Pernikahan sudah terjadi dua jam yang lalu, di sebuah mesjid kecil di kampung Wisnu. Tak ada keluarga Raras yang menghadiri, kecuali ayahnya yang terpaksa menikahkannya, setelah akad nikah selesai, ayahnya langsung pergi tanpa sepatah kata.
Lima hari Raras memohon pada ayahnya untuk menikahkannya dengan Wisnu. Awalnya ayahnya menolak, tapi akhirnya dia memutuskan untuk datang menikahkan Raras. Tak ada pertanyaan dan tegur sapa sedikit pun dari ayah Raras, dia tidak menatap Wisnu sama sekali.Raras masih teringat percakapan terakhir dengan ayahnya dua hari yang lalu."Aku mohon, Ayah! semua ini untuk menebus rasa bersalahku, laki-laki itu tulang punggung keluarga dan memiliki banyak adik yang harus dinafkahinya, sekarang kakinya patah karenaku, Ayah.""Kau tak pernah berhenti membuat kekacauan, aku tidak akan menikahkanmu, karena dia tidak sebanding dengan kita, jangan mencemari keluarga dengan menikahi orang biasa.""Ayah, aku tidak pernah meminta apapun selama ini, anggap saja aku meminta tolong pada ayah, setelah ini aku berjanji tidak akan merepotkan ayah lagi, ayah boleh mencoretku dari silsilah keluarga, jika ....""Apa yang kau katakan, aku jauh-jauh menyekolahkanmu ke luar negri, apa ini yang kau dapatkan?""Ayah, sekali ini saja, bahkan aku tidak pernah meminta apapun sebelumnya."Ayahnya terdiam."Jangan salahkan ayah jika kau menyesali semuanya di kemudian hari, kau boleh menikah dengannya sampai dia sembuh total, pernikahanmu harus dirahasiakan, ayah tak ingin malu gara-gara ulahmu yang terlalu banyak. Lima bulan, ayah rasa itu cukup lama, jaga dirimu! jangan sampai kau bertindak jauh yang menyebabkan semuanya kembali kacau, ingat pernikahan ini sementara, ayah yang menikahkan kalian, dan ayah juga yang akan mengakirinya nanti."Ayahnya langsung pergi begitu saja.***Akad nikah hanya dihadiri beberapa orang, tak ada yang bahagia dengan pernikahan ini termasuk Wisnu, dia duduk di kursi roda dengan wajah dinginnya. Wisnu melantunkan kalimat sakral itu dalam sekali helaan nafas, setelah itu bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa.Tidak ada gaun mewah, apa lagi resepsi, akad nikah selesai dan mereka pulang ke rumah Wisnu, rumah yang lebih layak disebut gubuk. Rumah tua yang hanya memiliki dua kamar, adik-adik wisnu sudah duduk rapi menunggu sang Abang pulang.Selama beberapa hari ini dan seterusnya, Raras sudah membayar seorang pelayan khusus untuk Wisnu. Untuk membantu laki-laki itu dalam segala hal, pemuda itu masih satu kampung dengan Wisnu, dia keponakan jauh Pak Kumis, dia remaja yang putus sekolah. Dia sangat gembira dengan tawaran pekerjaan ini.Raras meletakkan makanan yang sengaja dibelinya untuk adik-adik Wisnu, mereka melirik satu sama lain dan mengambil makanan itu malu- malu."Antarkan Wisnu ke kamarnya!""Iya, Mbak," jawab Joko. Dia mendorong kursi roda Wisnu, Raras mengikutinya dari belakang.Dia tercengang, bagaimana seseorang bisa semiskin ini, kamar itu tidak layak disebut kamar, hanya ada kasur tipis yang terbentang di lantai semen yang sudah pecah, satu bantal lusuh dan selimut tipis, tak ada apapun selain itu, selain lemari tua yang