Anton mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan, mencoba menenangkan pikirannya yang berkecamuk. Ia tahu cepat atau lambat, Amel akan tahu tentang kehamilan Luna. Dan ketika itu terjadi, apa yang akan ia katakan? Bagaimana ia bisa meyakinkan Amel bahwa ia tidak pernah berniat menyembunyikan hal ini darinya?Di rumah, sepulang kerja dari kantornya, Amel sibuk mengatur dekorasi ruang tamu. Mereka baru menikah empat puluh hari, dan sebagai istri, Amel berusaha membuat rumah mereka senyaman mungkin. Saat Anton pulang, ia langsung menyadari ada sesuatu yang berbeda dari suaminya. Ekspresi wajahnya tegang, matanya kosong, dan bahunya sedikit membungkuk seakan membawa beban berat."Mas, kamu nggak apa-apa? Kelihatan capek banget," kata Amel sambil menghampiri Anton yang baru saja duduk di sofa."Seriusan kamu bertemu Luna di jalan?" Anton menatap istrinya, ada perasaan bersalah yang menghantam dadanya. Ia ingin jujur, tapi belum siap menghadapi konsekuensinya. "Iya, tadi, makanya Aris d
Bab 18 – Kejujuran yang MenyakitkanAmel merasakan tubuhnya mendadak lemas. Ia menatap Anton dengan mata membelalak, berharap ia salah dengar. Tapi suaminya duduk di hadapannya dengan ekspresi bersalah, tidak membantah, tidak mengoreksi."Mas... ulangi. Aku pasti salah dengar," suara Amel bergetar.Anton menelan ludah, menundukkan kepala. "Luna hamil, Mel. Lima bulan. Dan bayi itu... kemungkinan besar anakku."Seketika dada Amel sesak. Ia berusaha menarik napas, tapi rasanya sulit. Kepalanya berputar, pikirannya berusaha mencerna kalimat itu."Jadi... jadi selama ini kamu tahu? Kamu tahu Luna hamil dan kamu diam saja? Kamu membiarkan aku tidak tahu apa-apa?"Anton buru-buru menggeleng. "Aku baru tahu kemarin, Mel. Aku benar-benar nggak tahu sebelumnya. Luna menyembunyikannya dariku.""Tapi dia akhirnya bilang ke kamu, kan?" suara Amel meninggi."Dia nggak bilang langsung. Aku baru sadar setelah melihat perutnya yang mulai membesar."Amel menutup mulutnya dengan tangan. Ada perasaan di
Pagi menyapa dengan keheningan yang menusuk. Amel membuka mata, mendapati dirinya masih berada di kamar tamu rumah Lea. Sekelebat ingatan semalam kembali menyerangnya. Luna hamil. Anton merahasiakannya. Dan sekarang, hidupnya terasa seakan di ambang kehancuran.Dari luar, ia bisa mendengar suara Lea yang sedang berbincang dengan seseorang. Mungkin sekadar obrolan pagi dengan pembantu rumah tangga atau tetangga yang mampir. Tapi Amel tak peduli. Dadanya masih sesak, pikirannya masih dipenuhi pertanyaan yang tak bisa ia jawab.Ponselnya tergeletak di samping bantal. Layarnya berkedip, menampilkan serangkaian panggilan tak terjawab dari Anton. Ada juga beberapa pesan dari suaminya itu.Mas Anton: Mel, aku tahu kamu marah. Tolong kasih aku kesempatan buat jelasin semuanya.Mas Anton: Aku nggak pernah berniat menyakitimu, aku juga kaget dengan kabar ini.Mas Anton: Pulanglah, sayang. Kita bisa bicara baik-baik.Mas Anton: Aku menunggumu, Mel.Amel menarik napas panjang, lalu membuangnya de
