Raras memacu mobilnya dengan kencang, dia bosan dengan semua penghianatan yang dilakukan Divo, tidak hanya sekali tunangannya itu menghianatinya, dia sudah memaafkan berulangkali, tapi untuk kali ini, sudah tidak bisa ditoleransi lagi, laki-laki itu menghamili sekretarisnya sendiri. Demi apapun, dia tidak akan menerima pria bejat itu kembali, inikah laki-laki yang dipilihkan ayahnya, yang bermartabat dan keturunan bangsawan.
Sejauh ini Raras bertahan, demi sebuah kehormatan keluarga, tidak sedikit pun dia memberi tahu orang tuanya tentang keboborokan Divo, orang tua mereka sangat dekat karena sudah kenal dari zaman SMA dulu, pertunangan sudah diikrarkan dan pernikahan tinggal menunggu hari.Sebuah kejutan di hari ulang tahunnya, seorang wanita yang mengaku sebagai sekretaris Divo, tengah hamil dan pemilik janin itu tak lain adalah Divo sendiri.Raras memukul stirnya, dia sangat marah, bukan karena cemburu atau pun bersedih, sedikit pun tak ada cinta di hatinya untuk pria itu, tapi apa yang dilakukan pria ini sangat mencoreng reputasinya, apa kata dunia, seorang wanita berdarah biru sepertinya gagal menikah gara-gara tunangannya mengahamili wanita lain.Raras melajukan mobilnya semakin kencang, tidak peduli dengan umpatan pengguna jalan yang lain, yang dia butuhkan pelampiasan kemarahannya, tebing yang tinggi dan rasa marah untuk bisa memanjatnya.Raras butuh pelampiasan, kalau tidak, dia bisa saja menghabisi pria itu. Mobil Raras semakin tak terkendali, jalan yang dilewatinya bukan lagi jalan raya yang besar, hanya jalan beraspal yang membelah persawahan, Raras tersenyum senang, tebing yang akan ditaklukkan sudah terlihat dari kejauhan, tidak sia sia dia mengikuti saran temannya untuk menemukan tempat ini.Tiba-tiba Raras tidak siap dengan tikungan di depannya, dia sama sekali belum menguasai medan. Mobilnya menghantam pengguna jalan yang melaju berlawanan arah, bunyi decit mobil seiring dengan jerit panik warga yang melihat, mereka berhamburan keluar dari sawah, mendekati pengguna motor yang sudah terpental jauh dari motornya.Seorang wanita memakai pakaian lusuh dan kotor penuh lumpur mendekati dua korban yang pingsan."Ya, Allah, ini Wisnu dan Bu Parmi," jerit seorang ibu-ibu histeris, yang lain berlari mencari bantuan, dua orang itu tak bergerak dengan bersimbah darah.Raras menelan ludahnya susah payah, dia seakan tuli ketika kaca mobilnya diketuk tak sabaran dari luar. Raras gemetar, bukan ini pelampiasannya, bukan dengan cara menghabisi nyawa orang lain."Keluar! atau kami akan membakar mobil ini," teriak salah seorang warga yang juga didukung oleh warga lain. Mobil Raras diguncang dengan kuat.Raras memakai kaca mata hitamnya, membuka pintu mobil berlahan, keluar dengan menundukkan wajah, seseorang memukul punggungnya sangat kuat, dia merasa sakit."Dasar orang kaya, membawa mobil seenaknya di kampung orang."Seorang ibu-ibu menjambak rambut Raras. Raras meyakini beberapa helai rambutnya tercabut dari kulitnya."Hentikan itu!"Seorang pria tua berkumis muncul dari balik kerumunan."Jangan main hakim sendiri! sekarang kita selamatkan dulu