Nada hanya tertegun mendengarkan cerita yang disampaikan Ara barusan. Ternyata ada hal seperti ini di keluarganya. Nada tidak menyangka kalau keluarganya itu mempercayai hal yang dianggap mistis.“Jadi, semua karena dendam masa kecil?” tanya Nada dengan matanya yang sudah mulai berair.Dusta rasanya jika Nada tidak memiliki perasaan simpati sedikit pada Ara. Kalau dia di posisi Ara, mungkin akan merasakan hal yang sama. Sama-sama merasakan dibohongi. Namun, Nada tidak akan memilih untuk melakukan hal yang sama seperti Ara, yaitu balas dendam.“Iya. Jujur, aku merasa sangat marah, emosi dan iri melihat kesuksesan Adrian. Seharusnya akulah yang ada di posisi itu.” Ada amarah dari setiap kalimat yang terucap dari mulut Ara.“Aku memang tidak muluk-muluk, maksudnya aku tidak sampai bermimpi untuk menjadi pimpinan perusahaan. Hanya saja, mimpiku itu adalah memiliki keluarga impian. Dan, saat itu Adrian menghancurkan mimpi indahku yang tinggal selangkah lagi!” imbuhnya dengan perasaan kecew
Semakin dilarang, semakin Adrian menggali informasi. Adrian bak sedang menyusun puzzle yang berceceran, walau sampai sekarang belum ada satu pun yang berhasil terpasangkan dengan baik. “Aneh, semuanya bersih tanpa cela,” katanya seraya memijit dagunya Setelah sekian lama Adrian mencari informasi tentang Calvin. Tidak ada satu pun berita yang langsung menargetkan Calvin. Bahkan catatan keluarga Winata itu terlihat baik. Bahkan adik bungsu Calvin yang menjabat sebagai anggota dewan pun, tengah disoroti masyarakat karena kinerja positifnya. Kini Adrian hidup menjadi seorang pengangguran. Namun, begitu dia juga selalu memantau aktivitas Victory, yang ternyata memang sudah aman terkendali. Calvin cepat tanggap dalam menyelesaikan masalah. Bahkan sampai masalah pesawat yang sering mengalami masalah, akhirnya dialih fungsikan menjadi pesawat pengangkut barang. Ketika Adrian sedang menyeruput kopi americano miliknya. Tiba-tiba saja ponsel Adrian berbunyi. Dengan cepat, dia meraih ponsel y
Suara dari ujung heels Nada dan aspal kini beradu, memecah keheningan di tengah malam. Nada jelas sekali menghentak dengan keras disetiap langkahnya. Bahkan tangan kirinya mencengkram erat tali sholder bag miliknya.Mobil hatchback milik Nada kini sudah ada di depan mata. Dia menekan tombol pada kunci mobil dan langsung menarik handle pintu. Wanita itu seketika menghempaskan tubuhnya pada kursi di balik kemudi.“Huh! Gila, Sindy memang gila!” dengus Nada sambil tertawa mencibir tapi syarat akan gejolak emosi.Setelah mendengarkan semua cerita Ara, Nada tidak perlu mencari informasi apa-apa lagi. Dia merasa kalau cerita Ara itu seratus persen valid.“Wah, orang itu benar-benar sosiopat! Dia benar-benar terlihat senang melihat orang lain menderita, sedangkan dia mendulang kesuksesan!” rutuk Nada.Memang bukan hal aneh, jika di negara ini beberapa publik figur memang sering mengandalkan sensasi dari pada prestasi. Namun, Nada tidak pernah terpikir, bahwa hal itu akan dialaminya sendiri.
