"Diam kamu, Rosa. Ikut campur aja."Mbak Rosa cemberut, kemudian menghentakkan kakinya menuju kamar. Aku masih diam saja, malas juga rasanya meladeni wanita setengah-setengah kaya dia. "Ayo, Ma, kita pergi!" "Yok!" Kami bertiga pamitan sama Ibu, lalu pergi menggunakan mobil. Sepanjang perjalanan, Keysha tak hentinya berceloteh. Malah aku yang tak bisa fokus mendengarkannya. Masih kepikiran tentang jika aku tak hamil, bagaimana? Takutnya, semua akan kecewa karena kecerobohanku yang langsung periksa ke dokter kandungan, tanpa memeriksanya sendiri terlebih dahulu. "Kamu kenapa, Ning?" tanya Mas Andra mengagetkanku. "Aku cuma takut aja, Mas. Takut mengecewakan kalian. Kalau ternyata nggak hamil, bagaimana? Pasti kalian semua kecewa banget," ucapku. Mas Andra menghela napas, sementara Keysha langsung diam. Bocah kecil nan menggemaskan itu seakan tahu jika orang tuanya tengah berbincang serius. "Jangan terlalu dipikirkan. Jika hamil, ya alhamdulillah. Jika tidak, ya belum rezekinya.
Setelah menunggu beberapa detik, kok malah burem yang satunya? Tak nampak jelas seperti garis di sebelahnya. Aku keluar dengan gontai. Sepertinya aku memang belum hamil, rezeki itu belum datang padaku dan Mas Andra. Aku menjadi merasa bersalah pada mereka. "Bagaimana, Ning?" "Dok, kok yang satu burem, ya?" Dokter Natasha tersenyum, kemudian mengambil testpack itu tanpa rasa jijik. "Ini belum pasti. Besok pagi, coba di tes lagi ya, Bu? Sehabis bangun tidur." "Jadi, belum bisa dipastikan itu hamil apa nggak ya, Dok?" "Iya, Bu.""Mas," panggilku pada Mas Andra. "Sudah, Ning. Gapapa, belum rezeki seandainya belum hamil." Aku mengangguk, dengan langkah gontai kami pergi dari ruangan itu setelah mengucapkan terima kasih. --"Bagaimana, Ndra?" tanya Ibu begitu kami sampai. "Belum pasti, Bu. Sementara tadi Nining diminta untuk USG, tapi dia nggak mau. Padahal, seumuran segitu, belum muncul jenis kelamin kan ya, Bu?" tanya Mas Andra. "Ya iya, Ning. Lagian, Ibu nggak maksa kamu cepet
"Bismillah. Rosalinda Evelyn binta Suganda, saya talak kamu dengan talak tiga. Setelah ini, putus sudah kewajibanku atas kamu dan kewajibanmu padaku. Sekarang, pergi dari sini." Mbak Rosa terkejut, begitupun dengan aku. Aku memang menyuruhnya untuk menceraikan Mbak Rosa, tapi tak pernah sekalipun aku menyangka jika Mas Andra akan langsung memberinya talak tiga. "Kamu, mentalakku, Mas?" "Ya. Jujur saja, Ros. Selama ini aku menahanmu karena Keysha semata. Sekarang, pergi lah. Aku tak melihatmu di sini." "Tapi, Mas..." Belum selesai Mbak Rosa berbicara, Mas Andra sudah lebih dulu berbalik badan, lalu pergi dari depan kamar Mbak Rosa. Aku pun melakukan hal yang sama, karena aku sedang tidak mood menghadapinya. "Aaah!" Aku mengerang karena merasakan perih tak terhingga di kepalaku. Pedas, perih, pusing bercampur jadi satu. Mbak Rosa tengah menarik rambutku sekarang. "Dasar j*l*ng! Iblis! Puas kamu hancurkan rumah tanggaku, hah? Puas kamu sudah memupus harapan Keysha yang ingin memi
Ma, Key takut.""Gapapa, Sayang." Ibu keluar dengan menarik koper milik Mbak Rosa. Aku segera mengikuti, sementara Keysha kuberi pada Desi. "Pergi kamu dari rumah ini. Aku masih berbaik hati menerimamu kembali setelah menghilang tiga tahun. Sudah cukup rasanya, Rosa. Melihat bagaimana kamu memperlakukan Nining, aku tak memiliki batas kesabaran lagi," ucap Ibu. "Bu, maafkan Rosa, Bu." "Sudah, pergilah! Aku sudah menalak tiga padamu. Segera kuurus surat perceraian kita," ucap Mas Andra tegas sambil menarik lenganku masuk ke dalam, setelah sebelumnya Ibu pun masuk. Blam! Aku tersentak saat mendengar suara pintu dibanting. "Astaghfirullah," ucapku. "Ya Allah, maaf, Ning. Kamu kaget, ya?" "Nggak papa, Mas." "Apa yang kamu rasakan sekarang? Kepalamu pasti sangat sakit karena tadi Rosa menariknya dengan kuat," ucapnya sambil menyentuh kulit kepalaku. Ibu tersenyum, kemudian mengangguk dan berlalu. Masih kudengar isakan Keysha. Bocah itu pasti tengah bimbang. Antara tak mau dan mau
