah gila karena akan bercerai dengan anakku!”
“Kumohon izinkan aku menumpang,” pinta Helena nyaris menyembah.
“Aku akan memberikanmu tumpangan,” ucap Kate Windsor.
Helena langsung mengadahkan mukanya, melihat sebuah harapan yang bisa membawanya keluar dari rumah duka yang berada di daerah terpencil tengah hutan ini.
“Tapi sebelumnya berguling kemudian menggong-gong lah, Kakak iparku,” lanjut Kate Windsor dengan senyum licik tersemat di wajah cantiknya.
Helena tertegun, tangannya mengepal dengan gemetar di kedua sisi tubuhnya. Menahan mati-matian amarah yang ada pada dirinya. Selama ini harga dirinya selalu diinjak-injak oleh keluarga Digory, tapi hanya karena orang tersayang yang terbaring di rumah sakit inilah membuatnya bisa bertahan melewati neraka ini.
“Guk!” ucap wanita berambut panjang itu perlahan.
Kate Windsor langsung tergelak, ia semakin menaikan ponselnya agar dapat merekam Helena lebih jelas. “Kau harus berguling sambil menyalak keras Kakak Ipar!” serunya. “Bukankah kau ingin segera pergi dari sini? Ayo cepat lakukan perintahku!”
Helena menatap tajam pada Kate Windsor. Beberapa mobil yang ditumpangi keluarga Digory juga berhenti dan para penumpangnya tampak tertarik dengan apa yang terjadi. Mereka juga mulai mengeluarkan ponsel-ponsel mahal keluaran terbaru untuk merekam apa yang terjadi.
“Cepat lakukan!” teriak Darian, sepupu Shane lainnya.
Sampai akhirnya Helena bertumpu pada kedua lutut dan tangannya, merangkak dan menggonggong dikelilingi para keluarga Digory yang tertawa keras dan merekamnya. Wajah-wajah tampak puas melihat seseorang dilecehkan seperti itu.
Helena berdiri sambil menepuk-nepuk celananya yang kotor karena ia baru saja berguling di tanah berumput. “Kau puas? Sekarang antarkan aku,” ujar wanita berambut panjang itu sambil berjalan menuju pintu mobil.
Namun, Theresia langsung memerintah sopirnya untuk menekan pedal gas. Tampak dari kejauhan Kate Windsor tertawa-tawa dan masih merekam Helena yang terkejut bukan main. Ia tak menyangka akan ditinggalkan Kate setelah melakukan apa yang gadis cantik karena operasi plastik itu inginkan.
Gema tawa mengejek Helena masih terdengar hingga kejauhan dari mobil-mobil lain milik keluarga Digory yang sekarang mengekori jejak kendaraan yang ditumpangi Kate Windsor dan ibunya.
Helena menatap pasrah, awan kelabu yang menggantung di langit membuatnya semakin tersiksa. Seharusnya ia sudah dapat menyangka perlakuan Kate, gadis yang kecanduan operasi plastik itu tak pernah benar-benar akan menolongnya. Tapi, Helena tak mampu berpikir panjang lagi, segera ke rumah sakit adalah satu-satunya hal yang diinginkan oleh wanita itu sekarang.
Sebuah mobil berhenti di samping Helena. “Kau mau menumpang, Helena?”
