Wanita yang Adrian lihat kemarin malam sungguh sangat asing. Apa mungkin Calvin menyuruh orang lain? Lamunannya buyar, ketika mendapatkan panggilan dari Bi Inah. Adrian segera mengangkat panggilan tersebut. “Ya, kenapa, Bi?” tanya Adrian. “Nyonya minta Mas Adrian datang ke rumah sakit. Sekarang, ya, Mas!”Panggilan itu pun berakhir. Adrian segera bergegas untuk pergi. Akhirnya dia tiba di rumah sakit. Kemudian Adrian segera membuka pintu kamar rawat inap ibundanya, dan ternyata sudah ada Nada di sana. “Om?” Nada mendongak dan berdiri saat melihat kedatangan Adrian. Adrian juga sedikit terkejut, karena mendapati sosok Nada. Dia hanya tersenyum dan langsung mendekat ke arah Eva. Berusaha bersikap biasa saja, walau tiba-tiba perasaannya tidak enak sekarang.“Mama bagaimana kondisinya sekarang?” tanya Adrian berbasa-basi. “Masih sama. Mama hanya bisa berbaring seperti ini. Tangan kiri Mama pun sudah tidak bisa digerakkan,” terang Eva. Seketika air muka Nada dan Adrian berubah menja
Kehidupan Nada perlahan kembali normal. Kasus viralnya perlahan mulai dilupakan publik. Penggemar garis keras Sindy pun sudah tidak sering menghujat dirinya. Pasalnya film milik Sindy sudah tayang di layar lebar. Victory terlihat tidak goyah. Semua media berhasil dibungkam oleh Calvin, sehingga berita tentang Adrian dan Nada tidak naik lagi ke permukaan. Reshuffle yang diagendakan Adrian pun batal. Calvin tidak berniat mengganti orang-orangnya. “Nada, untuk meeting nanti siang, saya minta ruangan yang lebih besar, ya. Tolong dipersiapkan dari sekarang!” ucap Darell yang baru saja tiba di kantornya. Mendengar perintah Darell, Nada pun bangkit dan langsung mengangguk. Beruntunglah Nada memiliki atasan seperti Darell. Karena ketika Nada sedang mengalami masa kesulitan, dia seolah tidak percaya dan tetap memperlakukan Nada seperti biasa. “Pak, maaf, untuk data yang Bapak minta sampai sekarang saya belum bisa menyelesaikannya. Karena data dari lapangan yang belum juga diserahkan pada sa
Wanita bersurai hitam sebahu itu berdiri sambil bersandar pada daun pintu. Wajahnya menegang dan dadanya pun naik turun sekarang.“Siapa, Sayang?” tanya seorang laki-laki dengan wajah sedikit pucat, bertanya pada Ara—wanita yang kini sedang terlihat gelisah.“Hah?” Ara terkesiap, dan langsung mengarahkan pandangannya pada sosok laki-laki yang sudah menjadi suaminya hampir tujuh tahun terakhir.“Oh … bukan, bukan siapa-siapa. Dia orang yang nyasar karena salah alamat,” jawab Ara sambil tersenyum canggung.Namun, pria itu mengintip pada jendela, dan masih bisa melihat tamunya berdiri di pekarangan rumah.“Tapi dia masih diam di sana, Ara,” ucap pria itu lagi.Ara sontak menggeleng cepat. Dia beranjak dari tempatnya berdiri, lalu menghampiri suaminya.“Sudah, Mas Sultan dia bukan siapa-siapa. Lebih baik kamu beristirahat. Obat yang tadi sudah diminum?” tanya Ara.Sultan hanya mengangguk, lalu Ara tersenyum sambil menatap wajah suaminya.“Kalau begitu Mas tinggal istirahat saja. Lusa kita
Jakarta, 33 tahun yang lalu. “Papa serius? Kita akan adopsi anak?” tanya seorang wanita setengah berbisik. Terlihat wanita itu masih sangat muda, mungkin umurnya sekitar tiga puluhan. Saat ini wanita itu sedang berada di dalam mobil bersama dengan seorang pria dewasa dan juga remaja laki-laki. “Terus kenapa harus bawa Andre segala?” tanyanya lagi. Pria dewasa itu membuka seat belt-nya, seraya bergeser dan menatap wajah istrinya. “Serius, Ma. Kita memang tidak akan langsung adopsi anak hari ini, tapi melihat-lihat dulu. Andre sengaja Papa bawa, supaya dia bisa untuk memilih. Bagaimanapun nantinya anak itu akan menjadi adiknya,” terangnya. Wanita itu menoleh ke belakang, lalu mendapatkan sambutan berupa senyuman dari remaja laki-laki yang bernama Andre. “Papa sudah cerita padaku, Mama Eva. Aku pun menyetujuinya, lagi pula mengadopsi anak bukan sesuatu hal yang buruk, bukan?” timpal Andre, remaja yang saat ini berusia tujuh belas tahun. Eva hanya tersenyum mendengar jawaban dari
