“Ibu, kok perut Ibu buncit? ada adiknya ya?”Luna yang sedang duduk di sofa, mengelus perutnya refleks, menatap anak lelakinya, Aris, dengan senyum tipis. Bocah lima tahun itu baru saja tiba di apartemennya untuk menghabiskan akhir pekan bersama. Namun, ketajaman mata anak sekecil itu ternyata bisa menangkap perubahan pada tubuhnya.“Ibu cuma kekenyangan, Sayang,” Luna berusaha mengelak, mengacak rambut Aris pelan.“Tapi perut Ibu gendut banget. Apa Ibu gemuk?,” protes Aris, mendekatkan wajahnya ke perut Luna, seakan ingin mendengar sesuatu dari dalam sana. “Apa ada adik di dalamnya?”Luna menelan ludah, menahan debar yang tiba-tiba memenuhi dadanya. Ia belum siap menghadapi pertanyaan seperti ini, apalagi dari Aris yang masih polos.“Aris, Ibu cuma makan kebanyakan tadi. Makanya perut Ibu begini,” katanya, mencoba terdengar santai.Namun, ekspresi Aris masih penuh selidik. Ia memiringkan kepala kecilnya, lalu mengangkat bahu. “Ya udah. Tapi kalau nanti Ibu perutnya makin sakit, bil
Anton menatap layar ponselnya yang kini gelap setelah Amel menutup telepon dengan kasar. Dadanya terasa sesak. Ia tahu Amel marah—bukan hanya marah, tapi juga kecewa dan merasa dikhianati. Namun, meninggalkan Luna dalam kondisi seperti ini? Itu bukan pilihan.Ia mendesah panjang, menatap Aris yang masih menunggu jawaban darinya. Mata polos anak itu dipenuhi kebingungan."Bapak,di perut Ibu beneran ada adiknya Aris, ya?"Anton menelan ludah. Ia berjongkok, menyamakan tinggi dengan putranya, lalu menggenggam tangan kecilnya dengan lembut."Iya, Nak," jawabnya pelan. "Ibu hamil, dan kamu akan punya adik." Ia terpaksa mengatakan hal ini pada Aris, karena putranya terlanjur mendengar ucapan dokter tadi. Aris terdiam, seakan mencoba memahami kata-kata ayahnya. Perlahan, ia menatap perut ibunya yang masih tertutup selimut."Adiknya Aris siapa?" tanyanya polos.Anton tersenyum tipis. "Kita belum tahu. Nanti kalau sudah lahir, baru bisa kita beri nama."Anak itu tampak berpikir sebentar sebel
Amel masih terpaku dalam diam. Pikirannya terus berkecamuk, seolah ada dua suara yang beradu di kepalanya. Satu suara ingin mempercayai Anton, ingin mencoba memahami situasinya. Tapi suara lainnya terus meneriakkan ketakutan terbesar yang selalu berusaha ia abaikan—bahwa dirinya hanyalah pelarian, bahwa Anton akan kembali pada Luna, bahwa semua janji dan harapan yang ia bangun dengan Anton akan runtuh begitu saja.Hakim, yang masih duduk di sampingnya, menatap adiknya dengan penuh pemahaman. Ia mengerti apa yang dirasakan Amel, tapi ia juga tahu bahwa membiarkan rasa cemburu dan sakit hati menguasai pikiran hanya akan memperburuk keadaan."Kamu nggak bisa terus seperti ini, Mel," ucap Hakim lembut. "Kalau memang kamu sayang sama Anton, kalau kamu percaya sama dia, kamu harus bicara langsung. Tatap matanya, dengarkan penjelasannya. Jangan biarkan ketakutanmu merusak pernikahan kalian."Amel menghela napas panjang. "Mas nggak ngerti... Ini bukan cuma soal percaya atau nggak. Ini soal pe