“Aku akan mengantarmu,” ujar seseorang dari dalam mobil mewah itu. Kaca mobil yang gelap menyamarkan si pemilik suara. Tapi Helena mengenal suara siapa di balik jendela itu.“Mau Anda apa?” tanya Helena dengan nada dingin.Pria itu menurunkan kaca mobilnya, senyum terkembang dari balik kumis klimisnya. "Aku mau mengantarmu, Helena," ujar Hans dengan tatapan mesumnya."Aku tahu Anda tak mungkin melakukan apa pun untukku dengan sukarela," tolak Helena sambil berjalan kaki. Dibohongi oleh Kate Windsor merupakan pelajar untuknya di siang ini, Helena tak ingin dibodohi lagi untuk kedua kalinya oleh keluarga Digory. Terlebih Hans adalah pria yang berani terang-terangan melakukan pelecehan padanya."Astaga, Helena! Kenapa kau berpikiran begitu buruk pada Paman? Bukankah kita keluarga?"“Bukankah kita keluarga?” gumam Helena pelan sembari tertawa miris. 'Sejak kapan keluarga Digory selain Kakek Graham menganggapku keluarga?' Gadis itu mempercepat langkahnya sedangkan Hans masih mengikuti Hel
Wanita itu menatap pria mesum yang baru saja melecehkannya dengan mata memerah, manik hijau zamrudnya di penuhi air mata. Helena merogoh sakunya dengan sisa tenaga yang ia miliki, mengambil sesuatu yang bisa menjadi senjata terakhir untuk melindungi diri.“ARGHHH!!!” erang Hans sambil menutup matanya. Pria itu bahkan menabrak langit-langit mobilnya sendiri. “Apa yang kau lakukan, Jalang!” makian Hans di sela-sela jerit kesakitannya.Helena baru saja menyemprotkan cairan desinfektan yang selalu ia bawa ke mata Hans. Seolah mendapatkan tenaga dari raungan kesakitan pria tua itu, Helena langsung menendang Hans hingga tersungkur di dekat kemudi mobil, selanjutnya dengan sigap gadis bertubuh kurus itu membuka pintu mobil dan segera berlari keluar.Helena berusaha berlari sejauh mungkin dari mobil bugatti yang baru saja ditumpanginya, sumpah serapah semakin frontal Hans lontarkan ketika tahu Helena pergi menjauhinya.“Kau akan mati di hutan, tak ada satupun yang melewati jalan ini, Pelacur!
“Aku tak sanggup, kenapa kau tinggalkan Kakak sendiri, Rose?” gumam Helena ditengah isak tangisnya. Ia kembali jatuh terduduk di sebelah perawat yang bertuliskan “Brenda” di tag namanya.“Jasad adik Anda akan kami pindahkan ke kamar mayat dan menyiapkan pengkremasiannya jika Anda telah mengurus administrasi,” ucapnya seakan tanpa empati. Perawat itu tampak terlalu lelah menghadapi “tingkah” keluarga pasien.Helena masih tergugu sambil memeluk lututnya saat perawat itu pergi meninggalkannya di depan pintu kamar rawat inap mendiang adiknya. Helena menatap kosong ke arah mayat adiknya. Rose adalah satu-satunya alasan Helena untuk hidup. Wanita itu tak punya keluarga lain selain adiknya yang sekarang terbujur kaku di atas brankar. Rose dan Helena dibesarkan oleh orang tua yang abusive. Ayah mereka adalah seorang penjudi dan pemabuk, sedangkan ibu mereka adalah seorang pemarah yang melampiaskan rasa depresi akibat sikap buruk suaminya kepada kedua anaknya. Sejak kecil Rose dan Helena yang