Wisnu dan Bu Parmi."Sang bapak memerintahkan beberapa orang untuk mengangkat dua tubuh itu ke mobil bak terbuka.Raras memucat, peluh dingin mengalir dari pelipisnya."Sa... saya akan bertanggung jawab, saya berjanji."Sebagian orang menanggapinya dengan sinis. Raras sekarang sangat takut, apakah setelah ini dia akan menghabiskan sisa hidupnya di penjara, bagaimana kalau kedua orang itu mati, apa yang akan dilakukannya jika dokter tidak bisa menyelamatkan dua nyawa itu.Raras tak pernah menduga nasibnya akan sesial ini. Dengan lesu, dia menaiki mobilnya yang di kawal beberapa warga di belakangnya.Sepanjang perjalanan, Raras tidak berhenti berdoa, agar dua nyawa itu bisa selamat, dia berjanji akan melakukan apa saja asalkan dia tidak masuk penjara.Raras mengusap keringat dinginnya, meraba lututnya yang gemetar, sesekali dia mendengar mobilnya dilempari dengan tanah.Raras benar-benar menyesali keputusannya untuk memanjat tebing hari ini, andaikan waktu bisa di ulang, dia akan memilih latihan Boxing sampai pingsan daripada menabrak orang yang tak bersalah."Kendalikan dirimu, Raras!" Raras mensugesti dirinya."Semua akan baik-baik saja... tak perlu dicemaskan... ya... semua akan baik...."Beberapa menit kemudian, mereka sampai di rumah sakit, kedua korban dibawa ke UGD supaya ditangani secara langsung. Raras berlari mengikuti perawat yang sudah menyediakan bangkar.Beberapa orang tidak diperbolehkan masuk, hanya Raras dan bapak berkumis yang diberikan izin, kondisi UGD cukup sesak, pihak rumah sakit tidak mau pasien lain malah terganggu."Maaf, siapa keluarga korban di sini?" Seorang gadis berbaju biru yang diperkirakan Raras adalah seorang staff administrasi."Saya." Raras mengacungkan tangan."Maaf, Mbak, ada yang harus diisi dulu.""Oke." Raras bergerak cepat dan sempat berpamitan kepada Pak Kumis yang tidak tau namanya.Raras menyandarkan tubuhnya, dia tidak berani melihat korbannya secara langsung, dia takut kemungkinan terburuk di dapatkannya.Pak kumis duduk di samping Raras."Kita sama-sama berdoa, semoga ke duanya selamat.""Iya, saya harap begitu." Raras mengusap wajahnya. Hidupnya ditentukan hari ini, dengan dua nyawa yang sedang tak sadarkan diri dan ditangani dokter dan perawat."Kamu dari mana, Nak?" Pak Kumis memecah kesunyian."Saya dari kota.""Kamu harus bertanggung jawab sampai akhir, kasihan mereka."Raras hanya mengangguk, apa lagi yang bisa dilakukannya selain itu sekarang.Raras menunggu selama satu jam di UGD. Dia mengusap wajahnya berkali- kali, andaikan waktu bisa diputar, mungkin dia lebih memilih menghajar Divo dari pada melampiaskan kemarahannya yang berbuntut maut. Pak kumis sudah pulang, dengan alasan dia harus menjemput baju dan perlengkapan Wisnu, orang tua itulah yang bisa bersikap bijak atas kejadian ini, tak sedikit pun dia mencela Raras.Laki-laki itu adalah Wisnu, pemuda kampung yang bekerja sebagai kuli bangunan. Dia anak pertama dengan tanggungan empat orang adik dan satu orang ibu yang sakit-sakitan. Setidaknya itulah yang dikatakan Pak kumis berkaitan dengannya, Wisnu sore ini berniat membawa ibunya ke rumah sakit, dia menggunakan motor tua yang tidak pantas lagi dikendarai.Sesaat kemudian, Raras mengikuti perawat yang memindahkan Wisnu dan ibunya ke ruang perawatan. Seorang dokter memanggil Raras ke ruangannya, dia dokter muda yang sangat ramah. Raras dipersilahkan duduk. Raras tau, apa yang akan didengarnya beberapa saat lagi baga
