Wisnu menatap bahu bergetar itu dengan mata nanar, dia bukanlah laki- laki yang jahat, namun amanah almarhum ibunya membuat semuanya menjadi sulit.
Dia memaafkan wanita itu, tak berniat melaporkannya atau menjebloskannya ke dalam penjara, rasa tanggung jawab yang diperlihatkan wanita itu sudah cukup baginya.Ke mana pernikahan ini akan dibawa, tempat Raras bukan di sini. Mereka bagaikan bumi dan langit yang tidak mungkin bersatu. Wisnu begitu hafal dengan wajah Raras, wajah yang sering dia saksikan di televisi atau pun media cetak.Gadis itu masih menangis, mengusap lengannya sendiri, melipat tungkai panjangnya mencari kehangatan. Wisnu harus sedikit membuka suaranya, wanita itu bisa terserang demam jika dibiarkan terlalu lama tidur di atas lantai semen."Ras," panggilnya membahana, suara berat yang begitu jantan.Raras menghentikan tangisnya, apa benar yang dia dengar? Beberapa hari saling mengenal baru kali ini Wisnu memanggilnya tanpa beban. Apakah suara tangisnya sangat mengganggu? Wisnu harus memahami bahwa dia terpaksa harus menginap di rumah lelaki itu, demi menghindari kecurigaan orang kampung.Raras berbalik, mengatupkan rahangnya, mata cantik itu membengkak beserta hidung yang memerah. Kondisinya tidak terlihat baik, dia masih memakai kebaya berlengan pendek yang digunakannya untuk akad nikah tadi.Wisnu mencoba menggeser badannya, menahan rasa sakit yang teramat sangat di kedua kakinya, begitu berat perjuangan untuk memindahkan kakinya sendiri."Tidurlah di sini! kau bisa sakit jika bertahan di sana," ucap Wisnu, tak ada nada ketus di sana, tawaran itu terdengar tulus di telinga Raras.Raras bangun, beringsut perlahan ke sisi yang sudah disediakan Wisnu, merebahkan tubuhnya di samping pria itu. Ini benar-benar hangat, rasa menggigil langsung hilang digantikan rasa mengantuk yang tak bisa ditahan lagi, hitungan detik Raras langsung tertidur.Wisnu melirik gadis cantik itu, lalu menarik nafasnya. Gadis itu terlalu sempurna untuk menjadi istrinya, kulit halus mulus yang terawat sangat tidak cocok tidur di atas kasur tipis yang hanya dilengkapi selimut lusuh.Rumah reot ini, tidak memiliki ranjang atau pun selimut yang tebal, sementara suhu di malam hari sangat dingin, apalagi gadis itu sudah terbiasa hidup di kota dengan suhu yang panas, pasti dia akan merasa tak nyaman.Wisnu tau, wanita ini sangat baik, bahkan dia melakukan sesuatu melebihi dari apa yang seharusnya. Kenapa dia harus mengorbankan diri sejauh ini, bahkan Wisnu tidak berharap Raras harus menunaikan amanah ibunya, tapi gadis itu memaksakan diri.Wisnu kembali melirik wajah cantik itu, dia seperti bidadari yang diturunkan kebumi, mata besar berbulu lentik, hidung mancung dipadukan dengan bibir merah padat dan kecil, dibingkai oleh wajah ovalnya yang putih seperti pualam. Tubuhnya sempurna, tinggi dan padat serta berlekuk indah, dia memiliki otot yang kuat dibalut kulit putih bersih.Wisnu memejamkan matanya, pernikahan ini hanya hitungan bulan, tak sewajarnya hatinya dibuka untuk sesuatu