Wisnu meremas kuat seprai yang berada di sisi kiri dan kanan Raras. Menahan gejolak yang tidak bisa lagi dia kendalikan, baru kali ini dia mengenali naluri primitif seorang laki -laki yang selama ini belum pernah dirasakannya. Di tengah tengah rasa yang membara, Wisnu mencoba menjaga kewarasannya, pernikahan ini bukan pernikahan sungguhan, apa yang tengah dia lakukan hanya untuk dirinya sendiri tanpa persetujuan dari Raras. Bahkan dia terlihat seperti pencuri sekarang ini.Wisnu mengangkat wajahnya, menelisuri wajah pualam milik Raras, andaikan dia yang memiliki gadis ini untuk selamanya, mungkin Wisnu takkan menginginkan apa-apa lagi dalam hidupnya. Raras masih memejamkan mata, tidak merasa terusik dengan ujung jari Wisnu yang mengelus lembut setiap bagian wajahnya satu persatu, Raras terlihat kelelahan.Mata wisnu memuaskan rasa dahaganya, setidaknya dia hanya punya kesempatan mengagumi Raras disaat tidur begini. Jika saja gadis itu sudah membuka matanya maka tak ada lagi kepercayaa
Banyak yang tidak disukai Raras di keluarganya, sang ayah terlalu menjunjung tinggi tradisi sebagai seorang bangsawan yang berasal dari keturunan raja yang entah lahir dan hidup dizaman apa karena Raras tidak tertarik mengetahuinya. Ayahnya sangat fanatik dengan tradisi jika seorang yang berdarah biru harus menikah dengan darah biru juga supaya anak yang lahir tetap memiliki kasta yang lebih tinggi. Dia dibesarkan dengan seorang pengasuh yang mendalami bagaimana tata cara mendidik anggota keturunan kerajaan. Dari kecil apapun dalam hidup Raras selalu diatur, bagaimana cara bicara, berjalan, berpakaian dan sebagainya. Awalnya Raras mengikuti dengan patuh, tapi semenjak kehadiran Andini dan ibunya, semua tidak lagi sama.Dulu sekali ayahnya sangat mencintai ibunya, wanita yang cantik dan menjadi primadona plus darah biru yang melekat padanya. Di usia Raras yang ke-lima belas tahun sang ibu terkena penyakit kanker payudara yang menyebabkan dia keluar masuk rumah sakit.Saat itulah ibu An
Wisnu tertunduk lesu, dari jam lima dia berada di rumah mbak Harti, tetangga yang ramah dan baik yang sudah seperti keluarga sendiri. Mbak Harti langsung memasang paket nelfon saat Wisnu berniat meminjam HP nya untuk menelfon Raras, dia tidak bertanya ini itu, ketika Wisnu menyampaikan maksudnya, mbak Harti langsung bergegas mengambil HP nya.Empat hari tidak bertemu dengan Raras, Wisnu benar-benar Rindu dengan istrinya itu, dia sering melamun sendiri memikirkan Raras, makan tidak enak, tidur pun tak lelap."Gimana mbak?" kata Wisnu penuh harap, dia sudah menunggu dari pagi kepulangan mbak Harti, karena pagi sampai sore wanita berumur empat puluh tahun itu bekerja sebagai pembantu di rumah juragan Karyo.Mbak Harti menggeleng, begitu kasihan dengan pemuda pendiam itu."Nggak diangkat."Mbak Harti sudah menelpon ouluhan kali."Mungkin dia lagi sibuk, mbak. Ya udah, saya pulang dulu," jawab Wisnu. Wisnu berbalik menuju rumahnya. Laki-laki gagah itu tidak biasanya bersikap begitu gigih.