Helena tak berani menatap balik pria yang sudah sah secara hukum dan agama sebagai suaminya. Wanita itu bahkan tak perlu mengangkat manik matanya hanya untuk melihat tatapan penuh kebencian dari suaminya. Tatapan yang dialamatkan kepadanya bahkan sebelum mereka membuat janji suci di altar pelaminan. Pandangan Helena sekarang hanya tertuju pada secarik kertas bertuliskan surat cerai di atas meja kayu jati yang tepat berada di depan Shane."Kenapa belum kau tandatangani juga? Kau ingin menunda dan mengatakan roh kakekku akan bangkit jika kau tandatangani surat cerai ini," sindir Shane sembari menggemeretakkan giginya kesal. Pria itu tak pernah menganggap Helena sebagai istri selama dua setengah tahun pernikahan mereka. Wanita di hadapannya itu tak lebih ia anggap sebagai benalu. Bahkan mungkin lebih dari itu. "Cepat tandatangani! Dan kau bisa bersenang-senang dengan semua selingkuhanmu!" "Baiklah," jawab Helena dengan suara tegas, menyembunyikan jari jemarinya yang bergetar. 'Kakek Gra
Tawa meremehkan keluar dari bibir milik pria tampan bersurai abu gelap itu. “Cih, kau benar-benar seorang hyper ya?” sindir Shane sambil menggelengkan kepalanya. ‘Apa ia tak punya malu sama sekali. Ia sudah bercinta dengan entah berapa pria sepanjang hari hingga malam ini, kemudian sekarang ia ingin bercinta denganku? Kupikir selama ini ia tak mau karena selalu ku rendahkan, ternyata ia hanya menunggu waktu yang tepat.’’“Kalau kau tidak keberatan, aku hanya ingin kau menemaniku malam ini, Shane,” ujar Helena dengan ekspresi dingin, manik matanya menatap ke jendela besar dengan pemandangan malam tepat di belakang suaminya itu. ‘Aku tak ingin sendiri malam ini, walau untuk hal itu aku harus menukarkan milikku yang paling berharga.’Helena dengan himpitan ekonominya tentu sudah sering untuk ditawari hal-hal semacam ini, mulai dari lelang keperawanannya, hingga menjadi simpanan pejabat. ‘Aku tak ingin melakukannya dengan sembarang orang. Lagipula aku penasaran bagaimana rasanya dipeluk s
Malam itu menjadi malam yang penuh keintiman tanpa romantisme bagi sepasang kekasih yang sedang bercinta di atas ranjang hingga pagi menjelang.Keesokan paginya Shane terbangun dengan keadaan segar bugar. Lelaki tampan dengan tubuh atletis itu mengedarkan pandangannya ke sekeliling kamar. Tak ada seorang pun di atas ranjang selain dirinya, begitupun di dalam kamar mewah itu. Shane sekarang hanya sendiri di kamar tidurnya.'Bodoh sekali, kenapa aku bisa terlelap begitu nyenyak setelah bercinta dengannya!' umpat Shane dalam hati. Kehangatan dan aroma tubuh Helena masih tersisa di ranjang Shane. 'Ia pasti sudah kembali ke kamarnya dengan terburu-buru. Untunglah ia tahu diri. Tapi rasanya tak seburuk yang kukira untuk seorang wanita murahan, malah semalam benar-benar menyenangkan, ia seperti–.'"Perawan?" ujar Shane begitu terkejut hingga menyuarakan apa yang ada dipikirannya, melihat sebuah noda darah di tempat bekas Helena berbaring kemarin. Segera ia menyibak selimut yang menutup tubuh
Shane melihat ke sekitar kamar Helena. Rapi dan bersih. 'Sejak kapan ia pergi? Dan kemana? Ia tak pernah pergi pagi-pagi sekali. Ia selalu pergi setelah aku pergi.'Shane berkeliling mengamati kamar istrinya itu. Kamar itu sangat luas tapi dibanding kamar lain di kediaman milik Shane Digory, kamar yang ditempati Helena adalah yang terkecil. Kamar itu bernuansa putih cream dengan sebuah ranjang double bed yang tepat berada di tengah ruangan. Sebuah jendela besar dengan bingkai tebal seakan sofa, yang biasa Helena gunakan untuk duduk dan membaca di kamarnya. Jendela itu menghadap halaman luar. Sesekali Shane pernah melihat siluet istrinya yang duduk di sana saat ia terpaksa harus kembali ke rumah ini.Kamar itu hanya memiliki tiga tone warna saja, putih, cream dan broken white tanpa ada motif baik di sprei maupun gorden. Begitupun tanaman, tak ada bunga-bungaan dalam vas keramik ataupun sekedar lukisan di dinding bergambar pemandangan di kamar itu. Kamar itu benar-benar terlihat polos,