Nada hanya tertegun mendengarkan cerita yang disampaikan Ara barusan. Ternyata ada hal seperti ini di keluarganya. Nada tidak menyangka kalau keluarganya itu mempercayai hal yang dianggap mistis.“Jadi, semua karena dendam masa kecil?” tanya Nada dengan matanya yang sudah mulai berair.Dusta rasanya jika Nada tidak memiliki perasaan simpati sedikit pada Ara. Kalau dia di posisi Ara, mungkin akan merasakan hal yang sama. Sama-sama merasakan dibohongi. Namun, Nada tidak akan memilih untuk melakukan hal yang sama seperti Ara, yaitu balas dendam.“Iya. Jujur, aku merasa sangat marah, emosi dan iri melihat kesuksesan Adrian. Seharusnya akulah yang ada di posisi itu.” Ada amarah dari setiap kalimat yang terucap dari mulut Ara.“Aku memang tidak muluk-muluk, maksudnya aku tidak sampai bermimpi untuk menjadi pimpinan perusahaan. Hanya saja, mimpiku itu adalah memiliki keluarga impian. Dan, saat itu Adrian menghancurkan mimpi indahku yang tinggal selangkah lagi!” imbuhnya dengan perasaan kecew
Semakin dilarang, semakin Adrian menggali informasi. Adrian bak sedang menyusun puzzle yang berceceran, walau sampai sekarang belum ada satu pun yang berhasil terpasangkan dengan baik. “Aneh, semuanya bersih tanpa cela,” katanya seraya memijit dagunya Setelah sekian lama Adrian mencari informasi tentang Calvin. Tidak ada satu pun berita yang langsung menargetkan Calvin. Bahkan catatan keluarga Winata itu terlihat baik. Bahkan adik bungsu Calvin yang menjabat sebagai anggota dewan pun, tengah disoroti masyarakat karena kinerja positifnya. Kini Adrian hidup menjadi seorang pengangguran. Namun, begitu dia juga selalu memantau aktivitas Victory, yang ternyata memang sudah aman terkendali. Calvin cepat tanggap dalam menyelesaikan masalah. Bahkan sampai masalah pesawat yang sering mengalami masalah, akhirnya dialih fungsikan menjadi pesawat pengangkut barang. Ketika Adrian sedang menyeruput kopi americano miliknya. Tiba-tiba saja ponsel Adrian berbunyi. Dengan cepat, dia meraih ponsel y
Suara dari ujung heels Nada dan aspal kini beradu, memecah keheningan di tengah malam. Nada jelas sekali menghentak dengan keras disetiap langkahnya. Bahkan tangan kirinya mencengkram erat tali sholder bag miliknya.Mobil hatchback milik Nada kini sudah ada di depan mata. Dia menekan tombol pada kunci mobil dan langsung menarik handle pintu. Wanita itu seketika menghempaskan tubuhnya pada kursi di balik kemudi.“Huh! Gila, Sindy memang gila!” dengus Nada sambil tertawa mencibir tapi syarat akan gejolak emosi.Setelah mendengarkan semua cerita Ara, Nada tidak perlu mencari informasi apa-apa lagi. Dia merasa kalau cerita Ara itu seratus persen valid.“Wah, orang itu benar-benar sosiopat! Dia benar-benar terlihat senang melihat orang lain menderita, sedangkan dia mendulang kesuksesan!” rutuk Nada.Memang bukan hal aneh, jika di negara ini beberapa publik figur memang sering mengandalkan sensasi dari pada prestasi. Namun, Nada tidak pernah terpikir, bahwa hal itu akan dialaminya sendiri.