“Papa akan kembali tinggal di sini, kan?” tanya Deven setelah sarapan mereka selesai.Adrian tersenyum, seraya mengangguk. Berbeda dengan Nada yang masih merasa bingung. Sebenarnya apa yang terjadi semalam?“Terima kasih. Pasti rumah ini akan kembali ramai,” kata Deven lagi, “nenek juga akan pulang hari ini,” imbuhnya dengan wajah berbinar.“Mama pulang sekarang, Nad?” Adrian melirik ke arah Nada, lalu dijawab oleh sebuah anggukan.“Nanti Pak Dadang sama Bi Inah yang urus kepulangan Mama. Aku tidak bisa meninggalkan pekerjaanku lagi,” kata Nada.Padahal Nada sudah berjanji pada sang nenek, kalau dia akan menjemput neneknya saat keluar dari rumah sakit. Namun, karena kemarin Nada pergi tanpa berpamitan dia merasa tidak enak jika harus kembali izin dari pekerjaannya.“Bilang sama Pak Dadang, biar aku yang urus kepulangan Mama. Setelah mengantar Deven ke sekolah, aku akan segera ke rumah sakit,” ucap Adrian.“Eh? Mengantar Deven?” Wajah Nada bingung, “tidak usah. Biar Deven aku yang meng
Darah dalam tubuh Nada langsung mendidih, bagaikan magma panas yang sudah ingin dimuntahkan. Tangannya bahkan terasa panas, setelah menampar Sindy dengan keras.Semua mata kini tertuju pada Nada yang sedang memberang. Tidak ada satu orang pun di tempat itu yang tidak terkejut dengan aksi Nada.“Aww!” ringis Sindy, lalu dia memegang pipi kirinya yang terasa perih.Dengan cepat Sindy menoleh dengan tatapan yang setajam mata pisau. Seolah dengan tatapannya itu Sindy mengancam Nada.“Bagus. Tatapan itu, tunjukan bagaimana wajah aslimu, Sindy!” sinis Nada, yang merasa puas karena Sindy mulai terpancing olehnya.Namun, sedetik kemudian Nada langsung dipegang oleh seorang laki-laki.“Lepas!” paksa Nada, yang langsung menepis tangan laki-laki itu.Di hadapan Nada, Sindy masih menatap nyalang. Setelah beberapa detik dia mencoba untuk menarik napas dalam, tatapan Sindy pun berubah.“Lepaskan dia, Ivan,” kata Sindy pada laki-laki yang sedang memegang Nada. Dia adalah manager Sindy yang sedang me
Sebuah cengkraman kini dirasakan oleh Nada. Seseorang menahannya dengan memegang tangan kiri Nada. Ia menoleh dan mendapati Nicko di sana. “Kita sebaiknya pulang,” ucap Nicko. Sedari tadi pria itu menyaksikan keributan yang diperbuat oleh Nada. Dia sama sekali tidak memiliki kesempatan untuk melerai. Karena kondisinya para penggemar Sindy seolah membuat dinding yang tidak bisa ditembus olehnya. “Nick, maaf sepertinya aku tidak bisa mengantarmu pulang. Aku ada urusan yang harus diselesaikan,” tolak Nada dengan tegas. Matanya terpancarkan amarah yang mendalam, Nicko bisa melihatnya. Hal itu yang membuat perasaan Nicko sedikit gusar. “Kita pulang saja, Deven pasti menunggumu di rumah.” Nicko menggunakan alasan anak Nada agar sahabatnya itu bisa ikut pulang dengannya. “Ck!” Tedengar decakan dari mulut Sindy. Ternyata sedari tadi dia melihat aksi Nicko yang menahan Nada. Sindy kembali mendekat ke arah Nada dan Nicko, “Kamu mau kabur, Nada? Urusan kita belum selesai. Atau kamu memang
