Andra!" Ibu datang dengan tergopoh-gopoh, padahal kondisi beliau tengah tak baik. "Bu!" Aku mengamit lengan beliau. "Mas, apa-apaan ini? Kenapa kamu pukul Mas Kino?" "Mas? Ning, dia ini adik iparmu! Dan kamu, Kino, Nining itu bukanlah pembantu lagi di sini, tapi istriku! Seenaknya saja kamu membawanya begitu saja tanpa izin dariku!" teriak Mas Andra. Aku dapat melihat dari ekor mata, Mbak Rosa keluar dari kamar mengunakan piyama kurang bahan, sementara Keysha menyusul di belakangnya namun ditahan oleh Sinta. Bagus, jangan sampai anak kecil melihat perkelahian orang dewasa. "Mas, ada apa?" Aku menilik tampilannya. Bahkan di depannya kini ada Mas Kino, apa dia tak malu auratnya dilihat oleh orang lain?"Gapapa!" Mbak Rosa menghampiri Mas Andra dan memeluk lengannya. Aku tersenyum kecut. Bahkan kini Mas Andra sudah tak segan lagi untuk bermesraan di depanku. Ah, siapalah aku? "Mas, sepertinya besok aku akan pulang ke rumah Bapak," ucapku. "Benarkah? Bagus, dong!" Kali ini Mbak
Aku terdiam, kemudian tersenyum kembali sebelum akhirnya memutuskan keluar. Sampai di luar, Mas Kino tengah duduk di sofa tunggal, sementara Mas Andra duduk d sebelah Mbak Rosa yang seperti cacing kepanasan. Astghfirullah, Nining, kamu solimi sekali! Malam hari. Mas Andra datang membawa sebuah nampan. Aku yang masih kesal pun hanya diam tak menanggapi. "Ning." "Kamu masih marah?' "Ning?" Kuatur napas, lalu menghembuskan perlahan. "Mas, tolong ceraikan aku!"--Mas Andra sempat mematung sesaat, kemudian meletakkan makanan itu di atas meja. Aku kembali mengalihkan pandangan, tak ingin menatap mata indahnya yang mungkin saja bisa membuatku luluh. "Ning, jangan bercanda tentang hal ini," ucap Mas Andra. "Siapa yang bercanda? Bukankah itu Mas, yang terlalu plin plan sehingga tak bisa memilih? Mas pikir, terbuat dari apa hatiku ini?" Mas Andra terdiam, lalu meraih pinggangku dan memeluknya. Sempat kutepis tangannya, tapi kembali lagi memeluk. Hingga aku pasrah dan diam. "Aku bingu
Aku tersenyum kecut. "Kamu memang tak berniat mengantarkanku, kan? Aku bahkan belum bicara kalau tak ingin kamu ikut." Wajahnya terkejut, kemudian seakan langkah tingkah. "Hah?" Aku menggeleng. Kemudian mengangkat tas. Waktu sudah malam, semoga masih ada bis yang belum berangkat. Jika bis tak ada, maka aku akan naik kereta saja. "Mama mau ke mana?" tanya Keysha ketika melihatku melewatinya. Aku melirik ke arah Mbak Rosa yang sedang memakan buah, ia tampak cuek, hanya melirik tas yang kubawa. "Mama mau pulang dulu ke rumah Kakek. Keysha baik-baik di sini, ya?" "Key mau ikut!"Aku menggeleng, kemudian memanggil Sinta untuk mengambil Keysha. "Mama pergi dulu ya?" "Mama, ikut! Ma!" Aku tak kuasa mendengar tangisan Keysha, Mas Andra turun dan merebut tas milikku. "Mas!" Aku berteriak saat tas itu kembali dibawa olehnya ke atas. "Drama banget, sih!" Aku menoleh ke sumber suara. Ya, tentu saja Mbak Rosa. Memangnya siapa lagi? Di rumah ini yang nyinyir ya cuma dia aja. "Masalah?"
