Tangan Nada gemetar sekarang, melihat sosok pamannya yang baru saja keluar dari kamar. Perawakan Adrian terlihat berbeda dari enam tahun lalu.
Badannya tegap, garis wajahnya terlihat sangat tegas. Membuat dirinya terlihat lebih tampan dari kali terakhir Nada melihatnya. Bahkan auranya sekarang sudah berubah menjadi dominan dan karismatik.Secepat itukah fisik Adrian berubah?“Selamat malam, Om,” ucap Nicko memecah ketegangan yang bisa dia rasakan.Tangan laki-laki itu kini langsung meraih tangan Nada. Mengusap punggung tangan dengan ibu jarinya.“Malam. Kamu mau pulang, Nick?” tanya Adrian dengan suaranya yang berat dan tegas .“Iya, Om. Saya mohon izin pamit pulang,” jawabnya dengan sopan.Namun, Nada malah semakin mencengkeram pegangan tangan Nicko. Mulutnya itu masih bungkam, dan bahkan belum menjawab sapaan dari paman angkatnya.Nicko pun segera membalikkan badan.“Kembali saja ke kamarmu, Nada. Tidak usah mengantarku keluar,” ucap Nicko.Tatapan gelisah kini terpancar di kedua bola mata kecokelatan milik Nada. Ternyata walau sudah enam tahun berlalu, Nada masih belum bisa bersikap santai dengan pamannya. Bayangan yang telah samar, perlahan muncul, meminta Nada untuk kembali mengingatnya.“Ayo kembali ke kamar. Apa perlu aku antar kamu?”Nicko tahu betul dengan perubahan sikap Nada yang tiba-tiba. Pria itu tentu masih mengingat betapa hancurnya perempuan ini saat tragedi enam tahun lalu.“Tarik napas, buang pelan-pelan. Lupakan, jangan kamu coba untuk mengingatnya lagi. Selama ini kamu sudah berjuang dan berusaha untuk tetap bertahan. Jangan biarkan enam tahun pelarianmu jadi sia-sia,” bisik Nicko mencoba menguatkan perempuan yang ada di hadapannya.Perlahan Nada melakukan apa yang diinstruksikan oleh Nicko.“Kamu baik-baik saja, Nada,” batin Nada mencoba memberikan afirmasi positif untuk dirinya sendiri.“Kenapa? Apa Nada sedang tidak enak badan?” tanya Adrian menyela.Sedari tadi Adrian memperhatikan Nada dan juga Nicko. Dia tahu kalau sebenarnya mereka sekarang sudah tidak memiliki hubungan apa pun lagi. Namun, dari sikap mereka, Adrian tak yakin kalau sebenarnya mereka sama sekali tidak memiliki hubungan.“Ah, iya, Om. Tadi di mobil Nada bilang sedikit pusing. Mungkin efek dari penerbangan yang lebih dari sehari,” jawab Nicko cepat.Merasa khawatir dengan kondisi Nada, Adrian pun mendekat. Namun, dalam momen yang sama, Nada langsung memundurkan langkahnya.“Aku akan kembali ke kamar dan beristirahat,” ucap Nada cepat.“Iya, kembalilah ke kamar.” Nicko mempersilakan Nada. Dengan cepat Nada berbalik dan langsung pergi ke kamarnya.Sedangkan Adrian, masih mematung dengan beberapa pertanyaan yang kini muncul di benaknya.“Kalau begitu saya pamit, Om,” kata Nicko meminta izin.Adrian pun hanya mengangguk. Membiarkan laki-laki itu pergi. Sedangkan dirinya langsung melangkah menuju dapur.Alasan dia terbangun, karena merasa tenggorokannya kering. Kemudian dia sedikit terkejut ternyata keponakannya sudah pulang.Saat Adrian melihat Nada untuk pertama kali setelah enam tahun. Dia merasa keponakannya benar-benar berbeda. Tidak ada wajah lugu dan polos terpancar dari perempuan itu.