"Pffttt... Tertarik apanya. Aku yakin aku cuma sedikit senang karena ada yang kukenal di gym ini. Dengan adanya Bima, aku pasti bisa beradaptasi."Itu adalah kalimat yang Azalea tanamkan secara berulang-ulang saat teringat pertanyaan Anna. Meskipun Anna hanya akan cengar-cengir seolah menertawakan jawaban Azalea.Esoknya, Azalea tiba di gym nyaris lebih cepat sepuluh menit dibandingkan kemarin. Ada sebuah kelegaan tatkala ia hanya melihat staff gym di lobi. Maka Azalea pun ganti baju dengan tenang, lalu pergi ke ruang olahraga untuk pemanasan seadanya.Lima menit, sepuluh menit, setengah jam berlalu. Supaya tidak kelihatan menganggur, Azalea minta tolong salah satu pengunjung gym pada treadmill yang akan ia gunakan. Kemudian Azalea melangkah santai pada kecepatan satu setengah kilometer.Seiring keringat mengucur dari pelipis, Azalea sesekali menoleh ke belakang. Tepatnya ke arah pintu. Ia terkesiap ketika ada pengunjung yang datang, segera memalingkan muka, tapi kembali diam-diam mel
Seraya menutup pintu, sambil setengah menggerutu Azalea berkata, "Hari ini nggak perlu ke gym dulu, ya, Dimas. Tolong antar aku jalan-jalan aja,"“Baik, Nyonya. Apakah Anda punya suatu tempat yang ingin dikunjungi?"Di kursi depan, Dimas si supir mengangguk. Mesin mobil menderu pelan ketika meluncur meninggalkan halaman mansion Laksmana dengan mulus. Selalu ada kepuasan menjalar dalam diri Azalea ketika melewati gerbang."Entah. Jalan saja dulu," jawab Azalea, menyenderkan punggungnya nyaman."Siap, Nyonya."Anna menyenggol lengan sang majikan, menggoda, "Yakin nggak ke gym? Kalau hari ini Tuan Bima ada di sana gimana?""Biarin aja, memangnya kenapa?" balas Azalea ketus."Kok malah tanya Saya.”Anna dapat melihat kalau Azalea sedang gelisah. Tatapan kosong sang majikan itu melayang keluar, tapi Anna yakin pikirannya kemana-mana. Sebagai asisten yang baik, Anna tidak akan melewati batasan dengan menganggu lebih lama.
"Apa menurut Anda Tuan Bima bakal datang hari ini, Nyonya?" Anna tak bosan-bosannya meledek Azalea ketika dalam perjalanan menuju gym pada weekend. Karena Johan dan pasangan Laksmana senior juga punya kegiatan mereka, maka Azalea memilih keluar mansion. Setidaknya, suasana pusat kota yang bisa Azalea pandangi sepuas hati cukup menghiburnya. "Udah kubilang kalau aku ke gym bukan buat ketemu Bima,” sahut Azalea. "Duh, mau sampai kapan denial begitu?" gerutu Anna, "Tuan Bima memang menarik dan juga baik, walau tampangnya kadang menyeramkan." Azalea melirik asistennya. "Kedengarannya malah kamu yang tertarik sama dia," "Cemburu?" "Sembarangan." Setibanya di gym dan menunggu setengah jam lamanya, skala penasaran Azalea membludak. Apalagi saat lagi-lagi ia menangkap dengar gadis-gadis gym lain juga menunggu kedatangan Bima. Kemudian Azalea pun mendatangi meja resepsionis. "Permisi." Staff resepsionis bernama Lulu itu menoleh. "Ada yang bisa aku bantu?" "Kamu kenal Bima nggak? Apa
