Daniel begitu terkejut saat membuka lemari pakaiannya, karena pakaian Nuri sudah tidak ada di rak biasanya. "Nia, Nia!" Teriak Daniel marah. Angel yang baru saja keluar dari kamar mandi, langsung menghampiri suaminya."Ada apa, Mas? Kenapa teriak-teriak?" tanya Angel bingung."Kamu lihat ini, semua pakaian Nuri gak ada di lemari." Daniel memperlihatkan sisi kosong di lemari tersebut."Bagus dong, bisa untuk saya, Mas. Ya sudah, pakaian saya nanti saya pindahkan ke ...""Gak bisa, bukan itu maksud saya!" Pekik Daniel marah. Angel semakin bingung melihat suaminya seperti orang stres "Ya, Tuan, ada apa?" tanya Nia yang sudah berdiri di depan pintu kamar majikannya."Kenapa baju Nuri semua gak ada di lemari? Kamu apakan? Sudah saya bilang, semua pakaian Nuri gak boleh diapa-apakan. Biarkan tetap di sini.""Bu Nuri dua hari lalu yang ke sini datang mengambil barangnya, Pak," jawab Nia jujur. Memang ia tidak berniat menutupi kebenaran karena ia sudah tidak takut lagi pada majikannya. Mala
"Daniel ke rumah mama? T-terus kamu bilang apa, Fit?" tanya Nuri yang terkejut."Saya bilang, Ibu gak ada di sini. Terus Pak Daniel maksa masuk. Saya ancam balik. Maaf ya, Bu, saya khawatir mengijinkan orang lain masuk ke rumah majikan saya. Untunglah nyali Pak Daniel ciut dan langsung pergi.""Ya ampun, sukurlah. Makasih ya, Fitri. Saya masih di pasar. Mama ke laundry.""Baik, Bu. Udah dulu ya, Bu. Assalamualaikum.""Wa'alaykumussalam." Nuri menaruh kembali ponselnya di dalam tas. Akhirnya ia bisa bernapas lega setelah mendapat laporan dari Fitri. Memang tidak aman tinggal di rumah Bu Widya. Bisa-bisa wanita itu mendapat teror dari Daniel. Kenapa polisi belum memanggil Daniel? Batin Nuri. Ia pun memutuskan untuk segera pulang. Bahan masakan yang ia perlukan sudah ia dapatkan semua. Lusa, mamanya ada acara arisan dan ia berencana untuk membuatkan baso Malang untuk teman-teman sang Mama.Begitu tiba di rumah, Dika pun ternyata baru sampai. Pria itu baru saja keluar dari kamar mandi, s
Hai, hai, ada yang kangen Mantan?Yuk, Nuri dilanjut lagi. Selamat membaca.Tidak ada yang tidak mustahil bagi Daniel, selagi ia punya uang dan juga relasi yang kuat. Tiga jam yang lalu ia tiba di kantor polisi dan ditanyai ini itu. Sebagai warga negara yang tidak pernah punya cacat prilaku atau terlibat tindak kejahatan, maka Daniel berhasil membayar uang jaminan untuk dirinya. Ia akan menjadi tahanan kota sementara sampai nanti dapat konfirmasi kelanjutan kasusnya dari pelapor."Halo, Papa di mana?" "Luna, Papa kamu ini dilaporkan ke kantor polisi oleh wanita yang sangat kamu sayangi itu.""Bunda Nuri?" "Iya, tapi ini Papa udah selesai. Udah bisa pulang. Papa masih di parkiran. Kenapa, Nak?""Gak papa. Luna enneg lama-lama berdua dengan Tante Angel. Caper, apa aja ditanya. Cepet pulang, Pa. Bawain seblak level pedas dua ya. Di tempat tangganya kita. Makasih, Pa." Ini sudah malam dan jajanan seblak itu memang biasa di-order putrinya saat malam hari. Ada tempat jajanan seblak yang m
"Apa maksud Pak Daniel memanggil saya ke sini?" tanya Dika begitu pria itu berada di dekat meja yang sudah dipesan oleh Daniel. Suami Nuri itu tertawa pelan, ia membantu menggeser kursi di depannya agar Dika bisa duduk."Kamu mau pesan apa? Santai saja, jangan terlalu kaku. Kita sa-sama pria dewasa kan? Apalagi pria yang memperebutkan wanita yang sama," tanya Daniel santai. Tangannya terangkat memanggil seorang pelayan cafe yang terkenal high class"Siapa yang bayar?" tanya Dika balik. Daniel kembali tertawa. "Tentu saja saya karena saya yang undang ke sini," jawab Daniel bijak. Ia bukanlah pria pelit yang untuk mentraktir satu atau dua gelas kopi di kafe ia tidak bisa bayar.Dika akhirnya duduk juga. Buku menu sudah ada di depan matanya. Aneka racikan kopi terbaik dengan harga yang variatif. Tentu saja cukup membuatnya senang, terutama karena gratis."Saya pesan kopi best seller yang ada di sini," kata Dika. Pelayan mencatat pesanan. "Ada makanannya?""Ada, Pak, sebelah sini!" Pel
