Setibanya di rumah Rena meletakkan barang belanjaannya di atas meja, beruntung Rena membawa uang, jadi mereka tidak perlu mengembalikan barang yang telah diambil. Evan kembali memijit pelipisnya, ia sudah menduga jika itu adalah ulah Asty. "Ini pasti ulah Asty, pasti dia yang sudah memblokir kartu ATM aku," gumam Evan. Ia menyenderkan kepalanya di sandaran sofa. "Untung aku bawa uang, coba kalau enggak. Mau ditaruh di mana muka kita." Suara Rena mampu membuat Evan tersadar dari lamunannya. "Maaf, aku juga nggak tahu kenapa ATM aku bisa keblokir," ucap Evan. Rena menghela napas. "Apa ini ulah Asty.""Sepertinya iya." Evan mengangguk. "Ren, aku mau tidur sebentar ya, capek banget." Evan berucap seraya merebahkan tubuhnya di sofa. "Mas tidur di kamar saja, biar lebih nyaman," sahut Rena. "Ya sudah." Evan bangkit dari duduknya. Ia mencium kening Rena lalu berjalan masuk ke dalam kamar. Sementara itu, Rena memilih untuk ke dapur. Di lain tempat, Asty sedang sibuk dengan laptopnya.
Perkelahian tidak bisa dihindari lagi, Asty hanya bisa berharap semoga orang yang membantunya bisa mengalahkan orang-orang jahat tersebut. Setelah cukup lama berkelahi, ketiga orang itu akhirnya terkapar tak berdaya. Dengan sisa tenaga yang masih ada, mereka melarikan diri."Sudah tidak perlu dikejar." Asty mencegah orang tersebut, saat hendak mengejar para penjahat itu. "Kamu baik-baik saja kan?" tanya orang tersebut. "Iya, terima kasih ya atas bantuannya," jawab Asty. "Sama-sama, nggak nyangka ya kita bisa ketemu lagi. Gimana kabar kamu?" tanya orang tersebut. "Alhamdulillah baik kok, kamu sendiri bagaimana." Asty balik bertanya. "Alhamdulillah aku juga baik, eh ini kamu mau kemana?" tanyanya lagi. "Aku mau ke kantor, kamu sendiri mau kemana, Van." Asty juga kembali bertanya. "Aku mau ke kantor kamu, katanya papa ada janji sama kamu. Tapi tadi papa ada urusan yang lain, jadi aku yang gantiin," jawab Vanno. Yang tak lain adalah putra dari Haris, sahabat kedua orang tua Asty.
Vina menangis, ia tidak menyangka jika Evan kembali melakukan itu padanya, mungkin dulu Vina sangat menikmatinya, bahkan ia tidak peduli dengan perasaan kakaknya. Namun sekarang, Vina merasa jijik dengan hal itu, ia sudah bertekad untuk menjadi istri yang baik, tapi ternyata niatnya telah ternoda. "Terima kasih ya, Sayang. Kamu memang hebat, pantas saja Erik mau menikahimu." Evan mengusap kepala Vina, dengan kasar ia menepis tangan Evan. Ia merasa jijik dengan pria yang baru saja menjamah tubuhnya. "Uh, galak banget sih. Lain kali lagi ya." Selesai berpakaian, Evan bergegas pergi meninggalkan Vina yang masih terisak. Vina memukul-mukul tubuhnya sendiri, ia benar-benar jijik. Evan sudah menodainya, sebagai seorang istri, Vina gagal menjaga kehormatannya. Dengan deraian air mata, Vina berjalan masuk ke dalam kamar mandi, lalu berdiri di bawah shower. Ia menyalakannya, guyuran air membasahi seluruh tubuhnya. Sementara itu, Evan sudah tiba di rumah. Dengan senyum mengembang ia berjala
