Bukannya menjawab, Afsana masih sibuk mengatur napasnya yang ngos-ngosan. Mulutnya juga komat-kamit melantunkan kalimat istigfar.“Kamu kenapa, sih? Tadi saja senyum-senyum nggak jelas, kan? Ini kenapa kayak habis lari keliling lapangan? Ngos-ngosan,” ujar Deryl lagi. Keningnya mengernyit. Ia memutuskan bangkit dari kasur dan beranjak mendekati sang istri.Masih sama, Afsana setia dengan ketakutannya. Matanya terpejam sambil mengatur napas. Jantungnya pula masih berdegup sangat cepat. Kedua tangannya juga terasa dingin saking takutnya.Deryl sudah ada di depan Afsana. Ia memperhatikan wanita itu begitu fokus. Banyak tanda tanya berseliweran di kepala. Apa yang sebenarnya terjadi?“Hei! Ada apa?” tanya Deryl lagi sambil pelan-pelan menyentuh lengan atas sang istri. Awalnya ragu, tetapi ada keinginan untuk menenangkan wanita yang tampak begitu ketakutan ini.Meski pelan saat menyentuh, Afsana terkesiap dan menoleh dengan cepat ke arah Deryl. Melihat tanggapan seperti itu, Deryl langsung
Ternyata, Afsa menyentuh dan memegangku. Dia juga nggak mau mengungkapkannya kepada siapa pun. Bukan hanya aku yang telah menyembunyikan rahasia. Kami sama-sama melakukan hal tak terduga waktu tidur. Jadinya, impas, kan? Aku nggak merasa melakukan kecurangan sendirian.Ya, sejak tangan Afsana mendarat di wajah suaminya, Deryl memang sudah terbangun. Namun, ia sengaja bergeming dan tetap memejamkan mata membiarkan Afsana menyentuh bagian wajah, terutama pipi.Tapi, kenapa aku nggak menyingkirkan tangannya? Kenapa aku malah menikmati? Aku juga tersenyum setelahnya.Deryl mengubah posisinya. Ia meraih guling dan memeluknya. Lagi-lagi, Deryl tidak mau memahami apa yang sedang terjadi dalam dirinya. Katanya benci, tetapi ada bunga-bunga bermekaran pula di dalam dada.Oh ya, soal sosok tadi malam, apa benar yang dikatakan Afsa? Walau aku juga mengalami hal yang agak ngeri, sih. Tapi, kenapa baru sekarang hal mistis itu terjadi di rumah ini?Mata telah dibuka. Namun, lelaki itu bergeming mem
“Kamu benar nggak pernah berhubungan sama Afsa, kan?” tanya Najwa lagi karena merasa ada yang janggal.“Sudah kukatakan tadi kan, Mbak? Kenapa bertanya lagi?”“Soalnya aku merasa aneh, kenapa kamu sampai bisa bertanya seperti itu seolah ada yang telah mengungkapkannya kepadamu.”“Aku hanya berpikir sendiri tanpa aduan dari siapa pun. Jujur saja, aku kesal sama kamu, Mbak. Dari jawabamu, sudah jelas kalau kamu memang sudah menceritakan semuanya kepada Afsana tanpa sepengetahuanku. Padahal aku yang punya perasaan kepadanya, tapi kenapa kamu ikut campur segala.”“Aku keluargamu, kakakmu! Pantas kalau aku menginginkan yang terbaik untukmu. Untuk masa depanmu.”“Cukup. Kita berangkat sekarang dan kamu nggak perlu mengatakan apa pun lagi mengenai Afsana, Mbak.”Najwa membuang napas kasar karena hanya itu yang bisa dilakukan.***Ponsel berbunyi. Deryl malah mendesah kasar ketika tahu kalau Klara yang sedang meneleponnya.“Kenapa aku jadi kesal sama Klara begini?” gumamnya seraya menggulir l
