“Katakan kalau berita itu salah, Nada!” sentak Eva lagi. Wajah wanita tua itu benar-benar merah sekarang. Napasnya pun tersengal-sengal menahan amarah, yang terus bergejolak di dalam dirinya. Nada tak bisa berkata apa pun. Mulutnya seolah terkunci. Dia hanya bisa mematung, menatap sang nenek dengan tatapan nanar.“Nada!” berang Eva yang tak kunjung mendapatkan jawaban dari sang cucu. Seketika Nada langsung ambruk, dia bersimpuh di hadapan sang nenek.“Maafkan aku, Nek,” lirihnya. Air mata kini sudah tidak dapat terbendung lagi.Tubuh Eva gemetar, melihat sang cucu yang tak berdaya. Seolah tindakannya ini adalah sebuah jawaban dari pertanyaan yang baru saja diajukan Eva. “Nenek maafkan aku.” Lagi, yang keluar dari mulut Nada hanyalah sebuah permintaan maaf.“Jadi, kamu memang pernah melakukan hubungan terlarang dengan paman angkatmu, Nada?!” sentak Eva yang membutuhkan penjelasan. Nada hanya semakin menunduk, menyembunyikan wajahnya yang sudah banjir dengan air mata. “Jawab, Gris
Adrian langsung menoleh ke belakang, menatap pada Nada. Wanita itu sudah kembali menangis. Kedua tangannya kini meremas pakaiannya sendiri. Nada benar-benar kacau sekarang.“Apa? Mati?” Adrian melangkah mendekat ke arah Nada, “kamu kalau berbicara jangan sembarangan, Nada! Tidak ada yang boleh mati sekarang!” geram Adrian.“Aku lelah, Om. Aku lelah dengan hidupku, yang seolah semesta tidak pernah memihakku sama sekali. Sejak aku remaja sampai sekarang, dunia seolah terus menghukumku!” raung Nada.Emosi Nada benar-benar tidak stabil sekarang. Mentalnya kembali terguncang.“Kata siapa, Nada? Itu hanya prasangkamu saja. Dunia sama sekali tidak jahat padamu!”Nada langsung menaikkan pandangannya, lalu menatap Adrian dengan tatapan penuh amarah.“Prasangkaku? Sudah jelas dunia memang jahat padaku, Om! Aku tidak pernah diberikan waktu untuk bisa bahagia. Padahal aku sudah berusaha melupakan apa yang terjadi di antara kita delapan tahun lalu. Aku mencoba untuk melupakan dan tidak mengingat s
Lidah Nada kelu sekarang. Dia tak sanggup berkata apa pun. Melihat wajah anaknya yang nampak emosi, membuat hati Nada meradang. Dia benar-benar merasa sangat bersalah sekarang.“Mama, please,” mohon Deven yang sedari tadi menunggu jawaban sang ibu. Dengan hati yang terasa berat, Nada mengangguk. Dia masih tidak berani menatap wajah anaknya. Sedangkan—setelah mendapatkan jawaban dari sang ibu—Deven langsung melihat ke arah Adrian yang sedang berdiri menatap ke arahnya. Untuk beberapa detik mereka saling bertatapan. Adrian masih tidak menyangka dengan kenyataan yang sekarang dia sedang hadapi. Anak yang kini ada dalam pantulan objek yang dilihatnya ternyata adalah darah dagingnya. Adrian bingung sekarang, dia tidak tahu harus bersikap apa.“Kenapa Mama bohong padaku, Ma?” tanya Deven lagi, kini pandangannya ia arahkan kembali pada sang ibu.“Maafkan Mama, Dev. Kamu masih kecil, kamu akan sulit memahaminya,” terang Nada sambil menangis. Deven menggeleng, “Mama jahat! Mama selalu bila