Calvin memijit keningnya, dia nampak terlihat gusar. Pasalnya, Calvin baru saja melihat sebuah tayangan video yang diberikan oleh Vivian.“Video ini pertama kali diunggah di forum penggemar Sindy. Kemudian menyebar ke mana-mana.”Vivian mengusap layar tabletnya ke samping. Kemudian memberikan sebuah foto tangkapan layar sebuah artikel berita.Namun, Calvin malam mengibaskan tangannya. Seolah tidak mau melihat apa yang sebenarnya akan diberikan Vivian.“Anak itu selalu saja cari gara-gara,” desah Calvin, “ah, kenapa mereka berdua itu tidak bisa diam? Selalu saja membuat gaduh dan pasti akan berimbas pada perusahaan!” gerutu Calvin.Vivian hanya diam, dia tidak merespon apa pun.Kemarin jagat maya dihebohkan dengan sebuah potongan video yang menampilkan pewaris sah perusahaan Victory sedang bertengkar dengan Sindy. Tentu saja publik lebih memihak Sindy dan memberitakan hal yang negatif tentang Nada. Hal itu tentu membuat citra nama baik perusahaan Victory sedikit tercoreng.“Apa kita be
Demi menjaga kewarasannya, akhirnya Nada memutuskan sesuatu. Segera dia menemui Darell di ruangannya.“Pak, maaf saya ingin memberikan ini,” ucap Nada sambil menyodorkan sebuah amplop pada Darell.Darell yang sedang bekerja, langsung mengalihkan fokusnya. Matanya kini menatap sebuah amplop putih yang baru saja diletakkan Nada di atas meja kerjanya. Dia seraya melepaskan kacamatanya.“Apa ini?” tanya Darell, lalu menerima amplop tersebut. Dari dalam amplop tersebut berisikan sebuah kertas, yang langsung dibuka oleh Darell.“Surat pengunduran diri saya, Pak. Saya mohon maaf, karena saya memutuskan untuk mengundurkan diri dari perusahaan ini. Padahal kontrak saya belum habis,” terang Nada.Mata Darell masih membaca isi dari surat tersebut.“Apa yang membuat kamu memutuskan untuk berhenti? Padahal rencananya tahun depan saya akan mengangkat kamu menjadi karyawan tetap,” terang Darell.Selama dua tahun Nada bekerja memang dia belum diangkat menjadi pegawai tetap.“Sejujurnya saya merasa ti
Sebelum masuk ke dalam ruang persalinan, Adrian diharuskan untuk membersihkan diri terlebih dahulu. Setelah itu dia segera masuk dan mendapati istrinya sedang merintih kesakitan.“Sayang!” seru Adrian segera menghampiri sang istri.Peluh sudah membasahi wajah Nada. Bahkan rambutnya pun terlihat basah oleh keringat yang sudah membanjiri tubuhnya. Adrian langsung menggenggam tangan Nada, yang sebelumnya ditemani oleh seorang perwat.Matanya menatap Nada yang nampak sedang berjuang menahan rasa sakit. Hatinya merasa tak tega, melihat istrinya begitu berjuang dengan susah payah untuk melahirkan nyawa baru yang akan menjadi warna tersendiri dalam kehidupan mereka.“Sayang, kamu bisa. Aku ada di sini,” bisik Adrian.Mendapatkan motivasi seperti itu, Nada merasa senang. Namun, dia tidak bisa menunjukkan dengan ekspresi wajahnya.“Ibu, sedikit lagi. Ini kepalanya sudah keluar,” kata sang dokter.Adrian melihat ke arah sang dokter yang membimbing persalinan istrinya.“Ayok, Bu. Sepertinya keda
Nada sudah diizinkan untuk pulang. Kondisi kehamilannya sangat amat baik, janinnya pun terlihat sehat dan sudah diketahui jenis kelaminnya. Hanya saja Nada masih merahasiakan hal ini pada suaminya.“Sudah semua, Mbak?” tanya Nada.“Sudah.” Ratna baru saja mengunci pintu apartemen yang menjadi tempat singgah mereka selama di negara ini.“Baik, ayo kita berangkat. Aku sudah tidak sabar untuk bertemu dengan Deven,” kata Nada.Ratna mengangguk, lalu tersenyum. Hari ini mereka akan pulang ke Indonesia. Sayangnya Adrian tidak bisa menjemputnya, karena ada agenda bisnis yang tidak bisa dia hindari.Selama beberapa jam perjalanan, akhirnya mereka pulang dan disambut hangat oleh Deven dan Eva yang sudah menunggu mereka. Terlihat nenek dari Nada itu sudah menanti kedatangan cucunya.“Kamu sehat, Nada?” tanya Eva, yang masih terlihat segar, walau kondisinya harus selalu duduk di kursi roda. Usianya yang sudah senja, membuat kesehatannya menurun.“Sehat, Nek. Nenek bagiamana?” tanya Nada sambil m