[Tanya dulu suaminya, Bun, dia memilihmu atau istri pertamanya?] [Mbaknya juga salah, harusnya sarankan suaminya untuk menggugat cerai ke pengadilan sewaktu kalian hendak menikah.] [Wah, Mbak sama aja dengan pelakor dong, ya?!] [Sabar, Bun. Semoga sabarmu menjadi berkah.] Namun, ada satu akun yang berkomentar agak menyentil hatiku. Akun itu bernama @Zahra_Lailatul [Lagian, kok mau-maunya nikah sama duda nggak jelas gitu? Dibilang duda ya bukan, dibilang punya istri yaa orang istrinya gak ada. Gini aja, Bun, coba Bunda pulang ke rumah orang tua dulu selama beberapa hari. Lihat apalah suami Bunda akan mengejar atau diam saja? Jika memang dia mengejar, maka pertahankan. Insya Allah, pahala selalu mengikutimu karena telah bersabar menghadapi istri pertama yang bersifat jelek itu, tapi, kalau suamimu nggak nyusul, ya sudah, buat apa lagi? Jangan siksa hati sendiri karena terlalu mencintai. Keep spirit ya, Bun!] Aku tertegun, haruskah kuikuti caranya."Ning, tolong, jangan tinggalin ak
Apakah aku jahat? Aku hanya ingin membela diri dan tidak terlalu kelihatan lemah terus. Sudah cukup diinjak oleh Mbak Rosa. Secara agama, aku ini istri sah. Begitu juga jika secara negara. Aku ingin tahu, Mas Andra ini lebih berat ke siapa? Aku, atau Mbak Rosa? --"Apa? Menceraikan Rosa?" Aku mengangguk sambil menyisir rambutku yang basah. Kulihat Keysha masih tertidur di ranjang, sementara hari sudah siang, jam menunjukkan pukul tujuh pagi. "Kenapa kamu tiba-tiba ingin aku menceraikan Rosa, Ning?" "Kenapa, Mas? Apa kamu keberatan?" "Bukan begitu. Cuma-" "Ya sudah, aku nggak akan memaksa. Tapi maaf, aku nggak bisa hidup dengan suami yang tidak tegas. Aku tak apa menjanda, toh umurku masih muda." "Ning, jangan ucapkan itu. Selamanya kamu takkan menjanda kecuali kutinggal mati!" sentaknya. Aku tersenyum kecil. Apakah ini dusta, Mas? Jika memang kenyataannya begitu, kenapa kamu seakan berat untuk melepaskan Mbak Rosa? "Biar aku pikirkan lagi, Ning." "Aku sudah telat satu minggu
"Ya biarin, kamu kalau mau mengacau mending pergi dari rumah ini, Rosa!" ucap Ibu. Aku tersenyum miring padanya. Sejak kehadirannya, kehidupanku dan keluarga ini seakan dipenuhi drama. Canda tawa seakan menguap begitu saja. Tak bisa dibiarkan, aku harus mengembalikan suasana dulu, sebelum Mbak Rosa datang ke sini.Acara sarapan kali ini sungguh membuatku tak berselera. Apa lagi Mbak Rosa yang seakan enggan untuk pergi dari rumah ini. Aku pun sebenarnya tak ingin egois. Namun, aku perlu memperjuangkam cintaku. Meskipun mungkin, di dalam hati Mas Andra bukan hanya ada aku saja. "Ning, nanti kita ke rumah sakit, ya?" "Buat?" tanyaku. "Ya kita periksa. Siapa tahu memang di dalam rahimmu sudah bersemayam buah cinta kita," ucap Mas Andra. Aku tersenyum, lalu mengangguk. Meskipun belum yakin seratus persen jika memang aku hamil, karena sudah terbiasa dengan siklus haid yang tak menentu. Mas Andra menatap mataku lekat. Duh, kenapa jadi deg-degan begini? "Ke-kenapa, Mas?" "Ning?" "Em
"Diam kamu, Rosa. Ikut campur aja."Mbak Rosa cemberut, kemudian menghentakkan kakinya menuju kamar. Aku masih diam saja, malas juga rasanya meladeni wanita setengah-setengah kaya dia. "Ayo, Ma, kita pergi!" "Yok!" Kami bertiga pamitan sama Ibu, lalu pergi menggunakan mobil. Sepanjang perjalanan, Keysha tak hentinya berceloteh. Malah aku yang tak bisa fokus mendengarkannya. Masih kepikiran tentang jika aku tak hamil, bagaimana? Takutnya, semua akan kecewa karena kecerobohanku yang langsung periksa ke dokter kandungan, tanpa memeriksanya sendiri terlebih dahulu. "Kamu kenapa, Ning?" tanya Mas Andra mengagetkanku. "Aku cuma takut aja, Mas. Takut mengecewakan kalian. Kalau ternyata nggak hamil, bagaimana? Pasti kalian semua kecewa banget," ucapku. Mas Andra menghela napas, sementara Keysha langsung diam. Bocah kecil nan menggemaskan itu seakan tahu jika orang tuanya tengah berbincang serius. "Jangan terlalu dipikirkan. Jika hamil, ya alhamdulillah. Jika tidak, ya belum rezekinya.