yang tidak akan didapatkannya dikemudian hari, dia laki-laki yang tak pernah terjamah cinta, dua puluh tujuh tahun hidupnya hanya dihabiskan untuk bekerja mencari sesuap nasi.Dulunya dia cukup pintar, tapi terpaksa putus sekolah dibangku SMP saat ayahnya meninggal setelah sakit yang dideritanya selama bertahun tahun.Hidup Wisnu tidak mudah, dia miskin, tak ada perempuan mana pun yang menawarkan diri untuk menjadi pendampingnya bahkan di usianya yang cukup untuk menikah.Wisnu tak percaya dengan hidupnya, kehilangan ibu diganti dengan mendapatkan istri.Wisnu tidak berani mengambil resiko untuk mengagumi Raras lebih jauh, dia tau betul ke mana muara pernikahan ini berakhir. Ucapan ayah Raras masih terngiang di kepalanya."Kau kenal siapa kami?"Wisnu mengangguk lemah."Aku tidak mengerti kenapa anak bodoh itu meminta sesuatu yang konyol dan tidak masuk akal, yang jelas, kau harus ingat siapa dirimu! jangan berpikir tentang sesuatu yang tak mungkin kau dapatkan, aku akan membayarmu...."Laki-laki tua itu menyodorkan amplop tebal di depan Wisnu.Wisnu menolak dan menyerahkan lagi amplop itu kepada ayah Raras."Maaf, ambil lagi uang Anda, Pak! saya tidak membutuhkannya."Ayah Raras memandang tajam, berdehem, kemudian mengambil amplop itu kembali."Aaya harus memperingatkanmu, pernikahan kalian hanya berlangsung sampai kau sembuh, setelah itu aku sendiri yang akan memisahkan kalian, Raras sudah punya calon yang kami persiapkan, yang pantas untuk bersanding dengannya."Wisnu menarik nafas, tentu saja dia akan mengingat semua peringatan itu, dia tidak pernah bermimpi terlalu tinggi, dia tak pernah mengharapkan sesuatu yang tak mungkin digapainya, seharusnya ayah Raras tidak perlu repot repot mengingatkannya.Wisnu agak kaget saat Raras merapatkan diri padanya, memeluknya untuk mencari kehangatan, hatinya berdebar halus, bagaimanapun... ini sentuhan paling intim yang pernah dialaminya dengan seorang perempuan.Wisnu tersenyum sekilas, wanita yang wajahnya wara-wiri di televisi sekarang tengah berada di pelukannya, semua itu cukup membuatnya tersanjung.Raras bangun lebih dulu, ini masih pukul empat pagi, dia benar-benar tidur nyenyak semalaman. Raras cukup senang saat Wisnu mulai menampakkan rasa bersahabat padanya dengan menawarkan kasur dan selimut yang sama. Ada hal yang membuat Raras malu, bagaimana bisa tangan tidak tau malunya melingkar erat di pinggang Wisnu, dia berharap kejadian memalukan itu tidak diketahui Wisnu.Raras bangun perlahan, merapikan selimut itu kembali, Wisnu masih tidur nyenyak, dia sama sekali tidak terganggu dengan gerakan Raras.Raras berjalan berlahan, mencoba mencari di mana kamar mandi di rumah ini. Baru saja Raras keluar kamar, pemandangan ruang tamu membuatnya terenyuh, Aryo dan Yono bergelung di atas tikar pandan dengan selimut kecil yang memiliki tambalan cukup banyak, mereka adalah anak yang pendiam seperti Wisnu. Aryo duduk di kelas tiga SMA dan Yono kelas dua.Sedangkan dua adik perempuan Wisnu yang lain tidur di kamar ke dua yang ukurannya lebih besar sedikit dari kamar Wisnu. Namanya Nela dan