"Secara tidak langsung aku baru saja mengungkapkan kalau diriku ini menyedihkan. Tapi, makasih karena tidak mengasihaniku."Di tengah cerita tadi, Azalea juga ingin berhenti, tapi melihat Bima yang memperhatikan tanpa beralih fokus pada hal lain dan mendengarkan tanpa menyela sedikitpun... Azalea merasakan seluruh beban hatinya terangkat perlahan-lahan.Seraya tersenyum canggung, Azalea menunduk sambil menyesap sisa ice latte-nya demi menghindari tatapan Bima. "Kau tidak menyedihkan," kata Bima pelan.Azalea mendongak. Matanya melebar. "Kecewa setelah dikhianati itu wajar. Semua orang juga merasakan hal yang sama," imbuh Bima, berdehem. Gantian dirinya yang mengalihkan pandangan."Gitu, ya."Azalea memegang erat cup ice latte. Malu-malu tersenyum lebih lebar. Hatinya tergelitik. Tangannya dingin, tapi hatinya menghangat. Siapa yang sangka ucapan sederhana dari Bima itu mampu mencairkan kekhawatiran Azalea?"Sisi baiknya, aku ketemu orang-orang baru seperti Anna dan Dimas. Mereka be
Kejadian memalukan itu berlalu begitu saja tanpa pernah diungkit-ungkit meski tentu saja Azalea tidak akan lupa. Setidaknya, hari itu ada sesuatu yang berubah.Entah disengaja atau tidak, Bima selalu chat duluan. Satu pesan pendek tiap tiga hari sekali yang memberitahu kalau dirinya akan datang ke gym. Dengan begitu, Azalea tidak perlu menebak-nebak.Hari itu adalah kesekian kalinya Azalea pergi ke gym bertemu dengan Bima. Tujuannya tetap olahraga, walau kebanyakan Azalea bakal kelelahan setelah melakukan beberapa gerakan work out.Azalea sedang lari pelan di treadmill ketika dinding kaca di depannya memperlihatkan refleksi gadis-gadis yang berkumpul tak jauh dari tempatnya berada. "Kok bisa, ya," kata Azalea, menoleh ke Bima."Apa?" Lelaki itu perlahan menapak ke lantai setelah angkat badan dari pull up bar machine. "Kamu nggak sadar kalau empat cewek-cewek di sebelah sana lagi lihatin kamu dari tadi?" Azalea menengok ke belakang, memberi petunjuk."Oh... Biarkan saja."Sayangnya
Azalea menuruni tangga utama menuju lantai satu setelah seorang pembantu mengabarkan kalau Johan telah kembali dan memintanya menemui di depan pintu. Sejujurnya, Azalea tidak peduli, tapi itu demi mematuhi suaminya karena ia tidak punya pilihan lain.Di foyer, Johan berdiri dengan dagu terangkat dan senyuman puas. Di lantai, selusin paper bag yang memiliki logo merk ternama berjejer rapi. Begitu pula dengan kardus karton warna-warni bertumpuk menunggu dibuka.Azalea memindai semua itu penuh pertanyaan."Semua ini apa?""Apalagi? Hadiah untukmu. Baju, gaun, make up, parfum, sendal, high heels... Semuanya aku bawakan buatmu." Johan menyeringai angkuh. "Tidak ada satu pun di antara semua benda ini yang berharga di bawah sepuluh juta."Seumur hidupnya, Azalea dan Bibi Luna memang berada di bawah garis ekonomi. Namun melihat banyak barang mahal atau perhiasan mewah sama sekali tidak membuatnya terpukau. Apalagi jika itu berasal dari Johan.Kening Azalea berkedut. Gelombang kemuakan mengguy
Kemarin.Bima menatap telepon dengan tatapan datar setelah mendengar cerita Azalea. Ia tak habis pikir dengan nasib Azalea yang sering disakiti oleh Johan. Di sisi lain, Bima juga bingung mengapa ia begitu peduli pada seorang perempuan itu. Ia tidak mampu membaca situasi atau memahami apa yang terjadi dengan pikirannya sendiri.Bima menatap ponselnya gelisah. Ia meremas rambut pekatnya dan membungkuk. Begitu menyesal atas apa yang ia katakan."Setelah dipikir, ucapan saya tadi sangat tidak pas terhadap kondisi Azalea," pikir lelaki itu, "Bisa jadi Azalea tersinggung jadi mematikan teleponnya begitu saja."Meski sudah begitu pun, pikiran Bima terus berputar-putar. Ia menekan dirinya untuk yakin bahwa Azalea aman di sana."Kapan terakhir kali saya berpikir dia baik-baik saja dan berakhir dengan mengantarnya ke rumah sakit?" sesal Bima, membuang jauh-jauh asumsinya.Belakangan ini, Bima diliputi semacam badai pikiran yang tidak ia pahami. Lama kelamaan, bayangan wajah Azalea memenuhi kep