“Wajarlah, dia sudah dewasa,” gumam Adrian.Entah kenapa, ada sisi di mana Adrian merindukan Nada yang selalu bersikap manja padanya. Sepertinya Nada sudah tidak akan bersikap seperti itu lagi pada Adrian.Bahkan respon keponakannya tadi terlihat seperti menghindar dari Adrian.“Ah, kenapa sampai sekarang sikapnya sangat dingin padaku?” ucap Adrian sambil memijit kening.Selama enam tahun, Adrian terus memiliki pertanyaan yang sama. Selama enam tahun juga dia terus mencari jawaban, tapi tak kunjung menemukannya.Akhirnya setelah Adrian menghabiskan segelas air mineral. Pria yang saat ini sudah berumur 39 tahun itu langsung kembali menuju kamarnya.***Pagi hari, Nada sudah bangun dan mempersiapkan diri untuk bertemu dengan neneknya. Sejujurnya, Nada sendiri tidak bisa tidur, karena terus merasa gelisah.Untung saja sekarang ada Deven. Hanya dengan menatap dan memeluk malaikat kecil itu, hati dan perasaan Nada bisa lebih tenang.“Mama,” panggil Deven dengan suara parau.“Ya?” sahut Nada yang sedari tadi sedang menatap malaikat kecilnya itu.“Badanku masih terasa sakit,” keluhnya sambil beranjak dari tidur dan sekarang dalam posisi duduk.“Sebelah mana yang sakit? Sini Mama pijat,” tutur Nada yang kemudian duduk di belakang Deven.“Ini, Ma.” Anak itu menunjuk ke bagian pundaknya.Nada memijat pelan pundak anaknya. Dia berusaha untuk terlihat tenang, walau hatinya sudah tak karuhan.Apalagi di rumah ini ada Adrian. Pastilah—baik Eva ataupun Adrian—mereka akan mempertanyakan siapa Deven. Walau Nada sudah tahu akan menjawab apa, perasaan gelisah masih tetap mendominasi hatinya.“Nada,” panggil seorang perempuan dari luar sana.Dengan cepat Nada menoleh, itu adalah suara Ratna. Dia pun segera bangkit dan membukakan pintunya.“Tiga puluh menit lagi waktunya sarapan. Apa kamu dan Deven sudah siap? Nyonya dan Mas Adrian ingin sarapan pagi denganmu,” terang Ratna.Nada menelan ludahnya, lalu menarik kedua sudut bibitnya tipis. Nyonya yang Ratna maksud tentu saja Eva.“Baik, Mbak. Deven baru bangun, aku bersiap dulu. Nanti dalam tiga puluh menit kami sudah siap di ruang makan,” terang Nada.Setelah itu Ratna pergi, lalu Nada segera masuk kembali ke kamar. Meminta Deven untuk bersiap karena akan sarapan pagi.“Nanti di sana akan ada nenek Eva dan juga Om Adrian. Kamu jangan lupa untuk ucapkan salam, ya,” pesan Nada pada malaikat kecilnya.“Yes, Mama,” sahut Deven yang kini sudah mengenakan pakaian yang rapi. Walau wajahnya masih terlihat sangat lelah.“Ayok kita ke ruang makan,” ajaknya.Dengan perasaan gelisah yang hampir membuncah, Nada melangkahkan kakinya keluar dari kamar. Dua hal yang sedang Nada khawatirkan. Pertama tentang keberadaan Adrian. Kedua tentang keberadaan Deven.Namun begitu, Nada berusaha untuk tetap tenang. Tidak ingin memperlihatkan titik terlemahnya.“Selamat pagi, Nenek,” sapa Nada sesaat dirinya sampai di ruang makan.Kedua mata cokelatnya itu bisa melihat sang nenek yang duduk di bagian depan tengah. Kemudian di sisi Eva, terdapat Adrian yang sedang sibuk menatap layar tabletnya. Akan tetapi, dia tidak ingin mempedulikan keberadaan Adrian.Mendengar suara Nada menyapa namanya, Eva pun segera menoleh. Kemudian seulas senyuman bahagia terukir di pipinya.