Raras sedang merapikan barangnya, ketika Wisnu sholat dia buru-buru mengganti baju basahnya dengan yang lebih kering. Sweater bewarna kuning dipadukan dengan celana jins ketat selutut.Adik-adik Wisnu sudah bangun satu persatu, merekw saling berebut kamar mandi, sedangkan si kembar menyiapkan sarapan sederhana.Beberapa gelas teh manis dan semangkok besar nasi goreng sudah tersedia di meja makan. Raras hanya melongo melihatnya, tangan Raras sama sekali tidak pernah menyentuh dapur, bagaimana remaja sekecil itu bisa begitu cepat dan mahir, hitungan menit semua sudah terhidang di atas meja, padahal ini baru jam enam pagi."Sarapan dulu, Ras," panggil Wisnu. Raras mengangguk, mengikuti Wisnu dari belakang."Beri tempat pada Mbakmu," kata Wisnu pada Nela, gadis remaja itu menggeser duduknya. Nasi goreng itu yang membuat perut Raras benar- benar tidak sabar ingin diisi.Wisnu mendekatkan segelas teh ke depan Raras. Raras melihat, meja makan tua ini menjadi tempat berkumpul yang hangat."Te
Raras mengusap keringatnya, dia melakukan olah raga kecil di pagi hari, dia tidak ingin sedikit pun lemak menggumpal di bagian tubuhnya.Raras mendecih malas, saat Andini mendekatinya dengan senyum mengejek, dia benar-benar menampakkan siapa dirinya saat ini."Selamat, Ras," katanya tidak tulus."Atas?" jawab Raras menggulung rambut panjangnya."Kudengar kau sudah menikah.""Ooh... itu, ya, terimakasih."Raras tidak tertarik untuk melanjutkan pembicaraan."Aku kagum denganmu, Ras, seleramu begitu rendah, menikah dengan laki- laki miskin dan cacat." Senyum mengejek kembali terbit di bibirnya."Yang menikah itu aku, Kak, kakak tidak perlu repot-repot untuk memikirkan." Raras mendongak, meneguk air mineral ditangannya."Bagaimana malam pertamamu?" ejeknya lagi."Kenapa? Kakak penasaran bagaimana rasanya bercinta dengan orang cacat?" pancing Raras, wajah Andini memerah."Aku tidak sehina itu," geramnya."Bagaimana, ya? Sangat luar biasa, dia bahkan tidak membuatku tidur semalaman dengan s
Wisnu mengatupkan rahangnya, dia tidak bisa menghentikan orang yang mengaku disuruh mengantar semua barang ke rumahnya, Aryo dan Yono melirik wajah sang Kakak sulung. Mereka tidak berani bicara lebih banyak. Mira yang tampak bahagia dan menyuruh petugas pengantar barang memasukkan perabot itu satu persatu, termasuk satu ranjang untuk kamar Wisnu, dan satu ranjang lagi untuk kamarnya dan Nela, Wisnu diam saja melihat adiknya itu berjingkrak kegirangan.Aryo dan Yono saling tatap meminta tanggapan, keduanya langsung pamit kepada Wisnu dengan alasan ada latihan bola yang harus diikuti. Wisnu cuma memberi isyarat dengan matanya, kemudian mengayuh kursi rodanya masuk ke dalam kamar.*******Raras sampai jam delapan malam, dia sempat mengawasi butiknya terlebih dahulu, Raras baru saja mengucapkan salam ketika Mira langsung berlari padanya."Mbak, Abang dari tadi tidak mau bicara, sepertinya Abang marah karena barang-barang ini." Mira memperlihatkan wajah cemas.Raras kemudian tersenyum, me