Sudah hampir satu minggu Deven tak mau berbicara dengan Nada. Bahkan hanya sebuah sapaan saja, Deven tidak mau menimpal. Seberapa besar Nada membujuk, anak itu tetap merajuk. “Mama tahu kalau Mama salah. Mama tahu, kesalahan Mama tidak semudah itu untuk dimaafkan. Tapi, Deven harus tahu dan mengerti posisi Mama,” ucap Nada yang kini sedang bersimpuh di hadapan sang anak, yang sedang duduk di tepian kasur. Deven hanya menatap sang ibu dengan tatapan yang datar. Selama tujuh tahun dia bersama dengan sang ibu, baru kali ini Deven merasakan kecewa yang teramat dalam. “Aku tidak mengerti, kalau Mama tidak memberitahuku!”Melihat sang ibu yang sudah kelelahan, akhirnya hati kecil anak itu terkeruk. Deven pun membuka mulutnya. Walau kecewa, tapi Deven tetap merasa kasihan melihat wajah ibunya yang sayu.“Apa kamu akan mengerti jika Mama menceritakannya?” Deven mengedikan bahunya, “I dunno. Tapi aku berharap Mama menceritakan hal itu, sekali pun aku tidak mengerti.”“Baiklah, Mama akan ce
Tidak banyak yang bisa dilakukan Adrian sekarang. Dia hanya bisa melihat Nada dari kejauhan. Bahkan tadi pagi saja, saat Adrian melihat Nada didatangi oleh jurnalis, dia tak sanggup untuk membantunya. Adrian masih belum memiliki keberanian untuk menemui Nada, apalagi dengan Deven. Adrian merasa dirinya sangat hina dan tidak pantas untuk sekedar bertatapan dengan mereka berdua. “Mas Andre, Mbak Clara, maafkan aku,” isak Adrian, yang kini sedang berada di pusara kedua orang tua Nada.Setelah merenung dan berdiam diri selama beberapa hari. Adrian merasa dirinya sangat-sangat tidak bertanggung jawab; baik pada Nada dan juga kedua orang tuanya yang sudah tiada. “Padahal aku sudah berjanji untuk menjaga putri kalian satu-satunya. Tapi, aku malah ….”Adrian tak kuasa melanjutkan kalimatnya. Dadanya sesak dan tenggorokannya tercekat sekarang. Membayangkan betapa bajingannya dia, yang sudah melukai kehormatan keponakannya sendiri. Bahkan sampai memiliki anak dari hubungan terlarang, yang s
Adrian masih tinggal di apartemennya. Sekarang dia sedang membuka laptop dan mencari informasi tentang orang yang diduga menjebaknya. “Aku harus mencari bukti dan kelemahan pria tua itu!” gumam Adrian dengan matanya yang tajam menatap layar yang menyala. Tidak ada lagi perasaan segan dan hormat Adrian pada Calvin. Meskipun masih sebuah dugaan, tapi bagi Adrian itu sudah sangat jelas. “Ah, kenapa dia seolah sempurna tak ada cela?” desah Adrian frustrasi, ketika mendapati berita-berita yang berkaitan dengan Calvin dan keluarga Winata.Namun, sebuah notifikasi surel mengalihkan fokus Adrian. Matanya menyipit dan mengarahkan krusor pada pemberitahuan yang muncul di layar kanan bawah laptopnya. Melihat nama perngirim surel yang nampak tak asing, membuat Adrian langsung membuka pesan elektronik tersebut.Pupil hitam milik Adrian perlahan membulat, ketika membaca pesan yang dikirimkan oleh seseorang bernama Pranadipta [From: Pranadipta2012, to: Adrian Pradipta.Aku beri kamu waktu 1x24 j
Wanita yang Adrian lihat kemarin malam sungguh sangat asing. Apa mungkin Calvin menyuruh orang lain? Lamunannya buyar, ketika mendapatkan panggilan dari Bi Inah. Adrian segera mengangkat panggilan tersebut. “Ya, kenapa, Bi?” tanya Adrian. “Nyonya minta Mas Adrian datang ke rumah sakit. Sekarang, ya, Mas!”Panggilan itu pun berakhir. Adrian segera bergegas untuk pergi. Akhirnya dia tiba di rumah sakit. Kemudian Adrian segera membuka pintu kamar rawat inap ibundanya, dan ternyata sudah ada Nada di sana. “Om?” Nada mendongak dan berdiri saat melihat kedatangan Adrian. Adrian juga sedikit terkejut, karena mendapati sosok Nada. Dia hanya tersenyum dan langsung mendekat ke arah Eva. Berusaha bersikap biasa saja, walau tiba-tiba perasaannya tidak enak sekarang.“Mama bagaimana kondisinya sekarang?” tanya Adrian berbasa-basi. “Masih sama. Mama hanya bisa berbaring seperti ini. Tangan kiri Mama pun sudah tidak bisa digerakkan,” terang Eva. Seketika air muka Nada dan Adrian berubah menja