Sekarang mereka sedang berada disebuah restoran mewah. Mereka hendak makan malam bersama, menikmati makanan khas dari negeri gingseng. Namun, belum juga makanan tiba, Nada sudah izin untuk ke toilet.“Mamamu kenapa, Dev? Apa dia sakit?” tanya Adrian.Deven menggeleng, “Tidak tahu, Pa. Padahal biasanya tidak apa-apa.”Adrian menyipitkan matanya, tiba-tiba saja dia merasa sedikit ada yang janggal dengan istrinya. Sampai akhirnya Nada kembali dari toilet, dan Adrian tak lepas memandang Mitha. Bahkan saat makanan tiba dan mereka makan malam pun, Adrian terus memandang Nada.“Sudah selesai?” tanya Adrian, saat makana di hadapan mereka sudah habis.Nada dan Deven mengangguk. Adrian pun mengangkat tangannya, tak lama kemudian seorang pelayan perempuan mendatangi Adrian. Dia pun meminta tagihan atas makannya.“Silakan, Pak,” kata pelayan itu dengan bahasa Korea.Adrian menerima sebuah bill holder berwarna hitam. Namun, ada yang aneh dari barang itu, karena terlihat ada yang mengganjal. Hanya
“Mama! Sepatu boots aku di mana?” teriak Deven pada sang ibunda.“Sudah Mama masukkan ke dalam koper, Sayang. Kamu pakai sepatu cats aja, ya,” timpal Nada, yang sedang menarik kopernya keluar dari kamarnya.Adrian terlihat mengekor Nada dari belakang, “Ini jaket tebal dan syal tidak sekalian masuk ke koper, Ma?” tanya Adrian, yang menenteng sebuah tas kecil yang berisi barang yang dikatakannya.“Tidak usah. Sampai Korea pasti kita butuh pakaian hangat. Di sana sedang musim dingin,” jawab Nada.Ya, keluarga bahagia ini hendak menuju negeri gingseng. Semenjak menikah, mereka belum sempat berbulan madu. Karena Adrian masih disibukkan dengan urusan pekerjaan.Di akhir tahun ini, Adrian memang sudah merencanakan untuk berlibur ke negara Korea Selatan bersama dengan orang yang dicintainya.“Nada, sudah tidak ada yang tertinggal, bukan?” Eva muncul dengan kursi rodanya. Mengingatkan pada Nada tentang barang yang dia bawa.Nada menoleh dan langsung tersenyum pada neneknya, “Tidak ada, Nek sem
Wajah Adrian dan Nada kini merah seperti kepiting rebus. Bagaimana bisa, mereka sedang bermesraan dan ketahuan oleh anak yang masih di bawah umur.“Ah … itu,” ucap Nada gelagapan. Dia melirik ke arah Adrian, memberikan isyarat untuk menjelaskan apa yang barusan kita lakukan tadi.“Mama jangan malu begitu. Ini bukan pertama kali aku melihat kalian seperti itu, kok,” aku Deven.Anak itu berjalan menghampiri ayah dan ibunya, yang sebentar lagi akan menikah secara sah.Mendengar pengakuan Deven, tentu membuat mata Nada membulat maksimal. Rasa malu kini mulai menjalar di sekujur tubuhnya.“Bukan pertama kali? Berarti sebelumnya pernah?” tanya Nada.Deven mengangguk, lalu masing-masing tangannya memegang tangan Nada dan Adrian.“Aku senang kalian bisa menikah. Aku senang, karena nanti aku punya papa asli!” ucapnya dengan wajah yang berbinar. Menatap Nada dan Adrian secara bergantian.“Akhirnya Mama tidak sendiri lagi nanti. Mama dan Papa akan sama-sama membesarkan aku. Walau kemarin aku sem