"Nyonya?"Suara Anna memantul tak mengenai Azalea yang sedang menatap kosong ke depan."Nyonya!"Anna harus mengguncangkan tubuh sang nyonya muda supaya berhenti melamun."Apa?" Azalea terkesiap.Anna membuka pintu mobil lebar, mengomel, "Kok malah bengong. Kita udah sampai. Anda nggak mau turun?""Oh, iya. Makasih Anna, Dimas. Kerja bagus hari ini," ujar Azalea seraya turun dari mobil, lalu melangkah meninggalkan Anna dan Dimas yang mengeluarkan tas olahraga dari bagasi. Mereka berdua berpandangan bingung seraya memperhatikan Azalea berjalan masuk ke mansion tanpa menoleh ke belakang."Kayaknya Nyonya sakit, ya?" tanya Dimas."Dia habis menangis, bodoh. Nyonya kita yang malang." Anna mengambil kesimpulan, menggeleng iba.Dalam kamar mandi pribadi di kamar, lamunan Azalea mengambang. Perempuan cantik itu berdiri di bawah guyuran shower. Rintik air membasahi tubuh polos dan rambut indahnya."Padahal tinggal sedikit lagi," gumam Azalea seraya meraba lehernya. Di balkon gedung gym tadi
“Selamat ulang tahun, Bima," bisik Azalea sekali lagi.Barulah Bima bisa membuka matanya lebar-lebar. Dengan segera Bima tidak bisa mempercayai apa yang terhampar di hadapannya. Seluruh area atap gym diubah menjadi negeri ajaib yang mempesona. Lampu tumblr lembut berkelap-kelip di tiang seolah memancarkan cahaya magis bernuansa romansa.Hanya ada meja di sana, lengkap dihiasi lilin dan bunga-bunga cerah... Serta sebuah kue blackforest dengan beberapa buah cherry di atasnya.Bima terpaku di tempat, bibirnya seakan kelu. Ini seperti rekayasa makan malam yang pernah ia siapkan, kecuali yang ini lebih bagus dan meriah.Bima menoleh penuh pertanyaan, yang dibalas oleh tawa renyah Azalea."Aku mempersiapkan ini semua. Ah, sekaligus buat menebus batalnya makan malam yang harusnya aku datangi setelah ujian baking waktu itu," jelas Azalea, mengusap pipi Bima sayang.“Ayo, duduk.” “Tunggu,” sela Bima, mendahului Azalea untuk menarik kursi untuknya lebih dulu.Terharu, Azalea pun duduk. Disusu
"Coba bilang lagi, besok hari apa?"Azalea menjatuhkan stylus pen, terkejut dengan apa yang baru saja Anna katakan ketika dirinya tengah tenggelam dalam pekerjaan. Asistennya itu masuk ke ruang kerja membawakan secangkir teh hangat dan sepiring sandwich telur dalam ukuran kecil, tapi Anna mengatakan sesuatu tentang Bima dan Azalea pikir ia salah dengar."Ulang tahunnya Tuan Bima, Nyonya. Saya kira malah Nyonya tahu,” ulang Anna, balas memandang sang Nyonya dengan bingung.Azalea menjatuhkan dirinya di sofa dekat jendela, mengerang sambil mengusap wajahnya. "Nggak kepikiran sama sekali malah. Bodohnya aku. Apakah dulu ulang tahun Bima sering dirayakan?""Iya, sih. Tapi biasanya Tuan Bima langsung pergi gitu aja, kelihatan nggak nyaman,” jelas Anna seraya mengingat-ingat.Azalea terdiam. Iya, sih. Ketika masih remaja, Bima pasti menjadi anak emas dengan segala kebutuhan terpenuhi tanpa harus meminta. Ulang tahun hanyalah salah satu dari sekian kemewahan yang dilimpahkan padanya."Mungki