Wisnu melakukan serangkaian tes sebelum operasi, proses itu memakan waktu satu jam lebih. Tak ada ekspresi dari wajahnya, dia dingin dan tak terbaca. Dia tidak mengatakan apapun saat Raras memberinya kekuatan bahwa semua akan berjalan lancar. Wisnu lebih banyak diam mengatupkan mulutnya dengan mata kosong. Beberapa jam berlalu, operasi pemasangan Pen berhasil dilakukan, tulang yang patah adalah tulang bagian betis, sedangkan tulang dibagian paha tidak mengalami cidera. Raras memijit kepalanya berulang kali, kepalanya terasa sakit dan perutnya yang melilit perih."Maaf, Mbak, pasien atas nama Bu Parmi sudah sadar," kata seorang perawat kepada Raras. Raras membalikkan badan, mengangguk dan mengikuti perawat dari belakang.*******Raras merosot kelantai, cobaan bertubi-tubi menyerangnya. Dia hanya ingin hidup tenang, menghabiskan waktunya di alam bebas, menikmati kesendirian tanpa gangguan siapapun.Apakah Raras harus melakukannya? Dia sudah berjanji pada Bu Parmi, dia sudah mengatas na
Raras baru saja berniat mengunci mobilnya ketika suara ayahnya menggelegar, laki-laki yang masih tampak kuat dan muda di usianya yang bahkan sudah enam puluh tahun. Raras hanya menganggukkan kepala sebagai penghormatan kepada ayahnya."Apa yang dilakukan seorang Putri bangsawan di tengah malam begini?" Mata ayah Raras menyipit melihat keadaan mobil yang lampu depannya pecah. Penampilan Raras sudah tidak karuan, rambut berantakan dan pakaian yang sangat dibenci oleh ayahnya."Maaf, Ayah," jawab Raras, yang dibutuhkannya sekarang adalah tempat tidurnya."Ayah tunggu di ruang kerja Ayah," jawab ayahnya dingin, Raras sudah hafal sekali, jika dia disuruh masuk ke ruang kerja, maka sesuatu yang sangat serius akan disampaikan ayahnya malam ini. Raras tidak lagi peduli.Dengan gontai dia mengikuti ayahnya dari belakang, sesaat dia kaget saat ibunya muncul tiba-tiba dan menarik tangannya sambil berbisik, "Apa yang kau lakukan hari ini? Bahkan keluarga besar Divo datang ke rumah mencarimu, tapi
Pernikahan sudah terjadi dua jam yang lalu, di sebuah mesjid kecil di kampung Wisnu. Tak ada keluarga Raras yang menghadiri, kecuali ayahnya yang terpaksa menikahkannya, setelah akad nikah selesai, ayahnya langsung pergi tanpa sepatah kata.Lima hari Raras memohon pada ayahnya untuk menikahkannya dengan Wisnu. Awalnya ayahnya menolak, tapi akhirnya dia memutuskan untuk datang menikahkan Raras. Tak ada pertanyaan dan tegur sapa sedikit pun dari ayah Raras, dia tidak menatap Wisnu sama sekali.Raras masih teringat percakapan terakhir dengan ayahnya dua hari yang lalu."Aku mohon, Ayah! semua ini untuk menebus rasa bersalahku, laki-laki itu tulang punggung keluarga dan memiliki banyak adik yang harus dinafkahinya, sekarang kakinya patah karenaku, Ayah.""Kau tak pernah berhenti membuat kekacauan, aku tidak akan menikahkanmu, karena dia tidak sebanding dengan kita, jangan mencemari keluarga dengan menikahi orang biasa.""Ayah, aku tidak pernah meminta apapun selama ini, anggap saja aku me