Wisnu menutup Al Qur'annya dan mengusapnya sejenak, tidak banyak yang dilakukannya hari ini selain menunggu. Dari pagi dia menunggu Raras, akan tetapi istrinya itu sampai sekarang belum juga pulang. Wisnu mulai putus asa, mungkin Raras sangat sibuk hari ini jadi dia tidak bisa menepati janjinya untuk pulang.Mira dan Nela sedang asik mengerjakan PR mereka, dua anak itu memang suka menghabiskan waktu untuk belajar dari pada bermain dengan teman sebayanya. Aryo dan Yono belum pulang dari mesjid, biasanya mereka akan pergi shalat berjamaah bertiga. Semenjak kaki Wisnu cidera, dia melaksanakan shalat di rumah. Sebagai seorang kakak tertua yang menggantikan peran ibu dan ayah bagi adik-adiknya, Wisnu mensyukuri memiliki adik seperti mereka."Kapan mbak Raras pulang ya, bang? rumah ini terasa sepi kalau gak ada mbak Raras," kata Mira, dia memang dekat dengan Raras, kalau Nela pemalu dan pendiam, dia lebih banyak menundukkan wajah." Mungkin besok, Dek. Mbakmu sedang sibuk," jawab Wisnu, dia
Jantung mereka masing-masing berpacu kuat seakan mau meledak di dalam dada mereka. Raras mengakui, ciuman ini sangat disukainya, bahkan ini adalah pengalaman pertama baginya, laki-laki yang tengah mendekapnya ini, memiliki daya tarik yang sangat kuat. Walaupun terkesan pemalu pada dasarnya dia lebih dominan dan berkuasa.Wisnu meletakkan kepalanya di bahu Raras. Menetralkan nafasnya yang berat dan sesak. Dia sangat bahagia Raras membalasnya, bahkan dengan berani Raras sudah menyentuh dada Wisnu seakan ingin membuktikan sendiri berapa liat otot yang terbentuk secara alami karena pekerjaan kasar itu.Raras tidak menolak sedikit pun, dia mengimbangi ciuman yang diberikan Wisnu, mengerahkan seluruh kemampuannya yang baru sebagai pemain pemula dalam hal ini.Apakah Wisnu boleh berharap bahwa sambutan Raras merupakan jawaban dari permintaannya, permintaan untuk melanjutkan pernikahan mereka tanpa peduli dengan status seperti bumi dengan langit."Raas...," panggil Wisnu, dia masih mendekap p
Semua anggota keluarga berkumpul di depan televisi. Barang pemberian Raras itu sangat bermanfaat di rumah mereka, biasanya mereka juga memiliki televisi, televisi yang sudah tua. Lebih banyak rusaknya di sana -sini, dibiarkan menyala beberapa jam terlebih dahulu baru televisi itu mengeluarkan suara.Aryo sudah tertidur pulas di depan televisi, pemuda pendiam itu terlihat kelelahan setelah pulang dari Sulawesi untuk mengikuti olimpiade Sains tingkat Nasional. Sedangkan Yono menginap di rumah temannya untuk kerja kelompok.Wisnu melirik Raras terang-terangan. Sejak diterima Raras menjadi suami sesungguhnya, Wisnu tidak lagi malu menampakkan kekagumannya pada Raras, dia menikmati setiap gerak -gerik wanita itu, bagaimana ketika mata Raras berkedip setiap saat, tangannya yang asik mengotak-atik handphonenya, atau ketika mulut kecil menggoda itu berdecak dan terlihat kesal. Entah apa yang dipikirkan Raras saat ini yang jelas wajahnya tampak tidak senang.Mira dan Nela sudah pamit duluan ka