Kehidupan Nada perlahan kembali normal. Kasus viralnya perlahan mulai dilupakan publik. Penggemar garis keras Sindy pun sudah tidak sering menghujat dirinya. Pasalnya film milik Sindy sudah tayang di layar lebar. Victory terlihat tidak goyah. Semua media berhasil dibungkam oleh Calvin, sehingga berita tentang Adrian dan Nada tidak naik lagi ke permukaan. Reshuffle yang diagendakan Adrian pun batal. Calvin tidak berniat mengganti orang-orangnya. “Nada, untuk meeting nanti siang, saya minta ruangan yang lebih besar, ya. Tolong dipersiapkan dari sekarang!” ucap Darell yang baru saja tiba di kantornya. Mendengar perintah Darell, Nada pun bangkit dan langsung mengangguk. Beruntunglah Nada memiliki atasan seperti Darell. Karena ketika Nada sedang mengalami masa kesulitan, dia seolah tidak percaya dan tetap memperlakukan Nada seperti biasa. “Pak, maaf, untuk data yang Bapak minta sampai sekarang saya belum bisa menyelesaikannya. Karena data dari lapangan yang belum juga diserahkan pada sa
Sebelum masuk ke dalam ruang persalinan, Adrian diharuskan untuk membersihkan diri terlebih dahulu. Setelah itu dia segera masuk dan mendapati istrinya sedang merintih kesakitan.“Sayang!” seru Adrian segera menghampiri sang istri.Peluh sudah membasahi wajah Nada. Bahkan rambutnya pun terlihat basah oleh keringat yang sudah membanjiri tubuhnya. Adrian langsung menggenggam tangan Nada, yang sebelumnya ditemani oleh seorang perwat.Matanya menatap Nada yang nampak sedang berjuang menahan rasa sakit. Hatinya merasa tak tega, melihat istrinya begitu berjuang dengan susah payah untuk melahirkan nyawa baru yang akan menjadi warna tersendiri dalam kehidupan mereka.“Sayang, kamu bisa. Aku ada di sini,” bisik Adrian.Mendapatkan motivasi seperti itu, Nada merasa senang. Namun, dia tidak bisa menunjukkan dengan ekspresi wajahnya.“Ibu, sedikit lagi. Ini kepalanya sudah keluar,” kata sang dokter.Adrian melihat ke arah sang dokter yang membimbing persalinan istrinya.“Ayok, Bu. Sepertinya keda
Nada sudah diizinkan untuk pulang. Kondisi kehamilannya sangat amat baik, janinnya pun terlihat sehat dan sudah diketahui jenis kelaminnya. Hanya saja Nada masih merahasiakan hal ini pada suaminya.“Sudah semua, Mbak?” tanya Nada.“Sudah.” Ratna baru saja mengunci pintu apartemen yang menjadi tempat singgah mereka selama di negara ini.“Baik, ayo kita berangkat. Aku sudah tidak sabar untuk bertemu dengan Deven,” kata Nada.Ratna mengangguk, lalu tersenyum. Hari ini mereka akan pulang ke Indonesia. Sayangnya Adrian tidak bisa menjemputnya, karena ada agenda bisnis yang tidak bisa dia hindari.Selama beberapa jam perjalanan, akhirnya mereka pulang dan disambut hangat oleh Deven dan Eva yang sudah menunggu mereka. Terlihat nenek dari Nada itu sudah menanti kedatangan cucunya.“Kamu sehat, Nada?” tanya Eva, yang masih terlihat segar, walau kondisinya harus selalu duduk di kursi roda. Usianya yang sudah senja, membuat kesehatannya menurun.“Sehat, Nek. Nenek bagiamana?” tanya Nada sambil m