"Vina, Vina, Vina!" teriak Erik. Entah kenapa emosinya tiba-tiba memuncak. Dengan tergesa-gesa Vina berlari menuju ke kamarnya yang ada di lantai atas. Setibanya di kamar terlihat Erik sedang berdiri dengan sorot mata yang tajam. Vina tidak tahu apa kesalahannya, sehingga membuat suaminya itu marah. "Ada apa, Mas." Pelan Vina bertanya. "Katakan yang sejujurnya, apa ada pria lain yang menyentuhmu selain aku, setelah kita menikah." jawaban yang Erik berikan mampu membuat Vina terkejut. Deg, jantung Vina seakan ingin loncat, ia tidak tahu harus menjawab apa. Sementara bayangan saat Evan menjamahnya kembali menari-nari di otaknya. Tubuh Vina mendadak gemetar, bahkan keringat dingin mulai membasahi wajahnya. Bukan niat hati ingin merahasiakan hal itu, tapi Vina terlalu takut untuk berkata jujur. "Kenapa diam." Suara Erik mampu membuat Vina terlonjak kaget, wanita itu menoleh sekilas. Bibir Vina bergerak, entah apa yang akan ia sampaikan, tetapi lidahnya terasa kelu. Lagi-lagi ketakut
Satu minggu telah berlalu, selama seminggu Evan menghabiskan waktunya bersama dengan Rena. Kandungan Rena yang mulai membesar membuat wanita itu lebih manja dan selalu ingin berada di dekat Evan. Setelah membujuknya, akhirnya Rena mengijinkannya untuk pulang terlebih dahulu. "Aku pulang dulu ya, nanti malam aku ke sini lagi." Evan mencium kening Rena, tak lupa mengelus perut buncit wanita itu. "Jangan lama-lama loh. Iya, sekalian cariin mangga muda ya," ujar Rena. "Iya, Sayang. Apa sih yang nggak buat kamu." Evan kembali mencium kening Rena. "Ya udah aku pulang dulu ya." Evan melangkah keluar rumah. Rena mengantarkannya sampai teras. "Evan, Evan, dasar laki-laki bod*h, mudah banget ditaklukan. Bisa-bisanya langsung percaya kalau ini anaknya." Rena tersenyum sinis seraya mengusap perutnya. Setelah mobil yang Evan kendarai hilang dari pandangan mata, Rena berniat untuk masuk ke dalam. Namun, ia urungkan niatnya saat melihat ada sebuah mobil yang sangat dikenalnya masuk dan berhent
Buk, sebuah pukulan yang cukup keras mampu membuat Evan jatuh tersungkur. Entah kebetulan atau apa, Erik dan Vina datang, mendengar teriak Asty, sontak keduanya bergegas naik ke lantai atas. Kini perkelahian Erik serta Evan tidak dapat dihindari lagi. Erik yang memang geram dengan kelakuan sepupunya itu, tanpa rasa ampun memukuli Evan. "Dasar bajing*n, dulu kamu menodai Vina. Sekarang kamu juga berniat untuk menilai mantan istrimu sendiri." Erik memukul wajah Evan yang mulai babak belur. "Erik sudah, biarkan dia pergi." Asty menyuruh adik iparnya itu untuk membiarkan mantan suaminya pergi. Jujur, meski Evan sudah berbuat senonoh, tetapi di hati kecil Asty masih menyimpan rasa kasihan. "Pergi kamu." Erik mendorong tubuh Evan keluar dari kamar Asty. "Kamu akan merasakan akibatnya nanti." Sebelum pergi, Evan menyempatkan diri untuk mengancam Erik. Sementara itu, Erik hanya tersenyum sinis. "Kakak nggak apa-apa kan?" tanya Vina dengan raut wajah khawatir. "Aku nggak apa-apa, terima
"Untung rumah mama masih ada, coba kalau enggak. Bisa-bisa kita jadi gelandangan," ujar Lidya seraya membuka pintu rumahnya. Kini Evan dan Lidya terpaksa meninggalkan rumah mewah itu, lantaran telah disita. Evan baru teringat jika dirinya mempunyai hutang di perusahaan milik Asty. Dulu sering menggunakan uang itu untuk bersenang-senang dengan Rena ataupun Luna. "Kamu jadi ke rumah Luna?" tanya Lidya. "Jadi, Ma." Evan mengangguk. "Aku pergi sekarang, Ma." Setelah berpamitan, Evan bergegas masuk ke dalam mobil dan melaju meluncur ke rumah Rena. Dalam perjalanan ke rumah Rena, Evan masih saja memikirkan rumah yang telah disita. Ia yakin jika itu ulah Asty, mantan istrinya itu pasti dendam karena dirinya pernah berniat untuk menyentuhnya, dalam arti ingin melakukan hubungan suami istri seperti dulu. "Asty, aku masih mencintai kamu, aku nggak rela jika kamu menikah dengan pria lain," gumamnya. Evan mengusap wajahnya, setelah itu kembali fokus untuk menyetir. Tidak butuh waktu lama,