Raras sampai di rumahnya pukul sembilan pagi. Saat mau berangkat tadi, Wisnu agak enggan melepasnya, belum berangkat laki-laki itu sudah menanyakan kapan Raras akan pulang. Raras menghibur Wisnu, dia akan segera pulang jika urusannya selesai. Iya, banyak hal yang harus diselesaikannya, cukup lama Raras berfikir, dia mengambil sebuah kesimpulan, dia harus menggunakan otak untuk menyelamatkan keuangan keluarganya. Membiarkan dua wanita culas yang bersikap seperti parasit hanya akan membuat ayahnya bertambah bangkrut.Raras sebenarnya lelah, bolak-balik dari pusat kota ke rumah Wisnu yang menghabiskan waktu berjam-jam di perjalanan, tapi hanya rumah Wisnu tempatnya pulang, di sana dia mendapatkan kesenangan dan kebahagiaan, disana dia merasa menjadi orang yang berguna. Wisnu memperlakukannya bagaikan porselen mahal yang dijaganya agar tidak pecah, kelembutan hati laki-laki itulah yang tidak didapatkannya selama ini dari orang lain selain ibunya.Baru saja Raras masuk ke gerbang yang dip
Raras meminum kopinya, setidaknya untuk membuat matanya tetap terjaga sepanjang malam. Sekarang dia duduk di sebuah restauran mewah yang hanya dapat dikunjungi oleh orang-orang tertentu saja. Tidak semua orang dapat masuk kesini, Raras bisa masuk karena dia sudah diberi kepercayaan oleh seorang pengusaha muda yang merangkap sebagai penjahat yang memasok narkoba dan senjata ilegal dari luar negri.Sudah lima tahun Raras tergabung sebagai agen spesialis BIN, Badan Intelijen Nasional. Dia termasuk anggota yang sangat diandalkan, kecantikan dan kelembutan yang terlihat secara sekilas menipu banyak orang. Dia bisa menyamar jadi siapa saja, menjadi babby sitter, pengantar koran, pembantu, penjual bunga bahkan penjual rokok.Hal itulah yang membuat ayahnya menganggap dia berkeliaran secara bebas. Dia tidak pernah menghabiskan waktu di dalam rumah, dia punya pekerjaan yang sangat berat. Menjadi anggota BIN adalah sebuah rahasia besar yang harus disimpannya rapat-rapat, tidak ada yang boleh me
Tidak ada yang berbeda ketika Wisnu berada di rumah. Dia suka memasak dan mengerjakan pekerjaan rumah, bahkan, walaupun Raras berusaha membujuknya, pria itu tetap tak terpengaruh sama sekali."Rumah ini sudah terlihat berbeda dari terakhir kita meninggalkannya, bukan?" kata Raras, Raras berusaha bercakap-cakap, tetapi pria itu hanya diam saja."Kau masih ingat ketika kau lumpuh dulu? aku menggendongmu kesana kemari, alangkah indahnya masa itu, tidak terasa sudah bertahun-tahun berlalu, dan sekarang kita kembali di sini, tetapi suasananya sudah berbeda, tidak ada lagi tawamu seperti itu." Suara Raras serak.Raras menghela napasnya, sebenarnya, ia sudah lelah juga membujuk Wisnu. Akan tetapi, pria itu tetap teguh dengan pendiriannya, tidak terpengaruh sama sekali, ia tetap menjawab apa yang dikatakan Raras, tapi tidak seperti biasa, hanya perkataan 'iya' dan 'tidak' saja."Aku masih ingat bagaimana senyum lebarmu menyambutku ketika aku datang, dan untuk pertama kalinya, seumur hidupku,
Felicia tidak berdaya menolak kuasa Andrew. Pria itu memaksanya, dengan cara yang kasar, memerintahkan Felicia mengikutinya.Setelah menempuh perjalanan beberapa jam, mereka memutuskan untuk istirahat di sebuah kafe. Sebuah kafe dengan tema alam yang bisa membuat pikiran mereka sedikit dingin, setelah perdebatan panjang selama beberapa saat.Felicia hanya perlu memasang taktik, untuk sementara ini, dia hanya perlu pura-pura patuh mengikuti Andrew. Dia hanya perlu cara licik, karena Andrew si pengawal dingin, bisa melukainya."Puas?" kata Felicia kemudian kepada Andrew."Untuk alasan apa?" tanya Andrew dengan senyum dingin."Kau berhasil menekanku, sehingga aku akhirnya takluk dan menuruti semua kemauanmu.""Sudahlah, Felicia. Kita ini adalah orang yang sama, kamu mencintai uang dan aku pun sama, aku tau ... kau menikah dengan suamimu karena uang, dan aku bekerja dengannya juga karena uang, jadi ... tidak ada yang lebih baik di antara kita, bukan?" Andrew menyantap santai steaknya."