sudah tidak memiliki pintu.Joko membantu Wisnu untuk merebahkan tubuhnya, meletakkan bantal di dinding beton yang sudah tua untuk Wisnu bersandar." Joko, tinggalkan kami.""Baik, Mbak." Joko bergegas meninggalkan Raras dan Wisnu, lalu menutup pintu kamar itu.Wisnu masih memalingkan muka, dia tak bicara sepatah kata pun semenjak dari rumah sakit. Laki-laki itu begitu misterius, tak terbaca dan tak tersentuh."Kenapa kau selalu membuang mukamu?"Laki-laki yang barus berstatus suaminya itu, menatap tajam kepadanya. Wajahnya dingin, dan rahang mengeras."Jangan kasihani aku! aku bukan pengemis."Suara bass itu menggema di kamar tua miliknya. Raras tertawa hambar, kasihan? Memang, dia merasa kasihan dengan hidup laki-laki itu."Kau salah paham, aku hanya mencoba bertanggung jawab dengan apa yang kulakukan, tak ada sedikit pun di hatiku ingin mengasihanimu." Raras lelah, dia tidak mungkin mengatakan isi hatinya yang sebenarnya. Kejujuran akan menyakiti harga diri pria itu.Wisnu diam saja, dengan meringis, dia merebahkan badannya membelakangi Raras. Matanya menerawang.Raras tidak memahami sifat Wisnu, dia sangat tertutup dan tidak mau membuka diri.Kamar ini ... Raras begitu prihatin melihatnya, bagaimana Wisnu bisa tidur di kasur tipis dan lusuh begini. Kamar yang berukuran tiga kali tiga meter, tak ada selimut tebal, tak ada sofa seperti di rumahnya.Bahkan ini malam pertama mereka sebagai suami istri, malam yang sangat ditunggu oleh pasangan penganten pada umumnya. Dia bukannya berharap akan melalui malam ini dengan bermesraan, tapi setidaknya, Wisnu memperlakukannya dengan baik.Raras membuka sanggulnya, menghapus sisa make up tipis yang melekat di wajahnya. Raras mengambil tasnya sendiri untuk dijadikan bantal, lalu tidur di lantai semen yang pecah.Raras menggulung dirinya seperti janin, ini adalah pedesaan, malam hari sangat dingin.Raras membiarkan air matanya mengalir, membasahi tas bewarna abu-abu yang berisi pakaian gantinya, dia mengetatkan rahangnya supaya suara menggigil kedinginan tidak terdengar di telinga Wisnu.Raras tak tahan lagi, tak ada tempatnya di dunia ini, ke mana seharusnya dia pulang? ke rumah orang tua yang tidak menyayanginya atau ke rumah suami yang tidak menginginkannya?Raras tersedak tangisnya sendiri, hidup miskin teramat sangat sulit. Bahkan dia merasakan tubuhnya kram dan persendiannya sangat sakit.Raras menangisi dirinya sendiri, seperti biasa, takkan ada yang bertanya padanya, takkan ada yang mengusap air matanya. Dia hanya memiliki dirinya sendiri untuk meminta bantuan.Wisnu menatap bahu bergetar itu dengan mata nanar, dia bukanlah laki- laki yang jahat, namun amanah almarhum ibunya membuat semuanya menjadi sulit. Dia memaafkan wanita itu, tak berniat melaporkannya atau menjebloskannya ke dalam penjara, rasa tanggung jawab yang diperlihatkan wanita itu sudah cukup baginya.Ke mana pernikahan ini akan dibawa, tempat Raras bukan di sini. Mereka bagaikan bumi dan langit yang tidak mungkin bersatu. Wisnu begitu hafal dengan wajah Raras, wajah yang sering dia saksikan di televisi atau pun media cetak.Gadis itu masih menangis, mengusap lengannya sendiri, melipat tungkai panjangnya mencari kehangatan. Wisnu harus sedikit membuka suaranya, wanita itu bisa terserang demam jika dibiarkan terlalu lama tidur di atas lantai semen."Ras," panggilnya membahana, suara berat yang begitu jantan.Raras menghentikan tangisnya, apa benar yang dia dengar? Beberapa hari saling mengenal baru kali ini Wisnu memanggilnya tanpa beban. Apakah suara tangisnya sangat menggangg