Agenda hari ini, membawa Wisnu kerumah sakit untuk pemeriksaan berkala, sejauh ini Wisnu tidak mengeluhkan apapun, dia tipe laki laki yang tidak pernah mengeluh dengan keadaannya, sedapat mungkin dia melakukan semuanya sendiri, mulai dari mandi sendiri, berpakaian dan aktifitas lainnya.Raras memilah baju apa yang akan dipakai Wisnu, tapi tidak ada baju yang dikatakan layak, rata rata adalah kaos oblong yang warnanya sudah pudar, dan jins lusuh yang tak kalah pudarnya.Raras mencoba mencari lagi dengan teliti, akhirnya dia menemukan kemeja kotak kotak yang lebih baik daripada baju sebelumnya, walaupun model dan motifnya sangat ketinggalan jaman, tapi setidaknya ini lebih enak untuk dilihat.Wisnu masuk mengayuh kursi rodanya, handuk putih terlilit berantakan di pinggulnya, Raras tidak mengerti dengan jalan pikiran Wisnu, bahkan dia menolak adiknya sendiri yang berniat membantu memandikannya."Hanya ini yang kutemukan," kata Raras menunjuk ranjang, kemeja kotak kotak dan celana jins hi
Raras dan Wisnu duduk di kursi antrian, Raras menilai Wisnu adalah laki laki pendiam dan tidak akan bicara kalau tidak dimulai duluan, dari tadi dia hanya menundukkan wajah, mungkin dia malu dengan kejadian tadi sebelum berangkat, Raras sendiri berusaha keras melupakannya, tapi semakin dilupakan malah semakin teringat lebih jelas."Berapa umurmu?" tanya Raras memecah kebisuan di antara mereka."Dua puluh tujuh," jawab Wisnu. Ternyata dia masih muda."Benarkah? Berarti kita seumuran, bulan berapa kau lahir?""Bulan Agustus.""Oh, Ternyata aku lebih tua tujuh bulan darimu." Raras tidak menyangka ini."Iya," jawab Wisnu, dia tidak memperhatikan lawan bicaranya, memang pemuda desa yang sangat lugu. Andai saja dia dipermak sedikit di salon, pasti dia terlihat lebih tampan, begitu pikir Raras."Ayahmu?""Beliau sudah meninggal tiga belas tahun yang lalu.""Maaf." "Tidak apa-apa, sudah sangat lama," jawab Wisnu."Hmmm, kau tidak punya kekasih?" Raras penasaran."Tidak, wanita lebih memilih
Wisnu kecewa saat mobil Raras berhenti di pekarangan rumah. Sepertinya acara angkat-mengangkat akan gagal kali ini, karena dua bocah bertubuh tinggi sudah siap siaga di depan pintu menunggu kedatangan mereka. Yono dan Aryo bekerja sama memindahkan Wisnu ke kursi roda, mendorongnya masuk ke dalam rumah."Kok pulangnya cepat?" Ada penyesalan di hati Wisnu melihat adiknya pulang lebih cepat."Ada supervisor dari dinas pendidikan yang datang kesekolah, jadi semua siswa dipulangkan lebih awal," jawab Aryo."Kita langsung makan siang ya, Bang! kami tadi sudah memasak, Yono dapat rejeki lebih jadi kita bisa makan ayam.""Rejeki lebih dari mana? Kau saja belum bekerja," selidik Wisnu."Itu ... dua hari yang lalu Yono dipanggil kepala sekolah, dia mendapatkan beasiswa khusus, yang anehnya dia sendiri yang mendapatkannya.""Kok bisa?" Wisnu semakin penasaran. "Beasiswa apa?""Nggak tau juga sih, Bang, katanya beasiswa khusus, banyak banget lo Bang, sebulan dapat sejuta, tadi untuk bulan ini uda