Anton terdiam, jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Ia tidak menyangka Amel akan berkata sejauh itu.“Amel, jangan seperti ini. Aku—”“Kamu pikir aku tidak serius?” potong Amel dengan suara dingin. “Aku sudah cukup bersabar, Mas. Aku sudah berusaha memahami. Tapi aku bukan wanita bodoh yang akan membiarkan suaminya terus terikat dengan masa lalunya.”Anton mengusap wajahnya, merasa buntu. Ia tahu Amel berhak marah, tapi bukan seperti ini caranya."Amel, aku mencintaimu. Aku nggak mau kehilanganmu," ucap Anton dengan nada putus asa.“Tapi kamu juga nggak bisa meninggalkan Luna, kan?” Amel mengejek. “Setiap dia butuh kamu, kamu selalu ada di sana. Kamu nggak pernah benar-benar melepaskan dia, Mas. Apa sebenarnya kamu masih punya perasaan dengannya?"Anton terdiam. Dalam hati, ia tahu ada kebenaran dalam ucapan Amel.Amel tidak menunggu lebih lama. Setelah menutup telepon, ia segera mengambil tas dan menyambar kunci mobilnya. Amarah membakar hatinya. Ia harus menyelesaikan ini,
"Monic, kenapa suara kamu lemes gitu, Sayang? kamu sakit?""Iya, Tante, saya lagi sakit. Gak bisa bangun dari ranjang. Sayang bibik yang bisa nemenin di apartemen mendadak pulang kampung.""Ya, ampun, Sayang, kasihan sekali kamu. Berarti sekarang kamu sendirian?""Iya, Tante, uek! uek!""Ya ampun, b-begini, mungkin Tante akan ke sana minta dianter Dhuha.""Jangan, Tante, Tante masih sakit.""Tante udah enakan kok, kamu jangan sungkan."Suara lirih itu keluar dari ponsel Maria, membuat hatinya tergerak. Monic adalah gadis yang sangat ia harapkan menjadi menantu. Menikah dengan Dhuha, tetapi putranya malah memilih Aini, mantan istrinya. Maria keluar dari kamarnya. Dhuha baru saja selesai meeting melalui zoom karena hari ini ia WFA."Dhuha, kamu bisa antar Mama ke apartemen Monic? Dia sakit," pinta Maria kepada putra tunggalnya yang sedang duduk di ruang tamu, menikmati teh sore bersama Aini.Dhuha terdiam sejenak, menatap mamanya yang baru saja pulih dari sakitnya sendiri. "Ma, Mama ka
"Aini! Mama!" Dhuha refleks menangkap tubuh ibunya yang hampir jatuh ke lantai. Wajah Maria pucat, napasnya tersengal.Aini yang juga panik langsung berjongkok di samping suaminya. "Mas, kita harus bawa Mama ke rumah sakit!"Dhuha mengangguk cepat. Tanpa membuang waktu, ia mengangkat tubuh ibunya ke dalam gendongan. Aini berlari lebih dulu untuk menekan tombol lift.Saat pintu lift terbuka, mereka masuk dengan tergesa. Dhuha terus memegangi tubuh Maria yang lemas dalam dekapannya, sementara Aini mencoba menenangkan dirinya sendiri. Meski ia kesal dengan Maria, tapi bagaimanapun wanita itu adalah ibu mertuanya.Begitu sampai di basement, Dhuha langsung membawa Maria ke kursi belakang mobil. Aini dengan cepat masuk ke kursi pengemudi dan menyalakan mesin."Aku yang nyetir, Mas. Kamu fokus ke Mama," ucap Aini cepat."Sayang, kamu gak papa?" Aini mengangguk cepat. Dhuha tak membantah. Ia terus mengecek denyut nadi dan suhu tubuh Maria. "Ma, bertahan, ya," bisiknya.Maria hanya mengerang
Pagi itu seharusnya berjalan seperti biasa—sarapan bersama, mengantar Aris ke sekolah, dan Anton berangkat kerja. Namun, suasana rumah justru dipenuhi suara tangisan keras dari anak berusia lima tahun itu."Aku mau ke rumah Ibu!" Aris merengek sambil menarik ujung kausnya. Matanya yang sembab menunjukkan betapa kerasnya ia menangis sejak bangun tidur.Amel memijat keningnya, mencoba bersabar menghadapi rengekan anak sambungnya. Ia sudah berusaha menjadi ibu yang baik bagi Aris, tetapi setiap kali anak itu menyebut nama Luna, ada rasa kesal yang menggelitik perasaannya."Aris, Nak, kamu harus sekolah dulu. Setelah itu, kita lihat nanti," ujar Amel, berusaha menenangkan."Tidak! Aku mau ke rumah Ibu sekarang!" Aris berteriak.Amel menghembuskan napas panjang. "Aris, sudah cukup. Bunda tidak suka kalau kamu berteriak seperti itu. Sekarang bersiaplah untuk sekolah."Aris menggeleng keras. "Aku nggak mau sekolah! Aku mau ke rumah Ibu! Aku udah lama gak ketemu ibu, Bunda. Waktu itu ibu saki