“Selamat pagi Nada, Sayang,” sambut Eva dengan hangat, “kemarilah Nenek sangat merindukanmu,” pintanya.Nada pun segera menghampiri Eva, lalu menyambut pelukan dari neneknya itu.“Kamu nampak sangat sehat, Sayang,” ucap Eva sambil mengamati sosok cucunya.Nada pun tersenyum. Dia merasa perhatian Eva masih fokus padanya.“Iya, Nek. Nenek juga harus sehat seperti aku, ya.”Sedetik kemudian, fokus Eva pun teralihkan. Matanya itu mendapati seorang anak laki-laki yang sedang berdiri di belakang Nada. Wajah Eva nampak bingung, mempertanyakan siapa sosok anak kecil itu.“Ah, iya.” Nada terkesiap, lalu melangkah mundur mendekat pada anaknya, “Sayang, ayo perkenalkan diri,” pinta Nada.Jangan ditanya bagaimana kondisi jantung Nada sekarang. Sudah tentu seperti tabuhan irama musik drum yang ditabuh tak kenal tempo.“Selamat pagi, Nenek dan Om. Perkenalkan aku Deven,” ucap anak kecil itu.Baik Eva maupun Adrian, mereka sama-sama memperhatikan Deven dengan tatapan bingung.“Dia siapa Nada?”Tanpa membalas sapaan dari Deven, Eva langsung mempertanyakan siapa gerangan anak kecil yang tampak lugu tersebut.“Deven ini anakku, Nek.”Bagaikan sambaran petir yang muncul di pagi hari. Eva dan Adrian sama-sama membulatkan matanya.“A-anakmu?” ucap Eva dengan mulut menganga.BERSAMBUNG ....Agenda sarapan pagi bersama pun gagal. Setelah pengakuan Nada yang membuat tubuh Eva tak kuasa untuk bangkit. Wanita berumur delapan puluh tahun itu, akhirnya dibawa menuju kamar tidur.“Nada, bisa kita bicara sebentar?” tanya Adrian dengan suara tegasnya.Betapa khawatirnya perasaan Adrian, ketika melihat kondisi ibu angkatnya yang harus kembali drop, akibat pengakuan Nada.“Bukannya Om harus segera menuju kantor? Ini sudah pukul sepuluh pagi,” celetuk Nada sambil melihat ke arah jam dinding.“Aku masih punya banyak waktu,” jawab Adrian cepat.“Oh, apa Om sekarang selalu bermalas-malasan dalam memimpin Victory?” sela Nada mencibir.Sontak Adrian mengerutkan kening, “Maksudmu apa, Nada?” tanyanya.Nada menarik napas pelan, lalu dengan tangan yang meremas kedua sisi tubuhnya dia berbicara, “Ini sudah jam masuk kantor. Walau pun Om memiliki banyak waktu, tapi tetap saja Om harus datang ke kantor tepat waktu.”Intonasi Nada dalam berbicara terdengar menekan. Dia berusaha untuk membangun
“Anak siapa itu?”Pertanyaan dari Keenan barusan membuat Adrian tersentak. Matanya tidak bisa berbohong, kalau pria berumur 39 tahun itu sedang merasakan kepanikan. “Dari mana Mas Keenan tahu kalau Nada sudah kembali? Dan ….” Adrian mendadak ragu untuk melanjutkan kalimatnya, “dan dari mana Mas tahu kalau Nada tidak pulang sendirian?” “Ada informasi dari luar. Sepertinya seseorang atau mungkin banyak, sedang memperhatikan Victory. Jelas saja, karena perusahaan ini sangat sukses di industri perhotelan dan penerbangan,” terang Keenan. “Informasi dari mana, Mas?” tanya Adrian ngotot. “Orang luar. Aku tidak tahu persis, karena aku mendapatkan informasi dari istriku, Gladys. Tapi aku berpesan padamu untuk berhati-hati Adrian. Karena bisa saja rivalmu sedang mengawasi dan membuat bom waktu yang entah kapan akan meledak.”Sebagai mentor yang baik, Keenan memang sering kali memberi nasehat pada Adrian. Dia sudah menganggap Adrian sebagai juniornya yang harus dibimbing. Selain itu Keenan s