Raras bangun lebih dulu, ini masih pukul empat pagi, dia benar-benar tidur nyenyak semalaman. Raras cukup senang saat Wisnu mulai menampakkan rasa bersahabat padanya dengan menawarkan kasur dan selimut yang sama. Ada hal yang membuat Raras malu, bagaimana bisa tangan tidak tau malunya melingkar erat di pinggang Wisnu, dia berharap kejadian memalukan itu tidak diketahui Wisnu.Raras bangun perlahan, merapikan selimut itu kembali, Wisnu masih tidur nyenyak, dia sama sekali tidak terganggu dengan gerakan Raras.Raras berjalan berlahan, mencoba mencari di mana kamar mandi di rumah ini. Baru saja Raras keluar kamar, pemandangan ruang tamu membuatnya terenyuh, Aryo dan Yono bergelung di atas tikar pandan dengan selimut kecil yang memiliki tambalan cukup banyak, mereka adalah anak yang pendiam seperti Wisnu. Aryo duduk di kelas tiga SMA dan Yono kelas dua.Sedangkan dua adik perempuan Wisnu yang lain tidur di kamar ke dua yang ukurannya lebih besar sedikit dari kamar Wisnu. Namanya Nela dan
Raras sedang merapikan barangnya, ketika Wisnu sholat dia buru-buru mengganti baju basahnya dengan yang lebih kering. Sweater bewarna kuning dipadukan dengan celana jins ketat selutut.Adik-adik Wisnu sudah bangun satu persatu, merekw saling berebut kamar mandi, sedangkan si kembar menyiapkan sarapan sederhana.Beberapa gelas teh manis dan semangkok besar nasi goreng sudah tersedia di meja makan. Raras hanya melongo melihatnya, tangan Raras sama sekali tidak pernah menyentuh dapur, bagaimana remaja sekecil itu bisa begitu cepat dan mahir, hitungan menit semua sudah terhidang di atas meja, padahal ini baru jam enam pagi."Sarapan dulu, Ras," panggil Wisnu. Raras mengangguk, mengikuti Wisnu dari belakang."Beri tempat pada Mbakmu," kata Wisnu pada Nela, gadis remaja itu menggeser duduknya. Nasi goreng itu yang membuat perut Raras benar- benar tidak sabar ingin diisi.Wisnu mendekatkan segelas teh ke depan Raras. Raras melihat, meja makan tua ini menjadi tempat berkumpul yang hangat."Te
Raras mengusap keringatnya, dia melakukan olah raga kecil di pagi hari, dia tidak ingin sedikit pun lemak menggumpal di bagian tubuhnya.Raras mendecih malas, saat Andini mendekatinya dengan senyum mengejek, dia benar-benar menampakkan siapa dirinya saat ini."Selamat, Ras," katanya tidak tulus."Atas?" jawab Raras menggulung rambut panjangnya."Kudengar kau sudah menikah.""Ooh... itu, ya, terimakasih."Raras tidak tertarik untuk melanjutkan pembicaraan."Aku kagum denganmu, Ras, seleramu begitu rendah, menikah dengan laki- laki miskin dan cacat." Senyum mengejek kembali terbit di bibirnya."Yang menikah itu aku, Kak, kakak tidak perlu repot-repot untuk memikirkan." Raras mendongak, meneguk air mineral ditangannya."Bagaimana malam pertamamu?" ejeknya lagi."Kenapa? Kakak penasaran bagaimana rasanya bercinta dengan orang cacat?" pancing Raras, wajah Andini memerah."Aku tidak sehina itu," geramnya."Bagaimana, ya? Sangat luar biasa, dia bahkan tidak membuatku tidur semalaman dengan s