Anton masih berdiri di depan pintu unit apartemen Luna yang kosong. Perasaannya campur aduk antara khawatir, bingung, dan sedikit kesal. Sudah satu bulan lebih ia tak bisa menghubungi Luna, dan sekarang ia baru tahu bahwa mantan istrinya itu benar-benar pergi entah ke mana.Anton menarik napas panjang. Ada kemungkinan Luna memang sengaja menghindarinya. Tapi, jika itu alasannya, kenapa ia juga memutus komunikasi dengan Aris?Aris bukan sekadar anak yang bisa dilupakan begitu saja. Ia tahu Luna sangat mencintai putra mereka.Anton mencoba menghubungi nomor Luna lagi. Masih sama—tidak tersambung.Ia mengetik pesan singkat:"Luna, aku tahu kamu pindah. Aku butuh bicara. Tolong kabari aku. Aris mencarimu."Tapi dalam hati, Anton ragu pesan itu akan mendapat balasan.Di dalam mobil, Anton masih memikirkan kemungkinan lain. Mungkin ada seseorang yang tahu ke mana Luna pergi.Ia mengetik pesan kepada Dhuha. Feelingnya mengatakan bisa saja Dhuha memiliki informasi di mana Luna berada."Dhuha,
Hari itu, matahari bersinar lembut, seolah ikut merayakan kebahagiaan yang memenuhi hati Aini dan Dhuha. Kabar kehamilan Aini menjadi hadiah yang tidak pernah mereka sangka akan datang secepat ini. Setelah bertahun-tahun penantian dan berbagai ujian, akhirnya doa mereka terjawab.Setelah meninggalkan klinik, Dhuha tidak henti-hentinya menggenggam tangan Aini. Tatapan matanya penuh dengan cinta dan rasa syukur.“Aku masih tidak percaya, Sayang,” gumamnya sambil mencuri pandang ke arah istrinya yang duduk di sebelahnya di dalam mobil.Aini tersenyum, meski air matanya belum benar-benar kering. “Aku juga, Mas. Sepertinya Allah benar-benar ingin menguji kesabaran kita sebelum akhirnya memberikan anugerah ini.”Dhuha mengangguk. “Dan kamu lulus ujian itu dengan begitu sabar dan tulus.”Aini menatap suaminya. “Bukan cuma aku. Kita berdua.”Sesampainya di rumah, Dhuha langsung menghubungi keluarganya. Maria awalnya tidak percaya, tapi saat Dhuha menunjukkan foto USG Aini, maka wanita paruh b
Ria berdiri tidak jauh dari meja mereka, mengenakan blouse berwarna pastel dan rok panjang yang anggun. Wajahnya tampak terkejut, tetapi segera berubah menjadi senyum hangat saat ia mendekat."Aku tidak menyangka akan bertemu kalian di sini," katanya sambil menarik kursi kosong di samping Aini.Dhuha hanya mengangguk kecil. Ia masih merasa canggung setiap kali bertemu Ria, mengingat alasan keberadaan wanita itu dalam hidup mereka. Sementara itu, Aini mencoba tersenyum, meski di dalam hatinya ada perasaan tak nyaman yang berputar."Kak Aini, bagaimana kabarmu?" tanya Ria, nada suaranya lembut dan penuh perhatian."Baik, meskipun sedikit tidak enak badan hari ini," jawab Aini sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi.Dhuha menatap istrinya dengan cemas. "Kalau masih merasa pusing, kita pulang saja, Sayang. Istirahat lebih penting."Aini menggeleng pelan. "Tidak apa-apa, Mas. Aku justru senang bertemu Ria di sini."Mata Ria menatap Dhuha dan Aini bergantian. Ia bisa merasakan ketegangan yan