“Ini Klara, aku melihatnya jalan bareng sama Elang. Jadi, demi kamu, aku membuntutinya diam-diam. Sampai di tempat yang sepi, ternyata mereka main curang di belakangmu begini, De.”Pesan dibaca di dalam dada. Ada bukti foto pula yang masuk bersama pesan itu. Foto yang di dalamnya menangkap dua orang manusia yang berbeda jenis sedang bercumbu mesra. Dua bibir telah menyatu.“Sial! Apa ini!”Deryl begitu gusar. Ia bangkit dari kursinya, tetapi di saat yang sama Haribowo menghampirinya.“De! Kenapa kamu?” tanya Haribowo ketika melihat raut wajah anak bungsunya begitu kusut.Meski amarah membuncah, di depan Haribowo, Deryl tak bisa berkutik. Apalagi, kemarahannya disebabkan oleh Klara—orang yang tak disukai oleh Haribowo—Deryl makin tak karuan.Kenapa di saat seperti ini, malah ada Bapak? Aku nggak mungkin bisa pergi seenaknya. Hari ini juga hari pertama kerja. Klara apa-apaan, sih? Kenapa di belakangku dia malah berbuat curang sama Elang? Sejak kapan mereka begini?“De, kok bengong? Gima
“Terima kasih, ya? Kamu sudah mau kuajak pergi berdua, terus datang ke tempat ini. Kamu benar, nggak mau nunggu kedatangan istrinya Deryl? Walau nanti kamu lihatnya sambil sembunyi-sembunyi. O ya, nanti kuambilkan HP-mu, hampir saja lupa.”Elang berbicara sambil tersenyum puas. Keinginannya telah terlampiaskan walau sekadar menyatukan dua bibir. Selebihnya, akan dilakukan setelah tugasnya selesai. Padahal, sudah dibawa ke rumah ini, tetap saja, Klara menolak.Soal ponsel, Klara menyerahkan dengan berat hati. Elang meminta syarat yang selalu bertambah setiap saatnya. Setelah dipertimbangkan, ponsel itu akhirnya berhasil disimpan oleh Elang selama Klara bersamanya.Kenapa malah aku yang jadi kayak bonekanya Elang? Sampai HP saja harus disita. Padahal, aku kangen banget sama Deryl. Tapi, semua kulakukan demi rencanaku berhasil. Walau Elang terlalu licik. Untung dia nggak memaksa lebih, hanya dicium. Elang harus berhasil menyingkirkan Afsana, baru, aku mau memberikan lebih untuknya.“Bena
“Dengarkan aku baik-baik, sebelum kamu tanda tangan, pastikan kamu memahami perkataanku.”“Aku nggak akan menandatanganinya!” bentak Afsana walau suaranya lemah. Ia sengaja mengulur waktu dengan keadaan yang makin tak menentu.“Kalau itu maumu, baiklah.”Tangan lelaki itu bergerak ke bagian dada. Ia sengaja menakuti Afsana walau kenyataannya senang juga saat melakukannya. Elang mengincar kancing baju untuk dibuka. Padahal, hijab yang dipakai telah menutupi bagian itu.“Apa-apaan kamu!” Afsana berusaha menepis, tetapi tenaganya telah terkuras karena kesadaran yang kian menipis.“Oke, aku akan menghentikannya, tapi dengar permintaanku baik-baik. Kamu nggak ingin mendapatkan perlakuan yang lebih buruk dari ini, kan?” tekan Elang agar Afsana semakin tersudut.Napas terengah. Afsana hanya diam. Ia kesal, tetapi tak bisa berbuat banyak. Untuk bangun dari duduk pun terasa sulit.“Jadi, aku minta, kamu bercerai dari Deryl secepatnya. Jangan pernah berpikir untuk tetap ada di sisinya sebagai s
Deryl yang menghubungi rumah, membuat kabar itu menyebar ke telinga orang tua. Haribowo ikut bertindak. Ia menyuruh anak buahnya meringkus pelaku. Elang tak boleh lolos begitu saja meski sudah dihajar oleh Deryl sampai kesakitan.Afsana sampai dibawa ke rumah sakit karena takut hal buruk menimpa kesehatannya. Asih datang dan banyak bertanya mengapa semua itu bisa terjadi.“Afsa ditipu sama pembeli yang memesan dagangannya. Dia disuruh datang ke rumah yang nggak terurus. Di sana, dia hampir dilecehkan. Orang yang melakukannya adalah orang yang kukenal. Namanya Elang.”Deryl menjelaskan tanpa menyinggung nama Klara. Biarkan saja Elang yang menyeretnya nanti. Deryl begitu marah dengan pacarnya karena perbuatan itu bersumber darinya.“Bapak langsung mengurusnya tadi. Bisa-bisanya, dia jahat seperti itu. Afsa yang malang. Untung, dia nggak kenapa-kenapa. Hanya pingsan begini.”Asih mengusap kepala menantunya yang masih memakai hijab. Afsana terbaring di brankar dengan tangan yang terpasang