Sekarang mereka sedang berada disebuah restoran mewah. Mereka hendak makan malam bersama, menikmati makanan khas dari negeri gingseng. Namun, belum juga makanan tiba, Nada sudah izin untuk ke toilet.“Mamamu kenapa, Dev? Apa dia sakit?” tanya Adrian.Deven menggeleng, “Tidak tahu, Pa. Padahal biasanya tidak apa-apa.”Adrian menyipitkan matanya, tiba-tiba saja dia merasa sedikit ada yang janggal dengan istrinya. Sampai akhirnya Nada kembali dari toilet, dan Adrian tak lepas memandang Mitha. Bahkan saat makanan tiba dan mereka makan malam pun, Adrian terus memandang Nada.“Sudah selesai?” tanya Adrian, saat makana di hadapan mereka sudah habis.Nada dan Deven mengangguk. Adrian pun mengangkat tangannya, tak lama kemudian seorang pelayan perempuan mendatangi Adrian. Dia pun meminta tagihan atas makannya.“Silakan, Pak,” kata pelayan itu dengan bahasa Korea.Adrian menerima sebuah bill holder berwarna hitam. Namun, ada yang aneh dari barang itu, karena terlihat ada yang mengganjal. Hanya
“Mama! Sepatu boots aku di mana?” teriak Deven pada sang ibunda.“Sudah Mama masukkan ke dalam koper, Sayang. Kamu pakai sepatu cats aja, ya,” timpal Nada, yang sedang menarik kopernya keluar dari kamarnya.Adrian terlihat mengekor Nada dari belakang, “Ini jaket tebal dan syal tidak sekalian masuk ke koper, Ma?” tanya Adrian, yang menenteng sebuah tas kecil yang berisi barang yang dikatakannya.“Tidak usah. Sampai Korea pasti kita butuh pakaian hangat. Di sana sedang musim dingin,” jawab Nada.Ya, keluarga bahagia ini hendak menuju negeri gingseng. Semenjak menikah, mereka belum sempat berbulan madu. Karena Adrian masih disibukkan dengan urusan pekerjaan.Di akhir tahun ini, Adrian memang sudah merencanakan untuk berlibur ke negara Korea Selatan bersama dengan orang yang dicintainya.“Nada, sudah tidak ada yang tertinggal, bukan?” Eva muncul dengan kursi rodanya. Mengingatkan pada Nada tentang barang yang dia bawa.Nada menoleh dan langsung tersenyum pada neneknya, “Tidak ada, Nek sem
Wajah Adrian dan Nada kini merah seperti kepiting rebus. Bagaimana bisa, mereka sedang bermesraan dan ketahuan oleh anak yang masih di bawah umur.“Ah … itu,” ucap Nada gelagapan. Dia melirik ke arah Adrian, memberikan isyarat untuk menjelaskan apa yang barusan kita lakukan tadi.“Mama jangan malu begitu. Ini bukan pertama kali aku melihat kalian seperti itu, kok,” aku Deven.Anak itu berjalan menghampiri ayah dan ibunya, yang sebentar lagi akan menikah secara sah.Mendengar pengakuan Deven, tentu membuat mata Nada membulat maksimal. Rasa malu kini mulai menjalar di sekujur tubuhnya.“Bukan pertama kali? Berarti sebelumnya pernah?” tanya Nada.Deven mengangguk, lalu masing-masing tangannya memegang tangan Nada dan Adrian.“Aku senang kalian bisa menikah. Aku senang, karena nanti aku punya papa asli!” ucapnya dengan wajah yang berbinar. Menatap Nada dan Adrian secara bergantian.“Akhirnya Mama tidak sendiri lagi nanti. Mama dan Papa akan sama-sama membesarkan aku. Walau kemarin aku sem
Nada membelalakan mata, tatkala Adrian berkata demikian di depan publik. Dia ingat, kalau Adrian memang berniat untuk menikahinya. Namun, Nada tidak berekspektasi akan secepat ini. Apalagi ditambah cara dia melamar Nada di depan banyak orang. Tentu saja respon para audiens terlihat senang. Mata mereka nampak berbinar, lampu flash pada kamera juga tak henti-hentinya menyala. Tangan mereka sibuk dengan papan ketik pada keyboard-nya masing-masing. “Bagaimana, Nada?” tanya Adrian, yang menunggu jawaban dari wanita yang saat ini ada di hadapannya, “mau kah kamu menikah denganku?” Sekali lagi, Adrian memperjelas ucapannya. Khawatir Nada lupa dengan apa yang dikatakannya. Karena hampir lima menit Nada melongo, menatap Adrian. Seketika Nada mengerejap, lalu dia melirik ke arah audiens. Nampaknya mereka sama penasaran seperti Adrian. Bibir Nada mendadak terasa kering, dia pun menjilatnya. Irama detak jantungnya pun sudah mulai cepat. Seperti musik dengan irama cepat dan menggambarkan musik