"Mas Evan." Rena hendak bangkit, tetapi dengan cepat pria itu melarangnya. Pria itu bangkit serta meraih kemejanya yang tergeletak di lantai, lantas segera memakainya. Usai berpakaian pria berkemeja biru itu berjalan mendekati Evan yang sedari tadi sudah menahan emosinya. Rasanya ia sudah tidak sabar ingin memberi pelajaran untuk pria yang telah menyentuh Rena. "Ada apa, kamu tidak perlu kaget seperti itu. Memang ini yang biasa Rena lakukan," ucap pria itu. "Maksud kamu apa bicara seperti itu," sahut Evan. Dadanya sudah naik turun menahan amarahnya. "Biar Rena saja yang menjelaskannya nanti, Sayang aku pulang dulu ya, kalau urusanmu sudah selesai. Kita main lagi seperti tadi." Pria itu bergegas keluar dari kamar Rena. Evan hendak mengejarnya, tetapi dengan cepat Rena mencegahnya. "Berhenti, Mas." Rena meraih lingerie miliknya dan bergegas memakainya. Setelah itu ia berjalan mendekati Evan, pria yang berhasil Rena tipu mentah-mentah. "Kita bicara di sini saja." Rena menuntun Evan
Setengah jam kembali, kini mereka sudah dalam perjalanan mencari tahu gejrot permintaan Asty. Vanno terus melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang, sedangkan matanya mencari tukang tahu gejrot yang biasanya berasa di pinggir jalan. "Mas berhenti di depan," titah Asty. "Baik, Tuan Putri," sahut Vanno. Setelah itu ia menepikan mobilnya. "Mas tunggu di sini aja, biar aku yang beli," ujar Asty, seraya melepas sabuk pengaman. "Ya udah, jangan lama-lama. Jalannya hati-hati," nasehatnya. Sementara Asty hanya mengangguk. Asty berjalan menuju penjual tahu gejrot, sesampainya di sana, wanita hamil itu segera memesan satu porsi tahu gejrot dengan level pedas yang cukup bikin geleng-geleng. Sembari menunggu pesanan, Asty memilih untuk duduk. "Ini, Neng pesanannya," ucapnya seraya menyodorkan kresek berukuran sedang. "Ok, ini bayarannya." Asty menyodorkan uang seratus ribu rupiah. "Wah, nggak ada kembaliannya," ujarnya. "Udah ambil aja," sahut Asty. Ia pun beranjak pergi meninggalkan te
"Asty kamu kenapa?! Bangun, Sayang." Windi menepuk pelan pipi menantunya itu. Seketika Asty membuka matanya, napasnya sedikit terengah-engah seperti orang yang baru saja lari maraton. Windi segera menyodorkan segelas air putih, perlahan Asty meneguknya. Setelahnya wanita hamil itu berusaha menenangkan hatinya. "Kamu mimpi apa sampai teriak-teriak seperti tadi?" tanya Windi dengan lembut. "Aku mimpi kalau, mas Vanno .... ""Sayang aku pulang!" teriak Vanno seraya berjalan masuk ke dalam.Mendengar suara orang yang sangat Asty rindukan, seketika wanita hamil itu bangkit dari duduknya dan beranjak menghampiri suaminya. Bahkan Asty langsung memeluk tubuh Vanno dengan begitu erat. Karena sedikit terkejut, hampir saja tubuh Vanno terhuyung ke belakang. "Sayang aku nggak bisa napas, kamu meluknya kenceng banget," ujar Vanno dengan napas yang sedikit tercekat. "Aku takut." Asty hanya mampu berkata demikian. "Takut apa, hem?" tanya Vanno dengan nada lembut. "Aku takut kamu selingkuh, ba