“Maaf, karena tindakan bodoh Klara, kamu hampir celaka,” ujar Deryl pelan ketika di dalam mobil menuju pulang ke rumah.“Aku penasaran sama satu hal, Mas De.”“Apa?”“Kamu putus karena apa? Nggak mungkin hanya gara-gara Mbak Klara hampir mencelakaiku, kan?” Afsana tak mau berbasa-basi.“Kenapa kamu berpikir seperti itu?”“Ya kali, kita kan, emang nggak punya perasaan apa-apa. Masa kamu rela putus hanya gara-gara kasihan sama aku?”Kening mengernyit. Percakapan mereka berbisik karena tak mau didengar oleh orang tua yang duduk di depan. Haribowo yang mengusulkan diri untuk menyetir mobil. Di sebelahnya ada Asih. Namun, Afsana berbicara penuh penekanan.“Setelah kita cerai, apa kamu akan menikah dengan laki-laki yang waktu itu duduk bersamamu di warung makan?” tanya Deryl tiba-tiba.Tak habis pikir, Afsana melihat dengan tatapan aneh.“Nggak usah membahas persoalan lain, deh. Pertanyaanku saja belum kamu jawab, kok.”Karena kesal, suara meninggi hingga dua orang di depan menjadi penasara
“Walau kalian diam, Ibu akan tetap mengurusnya. Tidak ada yang bisa menolak,” tegas Asih meski diakhiri dengan senyuman.“Kalau aku, terserah Afsa saja, Bu,” timpal Deryl.“Nduk, kamu pasti mau, kan?” tanya Asih tatapannya bertemu dengan Afsana di spion.“Kalau kami pergi, Ibu sendirian di rumah,” jawab Afsana sambil nyengir.“Nggak masalah, Nduk. Masih ada mbak-mbak sama pegawai yang lain. Kamu nggak perlu mengkhawatirkannya. Kalian pergi paling lama semingguan. Itu nggak lama, Nduk.”“Tapi, tetap butuh biaya banyak kan, Bu?” Afsana memang merasa tidak enak hati.“Jangan pikirkan itu, Nduk. Setelah kalian pulang bulan madu, Deryl akan bekerja melanjutkan pekerjaan Bapak di tambak. Nantinya akan terkumpul lagi uangnya, Nduk.”Karena tidak ada lagi alasan untuk menolak perintah dari Asih, Afsana mengangguk pelan. Deryl melihatnya. Tentu senyumnya kembali merekah.“Kalau begitu, Afsa mau, Bu.”“Alhamdulillah. Harusnya memang begitu, Nduk. Kamu nggak perlu memusingkan biayanya. Nanti Ibu
Afsana sudah pasti akan mengakhiri pernikahan kami. Dia sudah punya cowok idaman. Dia akan kembali padanya dan menikah. Sedangkan aku, yang mati-matian aku jaga malah berkhianat walau dilakukan demi aku, tapi harusnya bukan begitu caranya.Dalam hati, Deryl berbisik. Tatapannya sendu bergulir tak fokus. Seringnya ke arah bawah, tapi tidak menunduk.Sebelum mulai bicara, Afsana sempat melihat ekspresi yang Deryl gambarkan lewat wajahnya.Apa yang sedang dia pikirkan? “Ayo, Nduk. Bu Asih sama Mas Deryl pasti sudah tidak sabar mendengar keputusanmu,” ujar Aminah membuat Afsana kembali fokus.Afsana kembali mengangguk sambil mengambil napas dalam.“Sebelumnya, terima kasih karena Ibu sama Mas Deryl mau memenuhi kemauanku dan datang ke sini. Untuk waktu yang diberikan kepadaku juga selama tinggal di rumah ini. Aku rasa semua itu cukup untukku berpikir dan harus memberikan keputusan untuk pernikahanku bersama Mas Deryl untuk ke depannya.”Afsana berhenti untuk mengambil napas. Namun, kedua