Wisnu mengatupkan rahangnya, dia tidak bisa menghentikan orang yang mengaku disuruh mengantar semua barang ke rumahnya, Aryo dan Yono melirik wajah sang Kakak sulung. Mereka tidak berani bicara lebih banyak. Mira yang tampak bahagia dan menyuruh petugas pengantar barang memasukkan perabot itu satu persatu, termasuk satu ranjang untuk kamar Wisnu, dan satu ranjang lagi untuk kamarnya dan Nela, Wisnu diam saja melihat adiknya itu berjingkrak kegirangan.Aryo dan Yono saling tatap meminta tanggapan, keduanya langsung pamit kepada Wisnu dengan alasan ada latihan bola yang harus diikuti. Wisnu cuma memberi isyarat dengan matanya, kemudian mengayuh kursi rodanya masuk ke dalam kamar.*******Raras sampai jam delapan malam, dia sempat mengawasi butiknya terlebih dahulu, Raras baru saja mengucapkan salam ketika Mira langsung berlari padanya."Mbak, Abang dari tadi tidak mau bicara, sepertinya Abang marah karena barang-barang ini." Mira memperlihatkan wajah cemas.Raras kemudian tersenyum, me
Agenda hari ini, membawa Wisnu kerumah sakit untuk pemeriksaan berkala, sejauh ini Wisnu tidak mengeluhkan apapun, dia tipe laki laki yang tidak pernah mengeluh dengan keadaannya, sedapat mungkin dia melakukan semuanya sendiri, mulai dari mandi sendiri, berpakaian dan aktifitas lainnya.Raras memilah baju apa yang akan dipakai Wisnu, tapi tidak ada baju yang dikatakan layak, rata rata adalah kaos oblong yang warnanya sudah pudar, dan jins lusuh yang tak kalah pudarnya.Raras mencoba mencari lagi dengan teliti, akhirnya dia menemukan kemeja kotak kotak yang lebih baik daripada baju sebelumnya, walaupun model dan motifnya sangat ketinggalan jaman, tapi setidaknya ini lebih enak untuk dilihat.Wisnu masuk mengayuh kursi rodanya, handuk putih terlilit berantakan di pinggulnya, Raras tidak mengerti dengan jalan pikiran Wisnu, bahkan dia menolak adiknya sendiri yang berniat membantu memandikannya."Hanya ini yang kutemukan," kata Raras menunjuk ranjang, kemeja kotak kotak dan celana jins hi
Raras dan Wisnu duduk di kursi antrian, Raras menilai Wisnu adalah laki laki pendiam dan tidak akan bicara kalau tidak dimulai duluan, dari tadi dia hanya menundukkan wajah, mungkin dia malu dengan kejadian tadi sebelum berangkat, Raras sendiri berusaha keras melupakannya, tapi semakin dilupakan malah semakin teringat lebih jelas."Berapa umurmu?" tanya Raras memecah kebisuan di antara mereka."Dua puluh tujuh," jawab Wisnu. Ternyata dia masih muda."Benarkah? Berarti kita seumuran, bulan berapa kau lahir?""Bulan Agustus.""Oh, Ternyata aku lebih tua tujuh bulan darimu." Raras tidak menyangka ini."Iya," jawab Wisnu, dia tidak memperhatikan lawan bicaranya, memang pemuda desa yang sangat lugu. Andai saja dia dipermak sedikit di salon, pasti dia terlihat lebih tampan, begitu pikir Raras."Ayahmu?""Beliau sudah meninggal tiga belas tahun yang lalu.""Maaf." "Tidak apa-apa, sudah sangat lama," jawab Wisnu."Hmmm, kau tidak punya kekasih?" Raras penasaran."Tidak, wanita lebih memilih