“Papa akan kembali tinggal di sini, kan?” tanya Deven setelah sarapan mereka selesai.Adrian tersenyum, seraya mengangguk. Berbeda dengan Nada yang masih merasa bingung. Sebenarnya apa yang terjadi semalam?“Terima kasih. Pasti rumah ini akan kembali ramai,” kata Deven lagi, “nenek juga akan pulang hari ini,” imbuhnya dengan wajah berbinar.“Mama pulang sekarang, Nad?” Adrian melirik ke arah Nada, lalu dijawab oleh sebuah anggukan.“Nanti Pak Dadang sama Bi Inah yang urus kepulangan Mama. Aku tidak bisa meninggalkan pekerjaanku lagi,” kata Nada.Padahal Nada sudah berjanji pada sang nenek, kalau dia akan menjemput neneknya saat keluar dari rumah sakit. Namun, karena kemarin Nada pergi tanpa berpamitan dia merasa tidak enak jika harus kembali izin dari pekerjaannya.“Bilang sama Pak Dadang, biar aku yang urus kepulangan Mama. Setelah mengantar Deven ke sekolah, aku akan segera ke rumah sakit,” ucap Adrian.“Eh? Mengantar Deven?” Wajah Nada bingung, “tidak usah. Biar Deven aku yang meng
Sebelum masuk ke dalam ruang persalinan, Adrian diharuskan untuk membersihkan diri terlebih dahulu. Setelah itu dia segera masuk dan mendapati istrinya sedang merintih kesakitan.“Sayang!” seru Adrian segera menghampiri sang istri.Peluh sudah membasahi wajah Nada. Bahkan rambutnya pun terlihat basah oleh keringat yang sudah membanjiri tubuhnya. Adrian langsung menggenggam tangan Nada, yang sebelumnya ditemani oleh seorang perwat.Matanya menatap Nada yang nampak sedang berjuang menahan rasa sakit. Hatinya merasa tak tega, melihat istrinya begitu berjuang dengan susah payah untuk melahirkan nyawa baru yang akan menjadi warna tersendiri dalam kehidupan mereka.“Sayang, kamu bisa. Aku ada di sini,” bisik Adrian.Mendapatkan motivasi seperti itu, Nada merasa senang. Namun, dia tidak bisa menunjukkan dengan ekspresi wajahnya.“Ibu, sedikit lagi. Ini kepalanya sudah keluar,” kata sang dokter.Adrian melihat ke arah sang dokter yang membimbing persalinan istrinya.“Ayok, Bu. Sepertinya keda
Nada sudah diizinkan untuk pulang. Kondisi kehamilannya sangat amat baik, janinnya pun terlihat sehat dan sudah diketahui jenis kelaminnya. Hanya saja Nada masih merahasiakan hal ini pada suaminya.“Sudah semua, Mbak?” tanya Nada.“Sudah.” Ratna baru saja mengunci pintu apartemen yang menjadi tempat singgah mereka selama di negara ini.“Baik, ayo kita berangkat. Aku sudah tidak sabar untuk bertemu dengan Deven,” kata Nada.Ratna mengangguk, lalu tersenyum. Hari ini mereka akan pulang ke Indonesia. Sayangnya Adrian tidak bisa menjemputnya, karena ada agenda bisnis yang tidak bisa dia hindari.Selama beberapa jam perjalanan, akhirnya mereka pulang dan disambut hangat oleh Deven dan Eva yang sudah menunggu mereka. Terlihat nenek dari Nada itu sudah menanti kedatangan cucunya.“Kamu sehat, Nada?” tanya Eva, yang masih terlihat segar, walau kondisinya harus selalu duduk di kursi roda. Usianya yang sudah senja, membuat kesehatannya menurun.“Sehat, Nek. Nenek bagiamana?” tanya Nada sambil m