Hujan tidak berhenti mengguyur desa sejak tadi malam, bahkan udara dingin ini tidak mematahkan semangat Wisnu untuk bangun jam 03.00 Subuh menunaikan kewajibannya sebagai seorang muslim yang taat. Dia mendirikan dua rakaat salat tahajud yang tidak pernah absen dilakukannya. Dia adalah pria yang dibesarkan dengan agama yang kuat. Akan tetapi, sejauh ini, sebuah ujian sebagai suami, dia belum mampu membuat Raras untuk istiqomah dalam menjalankan ibadahnya. Wanita itu bahkan belum bisa menutup auratnya secara sempurna. Dia dulu pernah sempat memakai hijab, lalu kembali berhenti memakainya, alasannya karena merasa tidak nyaman. Entah untuk alasan apa, yang jelas ... Wisnu tidak pernah memaksakan. Yang penting, Raras bisa menunaikan kewajiban salat lima waktu. Memang benar, pengalaman agama Raras begitu minim, dia dibesarkan di lingkungan keluarga yang moderat dan tidak begitu mementingkan persoalan agama, aqidah serta ibadah, akan tetapi Wisnu berusaha membimbingnya.Seusai salat tahaju
Walau keadaan terasa berbeda saat ini, Wisnu memutuskan untuk duduk di beranda rumahnya. Mengamati Aryo yang sibuk melayani pembeli.Adiknya itu tumbuh menjadi anak yang tampan, pemuda baik hati dan pengganti Wisnu di rumah itu. Dua adik Wisnu pun sudah tumbuh menjadi remaja yang cantik. Begitu cepat waktu berlalu, membuat Wisnu merasa terharu. Andaikan ibunya masih hidup, tentu dia akan bangga memiliki anak-anak yang begitu pintar, cerdas, tampan dan cantik seperti mereka.Wisnu kemudian berusaha menghabiskan air mineral yang ada di tangannya. Sudah tiga hari dia berada di sini, dan sama sekali dia belum berniat untuk menghubungi Raras. Dia sengaja mematikan ponselnya, bahkan beberapa kali Raras menelepon ke ponsel adiknya, Wisnu melarang untuk mengangkatnya, entah kenapa ... dia hanya butuh sendiri. Ketika mengingat tuduhan Raras, hatinya benar-benar sakit.Setelah pelanggan cukup sepi, Aryo kemudian mendekati Wisnu, pria yang tingginya sudah menyamai Wisnu itu, menatap sang kakak d
Katakanlah Felicia adalah jalang yang sesungguhnya. Wanita itu bahkan tidak butuh waktu lama untuk ditaklukkan oleh Andrew. Dalam beberapa menit saja, dia mengerang dan memohon kepada pria itu.Mungkin Andrew adalah pria yang bisa memperlakukan dia seperti apa yang dia butuhkan. Dia begitu lihai dalam memanjakan setiap inci kulitnya, semua itu membuat Felicia mengakui, bahwa Andrew adalah pria terbaik yang pernah menemaninya."Sialan kau, Andrew!" Felicia memakai pria itu, di tangah napasnya yang tersengal. Sedangkan Andrew memamerkan senyum iblisnya.Felicia menyumpahi dirinya yang begitu bodoh, seakan tidak lagi memiliki harga diri di depan pria itu. Dengan mudahnya Andrew menghancurkan semua keangkuhannya, bahkan dengan status sebagai atasan itu, sama sekali tidak membuat Andrew segan padanya.Setelah pertempuran semalaman itu, paginya Felicia dihantam oleh kesadaran, bahwa apa yang terjadi pada dirinya saat ini, adalah hal gila yang selalu terulang. Ditambah kenyataan, dia tengah