Nada membelalakan mata, tatkala Adrian berkata demikian di depan publik. Dia ingat, kalau Adrian memang berniat untuk menikahinya. Namun, Nada tidak berekspektasi akan secepat ini. Apalagi ditambah cara dia melamar Nada di depan banyak orang. Tentu saja respon para audiens terlihat senang. Mata mereka nampak berbinar, lampu flash pada kamera juga tak henti-hentinya menyala. Tangan mereka sibuk dengan papan ketik pada keyboard-nya masing-masing. “Bagaimana, Nada?” tanya Adrian, yang menunggu jawaban dari wanita yang saat ini ada di hadapannya, “mau kah kamu menikah denganku?” Sekali lagi, Adrian memperjelas ucapannya. Khawatir Nada lupa dengan apa yang dikatakannya. Karena hampir lima menit Nada melongo, menatap Adrian. Seketika Nada mengerejap, lalu dia melirik ke arah audiens. Nampaknya mereka sama penasaran seperti Adrian. Bibir Nada mendadak terasa kering, dia pun menjilatnya. Irama detak jantungnya pun sudah mulai cepat. Seperti musik dengan irama cepat dan menggambarkan musik
Calvin dibawa ke rumah sakit. Kondisinya tidak sadarkan diri. Di sana keluarga Calvin juga ikut menunggu dengan perasaan harap-harap cemas. Kemudian dokter keluar dari ruang periksa, dan segera mendatangi pihak keluarga. Ada raut kesedihan dan perasaan berat yang terlihat dari wajah sang dokter.“Dok, bagaimana dengan keadaan Papa saya?” tanya seorang wanita, dia Yuvia—anak bungsu dari Calvin.Dokter itu terdengar menghela napas dalam. Wajah Yuvi nampak gusar melihat respon sang dokter. “Dok?” Yuvi kembali memanggil sang dokter. “Mohon maaf yang sebesar-besarnya. Pak Calvin Winata mengalami serangan jantung, dan nyawanya tidak bisa kami tolong,” ucap sang dokter.Siapa pun yang mendengar kalimat yang baru saja diucapkan dokter, pasti akan langsung terhenyak. Pasalnya tadi Calvin terlihat biasa saja, walau sedikit lesu. Namun, kali ini siapa sangka, rencana Tuhan tidak ada yang tahu. “Tidak mungkin, Dok!” seru Yuvi, dengan mata yang sudah mulai berkaca. Wanita itu kemudian dirangku
Nada dan Adrian sontak menoleh. Kemudian mereka melihat sosok perempuan dengan mengenakan setelan jas berwarna peach. Adrian yang tahu siapa wanita itu, langsung bangkit dari kursi. “Bu Sarah,” ucap Adrian.Wanita itu adalah Sarah, salah satu anggota dewan komisaris perusahaan Victory. Entah ada niat apa dia sampai datang jauh-jauh kemarin.“Halo, Adrian. Sudah lama kita tidak bertemu,” sapa Sarah. Adrian hanya mengangguk, memberikan salam penghormatan. Nada, yang tadi sempat dipanggil, seraya menghampiri Sarah.“Ya, Bu? Ada apa Ibu repot-repot sampai datang ke mari?” tanya Nada.“Aku tidak merasa direpotkan, Nada. Aku datang kemarin karena ini membicarakan sesuatu perihal perusahaan. Bisakah kita bicara sebentar? Bersama Adrian pun tidak masalah,” terangnya. Akhirnya mereka menyanggupi permintaan Sarah. Karena masih harus menunggu Eva, yang sedang diinterogasi oleh pihak berwajib. Mereka pun hanya berbincang di dalam mobil milik Sarah. “Keadaan perushaan sedang collaps. Saham ki
Berita hari ini seolah serentak menyiarkan kabar tentang Victory Airlines dan Victory Hotel. Pihak berwajib sudah mendapatkan bukti tentang keberadaan obat terlarang di pesawat kargo milik Victory Airlines dan juga arah distribusi barang tersebut. Dari puluhan cabang Victory hotel, barang terlarang itu hanya ditemukan di VKK. Namun begitu, nama Victory benar-benar menjadi buruk di mata publik.“Ini semua fitnah!” seru Calvin, yang dengan secara tiba-tiba diangkut paksa oleh tim dari Bareskrim Polri.“Tidak mungkin Victory Hotel dan Airlines mendistribusikan obat terlarang seperti ini!” raungnya.Jelas sekali, Calvin tidak ingin diamankan oleh pihak yang berwajib.“Siapa yang memerintah kalian, hah? Bawa aku pada Pak Fredy!” Calvin nampaknya menolak untuk bersikap kooperatif pada pihak berwajib. “Sudah jelas di surat penangkapan, kami langsung ditugaskan oleh Pak Kapolri!” tegas seorang polisi bernama Bisma. Ya, perintah penangkapan Calvin memang langsung dikeluarkan oleh petinggi p