"Oh jadi kamu sepupunya Asty?" tanya Windi. "Iya, Tante." Pria itu mengangguk yang tak lain adalah Dany, sepupu Asty. "Kamu ke Jakarta mau ngapain?" tanya Asty. Pasalnya yang ia tahu sepupunya itu akan menikah. "Mau nyari kerjaan, niatnya mau minta bantuan sama kamu, kali aja ada lowongan," jelasnya. Dany berharap semoga di kantor Asty masih ada lowongan. "Bukannya kamu akan menikah?" tanya Asty. "Dany, kami tinggal masuk ke dalam dulu ya. Asty mama sama papa ke dalam dulu ya." Windi bangkit dari duduknya. "Iya, Ma." Asty mengangguk, begitu juga dengan Dany. Saat ini mereka tengah duduk di teras rumah. "Aku sudah menikah, itu sebabnya aku nyari kerja yang tetap. Bukan kerja serabutan nggak jelas," terangnya. Memang sebelum menikah Dany bekerja serabutan yang penting halal. Asty terdiam sejenak. "Sekarang istri kamu di mana.""Ada di rumah, aku ajak ke sini nggak mau," sahut Dany. "Nanti nunggu mas Vanno pulang dari Singapura ya. Dia yang akan ngurus," ujar Asty. "Ok tidak ma
Bukan telah berganti, hari ini Vanno harus pergi ke kantor lebih awal lantaran akan ada meeting dan juga bertemu dengan klien. Usai mandi, Vanno bergegas memakai pakaian yang sudah Asty siapkan. Usai memakai pakaian, pria berkemeja navy itu berjalan menghampiri istrinya, seperti biasa meminta sang istri untuk memakaikan dasi. "Sayang, kapan periksa ke dokternya?" tanya Vanno. "Rabu besok, Mas." Tangan Asty masih berkutat memasang dasi pada leher suaminya. "Oya, mama sama papa katanya besok mau ke sini. Soalnya besok sore aku harus ke Singapura, cabang yang ada di sana sedikit ada masalah," jelasnya. Seketika Asty memperlambat kerja tangannya. "Jadi besok, Mas pergi?" tanya Asty. "Iya, nggak lama kok. Setelah masalah di sana selesai, aku langsung pulang. Makanya aku minta mama sama papa ke sini, biar bisa nemenin kamu," terangnya. Vanno tahu jika istrinya sedih setelah mendengar jika dirinya akan pergi. "Kamu minta oleh-oleh apa, nanti aku beliin," ujar Vanno. Kedua tangannya ber
"Da-dari mana kamu tahu soal .... ""Aku sudah tahu semuanya, sekarang aku akan melaporkan masalah ini ke polisi. Agar kamu merasakan balasan yang setimpal." Vanno memotong ucapan Dewi. "Apa?! Van aku mohon, jangan laporkan masalah ini ke polisi. Aku minta maaf, aku melakukan ini karena aku sangat mencintai kamu. Aku ingin kita kembali seperti dulu, aku .... ""Itu tidak akan pernah terjadi, apa kamu lupa dengan kesalahan yang pernah kamu lakukan dulu. Dan sekarang kamu juga tahu, aku sudah menikah, istriku jauh lebih baik dari pada kamu." Vanno memotong ucapan Dewi. Mendengar hal itu raut wajah Dewi berubah semakin kesal. Dewi menggelengkan kepalanya, wanita itu kembali memohon agar Vanno mau memberinya kesempatan. Namun, sampai kapanpun Vanno tidak akan pernah melakukan itu, terlebih setelah kejadian ini. Justru ia semakin membenci Dewi, gara-gara ulahnya, Vanno harus kehilangan sesuatu yang sudah sangat diharapkannya. "Van, aku mohon." Dewi terus memohon. "Tidak akan pernah." V
"Bagaimana keadaan istri saya, Dok?" tanya Vanno dengan raut wajah khawatir. "Maaf, kami tidak bisa menyelamatkan janin yang ada di rahim istri, Bapak. Dan untuk saat ini kondisi istri, Bapak masih lemah," jawab Dokter Rina. "Jadi istri saya keguguran, Dok?" tanya Vanno. Ia benar-benar tidak tahu jika Asty sedang hamil. "Iya, Pak. Kalau begitu saya permisi." Dokter Rina beranjak meninggalkan Vanno yang masih berdiri mematung dengan seribu pikiran. Setelah itu, Vanno berjalan masuk ke dalam, terlihat Asty tengah berbaring di atas brangkar dengan posisi miring ke arah dinding. Dengan hati-hati Vanno berjalan menghampiri istrinya dan duduk di sebelahnya. Merasakan tempat tidurnya bergerak, reflek Asty membalikkan badannya. "Mas." Asty bangkit lalu menghambur ke pelukan suaminya. Vanno memeluknya dengan erat, sudah dapat dipastikan jika istrinya itu telah tahu jika ditinya mengalami keguguran. "Sabar ya, Sayang." Vanno mengusap punggung istrinya dengan lembut. "Maafin aku, gara-gar