Suara dering ponsel mengusik pagi yang tenang. Dhuha baru saja selesai solat subuh ketika melihat nama “Mama” terpampang di layar. Ia segera menjawab.“Halo, Ma?”Suara Maria terdengar lemah di seberang sana. “Dhuha… Mama nggak enak badan.”Dhuha langsung tegang. “Mama kenapa? Udah ke dokter belum?”Maria menghela napas panjang. “Bibik pulang kampung, nggak ada yang jaga Mama. Kamu sibuk, kan? Mama nggak mau ganggu. Tapi Mama butuh seseorang buat ngurusin Mama di rumah…”Dhuha mengusap wajahnya. Ia tahu ke mana arah pembicaraan ini. “Ma, aku bisa suruh perawat buat jagain Mama.”“Perawat?” Maria mendengus pelan. “Mama nggak butuh orang asing. Mama mau Aini yang jaga.”Dhuha terdiam. Mamanya memang belum juga menerima Aini sepenuhnya, apalagi setelah pernikahan mereka yang tetap berlangsung meski tanpa restunya. Jadi, permintaan ini terdengar ganjil.“Aini?” Dhuha memastikan, sedikit ragu. “Mama yakin?”“Ya,” jawab Maria mantap. “Kamu bisa antar dia ke sini sebelum berangkat kerja?”Dh
Maria terdiam cukup lama. Matanya mengamati wajah Aini dengan tajam, seolah mencari celah untuk menemukan ketidaktulusan di sana. Namun, menantunya itu tetap tersenyum, tidak goyah sedikit pun.“Hm.” Maria mengalihkan pandangan. “Ambilkan bantal kecil di lemari.”Aini segera melaksanakan permintaan itu. Ketika ia membuka lemari dan mencari bantal yang dimaksud, Maria memandang punggungnya dengan ekspresi yang sulit ditebak.Maria tidak pernah menyetujui pernikahan mereka. Baginya, Aini adalah penghalang. Perempuan yang kembali masuk ke dalam kehidupan putranya setelah bertahun-tahun berpisah. Jika bukan karena cinta Dhuha yang begitu besar, Maria yakin putranya bisa mendapatkan wanita yang lebih baik—wanita yang benar-benar berasal dari keluarga terhormat, bukan janda dari pernikahan yang gagal. Ditambah pernah menjadi pemulung juga. Namun, semakin Maria menguji, semakin sulit menemukan alasan untuk membenci Aini.Aini kembali ke sisi ranjang dan menyerahkan bantal kecil itu. “Ini, M
"Ayo, Izzam, kita coba lagi. Tiga kali tiga berapa?" Zita bertanya dengan lembut, duduk di samping bocah itu yang tengah menekuni buku catatannya.Izzam mengernyitkan dahi, menggigit ujung pensilnya. "Sembilan?" jawabnya ragu."Benar! Pintar sekali kamu!" Zita tersenyum, memberikan pujian dengan tulus.Mata Izzam berbinar senang. "Aku bisa! Aku bisa!" serunya sambil melompat kecil di kursinya.Intan, adiknya yang duduk di seberang mereka, ikut tersenyum melihat kakaknya bersemangat. "Mas Izzam pintar! Mas Izzam pintar!"Zita tertawa kecil. "Tentu saja, nanti kita belajar lagi supaya semakin pintar, ya. Apa ada PR lain dari sekolah, Mas?""Nggak ada, ini saja ada lima soal saja.""Dan Izzam mengerjakannya dengan hebat. Sebelum tidur, nanti hapalan perkalian tiga dan juga murojaah surah Al qoriah ya."Izzam mengangguk mantap. "Iya, makasih Mbak Zita udah nemenin aku belajar. Tuh, lihat sendiri PR dan tugas sekolah aku nilainya jadi bagus semua." Zita membuka buku Izzam dan tersenyum sen
Alex masuk ke dalam kamarnya dengan perasaan yang berkecamuk. Pikirannya penuh dengan kata-kata ibunya barusan. Dekati Zita? Itu ide yang gila.Ia menghempaskan tubuhnya ke tempat tidur, menatap langit-langit kamar yang gelap. Zita memang sosok yang baik, penyabar, dan perhatian terhadap anak-anaknya. Namun, menjadikannya sebagai istri? Tidak. Ia belum siap untuk membuka hati, apalagi mengulang pernikahan yang dulu berakhir dengan begitu menyakitkan.Tapi... kata-kata Dika juga terus terngiang di kepalanya."Menikah tidak perlu modal cinta karena banyak yang modal cinta, akhirnya gagal di tengah jalan."Alex memejamkan mata. Mungkin ada benarnya. Pernikahannya dengan Aini dulu penuh cinta, tapi akhirnya tetap hancur.Ia menarik napas dalam. Perlukah ia mencoba memulai kembali?Namun, bayangan Aini yang tersenyum bahagia di samping Dhuha kembali menghantam dadanya. Luka itu masih ada.Ia menghela napas kasar. Besok adalah hari lain. Mungkin pikirannya akan lebih jernih setelah tidur. T