Wisnu kecewa saat mobil Raras berhenti di pekarangan rumah. Sepertinya acara angkat-mengangkat akan gagal kali ini, karena dua bocah bertubuh tinggi sudah siap siaga di depan pintu menunggu kedatangan mereka. Yono dan Aryo bekerja sama memindahkan Wisnu ke kursi roda, mendorongnya masuk ke dalam rumah."Kok pulangnya cepat?" Ada penyesalan di hati Wisnu melihat adiknya pulang lebih cepat."Ada supervisor dari dinas pendidikan yang datang kesekolah, jadi semua siswa dipulangkan lebih awal," jawab Aryo."Kita langsung makan siang ya, Bang! kami tadi sudah memasak, Yono dapat rejeki lebih jadi kita bisa makan ayam.""Rejeki lebih dari mana? Kau saja belum bekerja," selidik Wisnu."Itu ... dua hari yang lalu Yono dipanggil kepala sekolah, dia mendapatkan beasiswa khusus, yang anehnya dia sendiri yang mendapatkannya.""Kok bisa?" Wisnu semakin penasaran. "Beasiswa apa?""Nggak tau juga sih, Bang, katanya beasiswa khusus, banyak banget lo Bang, sebulan dapat sejuta, tadi untuk bulan ini uda
Tidak ada yang berbeda ketika Wisnu berada di rumah. Dia suka memasak dan mengerjakan pekerjaan rumah, bahkan, walaupun Raras berusaha membujuknya, pria itu tetap tak terpengaruh sama sekali."Rumah ini sudah terlihat berbeda dari terakhir kita meninggalkannya, bukan?" kata Raras, Raras berusaha bercakap-cakap, tetapi pria itu hanya diam saja."Kau masih ingat ketika kau lumpuh dulu? aku menggendongmu kesana kemari, alangkah indahnya masa itu, tidak terasa sudah bertahun-tahun berlalu, dan sekarang kita kembali di sini, tetapi suasananya sudah berbeda, tidak ada lagi tawamu seperti itu." Suara Raras serak.Raras menghela napasnya, sebenarnya, ia sudah lelah juga membujuk Wisnu. Akan tetapi, pria itu tetap teguh dengan pendiriannya, tidak terpengaruh sama sekali, ia tetap menjawab apa yang dikatakan Raras, tapi tidak seperti biasa, hanya perkataan 'iya' dan 'tidak' saja."Aku masih ingat bagaimana senyum lebarmu menyambutku ketika aku datang, dan untuk pertama kalinya, seumur hidupku,
Felicia tidak berdaya menolak kuasa Andrew. Pria itu memaksanya, dengan cara yang kasar, memerintahkan Felicia mengikutinya.Setelah menempuh perjalanan beberapa jam, mereka memutuskan untuk istirahat di sebuah kafe. Sebuah kafe dengan tema alam yang bisa membuat pikiran mereka sedikit dingin, setelah perdebatan panjang selama beberapa saat.Felicia hanya perlu memasang taktik, untuk sementara ini, dia hanya perlu pura-pura patuh mengikuti Andrew. Dia hanya perlu cara licik, karena Andrew si pengawal dingin, bisa melukainya."Puas?" kata Felicia kemudian kepada Andrew."Untuk alasan apa?" tanya Andrew dengan senyum dingin."Kau berhasil menekanku, sehingga aku akhirnya takluk dan menuruti semua kemauanmu.""Sudahlah, Felicia. Kita ini adalah orang yang sama, kamu mencintai uang dan aku pun sama, aku tau ... kau menikah dengan suamimu karena uang, dan aku bekerja dengannya juga karena uang, jadi ... tidak ada yang lebih baik di antara kita, bukan?" Andrew menyantap santai steaknya."