Setelah menunggu beberapa detik, kok malah burem yang satunya? Tak nampak jelas seperti garis di sebelahnya. Aku keluar dengan gontai. Sepertinya aku memang belum hamil, rezeki itu belum datang padaku dan Mas Andra. Aku menjadi merasa bersalah pada mereka. "Bagaimana, Ning?" "Dok, kok yang satu burem, ya?" Dokter Natasha tersenyum, kemudian mengambil testpack itu tanpa rasa jijik. "Ini belum pasti. Besok pagi, coba di tes lagi ya, Bu? Sehabis bangun tidur." "Jadi, belum bisa dipastikan itu hamil apa nggak ya, Dok?" "Iya, Bu.""Mas," panggilku pada Mas Andra. "Sudah, Ning. Gapapa, belum rezeki seandainya belum hamil." Aku mengangguk, dengan langkah gontai kami pergi dari ruangan itu setelah mengucapkan terima kasih. --"Bagaimana, Ndra?" tanya Ibu begitu kami sampai. "Belum pasti, Bu. Sementara tadi Nining diminta untuk USG, tapi dia nggak mau. Padahal, seumuran segitu, belum muncul jenis kelamin kan ya, Bu?" tanya Mas Andra. "Ya iya, Ning. Lagian, Ibu nggak maksa kamu cepet
"Des?" panggilku. "Ah, iya, Bu." Lalu muncul Ibu dengan tergesa-gesa. Beliau langsung berlari ke tempat anak bungsunya itu. Bukannya memeluk, beliau malah memukulnya. "Bagus, ya! Kerjaanmu itu gak jelas! Pergi-pergi terus gak pulang-pulang! Sekalian aja lupain kalau Ibu sudah meninggal!" "Ibu! Kok gitu? Ibu gak boleh meninggal sebelum Kino menikah." "Menikah? Alhamdulillah, Ya Allah! Kamu sudah punya pacar, Kin? Siapa itu?" "Ada, Bu. Nanti Kino kenalkan. Sekarang dia lagi jauh." Jauh? Ah, tentu saja. Kenapa aku berpikir kalau Kino ada hubungan dengan Desi? Ibu pun mengajak Mas Kino ke meja makan dan mengambilkan jus jambu kesukaannya. "Kok pulang nggak ngasih kabar?" "Kan surprise, Bu." "Ya sudah, Ibu tinggal dulu ke kamar. Kamu habis ini istirahat." Ibu menarik tanganku ke kamar, lalu menutup pintu meski tak rapat. "Bu, ngapain?" "Sssst! Diem dulu." Tak lama kemudian, Kino ke depan, menghampiri Desi yang tengah duduk di tangga. Mataku membulat, saat melihat Kino memeluk
Aku tersenyum, dasar mirip bocah! Selesai menyuapi Ghani dan Shani, aku pun mengajak mereka ke kamar Keysha untuk kususui sambil menunggu Keysha pulang sekolah. Kuminta Desi untuk ikut, sambil menjaga Shani yang nanti menunggu giliran kususui. "Pacarmu orang mana, Des?" tanyaku. "Eh? Emmm, gak jauh dari sini kok, Ning.""Aku kenal?" Pelan, Desi mengangguk. Hal itu membuatku makin bingung dengan teka-teki pacarnya Desi ini. Jika aku mengenalnya, lantas ia siapa? "Siapa?" "Ada deh, nanti juga dia datang ke sini." Aku mengangguk saja, tak ingin mengorek lebih dalam lagi. Aku sadar akan privasinya. Jika ia mengatakan akan mengenalkannya padaku suatu hari nanti, maka aku tinggal menunggu saja. Lalu kami bercerita lagi, tentang apapun. Sampai aku tak sadar jika Ghani sudah terlelap. Kupindahkan Ghani ke tempat Shani, lalu Shani pindah ke tempat Ghani untuk kuberi asi. "Nikah itu, enak gak sih, Ning?" tanya Desi tiba-tiba. "Ya ada enaknya, ada gak enaknya. Tinggal gimana kita dan