Alex duduk di kamarnya, ponsel masih tergenggam di tangan. Ia menatap layar dengan ragu sebelum akhirnya menghubungi sang mama.“Halo, Lex?” suara ibunya terdengar lembut namun penuh harapan.“Ma, aku mau bicara.”“Tentang apa? tumben malam-malam gini, apa ada masalah sama anak-anak?"Alex menarik napas panjang sebelum menjawab, “Tentang Zita.”Hening sejenak di seberang telepon. Lalu, suara ibunya kembali terdengar, kali ini lebih antusias. “Akhirnya kamu mempertimbangkannya?”“Aku masih belum yakin, Ma. Aku hanya ingin tahu... kalau misalnya aku serius mempertimbangkan untuk menikahi Zita, menurut Mama, bagaimana?”Sang ibu tertawa kecil. “Tentu saja Mama setuju! Zita itu gadis baik, sabar, perhatian sama anak-anak. Sejak dia datang, rumah ini lebih hidup, kan? Gak papa dia janda, kamu juga duda kan. Lagian Zita itu pernah sekolah D1 guru TK, pantesan bisa dekat anak-anak."Alex mengangguk, meskipun ibunya tak bisa melihatnya. “Iya, itu benar. Tapi aku masih ragu. Aku takut jika ini
Hari itu, matahari bersinar lembut, seolah ikut merayakan kebahagiaan yang memenuhi hati Aini dan Dhuha. Kabar kehamilan Aini menjadi hadiah yang tidak pernah mereka sangka akan datang secepat ini. Setelah bertahun-tahun penantian dan berbagai ujian, akhirnya doa mereka terjawab.Setelah meninggalkan klinik, Dhuha tidak henti-hentinya menggenggam tangan Aini. Tatapan matanya penuh dengan cinta dan rasa syukur.“Aku masih tidak percaya, Sayang,” gumamnya sambil mencuri pandang ke arah istrinya yang duduk di sebelahnya di dalam mobil.Aini tersenyum, meski air matanya belum benar-benar kering. “Aku juga, Mas. Sepertinya Allah benar-benar ingin menguji kesabaran kita sebelum akhirnya memberikan anugerah ini.”Dhuha mengangguk. “Dan kamu lulus ujian itu dengan begitu sabar dan tulus.”Aini menatap suaminya. “Bukan cuma aku. Kita berdua.”Sesampainya di rumah, Dhuha langsung menghubungi keluarganya. Maria awalnya tidak percaya, tapi saat Dhuha menunjukkan foto USG Aini, maka wanita paruh b
Ria berdiri tidak jauh dari meja mereka, mengenakan blouse berwarna pastel dan rok panjang yang anggun. Wajahnya tampak terkejut, tetapi segera berubah menjadi senyum hangat saat ia mendekat."Aku tidak menyangka akan bertemu kalian di sini," katanya sambil menarik kursi kosong di samping Aini.Dhuha hanya mengangguk kecil. Ia masih merasa canggung setiap kali bertemu Ria, mengingat alasan keberadaan wanita itu dalam hidup mereka. Sementara itu, Aini mencoba tersenyum, meski di dalam hatinya ada perasaan tak nyaman yang berputar."Kak Aini, bagaimana kabarmu?" tanya Ria, nada suaranya lembut dan penuh perhatian."Baik, meskipun sedikit tidak enak badan hari ini," jawab Aini sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi.Dhuha menatap istrinya dengan cemas. "Kalau masih merasa pusing, kita pulang saja, Sayang. Istirahat lebih penting."Aini menggeleng pelan. "Tidak apa-apa, Mas. Aku justru senang bertemu Ria di sini."Mata Ria menatap Dhuha dan Aini bergantian. Ia bisa merasakan ketegangan yan