Hujan tidak berhenti mengguyur desa sejak tadi malam, bahkan udara dingin ini tidak mematahkan semangat Wisnu untuk bangun jam 03.00 Subuh menunaikan kewajibannya sebagai seorang muslim yang taat. Dia mendirikan dua rakaat salat tahajud yang tidak pernah absen dilakukannya. Dia adalah pria yang dibesarkan dengan agama yang kuat. Akan tetapi, sejauh ini, sebuah ujian sebagai suami, dia belum mampu membuat Raras untuk istiqomah dalam menjalankan ibadahnya. Wanita itu bahkan belum bisa menutup auratnya secara sempurna. Dia dulu pernah sempat memakai hijab, lalu kembali berhenti memakainya, alasannya karena merasa tidak nyaman. Entah untuk alasan apa, yang jelas ... Wisnu tidak pernah memaksakan. Yang penting, Raras bisa menunaikan kewajiban salat lima waktu. Memang benar, pengalaman agama Raras begitu minim, dia dibesarkan di lingkungan keluarga yang moderat dan tidak begitu mementingkan persoalan agama, aqidah serta ibadah, akan tetapi Wisnu berusaha membimbingnya.Seusai salat tahaju
Walau keadaan terasa berbeda saat ini, Wisnu memutuskan untuk duduk di beranda rumahnya. Mengamati Aryo yang sibuk melayani pembeli.Adiknya itu tumbuh menjadi anak yang tampan, pemuda baik hati dan pengganti Wisnu di rumah itu. Dua adik Wisnu pun sudah tumbuh menjadi remaja yang cantik. Begitu cepat waktu berlalu, membuat Wisnu merasa terharu. Andaikan ibunya masih hidup, tentu dia akan bangga memiliki anak-anak yang begitu pintar, cerdas, tampan dan cantik seperti mereka.Wisnu kemudian berusaha menghabiskan air mineral yang ada di tangannya. Sudah tiga hari dia berada di sini, dan sama sekali dia belum berniat untuk menghubungi Raras. Dia sengaja mematikan ponselnya, bahkan beberapa kali Raras menelepon ke ponsel adiknya, Wisnu melarang untuk mengangkatnya, entah kenapa ... dia hanya butuh sendiri. Ketika mengingat tuduhan Raras, hatinya benar-benar sakit.Setelah pelanggan cukup sepi, Aryo kemudian mendekati Wisnu, pria yang tingginya sudah menyamai Wisnu itu, menatap sang kakak d
Katakanlah Felicia adalah jalang yang sesungguhnya. Wanita itu bahkan tidak butuh waktu lama untuk ditaklukkan oleh Andrew. Dalam beberapa menit saja, dia mengerang dan memohon kepada pria itu.Mungkin Andrew adalah pria yang bisa memperlakukan dia seperti apa yang dia butuhkan. Dia begitu lihai dalam memanjakan setiap inci kulitnya, semua itu membuat Felicia mengakui, bahwa Andrew adalah pria terbaik yang pernah menemaninya."Sialan kau, Andrew!" Felicia memakai pria itu, di tangah napasnya yang tersengal. Sedangkan Andrew memamerkan senyum iblisnya.Felicia menyumpahi dirinya yang begitu bodoh, seakan tidak lagi memiliki harga diri di depan pria itu. Dengan mudahnya Andrew menghancurkan semua keangkuhannya, bahkan dengan status sebagai atasan itu, sama sekali tidak membuat Andrew segan padanya.Setelah pertempuran semalaman itu, paginya Felicia dihantam oleh kesadaran, bahwa apa yang terjadi pada dirinya saat ini, adalah hal gila yang selalu terulang. Ditambah kenyataan, dia tengah