Sore itu, langit menguning keemasan, memberi nuansa hangat yang kontras dengan perasaan Dhuha yang penuh beban. Ia melangkah menuju rumah besar yang sudah sejak kecil ia tinggali, rumah tempat ibunya, Maria, menunggunya dengan segudang pertanyaan yang selalu ia hindari."Duduklah, Nak," Maria mempersilakan putranya duduk di kursi teras yang nyaman. Di hadapannya, teh melati mengepul, menebar aroma menenangkan. Namun, Dhuha tahu, pembicaraan kali ini tidak akan senyaman teh itu."Apa kabar, Ma?" tanya Dhuha, mencoba mencairkan suasana. Pria itu membuka sepatunya, sekaligus melepas dua kancing kemeja abu-abunya paling atas. "Mama sehat, kamu minum dulu!" Dhuha mengangguk. Mengambil teh melati yang aromanya sangat sedap itu. "Mama bikin pisang goreng?" "Bukan, bibik yang masak. Kamu cuci tangan dulu sana, kalau mau makan pisang goreng." Dhuha mengangguk dan langsung masuk ke dalam rumah. Ia mencuci tangan di wastafel ruang tengah. "Keliatannya Mama sehat, ada apa Mama panggil aku ke
Aini meraih tangan Alex dan menjabatnya pelan. Kesepakatan ini mungkin bukan yang terbaik baginya, tapi setidaknya ini adalah langkah awal untuk bisa kembali dekat dengan anak-anaknya."Terima kasih, Mas," ucapnya dengan suara nyaris berbisik.Alex mengangguk tanpa ekspresi, sementara Zita masih menampilkan senyum ramahnya. Dhuha yang duduk di samping Aini tetap tenang, meskipun tatapannya sesekali bergeser pada Zita, menilai bagaimana wanita itu bersikap."Kapan aku bisa mulai bertemu mereka?" tanya Aini hati-hati.Alex menatap Zita sejenak, seolah meminta pendapatnya."Bagaimana kalau akhir pekan ini? Hari Sabtu setelah makan siang? Kita bisa bertemu di taman dekat rumah," usul Zita."Anak-anak pasti senang sekali," tambahnya masih dengan senyum yang sama. Aini tersenyum lega. "Baik, aku akan datang."Percakapan pun berlanjut dengan membahas hal-hal ringan mengenai kegiatan anak-anak. Zita dengan santai bercerita bagaimana Intan kini semakin menyukai menggambar dan Izzam mulai tert
Mobil sedan hitam itu berhenti di halaman rumah besar dengan taman yang tertata rapi. Anton menatap bangunan megah itu dengan napas berat. Sudah lebih dari sebulan Amel tinggal di sini, di rumah orang tuanya, meninggalkan rumah mereka yang seharusnya menjadi tempat membangun kebahagiaan bersama.Anton turun dari mobil, mengetuk pintu dengan sedikit ragu. Tak lama, seorang asisten rumah tangga membukakan pintu.“Masuklah, Mas. Mbak Amel ada di ruang tamu,” katanya dengan sopan.Anton melangkah masuk, mendapati Amel duduk di sofa, wajahnya dingin tanpa ekspresi. Sejujurnya, ia sudah mengira istrinya akan bereaksi seperti ini.“Assalamualaykum, Amel…” Anton membuka suara, suaranya bergetar. Kakinya melangkah pelan, sesekali melirik ruang tengah yang besar itu teramat sepi. Amel duduk di depan televisi dengan tatapan kosong. "Amel," panggil Anton lagi. Amel menoleh sekilas, lalu kembali menatap layar ponselnya tanpa minat. “Ada perlu apa datang ke sini?” tanya wanita itu sinis. Anton m
Pagi harinya, Aini bangun dengan tubuh lebih segar, meski pikirannya masih penuh dengan pertanyaan yang belum terjawab. Setelah menunaikan salat subuh berjamaah dengan Dhuha, ia menyiapkan sarapan sederhana berupa roti panggang dan omelet.Dhuha duduk di meja makan sambil menggulir layar ponselnya. Sesekali ia menatap Aini sambil tersenyum. "Aku selalu senang kalau lihat rambut kamu basah." Aini yang sedang mengangkat roti dari panggangan, langsung menoleh ke belakang. "Dih, dingin tahu!" balasnya sambil tersipu malu. Malu bila ingat kejadian semalam, ia yang terlalu bersemangat sampai mereka berdua jatuh dari ranjang. Suara tawa Dhuha menggema. "Tapi aku suka sama yang semalam. Boleh diulang dia hari lagi ha ha ha.... ""Emmoh!" Aini menaruh piring yang sudah ada roti panggang coklat di depan suaminya. "Diulang gerakannya, bukan jatohnya, ha ha ha... huk! huk!""Makanya jangan iseng, jadinya tersedak!" Aini memberikan air putih pada suaminya. "Maaf, Sayang, kenapa sih, aku selal