“Seperti yang kamu lihat sekarang, Af. Alhamdulillah, aku baik walau memang aku jadi sering memikirkanmu,” jawab Deryl yang spontan membuat teman Afsana tidak enak berada di antara mereka.“Af, aku tunggu di motor, ya,” ujarnya berbisik.Afsana ingin mencegah, tetapi tidak mungkin. Hanya bisa melebarkan kedua mata saat temannya perlahan meninggalkannya.“Af, maaf, kamu pasti nggak nyaman bertemu denganku begini.” Perkataan Deryl kembali memfokuskan Afsana.Senyum tersungging untuk sedikit mencairkan suasana.“Takdir yang mempertemukan kita, Mas. Mungkin, agar aku tau kalau kamu sudah benar-benar serius untuk berubah. Kita mungkin perlu bicara, walau nggak lama. Nggak mungkin aku menghindar terus, kan?” ujar Afsana harus menentukan dengan tegas.“Kalau gitu, apa kita bisa cari tempat yang lebih nyaman?”“Boleh, Mas.”Deryl mengitarkan pandangannya. Ia menemukan bangku di taman kecil dan kosong.“Tuh! Di sana, yuk,” ajak Deryl sambil mengacungkan jemarinya.Afsana mengikuti arah telunju
Sudah dua bulan semenjak Deryl mengantarkan Afsana ke rumah orang tuanya, selama itu pula, dua orang itu tidak saling memberi kabar.Jasad Marwan sudah dikembalikan dan dikebumikan dengan benar. Dengan seperti itu pula, Haribowo dan semua yang terlibat sudah jelas dimasukkan ke dalam penjara.“Nduk, sudah dua bulan kamu di sini. Apa kamu belum menentukannya? Kasihan Deryl, pasti sedang menunggu kepastian darimu di sana. Bu Asih kelihatan sayang juga sama kamu kan, Nduk?” tanya Aminah yang duduk di sebelah Afsana.Anak perempuannya itu melihat pergerakan sang ibu. Ia membuang napas perlahan. Tak dimungkiri, Afsana masih bingung mau dibawa ke mana pernikahannya yang baru seumur jagung. Memang benar, ada perjanjian akan bercerai di antara mereka, tetapi Afsana mulai gundah saat mengetahui Deryl bersungguh-sungguh mengubah kepribadiannya.“Tapi memang, sepertinya Deryl tidak pantas dijadikan suami untukmu kan, Nduk? Dia pasti nggak salat atau mengerjakan ibadah yang lain. Walau begitu, ke
“Pak, bagaimana?” tanya Lingga yang bisa ditangkap oleh Deryl.“Mas Lingga, apa kamu juga tahu, hm?” Deryl ingin segera menemukan titik terang sesungguhnya.Mungkin ini waktunya, bagaimanapun perasaan bersalah ini nggak bisa hilang begitu saja. Walau aku sudah coba untuk menebusnya dengan caraku sendiri.Haribowo bergeming. Padahal, Lingga yang ada di sebelahnya tampak gelisah. Pertanyaan yang dilontarkan oleh Deryl terasa menghunjam jantungnya.“Pak, jelaskan kalau memang Bapak tahu,” pinta Asih yang didampingi oleh Afsana. Tenaganya terasa menguap. Butuh orang untuk menjaganya.Embusan kasar dilakukan. Haribowo bersiap mengucapkan kalimat. Ia sudah memutuskan solusi paling tepat. Meski terasa sangat berat.“Aku akan mengakui semuanya,” ujar Haribowo.“Bapak yakin?” tanya Lingga agak kaget.“Iya, Ga. Mungkin inilah saatnya. Bapak merasa bersalah.”Lingga mengangguk pasrah.“Ada apa sebenarnya, Pak?” tanya Asih kini air matanya semakin deras mengalir. Perasaannya tidak karuan. Apakah
“Kamu mau ngapain, sih, De?” tanya Asih sebab setelah Haribowo meninggalkan rumah, anak lelakinya malah sibuk sendiri mempersiapkan keperluan untuk menggali tanah.“Mau gali tanah, Bu.”“Buat apa?” Asih keheranan.“Ada sesuatu yang harus dicaritahu, Bu.” Deryl tidak mengatakan tujuan sesungguhnya karena memang belum jelas hasilnya seperti apa.“Apa memangnya?”Asih makin penasaran, makanya ia ingin segera tahu tujuan itu.“Nanti Ibu akan tahu, Bu. Aku saja penasaran. Sudah tanyanya, Bu. Aku harus segera melakukannya agar rasa penasaran kita menghilang.”Asih menghela napas karena perkataan sang anak belum dipahami. Namun, ia hanya bisa diam dan mengikuti anak lelakinya itu.Sedangkan Afsana, ia juga bingung harus mengatakan kebenarannya atau tidak pada Asih. Dirinya kan tahu semuanya dan yang menjadi alasan Deryl mau menggali tanah itu.Deryl melihat Afsana. Lalu, ia pergi sebentar menemui sang istri.“Kamu pura-pura nggak tahu saja. Biar Ibu lihat sendiri nanti,” bisik Deryl. Lalu, k