Sekarang mereka sedang berada disebuah restoran mewah. Mereka hendak makan malam bersama, menikmati makanan khas dari negeri gingseng. Namun, belum juga makanan tiba, Nada sudah izin untuk ke toilet.“Mamamu kenapa, Dev? Apa dia sakit?” tanya Adrian.Deven menggeleng, “Tidak tahu, Pa. Padahal biasanya tidak apa-apa.”Adrian menyipitkan matanya, tiba-tiba saja dia merasa sedikit ada yang janggal dengan istrinya. Sampai akhirnya Nada kembali dari toilet, dan Adrian tak lepas memandang Mitha. Bahkan saat makanan tiba dan mereka makan malam pun, Adrian terus memandang Nada.“Sudah selesai?” tanya Adrian, saat makana di hadapan mereka sudah habis.Nada dan Deven mengangguk. Adrian pun mengangkat tangannya, tak lama kemudian seorang pelayan perempuan mendatangi Adrian. Dia pun meminta tagihan atas makannya.“Silakan, Pak,” kata pelayan itu dengan bahasa Korea.Adrian menerima sebuah bill holder berwarna hitam. Namun, ada yang aneh dari barang itu, karena terlihat ada yang mengganjal. Hanya
“Mama! Sepatu boots aku di mana?” teriak Deven pada sang ibunda.“Sudah Mama masukkan ke dalam koper, Sayang. Kamu pakai sepatu cats aja, ya,” timpal Nada, yang sedang menarik kopernya keluar dari kamarnya.Adrian terlihat mengekor Nada dari belakang, “Ini jaket tebal dan syal tidak sekalian masuk ke koper, Ma?” tanya Adrian, yang menenteng sebuah tas kecil yang berisi barang yang dikatakannya.“Tidak usah. Sampai Korea pasti kita butuh pakaian hangat. Di sana sedang musim dingin,” jawab Nada.Ya, keluarga bahagia ini hendak menuju negeri gingseng. Semenjak menikah, mereka belum sempat berbulan madu. Karena Adrian masih disibukkan dengan urusan pekerjaan.Di akhir tahun ini, Adrian memang sudah merencanakan untuk berlibur ke negara Korea Selatan bersama dengan orang yang dicintainya.“Nada, sudah tidak ada yang tertinggal, bukan?” Eva muncul dengan kursi rodanya. Mengingatkan pada Nada tentang barang yang dia bawa.Nada menoleh dan langsung tersenyum pada neneknya, “Tidak ada, Nek sem
Wajah Adrian dan Nada kini merah seperti kepiting rebus. Bagaimana bisa, mereka sedang bermesraan dan ketahuan oleh anak yang masih di bawah umur.“Ah … itu,” ucap Nada gelagapan. Dia melirik ke arah Adrian, memberikan isyarat untuk menjelaskan apa yang barusan kita lakukan tadi.“Mama jangan malu begitu. Ini bukan pertama kali aku melihat kalian seperti itu, kok,” aku Deven.Anak itu berjalan menghampiri ayah dan ibunya, yang sebentar lagi akan menikah secara sah.Mendengar pengakuan Deven, tentu membuat mata Nada membulat maksimal. Rasa malu kini mulai menjalar di sekujur tubuhnya.“Bukan pertama kali? Berarti sebelumnya pernah?” tanya Nada.Deven mengangguk, lalu masing-masing tangannya memegang tangan Nada dan Adrian.“Aku senang kalian bisa menikah. Aku senang, karena nanti aku punya papa asli!” ucapnya dengan wajah yang berbinar. Menatap Nada dan Adrian secara bergantian.“Akhirnya Mama tidak sendiri lagi nanti. Mama dan Papa akan sama-sama membesarkan aku. Walau kemarin aku sem
Nada membelalakan mata, tatkala Adrian berkata demikian di depan publik. Dia ingat, kalau Adrian memang berniat untuk menikahinya. Namun, Nada tidak berekspektasi akan secepat ini. Apalagi ditambah cara dia melamar Nada di depan banyak orang. Tentu saja respon para audiens terlihat senang. Mata mereka nampak berbinar, lampu flash pada kamera juga tak henti-hentinya menyala. Tangan mereka sibuk dengan papan ketik pada keyboard-nya masing-masing. “Bagaimana, Nada?” tanya Adrian, yang menunggu jawaban dari wanita yang saat ini ada di hadapannya, “mau kah kamu menikah denganku?” Sekali lagi, Adrian memperjelas ucapannya. Khawatir Nada lupa dengan apa yang dikatakannya. Karena hampir lima menit Nada melongo, menatap Adrian. Seketika Nada mengerejap, lalu dia melirik ke arah audiens. Nampaknya mereka sama penasaran seperti Adrian. Bibir Nada mendadak terasa kering, dia pun menjilatnya. Irama detak jantungnya pun sudah mulai cepat. Seperti musik dengan irama cepat dan menggambarkan musik