"Mau apa kau ke sini?" tanya pria dengan tatapan tajam dari manik coklat hazelnutnya. Walau bertanya seperti itu, Shane tahu benar siapa tamu yang baru saja memencet bel rumahnya itu. Di teras depan berdiri pria tua yang berusia dua kali umur Shane. Pria itu memiliki rambut putih panjang yang kusut dengan baju bermotif bunga dan coat bermotif garis horizontal. Belum cukup mengganggu mata dengan pakaiannya yang penuh dengan warna dan motif tak sesuai pakem fashion normal, pria tua itu juga memakai bawahan bermotif bunga-bunga berwarna cerah. Namun, Shane terlihat kesal dan menahan amarah kepada pria tua itu bukan karena penampilannya. Sama sekali bukan, tapi karena Shane tahu pria itu adalah salah satu dari sekian banyak pria simpanan lain milik Helena. Sebuah foto dikirimkan oleh Athena Ariana ke ponsel Shane beberapa waktu lalu yang memuat foto Helena sedang dirangkul oleh pria tua berambut putih itu. [Lihat apa yang dilakukan istrimu? Dia jelas sekali seorang hypersex. Pria itu
“Tes… Tes… satu, dua, tiga, tes, tes. Pim di sini.” Pim ketuk-ketuk dulu microphone ini ya. Kedengaran tidak? Pim mau cerita, ini ada kaitannya sama mainan baru, Pim. Kemarin Shane kasih ini diam-diam ke Pim ini. “Kamera buat ngerekam. Jadi sekarang Pim akan buat Vlog tentang keseharian Pim!” Pim semangat banget bicara di depan kamera. Sebentar, coba Pim ketok-ketok dulu kamera ini. Sudah jalan belum ya? Oh oke sudah baik. Mari kita rekaman lagi. “Hai selamat datang di Pim Vlog.” Sebentar Pim mikir dulu mau bilang apa lagi. “Okeh, terus apa lagi ya? Oh ya! Di Pim Vlog akan menceritakan-.” Cerita apa ya? Pim mau cerita apa ya? Mama nikah sama Shane? Rumah baru? Kamar baru? Boneka baru yang banyak? Tinggal di kota besar terus kemarin lewat toko kue yang warnanya merah muda. Duh mana duluan ya yang Pim ceritakan? Coba minta usulan Mama ah! “Mama, Mama!” Pim berlari-lari kecil ke dapur. Pasti Mama lagi di dapur. Kata Mama mau buat makan malam sih tadi. “Kenapa, Sayang?” Mama nany
Helena menautkan keningnya. “Tapi masih banyak masakan yang harus aku buat lagi pula bukankah banyak waiters di depan?” Jam makan siang baru saja dimulai, pesanan silih berganti tak henti-henti masuk ke dalam dapur. Helena juga turut sibuk menyiapkan hidangan untuk para pelanggan. Jeremy menggeleng kencang. “Tolong, hanya kau yang bisa melakukannya.” Helena menoleh ke arah pegawai lain yang berada di dalam dapur. Wajah semua orang tampak tidak keberatan, bahkan salah satu chef senior berkata, “tolong bantu Tuan Jeremy saja Nyonya Helena. Disini biar aku yang mengatasi.” Helena menangguk dan mengikuti Jeremy keluar dapur. “Memangnya ada apa, Jeremy?” tanya wanita berambut panjang itu masih bingung. “Itu, Tuan Besar Shane Digory. Ia -seperti biasa- ingin dilayani olehmu,” jelas Jeremy dengan senyuman lebar. Helena langsung terlihat kesal. Ia mengira terjadi sesuatu yang begitu darurat. Tapi bagi Jeremy dan semua pegawai lain, kehadiran Shane Digory adalah sesuatu yang darurat d