“Me-menikah?” Adrian mendadak gagap.Setelah delapan tahun bersabar, akhirnya Adrian bisa mengantongi restu dari ayah Sindy. Sudah sejak lama Adrian mengusahakan hubungan mereka untuk segera direstui. Walau Adrian sudah menjabat menjadi CEO perusahaan terkenal sekali pun, Titan masih belum memberikan restu. Pasalnya pria itu tak ingin karir anaknya terhambat. Karena pada saat itu nama Sindy sedang naik daun. Selain itu, faktor Adrian yang hanya anak angkat, membuat Titan sedikit ragu.“Iya. Apa kamu tidak mau menikahi putri saya?” Pertanyaan tersebut segera disanggah oleh Adrian. “Tidak, Om. Tentu aku akan menikahi Sindy. Secepat yang kami bisa,” jawab Adrian dengan mantap. Binar bahagia tak hanya terlihat dari wajah Adrian. Sindy pun merasa sangat senang. Namun, di detik berikutnya raut wajah Sindy berubah. “Kenapa?” bisik Adrian, yang sadar dengan perubahan raut wajah kekasihnya itu. “Ah, i-itu … tapi bisakah kamu menunggu sedikit lagi, Mas?” Nada bicara Sindy terdengar pelan.
Mobil SUV berwarna putih kini melaju kencang menuju kediaman Eva. Adrian; orang yang ada di dalam mobil tersebut, meminta supirnya untuk tidak menemaninya kali ini. Setelah bertemu dengan Kiki; jurnalis yang memang sering mencari celah kekurangan para pebisnis. Adrian merasa harus segera menyelesaikan masalah yang sempat tertunda dengan Nada. Butuh waktu sekitar sembilan puluh menit bagi Adrian untuk sampai di kediaman ibu angkatnya.“Nada di mana, Mbak Ratna?” tanya Adrian yang saat kedatangannya disambut hangat oleh Ratna. “Di kamarnya, Mas. Mau saya panggilkan?” Adrian langsung menggeleng, dia melesat menuju kamar keponakannya. Pintu jati berwarna putih diketuk dua kali oleh Adrian, “Nada, bisa kita bicara sebentar?” tanyanya. Di dalam kamar, Nada yang sedang fokus pada ponselnya langsung mengerejap. Matanya langsung menatap ke arah pintu kamar.“Nada, ini Om. Kita harus bicara sebentar.” Adrian kembali memanggil Nada. Kini terdengar nada bicaranya sedikit memaksa. “Ma, mau a
Dengan alis yang hampir bertaut, Nada menatap layar ponselnya. Biasanya Nada tidak pernah mengangkat telepon dari nomor yang tidak terdaftar di kontaknya. Namun, entah kenapa sekarang dia merasa sedikit bimbang. “Siapa, Ma? Angkat saja,” ucap Deven. “Hah?” Nada menoleh pada anaknya, “oh, iya. Mama angkat telepon dulu sebentar, ya?” katanya meminta izin. Segera Nada mengusap layar ponselnya, lalu menempelkan tombol berwarna hijau. “Halo,” sapa Nada.“Halo, kamu Nada?” tanyanya dengan sedikit suara yang terdengar sewot.“Ya … tapi maaf ini dengan siapa?”“Aku Sisil. Kamu tahu, kan?” Nada mencoba mengingat-ingat temannya yang bernama Sisil.Terdengar suara desahan kasar dari seberang sana, “Huh, aku Sisil tunangan Nicko.”Seketika Nada mengerejap, lalu berkata, “Oh, iya. Ada apa?”Sebenarnya Nada belum pernah bertemu dengan tunangan Nicko ini. Namun, memang beberapa kali Nicko pernah menceritakan tentang tunangannya. “Bisa kita bertemu? Ada yang ingin aku bicarakan. Aku tunggu kamu