Wisnu meremas kuat seprai yang berada di sisi kiri dan kanan Raras. Menahan gejolak yang tidak bisa lagi dia kendalikan, baru kali ini dia mengenali naluri primitif seorang laki -laki yang selama ini belum pernah dirasakannya. Di tengah tengah rasa yang membara, Wisnu mencoba menjaga kewarasannya, pernikahan ini bukan pernikahan sungguhan, apa yang tengah dia lakukan hanya untuk dirinya sendiri tanpa persetujuan dari Raras. Bahkan dia terlihat seperti pencuri sekarang ini.Wisnu mengangkat wajahnya, menelisuri wajah pualam milik Raras, andaikan dia yang memiliki gadis ini untuk selamanya, mungkin Wisnu takkan menginginkan apa-apa lagi dalam hidupnya. Raras masih memejamkan mata, tidak merasa terusik dengan ujung jari Wisnu yang mengelus lembut setiap bagian wajahnya satu persatu, Raras terlihat kelelahan.Mata wisnu memuaskan rasa dahaganya, setidaknya dia hanya punya kesempatan mengagumi Raras disaat tidur begini. Jika saja gadis itu sudah membuka matanya maka tak ada lagi kepercayaa
Tidak ada yang berbeda ketika Wisnu berada di rumah. Dia suka memasak dan mengerjakan pekerjaan rumah, bahkan, walaupun Raras berusaha membujuknya, pria itu tetap tak terpengaruh sama sekali."Rumah ini sudah terlihat berbeda dari terakhir kita meninggalkannya, bukan?" kata Raras, Raras berusaha bercakap-cakap, tetapi pria itu hanya diam saja."Kau masih ingat ketika kau lumpuh dulu? aku menggendongmu kesana kemari, alangkah indahnya masa itu, tidak terasa sudah bertahun-tahun berlalu, dan sekarang kita kembali di sini, tetapi suasananya sudah berbeda, tidak ada lagi tawamu seperti itu." Suara Raras serak.Raras menghela napasnya, sebenarnya, ia sudah lelah juga membujuk Wisnu. Akan tetapi, pria itu tetap teguh dengan pendiriannya, tidak terpengaruh sama sekali, ia tetap menjawab apa yang dikatakan Raras, tapi tidak seperti biasa, hanya perkataan 'iya' dan 'tidak' saja."Aku masih ingat bagaimana senyum lebarmu menyambutku ketika aku datang, dan untuk pertama kalinya, seumur hidupku,
Felicia tidak berdaya menolak kuasa Andrew. Pria itu memaksanya, dengan cara yang kasar, memerintahkan Felicia mengikutinya.Setelah menempuh perjalanan beberapa jam, mereka memutuskan untuk istirahat di sebuah kafe. Sebuah kafe dengan tema alam yang bisa membuat pikiran mereka sedikit dingin, setelah perdebatan panjang selama beberapa saat.Felicia hanya perlu memasang taktik, untuk sementara ini, dia hanya perlu pura-pura patuh mengikuti Andrew. Dia hanya perlu cara licik, karena Andrew si pengawal dingin, bisa melukainya."Puas?" kata Felicia kemudian kepada Andrew."Untuk alasan apa?" tanya Andrew dengan senyum dingin."Kau berhasil menekanku, sehingga aku akhirnya takluk dan menuruti semua kemauanmu.""Sudahlah, Felicia. Kita ini adalah orang yang sama, kamu mencintai uang dan aku pun sama, aku tau ... kau menikah dengan suamimu karena uang, dan aku bekerja dengannya juga karena uang, jadi ... tidak ada yang lebih baik di antara kita, bukan?" Andrew menyantap santai steaknya."