“Nyonya Helena!” sambut Jeremy dengan nada riang sambil membuka pintu cafe. Ia memakai kemeja merah muda dan celana bahan berwarna coklat kopi yang senada dengan keseluruhan warna bangunan di belakangnya. “Aku sudah menunggumu dari tadi.” Helena masih terpaku di tempatnya dan tak memperdulikan kedatangan Jeremy. Lelaki itu akhirnya mengikuti arah pandang wanita itu. “Nama yang norak ya?” Jeremy kemudian menyemburkan tawanya setelah mengatakan hal itu, tak lama sampai ia sadar Helena menatapnya tajam. “Ah, maafkan aku Nyonya Hel, tolong jangan laporkan pada suamimu. Aku masih harus mengumpulkan uang untuk membiayai pernikahanku dengan Barbara.” Helena langsung tertawa pelan. “Kalau begitu cepatlah kalian menikah agar kau lebih sadar.” “Tapi kulihat Tuan Shane semakin tak waras karena menikah Lihat aku tak menyangka ia akan memilih nama senorak itu. Dan kurasa hanya itu kekurangan cafe ini, semua sangat sempurna, dari bangunan, suasana, rasa masakan, promosi, dan para pengunjung sa
Lelaki tampan itu akhirnya mengekori kembaran dengan ukuran mininya itu menunggu di meja makan. Helena kemudian menggulung rambutnya ke atas dan mulai memasak sekaligus merapikan keadaan dapur yang berantakan. Shane tak bisa melepaskan tatapannya pada sosok wanita itu. Helena terlihat sangat luar biasa saat ini. ‘Cara ia menjepitkan rambutnya begitu seksi.’. “Ckck. Kau harus ingat ini, Shane.” Primrose merapatkan tubuhnya pada pria tinggi besar itu. “Jangan pernah membuang-buang makanan. Terakhir kali aku melakukannya, Mama membuatku menulis tulisan ‘aku menyesal’ sebanyak tiga lembar halaman folio dan Mama tak banyak bicara selama tiga hari.” Shane langsung menghela napasnya dengan berat. “Jadi aku melakukan kesalah lagi?” Ketimbang hukuman menulis tiga lembar halam folio, Shane lebih sedih ucapan Primrose yang mengatakan kalau Helena makin irit bicara selama tiga hari. ‘Aku ingin mendengar wanita itu bercerita padaku.’ Helena menghentikan obrolan ayah dan anak itu saat menghi
“Shane,” panggil Helena. Seketika laki-laki itu menoleh dengan wajah sangat terkejut, bahkan sutil di tangannya ikut terjatuh. “Kau sudah bangun, Helena?” Shane terlihat gugup sambil berusaha menyembunyikan ponselnya yang ia taruh di atas meja counter dapur. “Apa aku terlalu ribut hingga kau terbangun?” Helena memiringkan kepalanya, tapi tubuh besar Shane sudah menutupi layar ponselnya. ‘Seorang wanita ya? Kenapa aku berpikir setelah Athena ia tak memiliki wanita lain? Tunggu, kenapa aku harus peduli? Apa karena ia mengungkapkan rasa sukanya denganku kemarin jadi aku berharap lebih?’ “Helena…,” panggil Shane mengembalikan kesadaran wanita itu dari lamunannya. “Tunggu saja di ruang baca. Apa kau butuh sesuatu di dapur? Aku akan mengantarkanmu.” Helena langsung tersadar penyebab dia buru-buru ke dapur karena ada bau gosong yang sekarang mulai perlahan menghilang karena alat penghisap asap yang berada di atas kompor. “Tidak, aku hanya mencium bau masakan tadi-.” “Kau sudah lapar?” Sh
“Hah!” Helena bergumam terkejut. “Apa maksudmu?” “Apa kau tidak tahu, aku sudah dipindah-tugaskan ke cabang Digory Valley cafe itu. Begitu juga Barbara.” Helena menelan salivanya. ‘Ini pasti semua ulah Shane. Selain memindahkan sekolah Pim ke sini, ia bahkan memindahkan penempatan kerja orang tua sahabat-sahabat Pim, hingga mereka juga ikut pindah sekolah ke Digory Valley bersama dengan Pim. Astaga, pria itu benar-benar berniat kami berada di sini. “Baiklah aku akan ke cafe Shiny yang berada di Digory Valley untuk bekerja besok.” Jeremy tertawa. “Maksudmu bekerja sebagai owner dan mengawasi kami kan?” “Hentikan candaanmu. Aku masih anak buahmu, Jeremy,” bantah Helena serius. Selang beberapa lama panggilan ponsel itu Helena akhiri. Jeremy masih tak serius menganggapnya akan kembali bekerja -benar-benar bekerja sebagai waiters. ‘Aku dan Shane Digory tak ada kaitannya. Sama seperti dahulu, pernikahan ini sama seperti dahulu, kan?’ Ketika malam hari, Helena mendapat panggilan dari