Wisnu menatap bahu bergetar itu dengan mata nanar, dia bukanlah laki- laki yang jahat, namun amanah almarhum ibunya membuat semuanya menjadi sulit. Dia memaafkan wanita itu, tak berniat melaporkannya atau menjebloskannya ke dalam penjara, rasa tanggung jawab yang diperlihatkan wanita itu sudah cukup baginya.Ke mana pernikahan ini akan dibawa, tempat Raras bukan di sini. Mereka bagaikan bumi dan langit yang tidak mungkin bersatu. Wisnu begitu hafal dengan wajah Raras, wajah yang sering dia saksikan di televisi atau pun media cetak.Gadis itu masih menangis, mengusap lengannya sendiri, melipat tungkai panjangnya mencari kehangatan. Wisnu harus sedikit membuka suaranya, wanita itu bisa terserang demam jika dibiarkan terlalu lama tidur di atas lantai semen."Ras," panggilnya membahana, suara berat yang begitu jantan.Raras menghentikan tangisnya, apa benar yang dia dengar? Beberapa hari saling mengenal baru kali ini Wisnu memanggilnya tanpa beban. Apakah suara tangisnya sangat menggangg
Raras bangun lebih dulu, ini masih pukul empat pagi, dia benar-benar tidur nyenyak semalaman. Raras cukup senang saat Wisnu mulai menampakkan rasa bersahabat padanya dengan menawarkan kasur dan selimut yang sama. Ada hal yang membuat Raras malu, bagaimana bisa tangan tidak tau malunya melingkar erat di pinggang Wisnu, dia berharap kejadian memalukan itu tidak diketahui Wisnu.Raras bangun perlahan, merapikan selimut itu kembali, Wisnu masih tidur nyenyak, dia sama sekali tidak terganggu dengan gerakan Raras.Raras berjalan berlahan, mencoba mencari di mana kamar mandi di rumah ini. Baru saja Raras keluar kamar, pemandangan ruang tamu membuatnya terenyuh, Aryo dan Yono bergelung di atas tikar pandan dengan selimut kecil yang memiliki tambalan cukup banyak, mereka adalah anak yang pendiam seperti Wisnu. Aryo duduk di kelas tiga SMA dan Yono kelas dua.Sedangkan dua adik perempuan Wisnu yang lain tidur di kamar ke dua yang ukurannya lebih besar sedikit dari kamar Wisnu. Namanya Nela dan
Raras sedang merapikan barangnya, ketika Wisnu sholat dia buru-buru mengganti baju basahnya dengan yang lebih kering. Sweater bewarna kuning dipadukan dengan celana jins ketat selutut.Adik-adik Wisnu sudah bangun satu persatu, merekw saling berebut kamar mandi, sedangkan si kembar menyiapkan sarapan sederhana.Beberapa gelas teh manis dan semangkok besar nasi goreng sudah tersedia di meja makan. Raras hanya melongo melihatnya, tangan Raras sama sekali tidak pernah menyentuh dapur, bagaimana remaja sekecil itu bisa begitu cepat dan mahir, hitungan menit semua sudah terhidang di atas meja, padahal ini baru jam enam pagi."Sarapan dulu, Ras," panggil Wisnu. Raras mengangguk, mengikuti Wisnu dari belakang."Beri tempat pada Mbakmu," kata Wisnu pada Nela, gadis remaja itu menggeser duduknya. Nasi goreng itu yang membuat perut Raras benar- benar tidak sabar ingin diisi.Wisnu mendekatkan segelas teh ke depan Raras. Raras melihat, meja makan tua ini menjadi tempat berkumpul yang hangat."Te