"Sebentar... Kayaknya aku pernah lihat jalanan ini. Bukannya kalau belok di depan sana dan lurus terus bakal sampai ke kampusnya Bima?" Dari dalam mobil, Azalea menoleh dan memperhatikan jalanan sekitar. Pohon-pohon berdiri tegak dalam susunan yang rapi. Pedagang kaki lima memenuhi sisi kedua trotoar. Palang bertuliskan kos-kosan terlihat hampir di setiap rumah. Puluhan remaja memakai almamater hijau lembut mengerumuni pedagang--- mencari makan siang. Ini bukan jalanan yang biasa Azalea lewati, hanya tak sengaja lewat ketika pulang dari kegiatan sosialita ibu mertuanya. Mobil yang dilajukan Dimas perlu melambat karena ramainya orang-orang di kedua sisi. Anna memeriksa map di ponsel. "Kalau dilihat-lihat, iya benar, Nyonya. Hebat banget Anda bisa ingat." "Bima yang sekarang jadi lebih terbuka." Azalea senyum-senyum. "Dimas, tahu 'kan harus apa?" "Siap, Nyonya." Perlu sepuluh menit hingga mobil berhenti di depan gerbang universitas itu. Azalea meraih tasnya dan memperbaiki bebera
"Malam ini?" Di ruang kerja Nyonya Sekar, Azalea menggigit bibir bawahnya dan cengkeraman di ponsel menguat. Walau sebelumnya mengira kalau Bima tak akan menghubunginya secepat ini, ia cukup lega. Suara Bima yang begitu ia rindukan menyapu perasaannya seperti angin lembut. I juga lega ibu mertuanya tidak ada di sana karena ada tamu yang harus ia sambut. "Aku nggak bisa, Bima. Tapi tolong jangan tutup teleponnya. Akan aku coba bilang ke Ibu buat izinin aku keluar," Azalea menambahkan. "Oke. Apa ketemu di gym sudah cukup?" tanya Bima. Azalea mencari-cari kekecewaan dalam balasan itu, tapi jadi tak yakin. Maka ia menjawab pendek, "Ya, makasih...." Ada jeda panjang berisi keheningan selama lima menit. Hanya deru napas masing-masing yang terdengar. Keduanya sama-sama tidak tahu harus menambahkan apa, tapi mengetahui bahwa mereka bisa mengobrol lagi tentunya membuat mereka enggan untuk memutuskan telepon. Setelah berjuang melawan perasaan masing-masing, Azalea pun yang menekan tombol
"Tuh, 'kan bener yang saya curigai.""Huh?" Lamunan lelah Azalea pecah saat Anna meletakkan segelas jus sambil menggerutu."Tuan Bima tidak menjawab telepon anda sejak kemarin 'kan?" tebak Anna jengkel.Sudah sejak kemarin ada yang tidak beres dari gelagat sang Nyonya. Semuanya dimulai ketika Azalea menjadi asisten Nyonya Sekar. Apalagi suasana hati Azalea kelihatan sekali tambah buruk karena berulang kali memeriksa ponsel dengan tatapan putus asa yang menyedihkan."Waktu itu saya hubungi juga beliau tidak mengangkatnya." Anna menggeleng. "Tidak bisa dibiarkan. Ini apalagi namanya kalau bukan mengabaikan anda?"Azalea mendongak. Keningnya berkerut, menambah jelas ekspresi lelah yang menggantung di matanya."Kamu menghubungi Bima buat apa?" tanya Azalea heran. Dari suaranya, energinya sudah menguap entah kemana."Tolong jangan salah paham dulu. Saya sering bertukar kabar dengan Tuan Bima untuk—"Anna berhenti mendadak. Spontan menutup mulut dan dikuasai perasaan serba salah. "Aduh...