Calvin dibawa ke rumah sakit. Kondisinya tidak sadarkan diri. Di sana keluarga Calvin juga ikut menunggu dengan perasaan harap-harap cemas. Kemudian dokter keluar dari ruang periksa, dan segera mendatangi pihak keluarga. Ada raut kesedihan dan perasaan berat yang terlihat dari wajah sang dokter.“Dok, bagaimana dengan keadaan Papa saya?” tanya seorang wanita, dia Yuvia—anak bungsu dari Calvin.Dokter itu terdengar menghela napas dalam. Wajah Yuvi nampak gusar melihat respon sang dokter. “Dok?” Yuvi kembali memanggil sang dokter. “Mohon maaf yang sebesar-besarnya. Pak Calvin Winata mengalami serangan jantung, dan nyawanya tidak bisa kami tolong,” ucap sang dokter.Siapa pun yang mendengar kalimat yang baru saja diucapkan dokter, pasti akan langsung terhenyak. Pasalnya tadi Calvin terlihat biasa saja, walau sedikit lesu. Namun, kali ini siapa sangka, rencana Tuhan tidak ada yang tahu. “Tidak mungkin, Dok!” seru Yuvi, dengan mata yang sudah mulai berkaca. Wanita itu kemudian dirangku
Nada dan Adrian sontak menoleh. Kemudian mereka melihat sosok perempuan dengan mengenakan setelan jas berwarna peach. Adrian yang tahu siapa wanita itu, langsung bangkit dari kursi. “Bu Sarah,” ucap Adrian.Wanita itu adalah Sarah, salah satu anggota dewan komisaris perusahaan Victory. Entah ada niat apa dia sampai datang jauh-jauh kemarin.“Halo, Adrian. Sudah lama kita tidak bertemu,” sapa Sarah. Adrian hanya mengangguk, memberikan salam penghormatan. Nada, yang tadi sempat dipanggil, seraya menghampiri Sarah.“Ya, Bu? Ada apa Ibu repot-repot sampai datang ke mari?” tanya Nada.“Aku tidak merasa direpotkan, Nada. Aku datang kemarin karena ini membicarakan sesuatu perihal perusahaan. Bisakah kita bicara sebentar? Bersama Adrian pun tidak masalah,” terangnya. Akhirnya mereka menyanggupi permintaan Sarah. Karena masih harus menunggu Eva, yang sedang diinterogasi oleh pihak berwajib. Mereka pun hanya berbincang di dalam mobil milik Sarah. “Keadaan perushaan sedang collaps. Saham ki
Berita hari ini seolah serentak menyiarkan kabar tentang Victory Airlines dan Victory Hotel. Pihak berwajib sudah mendapatkan bukti tentang keberadaan obat terlarang di pesawat kargo milik Victory Airlines dan juga arah distribusi barang tersebut. Dari puluhan cabang Victory hotel, barang terlarang itu hanya ditemukan di VKK. Namun begitu, nama Victory benar-benar menjadi buruk di mata publik.“Ini semua fitnah!” seru Calvin, yang dengan secara tiba-tiba diangkut paksa oleh tim dari Bareskrim Polri.“Tidak mungkin Victory Hotel dan Airlines mendistribusikan obat terlarang seperti ini!” raungnya.Jelas sekali, Calvin tidak ingin diamankan oleh pihak yang berwajib.“Siapa yang memerintah kalian, hah? Bawa aku pada Pak Fredy!” Calvin nampaknya menolak untuk bersikap kooperatif pada pihak berwajib. “Sudah jelas di surat penangkapan, kami langsung ditugaskan oleh Pak Kapolri!” tegas seorang polisi bernama Bisma. Ya, perintah penangkapan Calvin memang langsung dikeluarkan oleh petinggi p