Calvin dibawa ke rumah sakit. Kondisinya tidak sadarkan diri. Di sana keluarga Calvin juga ikut menunggu dengan perasaan harap-harap cemas. Kemudian dokter keluar dari ruang periksa, dan segera mendatangi pihak keluarga. Ada raut kesedihan dan perasaan berat yang terlihat dari wajah sang dokter.“Dok, bagaimana dengan keadaan Papa saya?” tanya seorang wanita, dia Yuvia—anak bungsu dari Calvin.Dokter itu terdengar menghela napas dalam. Wajah Yuvi nampak gusar melihat respon sang dokter. “Dok?” Yuvi kembali memanggil sang dokter. “Mohon maaf yang sebesar-besarnya. Pak Calvin Winata mengalami serangan jantung, dan nyawanya tidak bisa kami tolong,” ucap sang dokter.Siapa pun yang mendengar kalimat yang baru saja diucapkan dokter, pasti akan langsung terhenyak. Pasalnya tadi Calvin terlihat biasa saja, walau sedikit lesu. Namun, kali ini siapa sangka, rencana Tuhan tidak ada yang tahu. “Tidak mungkin, Dok!” seru Yuvi, dengan mata yang sudah mulai berkaca. Wanita itu kemudian dirangku
Nada dan Adrian sontak menoleh. Kemudian mereka melihat sosok perempuan dengan mengenakan setelan jas berwarna peach. Adrian yang tahu siapa wanita itu, langsung bangkit dari kursi. “Bu Sarah,” ucap Adrian.Wanita itu adalah Sarah, salah satu anggota dewan komisaris perusahaan Victory. Entah ada niat apa dia sampai datang jauh-jauh kemarin.“Halo, Adrian. Sudah lama kita tidak bertemu,” sapa Sarah. Adrian hanya mengangguk, memberikan salam penghormatan. Nada, yang tadi sempat dipanggil, seraya menghampiri Sarah.“Ya, Bu? Ada apa Ibu repot-repot sampai datang ke mari?” tanya Nada.“Aku tidak merasa direpotkan, Nada. Aku datang kemarin karena ini membicarakan sesuatu perihal perusahaan. Bisakah kita bicara sebentar? Bersama Adrian pun tidak masalah,” terangnya. Akhirnya mereka menyanggupi permintaan Sarah. Karena masih harus menunggu Eva, yang sedang diinterogasi oleh pihak berwajib. Mereka pun hanya berbincang di dalam mobil milik Sarah. “Keadaan perushaan sedang collaps. Saham ki
Berita hari ini seolah serentak menyiarkan kabar tentang Victory Airlines dan Victory Hotel. Pihak berwajib sudah mendapatkan bukti tentang keberadaan obat terlarang di pesawat kargo milik Victory Airlines dan juga arah distribusi barang tersebut. Dari puluhan cabang Victory hotel, barang terlarang itu hanya ditemukan di VKK. Namun begitu, nama Victory benar-benar menjadi buruk di mata publik.“Ini semua fitnah!” seru Calvin, yang dengan secara tiba-tiba diangkut paksa oleh tim dari Bareskrim Polri.“Tidak mungkin Victory Hotel dan Airlines mendistribusikan obat terlarang seperti ini!” raungnya.Jelas sekali, Calvin tidak ingin diamankan oleh pihak yang berwajib.“Siapa yang memerintah kalian, hah? Bawa aku pada Pak Fredy!” Calvin nampaknya menolak untuk bersikap kooperatif pada pihak berwajib. “Sudah jelas di surat penangkapan, kami langsung ditugaskan oleh Pak Kapolri!” tegas seorang polisi bernama Bisma. Ya, perintah penangkapan Calvin memang langsung dikeluarkan oleh petinggi p