"Hei, kenapa?""Mas, maafin aku yang sudah egois." "Egois?" "Andai aku tak memintamu untuk menceraikan Mbak Rosa, pasti lah kalian tak akan berpisah. Aku dengar tadi Keysha pun masih menangis. Ia pasti sangat kehilangan mamanya, Mas." Mas Andra mengelus pucuk kepalaku, ditariknya aku ke dalam pelukannya. Isakanku semakin menjadi. "Sudah, jangan nangis. Ini semua bukan salahmu, Ning. Seandainya kamu tak memintaku untuk menceraikannya pun, aku pasti akan segera mengakhiri hubungan itu. Asal kamu tahu, cinta di hatiku untuknya sudah lah hilang." "Bukankah kamu dulu sangat mencintai Mbak Rosa? Bagaimana mungkin cinta itu bisa hilang dengan cepat, Mas?" "Memang, Ning." Aku tersenyum kecut. B*d*h! Kenapa juga harus cemburu saat Mas Andra mengiyakan ucapaku barusan? Mereka berdua menikah pasti karena saling mencintai. Beda dengan yang terjadi padaku dan Mas Andra. Semua karena perjodohan, dan keterpaksaan. Tak ada cinta dan kasih sayang di dalamnya saat awal mulai membina hubungan sak
"Ibu yakin, nggak mau ikut?" tanyaku lagi. Ibu bersikukuh untuk tak ikut ke kampungku. Kakinya sekarang sering sakit apabila menempuh perjalanan jauh, katanya. "Yakin, Ning. Kalian pergi lah, hati-hati di jalan. Ibu di sini kan banyak temannya." "Iya, Bu Nining, percayakan sama saya," ucap Desi padaku. Aku masih merasa risih ia memanggilku dengan sebutan ibu. Tapi jika tidak begitu, nanti bisa-bisa Bu Mega marah. "Ya sudah, kami berangkat ya, Bu. Hati-hati di rumah. Nanti Pak Jaidi akan di sini. Menjaga rumah," ucap Mas Andra. Pak jaidi adalah bekas satpam rumah ini. Sekarang posisi satpam kosong, entah kenapa Mas Andra ataupun Ibu tak mencari orang lagi semenjak Pak Ahmad memutuskan resign selepas aku dan Mas Andra menikah. "Dadah Oma, Key ke rumah Nenek dulu.""Iya, Sayang. Ingat, jangan merepotkan Nenek dan Kakek, ya?" "Siap, Nek." Kami pun pergi, meskipun berat, namun aku merasa senang karena akan menemui kedua orang tuaku. "Makasih ya, Mas, sudah mau ke kampung. Aku sene
Aku menutup mulut saat foto Mbak Rosa tersebar. Astaga! Apakah ini benar? Mbak Rosa, serendah inikah harga dirimu? Perlahan, rasa bersalah itu menguap begitu saja. Apa karena ini, dulu ia meninggalkan Mas Andra? "Kamu kenapa, Ning?"Suara Mas Andra mengejutkanku. Aku langsung mengurut dada, saking terkejutnya. Mas Andra langsung menghampiriku, ia mengusap tangan ini. Wajahnya menyiratkan kekhawatiran. "Maaf, aku nggak bermaksud ngagetin kamu," ucap Mas Andra. Aku mengangguk, lalu memeluk tubuhnya. Baru kali ini, aku berani secara lebih dulu memeluk tubuh atletisnya. "Mas, apa dulu Mbak Rosa ninggalin kamu karena tergoda lelaki lain?" Mas Andra mendorong tubuhku pelan, hingga mata kami saling bersirobok. Ada keterkejutan di dua manik indahnya. Ah, jadi itu benar, Mas?"Dari mana kamu tahu?" tanya Mas Andra. "Nebak aja. Karena aku baru melihat berita tentangnya," jawabku. "Berita? Berita apa?" tanyanya, ada rasa penasaran yang kuat di pertanyaannya barusan. "Kamu penasaran bang
"Hah?" "Iya. Dia bersama dua orang lelaki dan satu perempuan. Nampak seperti dua pasangan yang sedang berkencan. Mas ikuti kemana mereka pergi. Untungnya, Rosa dan teman-temannya itu menginap di lantai satu, jadi Mas nggak perlu sampai bingung ketika mereka naik lift. Sampai di sana, Mas bingung. Harus dobrak, atau pergi saja? Di tengah kemelut, Mas mendengar suara tawa manja Rosa. Suami mana yang tak panas mendengar istrinya tertawa dan manja dengan lelaki lain? Akhirnya, Mas izin ke pegawai hotel buat labrak mereka. Mas nggak mau main dobrak aja karena Mas nggak mau dianggap sebagi biang ribut. Setelah diperbolehkan, Mas membawa dua pegawai hotel dan membantu mendobrak pintu itu. Sampai di dalam, Mas terkejut banget, Ning." Mas Andra menggantung ceritanya, dua maniknya nampak menerawang. Seolah tengah menggapai ingatan yang pasti amat sangat menyakitkan itu. "Mbak Rosa ada main dengan salah satu lelaki itu?" tebakku. Mas Andra menggeleng. Jika bukan karena itu, lalu apa? Apa ya