Sore itu, langit menguning keemasan, memberi nuansa hangat yang kontras dengan perasaan Dhuha yang penuh beban. Ia melangkah menuju rumah besar yang sudah sejak kecil ia tinggali, rumah tempat ibunya, Maria, menunggunya dengan segudang pertanyaan yang selalu ia hindari."Duduklah, Nak," Maria mempersilakan putranya duduk di kursi teras yang nyaman. Di hadapannya, teh melati mengepul, menebar aroma menenangkan. Namun, Dhuha tahu, pembicaraan kali ini tidak akan senyaman teh itu."Apa kabar, Ma?" tanya Dhuha, mencoba mencairkan suasana. Pria itu membuka sepatunya, sekaligus melepas dua kancing kemeja abu-abunya paling atas. "Mama sehat, kamu minum dulu!" Dhuha mengangguk. Mengambil teh melati yang aromanya sangat sedap itu. "Mama bikin pisang goreng?" "Bukan, bibik yang masak. Kamu cuci tangan dulu sana, kalau mau makan pisang goreng." Dhuha mengangguk dan langsung masuk ke dalam rumah. Ia mencuci tangan di wastafel ruang tengah. "Keliatannya Mama sehat, ada apa Mama panggil aku ke
Aini meraih tangan Alex dan menjabatnya pelan. Kesepakatan ini mungkin bukan yang terbaik baginya, tapi setidaknya ini adalah langkah awal untuk bisa kembali dekat dengan anak-anaknya."Terima kasih, Mas," ucapnya dengan suara nyaris berbisik.Alex mengangguk tanpa ekspresi, sementara Zita masih menampilkan senyum ramahnya. Dhuha yang duduk di samping Aini tetap tenang, meskipun tatapannya sesekali bergeser pada Zita, menilai bagaimana wanita itu bersikap."Kapan aku bisa mulai bertemu mereka?" tanya Aini hati-hati.Alex menatap Zita sejenak, seolah meminta pendapatnya."Bagaimana kalau akhir pekan ini? Hari Sabtu setelah makan siang? Kita bisa bertemu di taman dekat rumah," usul Zita."Anak-anak pasti senang sekali," tambahnya masih dengan senyum yang sama. Aini tersenyum lega. "Baik, aku akan datang."Percakapan pun berlanjut dengan membahas hal-hal ringan mengenai kegiatan anak-anak. Zita dengan santai bercerita bagaimana Intan kini semakin menyukai menggambar dan Izzam mulai tert
Mobil sedan hitam itu berhenti di halaman rumah besar dengan taman yang tertata rapi. Anton menatap bangunan megah itu dengan napas berat. Sudah lebih dari sebulan Amel tinggal di sini, di rumah orang tuanya, meninggalkan rumah mereka yang seharusnya menjadi tempat membangun kebahagiaan bersama.Anton turun dari mobil, mengetuk pintu dengan sedikit ragu. Tak lama, seorang asisten rumah tangga membukakan pintu.“Masuklah, Mas. Mbak Amel ada di ruang tamu,” katanya dengan sopan.Anton melangkah masuk, mendapati Amel duduk di sofa, wajahnya dingin tanpa ekspresi. Sejujurnya, ia sudah mengira istrinya akan bereaksi seperti ini.“Assalamualaykum, Amel…” Anton membuka suara, suaranya bergetar. Kakinya melangkah pelan, sesekali melirik ruang tengah yang besar itu teramat sepi. Amel duduk di depan televisi dengan tatapan kosong. "Amel," panggil Anton lagi. Amel menoleh sekilas, lalu kembali menatap layar ponselnya tanpa minat. “Ada perlu apa datang ke sini?” tanya wanita itu sinis. Anton m
Pagi harinya, Aini bangun dengan tubuh lebih segar, meski pikirannya masih penuh dengan pertanyaan yang belum terjawab. Setelah menunaikan salat subuh berjamaah dengan Dhuha, ia menyiapkan sarapan sederhana berupa roti panggang dan omelet.Dhuha duduk di meja makan sambil menggulir layar ponselnya. Sesekali ia menatap Aini sambil tersenyum. "Aku selalu senang kalau lihat rambut kamu basah." Aini yang sedang mengangkat roti dari panggangan, langsung menoleh ke belakang. "Dih, dingin tahu!" balasnya sambil tersipu malu. Malu bila ingat kejadian semalam, ia yang terlalu bersemangat sampai mereka berdua jatuh dari ranjang. Suara tawa Dhuha menggema. "Tapi aku suka sama yang semalam. Boleh diulang dia hari lagi ha ha ha.... ""Emmoh!" Aini menaruh piring yang sudah ada roti panggang coklat di depan suaminya. "Diulang gerakannya, bukan jatohnya, ha ha ha... huk! huk!""Makanya jangan iseng, jadinya tersedak!" Aini memberikan air putih pada suaminya. "Maaf, Sayang, kenapa sih, aku selal