Raras mengusap keringatnya, dia melakukan olah raga kecil di pagi hari, dia tidak ingin sedikit pun lemak menggumpal di bagian tubuhnya.Raras mendecih malas, saat Andini mendekatinya dengan senyum mengejek, dia benar-benar menampakkan siapa dirinya saat ini."Selamat, Ras," katanya tidak tulus."Atas?" jawab Raras menggulung rambut panjangnya."Kudengar kau sudah menikah.""Ooh... itu, ya, terimakasih."Raras tidak tertarik untuk melanjutkan pembicaraan."Aku kagum denganmu, Ras, seleramu begitu rendah, menikah dengan laki- laki miskin dan cacat." Senyum mengejek kembali terbit di bibirnya."Yang menikah itu aku, Kak, kakak tidak perlu repot-repot untuk memikirkan." Raras mendongak, meneguk air mineral ditangannya."Bagaimana malam pertamamu?" ejeknya lagi."Kenapa? Kakak penasaran bagaimana rasanya bercinta dengan orang cacat?" pancing Raras, wajah Andini memerah."Aku tidak sehina itu," geramnya."Bagaimana, ya? Sangat luar biasa, dia bahkan tidak membuatku tidur semalaman dengan s
Tidak ada yang berbeda ketika Wisnu berada di rumah. Dia suka memasak dan mengerjakan pekerjaan rumah, bahkan, walaupun Raras berusaha membujuknya, pria itu tetap tak terpengaruh sama sekali."Rumah ini sudah terlihat berbeda dari terakhir kita meninggalkannya, bukan?" kata Raras, Raras berusaha bercakap-cakap, tetapi pria itu hanya diam saja."Kau masih ingat ketika kau lumpuh dulu? aku menggendongmu kesana kemari, alangkah indahnya masa itu, tidak terasa sudah bertahun-tahun berlalu, dan sekarang kita kembali di sini, tetapi suasananya sudah berbeda, tidak ada lagi tawamu seperti itu." Suara Raras serak.Raras menghela napasnya, sebenarnya, ia sudah lelah juga membujuk Wisnu. Akan tetapi, pria itu tetap teguh dengan pendiriannya, tidak terpengaruh sama sekali, ia tetap menjawab apa yang dikatakan Raras, tapi tidak seperti biasa, hanya perkataan 'iya' dan 'tidak' saja."Aku masih ingat bagaimana senyum lebarmu menyambutku ketika aku datang, dan untuk pertama kalinya, seumur hidupku,
Felicia tidak berdaya menolak kuasa Andrew. Pria itu memaksanya, dengan cara yang kasar, memerintahkan Felicia mengikutinya.Setelah menempuh perjalanan beberapa jam, mereka memutuskan untuk istirahat di sebuah kafe. Sebuah kafe dengan tema alam yang bisa membuat pikiran mereka sedikit dingin, setelah perdebatan panjang selama beberapa saat.Felicia hanya perlu memasang taktik, untuk sementara ini, dia hanya perlu pura-pura patuh mengikuti Andrew. Dia hanya perlu cara licik, karena Andrew si pengawal dingin, bisa melukainya."Puas?" kata Felicia kemudian kepada Andrew."Untuk alasan apa?" tanya Andrew dengan senyum dingin."Kau berhasil menekanku, sehingga aku akhirnya takluk dan menuruti semua kemauanmu.""Sudahlah, Felicia. Kita ini adalah orang yang sama, kamu mencintai uang dan aku pun sama, aku tau ... kau menikah dengan suamimu karena uang, dan aku bekerja dengannya juga karena uang, jadi ... tidak ada yang lebih baik di antara kita, bukan?" Andrew menyantap santai steaknya."