Mana mungkin Deven tak paham dengan obrolan orang dewasa ini. Walau dirinya masih kecil, tapi Deven tahu kalau dia sedang dibicarakan.“Deven, itu cuman salah paham saja, Sa—“Belum juga Nada selesai mengucapkan kalimatnya. Nicko langsung menyela, “Iya.”Untuk ketiga kalinya; dalam waktu yang kurang dari satu jam, Nada kembali dibuat terkejut. “Nicko!”“Kalau Deven memang mau menganggap Om adalah papa Deven, tidak masalah. Om akan jadi papa Deven,” terang Nicko sambil tersenyum.Deven menarik kedua sudut bibirnya kaku, lalu dia hanya mengangguk.“Baiklah, kalau begitu ayo kita pulang,” ucap Deven.Nicko mengangguk dan langsung menyalakan mobil. Sedangkan Nada, dia masih mematung, sembari memandang Nicko dan Deven bergantian.Tak butuh waktu lama, akhirnya mereka sampai di rumah. Deven langsung turun dari mobil dan berlari menuju rumah besar itu. “Deven!” Nada memanggil anak laki-lakinya, tapi Deven tak menggubris. Dia tetap berlari memasuki rumah. Nada mendesah, dia bisa menduga ap
Nada berdiri di depan pintu apartemen milik Adrian. Sepanjang jalan, Nada mencoba untuk meneguhkan dan mengumpulkan keberanian untuk bertemu dengan Adrian, di tempat yang dulu hampir setiap hari dikunjunginya. Jari telunjuk Nada menekan tombol bel. Sedikit membutuhkan waktu lebih lama, sampai akhirnya pintu itu dibuka.“Nada, ada apa kamu malam-malam ke sini?” tanya Adrian yang membukakan pintu.“Ada yang ingin aku bicarakan dengan Om,” jawab Nada cepat. Namun, sedetik kemudian dia melihat sosok wanita di belakang Adrian. “Kenapa tidak kamu persilakan masuk dulu, Mas,” ucap Sindy, yang menghampiri Adrian, “halo, Nada sudah lama tidak berjumpa.” Sindy menyapa Nada dengan sebuah senyuman manis. Tentu saja Nada mengenal wanita yang kini sedang memeluk Adrian dari belakang. Ah, rasanya mual sekali melihat wanita itu bergelayut manja pada pamannya. “Aku tidak mau berbasa-basi. Lagi pula kalian tidak ingin aku ganggu lama-lama, bukan?” kata Nada, yang sama sekali tidak berniat untuk mem
“Jangan bercanda, Nada!”Kalimat itulah yang keluar dari mulut Adrian, tatkala mendengar ucapan Nada barusan. Adrian merasa yang dikatakan Nada hanya bualan semata.Nada mendengus, sambil tersenyum sinis, “Benar bukan? Om tidak akan percaya dengan ucapanku.”Nada bisa sedikit bernapas lega, setelah sebelumnya merasakan sesak. Namun, di satu sisi dia merasa sedih, karena memang pamannya ini tidak mengingat apa pun kejadian malam itu.“Jadi, rasanya akan percuma jika aku mengatakan; baik kebenaran atau kebohongan. Nyatanya Om tidak pernah mempercayai ucapanku.”Mata Nada kini sudah terasa panas, bahkan pandangannya sudah sedikit kabur. Dia menundukkan wajahnya, berusaha menyembunyikan apa yang sedang ia dirasakan.“Om percaya padamu, Nada. Tapi ucapanmu barusan itu sangat keterlaluan sekali,” desah Adrian, lalu dia melanjutkan kalimatnya, “kamu adalah keponakan Om, walau kita hanyalah saudara angkat. Tapi, bagaimanapun juga kamu tetaplah keluarga Om. Om akan selalu melindungimu, kapan p