Aini menghapus air matanya dengan ujung jari, berusaha menenangkan diri. Dhuha masih menggenggam tangannya erat, memberikan kehangatan di tengah gemuruh emosinya. Dari kejauhan, ia memperhatikan Intan dan Izzam berjalan masuk ke dalam gerbang sekolah, sesekali menoleh ke belakang untuk melambaikan tangan pada wanita yang mengantar mereka.Siapa dia? Wanita itu tersenyum hangat, begitu akrab dengan Intan dan Izzam. Aini menelan ludah. Ada perasaan aneh yang menjalar di hatinya—perasaan kehilangan yang semakin nyata. Wanita yang sama persis dengan yang ada di media sosial Alex tempo hari. Apa wanita itu sudah menjadi istri Alex? "Mas, aku ingin tahu siapa dia," gumamnya pelan, hampir seperti bisikan.Dhuha menoleh ke arahnya, menatap dengan mata penuh pengertian. "Kalau kamu penasaran, kita bisa cari tahu. Tapi kamu harus siap dengan jawabannya."Aini menarik napas panjang. Apakah ia benar-benar siap? Ia tidak tahu. Namun, melihat bagaimana anak-anaknya terlihat nyaman dengan wanita it
Maria menatap Miranti lekat-lekat, memastikan bahwa gadis itu benar-benar yakin dengan keputusannya. Sejak awal, ia tidak pernah membayangkan akan ada seseorang yang begitu rela mengorbankan dirinya seperti ini.“Tante akan bicara dengan Dhuha dan Aini,” ulang Maria, memastikan Miranti tidak berubah pikiran.Miranti mengangguk. “Terima kasih, Tante. Saya siap menghadapi mereka kapan pun. Kami hanya perlu bicara dari hati ke hati. Apapun nanti jawaban Aini dan Dhuha, saya juga gak keberatan."Maria menyandarkan punggungnya ke kursi. Pikirannya mulai mencari cara terbaik untuk menyampaikan hal ini kepada putranya dan menantunya. Aini mungkin masih belum sepenuhnya terbuka terhadap gagasan ini, meskipun ia sendiri yang mengusulkannya. Dhuha? Maria yakin putranya masih berada dalam fase menolak.Namun, waktu terus berjalan.Setelah makan siang mereka selesai, Maria dan Miranti berpisah. Namun, bagi Maria, ini bukan akhir, melainkan awal dari perjalanan yang lebih rumit. Apa Dhuha akan set
Aini terdiam mendengar syarat yang diajukan Dhuha. Matanya menatap suaminya, mencari keyakinan di balik permintaannya."Satu tahun, Mas?" ulangnya pelan.Dhuha mengangguk. "Iya, Ai. Kita sudah menunggu sejauh ini. Aku ingin kita memberi waktu untuk pernikahan kita lebih matang sebelum kita mengambil keputusan sebesar ini. Lagipula, dokter bilang kamu masih punya peluang hamil secara alami. Kenapa kita tidak mencoba lebih lama? Kamu bukan tidak bisa hamil, tapi memang belum waktunya. Sayang, aku ingin kita benar-benar yakin akan langkah yang ke depannya kita tempuh ini. Termasuk segala hal berkaitan dengan dampaknya, terutama mama."Aini menggigit bibirnya. Ia tahu suaminya tidak sepenuhnya setuju dengan usulannya, tapi setidaknya Dhuha tidak langsung menolaknya mentah-mentah. Ini sudah lebih baik daripada tidak ada kompromi sama sekali.Ria, yang sejak tadi memperhatikan mereka, akhirnya ikut angkat bicara. "Menurut saya, keputusan Mas Dhuha masuk akal, Kak Aini. Ini bukan hal kecil.