Hujan tidak berhenti mengguyur desa sejak tadi malam, bahkan udara dingin ini tidak mematahkan semangat Wisnu untuk bangun jam 03.00 Subuh menunaikan kewajibannya sebagai seorang muslim yang taat. Dia mendirikan dua rakaat salat tahajud yang tidak pernah absen dilakukannya. Dia adalah pria yang dibesarkan dengan agama yang kuat. Akan tetapi, sejauh ini, sebuah ujian sebagai suami, dia belum mampu membuat Raras untuk istiqomah dalam menjalankan ibadahnya. Wanita itu bahkan belum bisa menutup auratnya secara sempurna. Dia dulu pernah sempat memakai hijab, lalu kembali berhenti memakainya, alasannya karena merasa tidak nyaman. Entah untuk alasan apa, yang jelas ... Wisnu tidak pernah memaksakan. Yang penting, Raras bisa menunaikan kewajiban salat lima waktu. Memang benar, pengalaman agama Raras begitu minim, dia dibesarkan di lingkungan keluarga yang moderat dan tidak begitu mementingkan persoalan agama, aqidah serta ibadah, akan tetapi Wisnu berusaha membimbingnya.Seusai salat tahaju
Walau keadaan terasa berbeda saat ini, Wisnu memutuskan untuk duduk di beranda rumahnya. Mengamati Aryo yang sibuk melayani pembeli.Adiknya itu tumbuh menjadi anak yang tampan, pemuda baik hati dan pengganti Wisnu di rumah itu. Dua adik Wisnu pun sudah tumbuh menjadi remaja yang cantik. Begitu cepat waktu berlalu, membuat Wisnu merasa terharu. Andaikan ibunya masih hidup, tentu dia akan bangga memiliki anak-anak yang begitu pintar, cerdas, tampan dan cantik seperti mereka.Wisnu kemudian berusaha menghabiskan air mineral yang ada di tangannya. Sudah tiga hari dia berada di sini, dan sama sekali dia belum berniat untuk menghubungi Raras. Dia sengaja mematikan ponselnya, bahkan beberapa kali Raras menelepon ke ponsel adiknya, Wisnu melarang untuk mengangkatnya, entah kenapa ... dia hanya butuh sendiri. Ketika mengingat tuduhan Raras, hatinya benar-benar sakit.Setelah pelanggan cukup sepi, Aryo kemudian mendekati Wisnu, pria yang tingginya sudah menyamai Wisnu itu, menatap sang kakak d
Katakanlah Felicia adalah jalang yang sesungguhnya. Wanita itu bahkan tidak butuh waktu lama untuk ditaklukkan oleh Andrew. Dalam beberapa menit saja, dia mengerang dan memohon kepada pria itu.Mungkin Andrew adalah pria yang bisa memperlakukan dia seperti apa yang dia butuhkan. Dia begitu lihai dalam memanjakan setiap inci kulitnya, semua itu membuat Felicia mengakui, bahwa Andrew adalah pria terbaik yang pernah menemaninya."Sialan kau, Andrew!" Felicia memakai pria itu, di tangah napasnya yang tersengal. Sedangkan Andrew memamerkan senyum iblisnya.Felicia menyumpahi dirinya yang begitu bodoh, seakan tidak lagi memiliki harga diri di depan pria itu. Dengan mudahnya Andrew menghancurkan semua keangkuhannya, bahkan dengan status sebagai atasan itu, sama sekali tidak membuat Andrew segan padanya.Setelah pertempuran semalaman itu, paginya Felicia dihantam oleh kesadaran, bahwa apa yang terjadi pada dirinya saat ini, adalah hal gila yang selalu terulang. Ditambah kenyataan, dia tengah