"Mas, kenapa kamu bawa makanan banyak banget? Ini semua kamu beli?" tanya Nuri terheran-heran melihat begitu banyak bungkusan yang diletakkan Dika di meja makan."Bukan, pasti dia lagi ngibulin Daniel nih, benar gak, Dika?" sela Bu Widya yang baru saja keluar kamar. Beliau langsung pergi ke dapur begitu mendengar suara putranya bercakap-cakap."Mana mau Dika beli makanan segini banyak kalau lagi gak banyak tamu di rumah," lanjutnya lagi sembari mengintip satu per satu isi kantong kresek tersebut."Ini udah saya bagiin tetangga depan dua kantong, Ma. Pak Ucup dan teman jaga malamnya tadi juga saya kasih dua bungkus. Ini sisa buat kita dan buat Fitri besok. Sekalian bisa kalau dipanaskan buat sarapan. Lumayan irit masak besok ha ha ha ....""Kok bisa Daniel mau membayar semua belanjaan kamu ini? Apa karena dia ada maunya? Dia pasti minta kamu membujuk Nuri untuk kembali ke rumahnya, begitu," cecar Bu Widya penasaran."Iya, Ma, tapi sebelum dia bilang niatannya apa, dia suruh saya pesan
"Ayo, pelukan! Jangan malu-malu sama Mama. Mama juga pernah muda!" Dika tersenyum senang dengan instruksi mamanya, sedangkan Nuri salah tingkah, tapi hanya ini cara satu-satunya agar Daniel mau melepaskannya. "Nuri, ayo, gak lama kok, sebentar aja untuk foto. Bukan beneran Mama minta kalian pelukan sampai pagi." Nuri menyeringai malu- malu, tetapi akhirnya ia masuk ke dalam pelukan Dika. Napasnya berhenti sesaat karena ia merasakan debaran mantan suaminya begitu cepat. "Kamu lagi menyelam, kenapa tahan napas?" tanya Dika sambil menahan tawa. "Ish, Mas jangan gitu! Ini saya gugup. Ya udah, Ma, ayo cepat fotokan!" Nuri berpura-pura memejamkan matanya, begitu juga Dika. Bu Widya pun mengambil beberapa pose dari berbagai sudut. Sengaja ia menggunakan kamera canggih seharga dua puluh lima juta yang memang jarang ia gunakan."Udah selesai. Kalian udah bisa lepas pelukannnya," kata Bu Widya sambil memeriksa hasil jepretannya. Bu Widya melangkah keluar dari kamar, lalu berjalan masuk ke
Nuri sudah berada di depan rumah mertuanya; Bu Cici. Ini adalah salah satu cara agar Daniel bisa melepasnya karena setelah foto dirinya berpelukan dengan Dika hanya ceklis satu saja di ponsel Daniel. Nuri berharap banyak ibu mertuanya bisa membantunya."Assalamualaikum," seru Nuri dari balik pagar. Ini sudah salam kedua dan tidak ada orang yang keluar dari dalam rumah besar itu. Rumah yang berada di tengah kota Depok dan termasuk perumahan elit. Rumah yang posisinya berada di hock menjadikan rumah itu sangat besar. Tidak ada respon dari sisi kanan rumah, Nuri berjalan ke arah kiri. Ada sebuah mobil terparkir di sana yang tertutup cover berwarna silver."Assalamualaikum," seru Nuri sekali lagi. Terdengar suara anak kunci diputar. "Wa'alaykumussalam, cari siapa, Mbak?" tanya wanita muda yang mirip ART."Bu Cici-nya ada, Mbak? Saya Nuri, istri Daniel.""Oh, Bu Nuri, a-ada, Bu. Mari masuk. Nyonya lagi yoga di ruangan atas, sebentar saya panggilkan ya. Mari masuk lewat depan aja, Bu." Nur
Hatinya begitu membuncah gembira karena beban yang menahan di dadanya beberapa bulan ini, akhirnya terlepas juga. Daniel menalak ya lewat pesan yang ia baca dari screenshot yang dikirimkan Bu Widya. Ini adalah penyemangat baginya yang akan melakukan interview. Hari pertama yang ia harapkan bisa merubah takdirnya di masa depan."Permisi, saya Nuri yang akan interview hari ini? Apakah saya bisa bertemu Bu Soraya?" tanya Nuri dengan begitu ramah pada dua petugas wanita muda yang berjaga di meja resepsionis."Oh, baik, Mbak. Silakan tunggu di kursi ya. Saya lapor ke atasan saya dulu." Resepsionis yang berambut hitam pekat itu mengangkat gagang teleponya. Nuri menunggu dengan sabar dengan detak jantung yang tidak beraturan. Tanyanya dingin dan juga sedikit berkeringat. Ia gugup. Ini pertama kalinya ia melamar pekerjaan seumur hidup karena sejak dahulu ia hanya menemani ibunya di rumah sambil belajar menjahit."Mbak Nuri, silakan naik ke lantai dua ya. Bisa naik lift. Nanti ada ruangan HRD