Sebelum masuk ke dalam ruang persalinan, Adrian diharuskan untuk membersihkan diri terlebih dahulu. Setelah itu dia segera masuk dan mendapati istrinya sedang merintih kesakitan.“Sayang!” seru Adrian segera menghampiri sang istri.Peluh sudah membasahi wajah Nada. Bahkan rambutnya pun terlihat basah oleh keringat yang sudah membanjiri tubuhnya. Adrian langsung menggenggam tangan Nada, yang sebelumnya ditemani oleh seorang perwat.Matanya menatap Nada yang nampak sedang berjuang menahan rasa sakit. Hatinya merasa tak tega, melihat istrinya begitu berjuang dengan susah payah untuk melahirkan nyawa baru yang akan menjadi warna tersendiri dalam kehidupan mereka.“Sayang, kamu bisa. Aku ada di sini,” bisik Adrian.Mendapatkan motivasi seperti itu, Nada merasa senang. Namun, dia tidak bisa menunjukkan dengan ekspresi wajahnya.“Ibu, sedikit lagi. Ini kepalanya sudah keluar,” kata sang dokter.Adrian melihat ke arah sang dokter yang membimbing persalinan istrinya.“Ayok, Bu. Sepertinya keda
Nada sudah diizinkan untuk pulang. Kondisi kehamilannya sangat amat baik, janinnya pun terlihat sehat dan sudah diketahui jenis kelaminnya. Hanya saja Nada masih merahasiakan hal ini pada suaminya.“Sudah semua, Mbak?” tanya Nada.“Sudah.” Ratna baru saja mengunci pintu apartemen yang menjadi tempat singgah mereka selama di negara ini.“Baik, ayo kita berangkat. Aku sudah tidak sabar untuk bertemu dengan Deven,” kata Nada.Ratna mengangguk, lalu tersenyum. Hari ini mereka akan pulang ke Indonesia. Sayangnya Adrian tidak bisa menjemputnya, karena ada agenda bisnis yang tidak bisa dia hindari.Selama beberapa jam perjalanan, akhirnya mereka pulang dan disambut hangat oleh Deven dan Eva yang sudah menunggu mereka. Terlihat nenek dari Nada itu sudah menanti kedatangan cucunya.“Kamu sehat, Nada?” tanya Eva, yang masih terlihat segar, walau kondisinya harus selalu duduk di kursi roda. Usianya yang sudah senja, membuat kesehatannya menurun.“Sehat, Nek. Nenek bagiamana?” tanya Nada sambil m
Sekarang mereka sedang berada disebuah restoran mewah. Mereka hendak makan malam bersama, menikmati makanan khas dari negeri gingseng. Namun, belum juga makanan tiba, Nada sudah izin untuk ke toilet.“Mamamu kenapa, Dev? Apa dia sakit?” tanya Adrian.Deven menggeleng, “Tidak tahu, Pa. Padahal biasanya tidak apa-apa.”Adrian menyipitkan matanya, tiba-tiba saja dia merasa sedikit ada yang janggal dengan istrinya. Sampai akhirnya Nada kembali dari toilet, dan Adrian tak lepas memandang Mitha. Bahkan saat makanan tiba dan mereka makan malam pun, Adrian terus memandang Nada.“Sudah selesai?” tanya Adrian, saat makana di hadapan mereka sudah habis.Nada dan Deven mengangguk. Adrian pun mengangkat tangannya, tak lama kemudian seorang pelayan perempuan mendatangi Adrian. Dia pun meminta tagihan atas makannya.“Silakan, Pak,” kata pelayan itu dengan bahasa Korea.Adrian menerima sebuah bill holder berwarna hitam. Namun, ada yang aneh dari barang itu, karena terlihat ada yang mengganjal. Hanya