Putus asa, sedih serta merasa tertekan, itu yang dirasakan oleh wanita cantik berambut lurus bernama Raras. Tidak terhitung sudah berapa jam dia berkeliling di pulau kecil itu. Dia mendatangi tempat-tempat yang mungkin bisa jadi akan didatangi oleh Wisnu. Akan tetapi suaminya itu sama sekali tidak terlihat batang hidungnya.Raras kemudian mematikan motornya. Jam 01.00 dini hari, sewajarnya tidak pantas wanita sendirian di malam hari dengan suasana yang teramat sepi di tepi pantai.Wanita itu kemudian membuka jaket kulitnya. Menanggalkan helm. Tak lupa sepatu sportnya. Kakinya yang jenjang, menapak pasir basah. Mata wanita itu terlihat basah, dengan semua keputus-asaannya, dia tak tau, apa yang harus dilakukannya."Kenapa ponselmu mati?"Raras menyugar rambutnya yang berantakan. Dia lebih memilih, bertengkar hebat asalkan dia bisa melihat suaminya walaupun tak menegurnya sama sekali.Ketika Wisnu lebih memilih untuk diam saja, maka itu adalah sebuah wujud kemarahan yang tidak bisa dib
Raras masih termangu di tempatnya semula. Kedua tangannya menopang dagunya yang berada di atas meja makan. Bahkan wanita itu tidak berniat menyalakan lampu sama sekali. Ruangan gelap dan hanya ada cahaya lampu di luar sana yang menerangi."Apa yang terjadi padaku, Tuhan?" Raras menutup wajahnya. Hatinya campur aduk.Lauk yang dimasak Wisnu masih utuh di atas meja makan. Pria yang tak pernah gengsi mengerjakan pekerjaan rumah itu, adalah suami idaman siapa saja."Kenapa aku begitu bodoh!" Rara memijit kepalanya. Perasaan hampa dan kehilangan begitu menyiksanya. Bahkan ratusan kali dia menelepon, tak sekalipun panggilannya masuk ke nomor suaminya itu."Beginikah rasanya ditinggalkan?* kata Raras pada dirinya. Dia sering pergi ke luar kota meninggalkan Wisnu, bahkan dalam waktu berhari-hari. Bahkan ketika Wisnu memohon untuk pulang, dia tetap saja bertahan di Jakarta dengan alasan sangat sibuk.Baru beberapa jam suaminya itu meninggalkan rumah, Raras merasa hatinya kosong dan hampa.Otak
Mata Mega memerah, dia merasa nyawanya sudah berada di ujung tanduk. Sepertinya, Raras memang serius ingin menghabisi dirinya. Buktinya cengkraman wanita itu bahkan mampu mengangkat tubuhnya dari lantai. Pandangan Mega mulai buram, dia tak bisa bernapas, bahkan kakinya kejang menendang udara.Mega merasakan dadanya seperti terbakar. Dia yakin, sebentar lagi, dia akan mati. Pandangannya mulai gelap.Brak!Tiba-tiba Raras melemparnya begitu saja ke sudut ruangan. Pinggangnya menabrak dinding."Arggggh!" erang Mega.Mega takjub dengan kekuatan wanita itu, bahkan dengan satu tangan saja, mampu mengangkat beban tubuhnya yang memiliki berat 56 kg.Mega mengambil nafas sepuasnya. Oksigen memenuhi paru-parunya. Tadi dia merasakan paru-paru itu akan meledak. Mega terbatuk-batuk. Dia meraba lehernya yang merasa seperti masih ada cengkraman tangan Raras di sana."Bagaimana rasanya sakit?" Raras menatap Mega dengan tatapan sinis. Dia marah dan Mega cocok untuk pelampiasan.Mega masih dilanda pusi
Mega gentar, selama dia mengenal Raras, dia tidak pernah melihat tatapan murka seperti itu. Tatapan tajam rasa seakan-akan bisa mengoyaknya."Aku perlu bicara!"Mega tergagap. Tapi, saat inilah dia perlu melangkah maju. Dia takkan menyerah, memperjuangkan apa yang dia inginkan."Baik, katakan saja apa yang ingin Mbak katakan."Raras mengamati sekeliling, pengunjung kafe sedang sepi, sedangkan ada satu asisten yang bertugas sebagai koki, tengah santai di meja kasir. "Di dalam saja," ucap Raras ketus, kakinya menapak anak tangga. Mega mengikuti dari belakang. "Duduk!" ketus Raras saat mereka sampai di ruang tengah."Apa yang terjadi? Apa benar kau masuk ke dalam kamarku saat aku tak ada di rumah?"Raras ingin mendengar kalimat bantahan Mega. Akan tetapi, beberapa detik menunggu, wanita itu tak menyanggah."Tepatnya, Mas Wisnu yang masuk ke kamar saya!"Seperti petir yang menyambar di siang hari, sebuah kalimat itu menampar harga diri Raras. Dia berusaha menahan emosinya ketika mendeng