Hujan tidak berhenti mengguyur desa sejak tadi malam, bahkan udara dingin ini tidak mematahkan semangat Wisnu untuk bangun jam 03.00 Subuh menunaikan kewajibannya sebagai seorang muslim yang taat. Dia mendirikan dua rakaat salat tahajud yang tidak pernah absen dilakukannya. Dia adalah pria yang dibesarkan dengan agama yang kuat. Akan tetapi, sejauh ini, sebuah ujian sebagai suami, dia belum mampu membuat Raras untuk istiqomah dalam menjalankan ibadahnya. Wanita itu bahkan belum bisa menutup auratnya secara sempurna. Dia dulu pernah sempat memakai hijab, lalu kembali berhenti memakainya, alasannya karena merasa tidak nyaman. Entah untuk alasan apa, yang jelas ... Wisnu tidak pernah memaksakan. Yang penting, Raras bisa menunaikan kewajiban salat lima waktu. Memang benar, pengalaman agama Raras begitu minim, dia dibesarkan di lingkungan keluarga yang moderat dan tidak begitu mementingkan persoalan agama, aqidah serta ibadah, akan tetapi Wisnu berusaha membimbingnya.Seusai salat tahaju
Walau keadaan terasa berbeda saat ini, Wisnu memutuskan untuk duduk di beranda rumahnya. Mengamati Aryo yang sibuk melayani pembeli.Adiknya itu tumbuh menjadi anak yang tampan, pemuda baik hati dan pengganti Wisnu di rumah itu. Dua adik Wisnu pun sudah tumbuh menjadi remaja yang cantik. Begitu cepat waktu berlalu, membuat Wisnu merasa terharu. Andaikan ibunya masih hidup, tentu dia akan bangga memiliki anak-anak yang begitu pintar, cerdas, tampan dan cantik seperti mereka.Wisnu kemudian berusaha menghabiskan air mineral yang ada di tangannya. Sudah tiga hari dia berada di sini, dan sama sekali dia belum berniat untuk menghubungi Raras. Dia sengaja mematikan ponselnya, bahkan beberapa kali Raras menelepon ke ponsel adiknya, Wisnu melarang untuk mengangkatnya, entah kenapa ... dia hanya butuh sendiri. Ketika mengingat tuduhan Raras, hatinya benar-benar sakit.Setelah pelanggan cukup sepi, Aryo kemudian mendekati Wisnu, pria yang tingginya sudah menyamai Wisnu itu, menatap sang kakak d
Katakanlah Felicia adalah jalang yang sesungguhnya. Wanita itu bahkan tidak butuh waktu lama untuk ditaklukkan oleh Andrew. Dalam beberapa menit saja, dia mengerang dan memohon kepada pria itu.Mungkin Andrew adalah pria yang bisa memperlakukan dia seperti apa yang dia butuhkan. Dia begitu lihai dalam memanjakan setiap inci kulitnya, semua itu membuat Felicia mengakui, bahwa Andrew adalah pria terbaik yang pernah menemaninya."Sialan kau, Andrew!" Felicia memakai pria itu, di tangah napasnya yang tersengal. Sedangkan Andrew memamerkan senyum iblisnya.Felicia menyumpahi dirinya yang begitu bodoh, seakan tidak lagi memiliki harga diri di depan pria itu. Dengan mudahnya Andrew menghancurkan semua keangkuhannya, bahkan dengan status sebagai atasan itu, sama sekali tidak membuat Andrew segan padanya.Setelah pertempuran semalaman itu, paginya Felicia dihantam oleh kesadaran, bahwa apa yang terjadi pada dirinya saat ini, adalah hal gila yang selalu terulang. Ditambah kenyataan, dia tengah