“Mama! Sepatu boots aku di mana?” teriak Deven pada sang ibunda.“Sudah Mama masukkan ke dalam koper, Sayang. Kamu pakai sepatu cats aja, ya,” timpal Nada, yang sedang menarik kopernya keluar dari kamarnya.Adrian terlihat mengekor Nada dari belakang, “Ini jaket tebal dan syal tidak sekalian masuk ke koper, Ma?” tanya Adrian, yang menenteng sebuah tas kecil yang berisi barang yang dikatakannya.“Tidak usah. Sampai Korea pasti kita butuh pakaian hangat. Di sana sedang musim dingin,” jawab Nada.Ya, keluarga bahagia ini hendak menuju negeri gingseng. Semenjak menikah, mereka belum sempat berbulan madu. Karena Adrian masih disibukkan dengan urusan pekerjaan.Di akhir tahun ini, Adrian memang sudah merencanakan untuk berlibur ke negara Korea Selatan bersama dengan orang yang dicintainya.“Nada, sudah tidak ada yang tertinggal, bukan?” Eva muncul dengan kursi rodanya. Mengingatkan pada Nada tentang barang yang dia bawa.Nada menoleh dan langsung tersenyum pada neneknya, “Tidak ada, Nek sem
Wajah Adrian dan Nada kini merah seperti kepiting rebus. Bagaimana bisa, mereka sedang bermesraan dan ketahuan oleh anak yang masih di bawah umur.“Ah … itu,” ucap Nada gelagapan. Dia melirik ke arah Adrian, memberikan isyarat untuk menjelaskan apa yang barusan kita lakukan tadi.“Mama jangan malu begitu. Ini bukan pertama kali aku melihat kalian seperti itu, kok,” aku Deven.Anak itu berjalan menghampiri ayah dan ibunya, yang sebentar lagi akan menikah secara sah.Mendengar pengakuan Deven, tentu membuat mata Nada membulat maksimal. Rasa malu kini mulai menjalar di sekujur tubuhnya.“Bukan pertama kali? Berarti sebelumnya pernah?” tanya Nada.Deven mengangguk, lalu masing-masing tangannya memegang tangan Nada dan Adrian.“Aku senang kalian bisa menikah. Aku senang, karena nanti aku punya papa asli!” ucapnya dengan wajah yang berbinar. Menatap Nada dan Adrian secara bergantian.“Akhirnya Mama tidak sendiri lagi nanti. Mama dan Papa akan sama-sama membesarkan aku. Walau kemarin aku sem
Nada membelalakan mata, tatkala Adrian berkata demikian di depan publik. Dia ingat, kalau Adrian memang berniat untuk menikahinya. Namun, Nada tidak berekspektasi akan secepat ini. Apalagi ditambah cara dia melamar Nada di depan banyak orang. Tentu saja respon para audiens terlihat senang. Mata mereka nampak berbinar, lampu flash pada kamera juga tak henti-hentinya menyala. Tangan mereka sibuk dengan papan ketik pada keyboard-nya masing-masing. “Bagaimana, Nada?” tanya Adrian, yang menunggu jawaban dari wanita yang saat ini ada di hadapannya, “mau kah kamu menikah denganku?” Sekali lagi, Adrian memperjelas ucapannya. Khawatir Nada lupa dengan apa yang dikatakannya. Karena hampir lima menit Nada melongo, menatap Adrian. Seketika Nada mengerejap, lalu dia melirik ke arah audiens. Nampaknya mereka sama penasaran seperti Adrian. Bibir Nada mendadak terasa kering, dia pun menjilatnya. Irama detak jantungnya pun sudah mulai cepat. Seperti musik dengan irama cepat dan menggambarkan musik