"Bu Nining tenang saja, Pak Andra ga mungkin nikah lagi. Orang kaya kulkas gitu, siapa yang mau?" "Buktinya, Mbak Nesha mau tuh. Andai Mas Andra ngeladenin, pasti mangsanya itu Mas Andra.""Untungnya Pak Andra gak nanggepin, ya?" Aku mengangguk. Lalu fokus mengambil bayam yang sangat menggoda mataku itu. "Bu Wina juga katanya nemuin duit di tumpukan selimut yang nggak pernah dipake. Pas ditanya, katanya mau buat gugurin kandungannya Bu Nesha." "Apa?" Kami semua terkejut mendengar penuturan Bu Dian. Selama ini, Bu Wina memang lebih dekat dengan Bu Dian, sehingga beliau selalu up to date tentang temannya itu. "G*la, ya? Jadi perempuan itu sudah hamil?" Aku benar-benar tak menyangka dengan berita pagi ini. Mbak Nesha, pantas saja akhir-akhir ini sering pakai baju kegedean, nyatanya ada yang tengah coba ia sembunyikan?Setelah membayar belanjaan, aku pun pamit pulang pada ibu-ibu yang lain. Kasihan Shani dan Ghani yang belum sarapan. "Des, sudah siap sarapan si kembar?" "Sudah, Bu
"Hampir, andai Winto tak melihatmu, mungkin orang itu sudah membawamu pergi.""Ah, nggak sampai hutang budi kok, Mbak. Biasa aja." "Jadi, Nesha yang centil itu, istrimu?" "Mantan istri, Mbak." "Kok, semalem aku nggak lihat kamu? Kapan datangnya?" "Pak Winto datang setelah Ibu pulang. Paling selisih tiga menit Ibu masuk, mobil Pak Winto datang." "Oh, iya. Bagus lah kalau kamu ceraikan dia. Bukan bermaksud mengompori, tapi istrimu itu emang benar-benar, kok! Masa rumah tangga anakku mau dirusakin?" "Ah, masa, Mbak? Benar begitu, Bu Nining?" "Panggil Nining saja, Pak. Iya, begitu lah, Pak." "Ah, kan Bu Nining istrinya Pak Andra, jadi saya harus menghormati. Sebelumnya, saya mau minta maaf kalau kelakuan mantan istri saya keterlaluan ya, Pak, Bu, Mbak." "Nggak papa, Win. Namanya manusia. Tapi untungnya anakku nggak goyah. Mantan istrimu itu pakaiannya sexy banget. Sampe mau muntah aku lihatnya." "Bu...." Mas Andra mengingatkan Ibu, supaya jangan terlalu jauh menceritakan tentang
"Betul." "Ingat, ya. Kalau aku jadi Bu Wina, bukan hanya kupukul kalian, tapi kumusnahkan senj*t*mu dan kucabein punya si perempuan. Jangan main-main sama aku, Mas." "Ish! Ngeri amat, sih?" protes Mas Andra dengan wajah meringis, aku malah jadi ingin tertawa melihatnya. "Makanya, mau gitu, nggak?" "Ya nggak, lah." "Bagus!" "Punya satu aja pusing, apa lagi dua." "Apaaaa?" --Pagi hari. Biasanya aku hanya mengurus Keysha, namun kali ini juga ada Aura. Meski mempunyai Sinta dan Desi, tapi aku tetap akan turun tangan jika itu urusan anak-anak. "Aura, nanti setelah mandi, ambil seragam sekolah di rumah, ya? Biar diantar sama Mbak Desi. Soalnya Kalau bareng sama Keysha, beda arah," ucapku sambil mengolesi salep di bekas lukanya. Memar yang terlihat seperti baru, kupikir hanya bagian lengan saja, tapi ternyata saat Desi membuka bajunya, makin banyak terlihat. Aku sampai bergidik ngeri, kok ada ibu sejahat ini pada anaknya? "Aura, kenapa banyak luka begini?" "Karena Aura nakal, T
Aku membeliakkan mata saat melihat Mbak Nesha terkena tinjuan Pak Winto. Lelaki itu bukannya merasa bersalah telah meninju istrinya malah makin menjadi. Beruntung, semua itu bisa dipisahkan dan akhirnya Pak RT duduk di antara mereka. "Jadi bagaimana ini, Pak Winto? Bu Wina?" "Saya sih sudah nggak mau tahu, Pak RW. Pokoknya saya mau mereka diusir dari sini." "Ma, kan tadi Papa sudah bilang..." "Maaf, Pa, tapi kami menolak kehadiran Papa di tengah-tengah kami lagi," ucap Wandi sambil berdiri di samping Bu Wina, begitupun Meriska. "Begini saja, silakan selesaikan urusannya secara pribadi. Tapi, kami mengharapkan hal seperti ini tak akan terulang kembali, alis Pak Adi dan Bu Nesha pergi dari komplek ini," ucap Bu Dian. "Saya setuju." "Saya juga." Terdengar sahutan dari yang lain. Begitu pula aku dan Mas Andra. Lelaki itu sibuk menggenggam jemariku. "Tapi, Papa mau ke mana kalau nggak di rumah kita, Ma?" "Ya terserah. Pergi saja sama wanita selingkuhanmu itu. Lagi pula, itu rumah