Putus asa, sedih serta merasa tertekan, itu yang dirasakan oleh wanita cantik berambut lurus bernama Raras. Tidak terhitung sudah berapa jam dia berkeliling di pulau kecil itu. Dia mendatangi tempat-tempat yang mungkin bisa jadi akan didatangi oleh Wisnu. Akan tetapi suaminya itu sama sekali tidak terlihat batang hidungnya.Raras kemudian mematikan motornya. Jam 01.00 dini hari, sewajarnya tidak pantas wanita sendirian di malam hari dengan suasana yang teramat sepi di tepi pantai.Wanita itu kemudian membuka jaket kulitnya. Menanggalkan helm. Tak lupa sepatu sportnya. Kakinya yang jenjang, menapak pasir basah. Mata wanita itu terlihat basah, dengan semua keputus-asaannya, dia tak tau, apa yang harus dilakukannya."Kenapa ponselmu mati?"Raras menyugar rambutnya yang berantakan. Dia lebih memilih, bertengkar hebat asalkan dia bisa melihat suaminya walaupun tak menegurnya sama sekali.Ketika Wisnu lebih memilih untuk diam saja, maka itu adalah sebuah wujud kemarahan yang tidak bisa dib
Raras masih termangu di tempatnya semula. Kedua tangannya menopang dagunya yang berada di atas meja makan. Bahkan wanita itu tidak berniat menyalakan lampu sama sekali. Ruangan gelap dan hanya ada cahaya lampu di luar sana yang menerangi."Apa yang terjadi padaku, Tuhan?" Raras menutup wajahnya. Hatinya campur aduk.Lauk yang dimasak Wisnu masih utuh di atas meja makan. Pria yang tak pernah gengsi mengerjakan pekerjaan rumah itu, adalah suami idaman siapa saja."Kenapa aku begitu bodoh!" Rara memijit kepalanya. Perasaan hampa dan kehilangan begitu menyiksanya. Bahkan ratusan kali dia menelepon, tak sekalipun panggilannya masuk ke nomor suaminya itu."Beginikah rasanya ditinggalkan?* kata Raras pada dirinya. Dia sering pergi ke luar kota meninggalkan Wisnu, bahkan dalam waktu berhari-hari. Bahkan ketika Wisnu memohon untuk pulang, dia tetap saja bertahan di Jakarta dengan alasan sangat sibuk.Baru beberapa jam suaminya itu meninggalkan rumah, Raras merasa hatinya kosong dan hampa.Otak
Mata Mega memerah, dia merasa nyawanya sudah berada di ujung tanduk. Sepertinya, Raras memang serius ingin menghabisi dirinya. Buktinya cengkraman wanita itu bahkan mampu mengangkat tubuhnya dari lantai. Pandangan Mega mulai buram, dia tak bisa bernapas, bahkan kakinya kejang menendang udara.Mega merasakan dadanya seperti terbakar. Dia yakin, sebentar lagi, dia akan mati. Pandangannya mulai gelap.Brak!Tiba-tiba Raras melemparnya begitu saja ke sudut ruangan. Pinggangnya menabrak dinding."Arggggh!" erang Mega.Mega takjub dengan kekuatan wanita itu, bahkan dengan satu tangan saja, mampu mengangkat beban tubuhnya yang memiliki berat 56 kg.Mega mengambil nafas sepuasnya. Oksigen memenuhi paru-parunya. Tadi dia merasakan paru-paru itu akan meledak. Mega terbatuk-batuk. Dia meraba lehernya yang merasa seperti masih ada cengkraman tangan Raras di sana."Bagaimana rasanya sakit?" Raras menatap Mega dengan tatapan sinis. Dia marah dan Mega cocok untuk pelampiasan.Mega masih dilanda pusi
Mega gentar, selama dia mengenal Raras, dia tidak pernah melihat tatapan murka seperti itu. Tatapan tajam rasa seakan-akan bisa mengoyaknya."Aku perlu bicara!"Mega tergagap. Tapi, saat inilah dia perlu melangkah maju. Dia takkan menyerah, memperjuangkan apa yang dia inginkan."Baik, katakan saja apa yang ingin Mbak katakan."Raras mengamati sekeliling, pengunjung kafe sedang sepi, sedangkan ada satu asisten yang bertugas sebagai koki, tengah santai di meja kasir. "Di dalam saja," ucap Raras ketus, kakinya menapak anak tangga. Mega mengikuti dari belakang. "Duduk!" ketus Raras saat mereka sampai di ruang tengah."Apa yang terjadi? Apa benar kau masuk ke dalam kamarku saat aku tak ada di rumah?"Raras ingin mendengar kalimat bantahan Mega. Akan tetapi, beberapa detik menunggu, wanita itu tak menyanggah."Tepatnya, Mas Wisnu yang masuk ke kamar saya!"Seperti petir yang menyambar di siang hari, sebuah kalimat itu menampar harga diri Raras. Dia berusaha menahan emosinya ketika mendeng