Calvin dibawa ke rumah sakit. Kondisinya tidak sadarkan diri. Di sana keluarga Calvin juga ikut menunggu dengan perasaan harap-harap cemas. Kemudian dokter keluar dari ruang periksa, dan segera mendatangi pihak keluarga. Ada raut kesedihan dan perasaan berat yang terlihat dari wajah sang dokter.“Dok, bagaimana dengan keadaan Papa saya?” tanya seorang wanita, dia Yuvia—anak bungsu dari Calvin.Dokter itu terdengar menghela napas dalam. Wajah Yuvi nampak gusar melihat respon sang dokter. “Dok?” Yuvi kembali memanggil sang dokter. “Mohon maaf yang sebesar-besarnya. Pak Calvin Winata mengalami serangan jantung, dan nyawanya tidak bisa kami tolong,” ucap sang dokter.Siapa pun yang mendengar kalimat yang baru saja diucapkan dokter, pasti akan langsung terhenyak. Pasalnya tadi Calvin terlihat biasa saja, walau sedikit lesu. Namun, kali ini siapa sangka, rencana Tuhan tidak ada yang tahu. “Tidak mungkin, Dok!” seru Yuvi, dengan mata yang sudah mulai berkaca. Wanita itu kemudian dirangku
Nada dan Adrian sontak menoleh. Kemudian mereka melihat sosok perempuan dengan mengenakan setelan jas berwarna peach. Adrian yang tahu siapa wanita itu, langsung bangkit dari kursi. “Bu Sarah,” ucap Adrian.Wanita itu adalah Sarah, salah satu anggota dewan komisaris perusahaan Victory. Entah ada niat apa dia sampai datang jauh-jauh kemarin.“Halo, Adrian. Sudah lama kita tidak bertemu,” sapa Sarah. Adrian hanya mengangguk, memberikan salam penghormatan. Nada, yang tadi sempat dipanggil, seraya menghampiri Sarah.“Ya, Bu? Ada apa Ibu repot-repot sampai datang ke mari?” tanya Nada.“Aku tidak merasa direpotkan, Nada. Aku datang kemarin karena ini membicarakan sesuatu perihal perusahaan. Bisakah kita bicara sebentar? Bersama Adrian pun tidak masalah,” terangnya. Akhirnya mereka menyanggupi permintaan Sarah. Karena masih harus menunggu Eva, yang sedang diinterogasi oleh pihak berwajib. Mereka pun hanya berbincang di dalam mobil milik Sarah. “Keadaan perushaan sedang collaps. Saham ki
Berita hari ini seolah serentak menyiarkan kabar tentang Victory Airlines dan Victory Hotel. Pihak berwajib sudah mendapatkan bukti tentang keberadaan obat terlarang di pesawat kargo milik Victory Airlines dan juga arah distribusi barang tersebut. Dari puluhan cabang Victory hotel, barang terlarang itu hanya ditemukan di VKK. Namun begitu, nama Victory benar-benar menjadi buruk di mata publik.“Ini semua fitnah!” seru Calvin, yang dengan secara tiba-tiba diangkut paksa oleh tim dari Bareskrim Polri.“Tidak mungkin Victory Hotel dan Airlines mendistribusikan obat terlarang seperti ini!” raungnya.Jelas sekali, Calvin tidak ingin diamankan oleh pihak yang berwajib.“Siapa yang memerintah kalian, hah? Bawa aku pada Pak Fredy!” Calvin nampaknya menolak untuk bersikap kooperatif pada pihak berwajib. “Sudah jelas di surat penangkapan, kami langsung ditugaskan oleh Pak Kapolri!” tegas seorang polisi bernama Bisma. Ya, perintah penangkapan Calvin memang langsung dikeluarkan oleh petinggi p