Putus asa, sedih serta merasa tertekan, itu yang dirasakan oleh wanita cantik berambut lurus bernama Raras. Tidak terhitung sudah berapa jam dia berkeliling di pulau kecil itu. Dia mendatangi tempat-tempat yang mungkin bisa jadi akan didatangi oleh Wisnu. Akan tetapi suaminya itu sama sekali tidak terlihat batang hidungnya.Raras kemudian mematikan motornya. Jam 01.00 dini hari, sewajarnya tidak pantas wanita sendirian di malam hari dengan suasana yang teramat sepi di tepi pantai.Wanita itu kemudian membuka jaket kulitnya. Menanggalkan helm. Tak lupa sepatu sportnya. Kakinya yang jenjang, menapak pasir basah. Mata wanita itu terlihat basah, dengan semua keputus-asaannya, dia tak tau, apa yang harus dilakukannya."Kenapa ponselmu mati?"Raras menyugar rambutnya yang berantakan. Dia lebih memilih, bertengkar hebat asalkan dia bisa melihat suaminya walaupun tak menegurnya sama sekali.Ketika Wisnu lebih memilih untuk diam saja, maka itu adalah sebuah wujud kemarahan yang tidak bisa dib
Raras masih termangu di tempatnya semula. Kedua tangannya menopang dagunya yang berada di atas meja makan. Bahkan wanita itu tidak berniat menyalakan lampu sama sekali. Ruangan gelap dan hanya ada cahaya lampu di luar sana yang menerangi."Apa yang terjadi padaku, Tuhan?" Raras menutup wajahnya. Hatinya campur aduk.Lauk yang dimasak Wisnu masih utuh di atas meja makan. Pria yang tak pernah gengsi mengerjakan pekerjaan rumah itu, adalah suami idaman siapa saja."Kenapa aku begitu bodoh!" Rara memijit kepalanya. Perasaan hampa dan kehilangan begitu menyiksanya. Bahkan ratusan kali dia menelepon, tak sekalipun panggilannya masuk ke nomor suaminya itu."Beginikah rasanya ditinggalkan?* kata Raras pada dirinya. Dia sering pergi ke luar kota meninggalkan Wisnu, bahkan dalam waktu berhari-hari. Bahkan ketika Wisnu memohon untuk pulang, dia tetap saja bertahan di Jakarta dengan alasan sangat sibuk.Baru beberapa jam suaminya itu meninggalkan rumah, Raras merasa hatinya kosong dan hampa.Otak
Mata Mega memerah, dia merasa nyawanya sudah berada di ujung tanduk. Sepertinya, Raras memang serius ingin menghabisi dirinya. Buktinya cengkraman wanita itu bahkan mampu mengangkat tubuhnya dari lantai. Pandangan Mega mulai buram, dia tak bisa bernapas, bahkan kakinya kejang menendang udara.Mega merasakan dadanya seperti terbakar. Dia yakin, sebentar lagi, dia akan mati. Pandangannya mulai gelap.Brak!Tiba-tiba Raras melemparnya begitu saja ke sudut ruangan. Pinggangnya menabrak dinding."Arggggh!" erang Mega.Mega takjub dengan kekuatan wanita itu, bahkan dengan satu tangan saja, mampu mengangkat beban tubuhnya yang memiliki berat 56 kg.Mega mengambil nafas sepuasnya. Oksigen memenuhi paru-parunya. Tadi dia merasakan paru-paru itu akan meledak. Mega terbatuk-batuk. Dia meraba lehernya yang merasa seperti masih ada cengkraman tangan Raras di sana."Bagaimana rasanya sakit?" Raras menatap Mega dengan tatapan sinis. Dia marah dan Mega cocok untuk pelampiasan.Mega masih dilanda pusi
Mega gentar, selama dia mengenal Raras, dia tidak pernah melihat tatapan murka seperti itu. Tatapan tajam rasa seakan-akan bisa mengoyaknya."Aku perlu bicara!"Mega tergagap. Tapi, saat inilah dia perlu melangkah maju. Dia takkan menyerah, memperjuangkan apa yang dia inginkan."Baik, katakan saja apa yang ingin Mbak katakan."Raras mengamati sekeliling, pengunjung kafe sedang sepi, sedangkan ada satu asisten yang bertugas sebagai koki, tengah santai di meja kasir. "Di dalam saja," ucap Raras ketus, kakinya menapak anak tangga. Mega mengikuti dari belakang. "Duduk!" ketus Raras saat mereka sampai di ruang tengah."Apa yang terjadi? Apa benar kau masuk ke dalam kamarku saat aku tak ada di rumah?"Raras ingin mendengar kalimat bantahan Mega. Akan tetapi, beberapa detik menunggu, wanita itu tak menyanggah."Tepatnya, Mas Wisnu yang masuk ke kamar saya!"Seperti petir yang menyambar di siang hari, sebuah kalimat itu menampar harga diri Raras. Dia berusaha menahan emosinya ketika mendeng