Aini menghapus air matanya dengan ujung jari, berusaha menenangkan diri. Dhuha masih menggenggam tangannya erat, memberikan kehangatan di tengah gemuruh emosinya. Dari kejauhan, ia memperhatikan Intan dan Izzam berjalan masuk ke dalam gerbang sekolah, sesekali menoleh ke belakang untuk melambaikan tangan pada wanita yang mengantar mereka.Siapa dia? Wanita itu tersenyum hangat, begitu akrab dengan Intan dan Izzam. Aini menelan ludah. Ada perasaan aneh yang menjalar di hatinya—perasaan kehilangan yang semakin nyata. Wanita yang sama persis dengan yang ada di media sosial Alex tempo hari. Apa wanita itu sudah menjadi istri Alex? "Mas, aku ingin tahu siapa dia," gumamnya pelan, hampir seperti bisikan.Dhuha menoleh ke arahnya, menatap dengan mata penuh pengertian. "Kalau kamu penasaran, kita bisa cari tahu. Tapi kamu harus siap dengan jawabannya."Aini menarik napas panjang. Apakah ia benar-benar siap? Ia tidak tahu. Namun, melihat bagaimana anak-anaknya terlihat nyaman dengan wanita it
Maria menatap Miranti lekat-lekat, memastikan bahwa gadis itu benar-benar yakin dengan keputusannya. Sejak awal, ia tidak pernah membayangkan akan ada seseorang yang begitu rela mengorbankan dirinya seperti ini.“Tante akan bicara dengan Dhuha dan Aini,” ulang Maria, memastikan Miranti tidak berubah pikiran.Miranti mengangguk. “Terima kasih, Tante. Saya siap menghadapi mereka kapan pun. Kami hanya perlu bicara dari hati ke hati. Apapun nanti jawaban Aini dan Dhuha, saya juga gak keberatan."Maria menyandarkan punggungnya ke kursi. Pikirannya mulai mencari cara terbaik untuk menyampaikan hal ini kepada putranya dan menantunya. Aini mungkin masih belum sepenuhnya terbuka terhadap gagasan ini, meskipun ia sendiri yang mengusulkannya. Dhuha? Maria yakin putranya masih berada dalam fase menolak.Namun, waktu terus berjalan.Setelah makan siang mereka selesai, Maria dan Miranti berpisah. Namun, bagi Maria, ini bukan akhir, melainkan awal dari perjalanan yang lebih rumit. Apa Dhuha akan set
Aini terdiam mendengar syarat yang diajukan Dhuha. Matanya menatap suaminya, mencari keyakinan di balik permintaannya."Satu tahun, Mas?" ulangnya pelan.Dhuha mengangguk. "Iya, Ai. Kita sudah menunggu sejauh ini. Aku ingin kita memberi waktu untuk pernikahan kita lebih matang sebelum kita mengambil keputusan sebesar ini. Lagipula, dokter bilang kamu masih punya peluang hamil secara alami. Kenapa kita tidak mencoba lebih lama? Kamu bukan tidak bisa hamil, tapi memang belum waktunya. Sayang, aku ingin kita benar-benar yakin akan langkah yang ke depannya kita tempuh ini. Termasuk segala hal berkaitan dengan dampaknya, terutama mama."Aini menggigit bibirnya. Ia tahu suaminya tidak sepenuhnya setuju dengan usulannya, tapi setidaknya Dhuha tidak langsung menolaknya mentah-mentah. Ini sudah lebih baik daripada tidak ada kompromi sama sekali.Ria, yang sejak tadi memperhatikan mereka, akhirnya ikut angkat bicara. "Menurut saya, keputusan Mas Dhuha masuk akal, Kak Aini. Ini bukan hal kecil.