"Alhamdulillah, ini mukjizat. Saraf yang sudah mati kini kembali berfungsi, tapi untuk kaki masih belum sepenuhnya," ujar Dokter Rio yang memeriksa Evan. "Alhamdulillah. Terima kasih, Dok." Luna mengucap syukur, bahagia itu yang ia rasakan saat ini. Setelah itu, Luna membawa Evan pulang, rasanya ia tidak sabar ingin cepat sampai di rumah. Agar bisa memberitahu Lidya dengan kondisi Evan. Luna berharap semoga Evan tidak berubah pikiran. Ia ingin hidup bahagia dengan keluarga kecilnya itu. "Luna, terima kasih ya." Evan menggenggam tangan istrinya. Luna tersenyum. "Sama-sama, Mas. Alhamdulillah sekarang kamu sudah sembuh, aku harap kamu .... ""Aku janji, aku akan menyayangi kamu dan Zara sepenuhnya." Evan memotong ucapan Istrinya. Lalu merengkuh tubuh Luna dengan erat, ia tak akan menyia-nyiakan kesempatan yang ada. Tidak butuh waktu lama taksi yang membawa mereka tiba di rumah, Luna langsung membantu Evan untuk duduk di kursi roda. Meski belum bisa berjalan seperti semula, tapi set
"Ada apa, Mas?" tanya Asty khawatir. Vanno menatap istrinya dengan menautkan kedua alisnya. "Bukannya tadi kamu tidur, kok tiba-tiba bangun."Asty gelapan mendengar ucapan suaminya. "Ah, anu. Itu, Mas tadi katanya .... "Vanno tertawa saat melihat ekpresi wajah istrinya itu. Ternyata ia berhasil mengerjai istrinya itu, sekarang Vanno tahu kalau Asty hanya pura-pura tidur. Sementara Asty langsung masuk ke dalam selimut untuk menghindari Vanno yang biasanya suka menyerang mendadak. "Sekarang kamu ketahuan pura-pura tidur, kamu harus mendapatkan hukuman dariku." Vanno ikut masuk ke dalam selimut, lalu memeluknya dari belakang. "Mas mau ngapain, udah malam tidur aja," ujar Asty yang sudah merasakan kode dari suaminya itu. "Kita olahraga dulu nanti baru tidur," sahut Vanno, ia semakin memperebutkan pelukannya. "Tapi .... ""Tidak ada tapi-tapian." Vanno memotong ucapan Asty. Seketika Asty tidak bisa melawan, keduanya pun melakukan hubungan halal itu. Pukul tiga dini hari mereka baru
"Udah." Asty merapikan kemeja suaminya yang sedikit berantakan. "Yang ini belum." Vanno menyodorkan jam tangan kepada istrinya. Dengan sigap Asty memasang jam tersebut di pergelangan tangan suaminya. "Udah selesai," ujar Asty. "Ya udah, oya gimana keadaan Vina?" tanya Vanno seraya memakai jasnya. "Alhamdulilah udah mendingan, kandungannya juga baik," jawab Asty. "Oh ya sudah, aku ke kantor dulu ya," pamitnya. "Iya, Mas hati-hati." Asty mencium punggung tangan suaminya. "Iya, assalamu'alaikum." Vanno mencium kening istrinya dengan lembut. "Wa'alaikumsalam." "Erik, duluan ya." Vanno berjalan keluar dari ruangan tersebut. "Iya, Kak." Erik mengangguk. "Kak, aku mau ke kantin dulu ya. Kakak mau makan apa, biar aku belikan sekalian," ujar Erik. "Apa aja deh, yang penting bisa buat perut kenyang," sahut Asty. "Oh, ok." Erik bergegas keluar dari ruang rawat istrinya. Sementara Asty masih duduk menemani adiknya itu. "Kak." Vina membuka matanya. "Iya, ada apa?" tanya Asty. "Hau