Jam dinding terus bergerak jarumnya, nyatanya Afsana tidak semudah itu memajamkan matanya kembali setelah bermimpi buruk.“Kenapa belum tidur?” tanya Deryl saat melihat mata istrinya masih terbuka.“Aku jadi nggak ngantuk, Mas. Kamu tidur aja.”“Kenapa?”“Ya karena kamu pasti ngantuk, kan? Nggak usah nungguin aku tidur, Mas.”“Bukan itu. Kamu belum ngantuk karena takut bermimpi buruk lagi, kan?” tebak Deryl.Lebih tepatnya, Afsana belum bisa tidur karena bimbang akan mengatakan mimpi itu pada Deryl atau disimpan sendiri. Namun, mimpinya tadi seperti sebuah petunjuk. Juga, kejadian-kejadian di luar nalar yang beberapa waktu lalu dialami makin menambah pikiran.“Aku cerita, tapi kamu jangan tersinggung, ya, Mas.” Afsana memberanikan diri.“Cerita soal mimpi burukmu itu? Kenapa harus tersinggung?”“Aku ngomong dulu sebelum cerita, Mas. Soalnya, dalam mimpiku sosok itu ngomongnya agak aneh.”“Kamu cerita sambil tiduran begitu?”Memang benar, Afsana tidak beranjak dari tempat pembaringann
Pertanyaan itu dirasa janggal oleh Deryl. Kening tentu mengernyit.“Biar kamu tenang, Mas De. Aku biasa menyibukkan diri dengan membaca Al-Qur’an kalau lagi banyak masalah. Alhamdulillah, hati terasa lebih tenang, Mas De. Mungkin saja, kamu pengen coba, siapa tahu ada perubahan,” ucap Afsana sambil tersenyum. Lalu, ia pergi mengambil kitab suci yang disimpan di lemari.“Ya sudahlah, terserah kamu saja,” jawab Deryl.“Oke.”Afsana kembali duduk. Wudhunya belum batal. Jadi, ia langsung mengambil kitab suci itu dan sekarang membukanya.“Suaraku nggak bagus,” ucap Afsana sebelum memulai melantunkan ayat-ayat suci itu.“Iya. Buruan.”Deryl duduk tak jauh dari Afsana.Afsana mengambil napas. Lalu, ia mulai melafazkan basmallah sebelum membaca ayat-ayat yang tertulis di dalam kitab suci itu.Ketika mendengar suara istrinya, Deryl agak terkejut. Ia membuka mata lebar-lebar untuk sesaat. Yang dikata tidak merdu, nyatanya tak begitu bagi telinga lelaki itu.Sebagus ini dia ngomongnya nggak merd
Senyum getir menghiasi bibir. Benar memang, Deryl sadar diri bagaimana dirinya saat ini. Sangat berbanding terbalik kalau dibandingkan dengan lelaki yang pernah duduk di hadapan istrinya saat di warung makan.“Iya, aku tahu. Istirahatlah. Aku akan berangkat kerja.”“Iya, maafkan aku karena sudah mengatakan kenyataan pahit yang membuatmu tidak nyaman.”Hanya senyuman. Lalu, Deryl keluar dari kamar.Andai aku mengubah penampilan dan mempelajari ilmu agama dengan benar, apakah dia akan mempertimbangkan hubungan pernikahan yang telah terjalin ini? Tapi, buat apa aku memikirkannya? Memang lebih baik kalau kami bercerai kan?“De, kamu mau kerja?” tanya Asih ketika melihat anak lelakinya pergi ke garasi.“Iya, Bu. Afsa di sini kan, sudah ada Ibu. Aku juga harus serius bekerja biar nggak dimarahi Bapak.”“De, cobalah perbaiki dirimu dan dekati Afsa sungguh-sungguh. Kamu sudah menikah. Fokuslah pada pernikahanmu. Hubungan ini bukan untuk main-main walaupun awalnya karena perjanjian utang. Ibu