Putus asa, sedih serta merasa tertekan, itu yang dirasakan oleh wanita cantik berambut lurus bernama Raras. Tidak terhitung sudah berapa jam dia berkeliling di pulau kecil itu. Dia mendatangi tempat-tempat yang mungkin bisa jadi akan didatangi oleh Wisnu. Akan tetapi suaminya itu sama sekali tidak terlihat batang hidungnya.Raras kemudian mematikan motornya. Jam 01.00 dini hari, sewajarnya tidak pantas wanita sendirian di malam hari dengan suasana yang teramat sepi di tepi pantai.Wanita itu kemudian membuka jaket kulitnya. Menanggalkan helm. Tak lupa sepatu sportnya. Kakinya yang jenjang, menapak pasir basah. Mata wanita itu terlihat basah, dengan semua keputus-asaannya, dia tak tau, apa yang harus dilakukannya."Kenapa ponselmu mati?"Raras menyugar rambutnya yang berantakan. Dia lebih memilih, bertengkar hebat asalkan dia bisa melihat suaminya walaupun tak menegurnya sama sekali.Ketika Wisnu lebih memilih untuk diam saja, maka itu adalah sebuah wujud kemarahan yang tidak bisa dib
Raras masih termangu di tempatnya semula. Kedua tangannya menopang dagunya yang berada di atas meja makan. Bahkan wanita itu tidak berniat menyalakan lampu sama sekali. Ruangan gelap dan hanya ada cahaya lampu di luar sana yang menerangi."Apa yang terjadi padaku, Tuhan?" Raras menutup wajahnya. Hatinya campur aduk.Lauk yang dimasak Wisnu masih utuh di atas meja makan. Pria yang tak pernah gengsi mengerjakan pekerjaan rumah itu, adalah suami idaman siapa saja."Kenapa aku begitu bodoh!" Rara memijit kepalanya. Perasaan hampa dan kehilangan begitu menyiksanya. Bahkan ratusan kali dia menelepon, tak sekalipun panggilannya masuk ke nomor suaminya itu."Beginikah rasanya ditinggalkan?* kata Raras pada dirinya. Dia sering pergi ke luar kota meninggalkan Wisnu, bahkan dalam waktu berhari-hari. Bahkan ketika Wisnu memohon untuk pulang, dia tetap saja bertahan di Jakarta dengan alasan sangat sibuk.Baru beberapa jam suaminya itu meninggalkan rumah, Raras merasa hatinya kosong dan hampa.Otak
Mata Mega memerah, dia merasa nyawanya sudah berada di ujung tanduk. Sepertinya, Raras memang serius ingin menghabisi dirinya. Buktinya cengkraman wanita itu bahkan mampu mengangkat tubuhnya dari lantai. Pandangan Mega mulai buram, dia tak bisa bernapas, bahkan kakinya kejang menendang udara.Mega merasakan dadanya seperti terbakar. Dia yakin, sebentar lagi, dia akan mati. Pandangannya mulai gelap.Brak!Tiba-tiba Raras melemparnya begitu saja ke sudut ruangan. Pinggangnya menabrak dinding."Arggggh!" erang Mega.Mega takjub dengan kekuatan wanita itu, bahkan dengan satu tangan saja, mampu mengangkat beban tubuhnya yang memiliki berat 56 kg.Mega mengambil nafas sepuasnya. Oksigen memenuhi paru-parunya. Tadi dia merasakan paru-paru itu akan meledak. Mega terbatuk-batuk. Dia meraba lehernya yang merasa seperti masih ada cengkraman tangan Raras di sana."Bagaimana rasanya sakit?" Raras menatap Mega dengan tatapan sinis. Dia marah dan Mega cocok untuk pelampiasan.Mega masih dilanda pusi
Mega gentar, selama dia mengenal Raras, dia tidak pernah melihat tatapan murka seperti itu. Tatapan tajam rasa seakan-akan bisa mengoyaknya."Aku perlu bicara!"Mega tergagap. Tapi, saat inilah dia perlu melangkah maju. Dia takkan menyerah, memperjuangkan apa yang dia inginkan."Baik, katakan saja apa yang ingin Mbak katakan."Raras mengamati sekeliling, pengunjung kafe sedang sepi, sedangkan ada satu asisten yang bertugas sebagai koki, tengah santai di meja kasir. "Di dalam saja," ucap Raras ketus, kakinya menapak anak tangga. Mega mengikuti dari belakang. "Duduk!" ketus Raras saat mereka sampai di ruang tengah."Apa yang terjadi? Apa benar kau masuk ke dalam kamarku saat aku tak ada di rumah?"Raras ingin mendengar kalimat bantahan Mega. Akan tetapi, beberapa detik menunggu, wanita itu tak menyanggah."Tepatnya, Mas Wisnu yang masuk ke kamar saya!"Seperti petir yang menyambar di siang hari, sebuah kalimat itu menampar harga diri Raras. Dia berusaha menahan emosinya ketika mendeng