Dua Minggu kemudian."Kapan ada hari senggang?" Nyonya Sekar bertanya segera setelah tiba di ruang kerja. Baru saja kembali dari kumpul-kumpul sosialita yang untungnya Azalea tidak perlu ikut hadir.Azalea, yang akhir-akhir ini tidak cukup tidur karena harus menyesuaikan segalanya dengan aktivitas sang ibu mertua, memijit pangkal hidungnya dengan satu tangan. Satu tangannya lain memeriksa agenda."Sabtu ini, Bu. Hanya ada satu acara sore di jadwal," jawab Azalea. Pandangannya sedikit mengabur, pening menyerang kepala, dan dadanya terasa sesak.Namun Azalea tetap teguh mengerjakan semua yang diperintahkan, meski Nyonya Sekar sendiri memiliki Sekretaris pribadi, tapi karena jelas wanita itu mau menekan Azalea maka semua tugas dilimpahkan padanya.Terdengar tidak adil, Azalea tetap memenuhi itu demi calon kebebasannya sendiri. "Bagus. Kau dan Ibu butuh beberapa set dress baru. Orang-orang tidak boleh melihat kita mengenakan pakaian yang sama dua kali."Nyonya Sekar mendengus melihat wa
Dalam salah satu ruang kelas di universitas itu, Bima berdiri menghadap para mahasiswa. Melirik jam lalu menghela napas pendek yang lebih tepat disebut kelegaan.Bima melepas kacamata. Ia menggunakan benda itu hanya ketika mengajar kuliah saja supaya bisa menangkap sosok mahasiswa yang tidur di kelasnya."Tugasnya wajib dikumpulkan Minggu depan. Materi selesai sampai sini," tandas Bima, membawa bukunya lalu keluar kelas.Para mahasiswa pun berhamburan ke lorong dengan kelegaan masing-masing. Obrolan riuh rendah segera mendominasi area itu.Seraya melangkah menuju ruang kantor dosen, Bima memeriksa ponselnya. Sayang sekali, layar ponsel itu tidak menunjukkan pesan dari siapapun. Bima tak bisa menahan untuk mengerang gusar."Masih belum ada jawaban," gumam lelaki itu, menuruni tangga dengan pikiran tertuju pada keberadaan Azalea.Tepat sebelum tiba di dasar tangga, terdengar derap langkah terburu-buru dari belakang. Bima bergeser ke samping membuka sisi kosong."Pak Bima! Tunggu sebenta
Setelah berpisah dengan Nyonya Sekar dan kembali ke kamar, Azalea menghela napas seolah melepaskan beban berat yang menggelayuti bahunya sejak tadi. Perempuan itu melepaskan bajunya. Ia melirik ponsel dan meraih benda itu seraya berjalan ke kamar mandi. "Selama di mobil tadi aku nggak sempat cek ponsel. Hm? Pesan dari Bima?" pikir Azalea, lalu membuka pesan Bima sambil menunggu air mengalir ke bathub.Mata Azalea melebar membaca pesan lelaki itu. Ia membekap mulutnya. Sesuatu dalam hatinya meleleh. Betapa perhatiannya Bima. Jantung Azalea berdegup, antusiasme dan rasa penasaran membanjiri dirinya."Astaga... Apa dia menyiapkan sesuatu buatku? Kejutan karena sudah berhasil menyelesaikan ujian?" Mendadak sosok Bima yang bertelanjang dada sambil berbaring di ranjang penuh kelopak bunga mawar terbayang dalam benak Azalea. Seketika pipinya bersemu merah dan kulitnya kepanasan. Azalea menggeleng sambil menepuk-nepuk pipinya, malu sendiri."Apa kejutan semacam itu? Jangan gila. Mikir apa
"Aku sudah menyewakan area ini khusus untukmu tapi kau bahkan tidak mau memberitahu siapa yang kau undang? Tega sekali."Jack berkacak pinggang ketika Bima sedang merapikan taplak di meja bulat itu. Jack adalah kawan baik Bima sejak dulu. Mereka berdua berada di rooftop apartemen milik Jack. Karena rooftop itu luas dan punya dapur outdoor, Bima menggunakannya untuk menyiapkan makan malam khusus bersama Azalea. Itung-itung pamer kemampuan masak yang Bima kuasai. Bima suka melihat wajah Azalea bercahaya ketika bahagia."Makasih," sahut Bima, sibuk menatap piring dan peralatan makan lain. Terus memunggungi sahabatnya yang geleng-geleng kepala."Maksudku bukan itu. Setidaknya kasih tahu lah, apakah kau menyiapkan semua ini untuk seorang perempuan?" tanya Jack lagi sambil cengengesan.Bima tidak menjawab, jadi Jack sengaja berdiri di seberang meja menghadap Bima."Loh, sudah move on, ya?" selidik Jack.Meletakkan vas berisi tiga mawar merah dengan keras, Bima pun mengangkat kepala. Sorot