Helena masih tak bereaksi apa pun, ekspresinya terlihat dingin di mata Shane. “Kau tak percaya ya?” Shane tak menunggu jawaban Helena, ia langsung melanjutkan perkataannya. “Aku pun tak percaya, aku tak percaya telah jatuh cinta padamu sejak hari itu. Hari terakhir kita bertemu. Dan sejak hari itu aku selalu menunggumu, Helena.” Helena tertawa sinis dengan pelan. Aku mengambil apa yang kau berikan padaku, Shane. “Jangan buat kesalahan yg sama dua kali, Shane. Kita pernah berumah tangga dan itu gagal, atau lebih tepatnya hancur berantakan dengan sangat parah. Apa bedanya dengan sekarang?” “Saat itu aku bahkan tak berusaha sama sekali.” Shane membalas perkataan Helena dengan penuh tekad. “Sekarang berbeda Helena. Aku akan berusaha, aku akan merubah apa yang terjadi dulu.” Helena mengangkat alisnya. Luka yang ia dapat dari laki-laki di hadapannya sudah terlalu dalam. “Percuma jika hanya salah satu saja yang berusaha. Karena kurasa aku tak sanggup berusaha lagi bersamamu.” Shane sad
Helena awalnya berpikir kalau Shane sudah lama tak menempati bangunan ini, tapi tak ada setitik debu pun di setiap furniture yang ada. ‘Kukira ia tak tinggal disini, karena setahuku Athena tak suka bangunan tua bergaya klasik seperti rumah ini. Apa ia bisa membujuk Athena dan akhirnya tinggal berdua di sini?’ Helena melangkah menuju rak buku yang memenuhi dinding ruang tengah rumah itu. ‘Bahkan urutan buku yang ku susun tak berubah.’ Seulas senyum muncul di wajah wanita cantik itu. “Beberapa pembantu menyusun kembali urutan bukunya, tapi tak ada yang seperti kau lakukan hingga membuatku nyaman membacanya kembali,” celetuk Shane yang tiba-tiba sudah berdiri di belakang Helena. “Kau tinggal di rumah ini?” Helena tak dapat menutupi rasa penasarannya. Shane tersenyum. “Ya, terutama setelah tahun-tahun awal kita bercerai,” jawab Shane sambil perlahan berjalan mendekat ke arah Helena. “Aku berpikir kau akan kembali setelah pergi begitu saja tanpa berkata apa pun hari itu, hari dimana ki
Jasper tersenyum. “Betul, Tuan.” Shane tak pernah menceritakan apa pun isi hatinya pada orang lain. Tapi kali ini berbeda, lelaki itu tak tahu harus berbuat apa pada Helena. “Apa yang harus kulakukan, Jasper?” Jasper terkejut, majikannya itu tak pernah bingung dalam menentukan sikap tapi kali ini ia benar-benar terlihat putus asa. “Apa ini berkaitan dengan Nyonya Helena?” “Ya,” jawab Shane terdengar pelan. “Ketika tadi pagi saya menemuinya, Nyonya juga terlihat tak kalah terlukanya dengan Anda, Tuan Shane.” Shane langsung menegakkan punggungnya, karena terkejut sekaligus tertarik dengan informasi yang Jasper sampaikan. “Kenapa? Bukankah ia membenciku- ah ya tentu saja aku pantas dibenci olehnya. Ia tak mungkin memaafkanku atas apa yang telah aku lakukan padanya kan?” Jasper menoleh ke arah Tuannya. “Anda akan membiarkan hal ini berjalan seperti ini, Tuan?” Shane tersenyum menangkap maksud Jasper. “Tidak. Tentu saja tidak!” Tapi pundak Shane langsung turun kembali. “Tapi aku t