"Mas!" teriak Bu Wina. Namanya wanita, maka akan tetap berperilaku seperti wanita. Di luar tadi, Bu Wina mengatakan takkan mengeluarkan satu tetes pun air mata untuk kedua pasangan zina itu. Nyatanya, kini wajahnya sudah bersimbah air mata. "Mama." Bu Wina merangsek maju, menarik selimut yang digunakan oleh Mbak Nesha untuk menutupi badannya. Saat semuanya tersingkap, aku langsung menyuruh Mas Andra untuk keluar. "Iya, Ning, aku juga takkan melihat." Ibu-ibu lain sudah menjambaki Mbak Nesha, sementara aku masih bingung harus berbuat apa?"Ibu-ibu, jangan main hakim!" teriak Pak RW, sementara Pak RT sudah dalam cengkeraman Pak Satpam. Teriakan Pak RW nampaknya tak dihiraukan oleh ibu-ibu itu, sementara warga lain yang mungkin mendengar suara bising dari rumah ini pun keluar. "Sudah, Bu Wina. Jangan disiksa, nanti kalau dia mengadu pada polisi bagaimana?" "Biarkan saja, Ning! Dasar lakor murahan kamu, ya! Sudah jadi bini kedua, masih aja nggaet suami orang. Sadar woy! Busuk m***
"Sudah kamu hubungi, Mas?" Mas Andra mengangguk. Aku melihat jam di dinding, sudah pukul sebelas malam. Apakah tindakanku ini tak sembrono? Ah, semoga saja tidak. Bismillah, semoga ini adalah titik terang di balik siapa sebenarnya suami Mbak Nesha itu. "Kamu benar melihat Pak RT di sana, Ning?" tanya Bu Mega. Beliau kuberi tahu karena melihatku dan Mas Andra turun dengan tergesa."Iya, Bu. Masa Nining bohong?" Ibu hanya nyengir saja, kemudian ikut kami keluar. Bu Aisyah dan suaminya sudah keluar, Bu Isah, Bu Dian, pun begitu. Kami semua berkumpul di depan rumah Bu Dian. "Memang siapa yang di rumah itu, Bu Nining?" "Suaminya Bu Wina," jawabku sambil berbisik. "Hah? Pak RT?" Aku mengangguk, kemudian kami menoleh saat ada yang baru bergabung. Dia Bu Wina. Aku terkesiap saat melihat di tangannya banyak perkakas. "Sebenarnya aku sudah curiga kalau suamiku ada main sama perempuan tak jelas asal-usulnya itu." Kami semua terperanjat. Niat hati ingin menenangkan dan memberi kesabaran,
"Ma?" "Eh, iya, Sayang?" Aku tersentak saat Keysha memanggilku. "Ayo masuk. Adek Shani bangun." Aku mengangguk, kemudian menuju kamar dan menggendong Shani yang tengah digendong oleh Mas Andra. "Papa, minggu depan ada acara rekreasi sama teman teman sekolah," ucap Keysha seraya mengulurkan selembar kertas yang memiliki cap sekolahan TK. Darul Iman itu. "Tanya Mama dulu, Key, mau nggak?" "Gimana, Ma?" "Harus sama wali murid?" Keysha mengangguk. Aku bimbang. Jika aku ikut, maka kasihan Shani dan Ghani karena kuajak pergi terus. Tapi, tak apa kan? Bukannya itu bagus? "Ke mana rekreasinya?" "Ke taman mini, Ma." Aku mengangguk, lalu terkekeh saat melihat anak kecil itu melompat riang.--"Kamu yakin mau ikut rekreasi?" tanya Mas Andra saat kami hendak bersiap untuk tidur. "Iya, Mas. Sekalian kita jalan-jalan. Nanti ajak juga Desi. Kebetulan, besok pagi Bik Minah datang, kan?" "Iya, sih. Emang hari apa perginya?" "Tuh, kan? Makanya kalau ada surat dari sekolahan begitu, usahak