"Des?" panggilku. "Ah, iya, Bu." Lalu muncul Ibu dengan tergesa-gesa. Beliau langsung berlari ke tempat anak bungsunya itu. Bukannya memeluk, beliau malah memukulnya. "Bagus, ya! Kerjaanmu itu gak jelas! Pergi-pergi terus gak pulang-pulang! Sekalian aja lupain kalau Ibu sudah meninggal!" "Ibu! Kok gitu? Ibu gak boleh meninggal sebelum Kino menikah." "Menikah? Alhamdulillah, Ya Allah! Kamu sudah punya pacar, Kin? Siapa itu?" "Ada, Bu. Nanti Kino kenalkan. Sekarang dia lagi jauh." Jauh? Ah, tentu saja. Kenapa aku berpikir kalau Kino ada hubungan dengan Desi? Ibu pun mengajak Mas Kino ke meja makan dan mengambilkan jus jambu kesukaannya. "Kok pulang nggak ngasih kabar?" "Kan surprise, Bu." "Ya sudah, Ibu tinggal dulu ke kamar. Kamu habis ini istirahat." Ibu menarik tanganku ke kamar, lalu menutup pintu meski tak rapat. "Bu, ngapain?" "Sssst! Diem dulu." Tak lama kemudian, Kino ke depan, menghampiri Desi yang tengah duduk di tangga. Mataku membulat, saat melihat Kino memeluk
Aku tersenyum, dasar mirip bocah! Selesai menyuapi Ghani dan Shani, aku pun mengajak mereka ke kamar Keysha untuk kususui sambil menunggu Keysha pulang sekolah. Kuminta Desi untuk ikut, sambil menjaga Shani yang nanti menunggu giliran kususui. "Pacarmu orang mana, Des?" tanyaku. "Eh? Emmm, gak jauh dari sini kok, Ning.""Aku kenal?" Pelan, Desi mengangguk. Hal itu membuatku makin bingung dengan teka-teki pacarnya Desi ini. Jika aku mengenalnya, lantas ia siapa? "Siapa?" "Ada deh, nanti juga dia datang ke sini." Aku mengangguk saja, tak ingin mengorek lebih dalam lagi. Aku sadar akan privasinya. Jika ia mengatakan akan mengenalkannya padaku suatu hari nanti, maka aku tinggal menunggu saja. Lalu kami bercerita lagi, tentang apapun. Sampai aku tak sadar jika Ghani sudah terlelap. Kupindahkan Ghani ke tempat Shani, lalu Shani pindah ke tempat Ghani untuk kuberi asi. "Nikah itu, enak gak sih, Ning?" tanya Desi tiba-tiba. "Ya ada enaknya, ada gak enaknya. Tinggal gimana kita dan
"Bu Nining tenang saja, Pak Andra ga mungkin nikah lagi. Orang kaya kulkas gitu, siapa yang mau?" "Buktinya, Mbak Nesha mau tuh. Andai Mas Andra ngeladenin, pasti mangsanya itu Mas Andra.""Untungnya Pak Andra gak nanggepin, ya?" Aku mengangguk. Lalu fokus mengambil bayam yang sangat menggoda mataku itu. "Bu Wina juga katanya nemuin duit di tumpukan selimut yang nggak pernah dipake. Pas ditanya, katanya mau buat gugurin kandungannya Bu Nesha." "Apa?" Kami semua terkejut mendengar penuturan Bu Dian. Selama ini, Bu Wina memang lebih dekat dengan Bu Dian, sehingga beliau selalu up to date tentang temannya itu. "G*la, ya? Jadi perempuan itu sudah hamil?" Aku benar-benar tak menyangka dengan berita pagi ini. Mbak Nesha, pantas saja akhir-akhir ini sering pakai baju kegedean, nyatanya ada yang tengah coba ia sembunyikan?Setelah membayar belanjaan, aku pun pamit pulang pada ibu-ibu yang lain. Kasihan Shani dan Ghani yang belum sarapan. "Des, sudah siap sarapan si kembar?" "Sudah, Bu
"Hampir, andai Winto tak melihatmu, mungkin orang itu sudah membawamu pergi.""Ah, nggak sampai hutang budi kok, Mbak. Biasa aja." "Jadi, Nesha yang centil itu, istrimu?" "Mantan istri, Mbak." "Kok, semalem aku nggak lihat kamu? Kapan datangnya?" "Pak Winto datang setelah Ibu pulang. Paling selisih tiga menit Ibu masuk, mobil Pak Winto datang." "Oh, iya. Bagus lah kalau kamu ceraikan dia. Bukan bermaksud mengompori, tapi istrimu itu emang benar-benar, kok! Masa rumah tangga anakku mau dirusakin?" "Ah, masa, Mbak? Benar begitu, Bu Nining?" "Panggil Nining saja, Pak. Iya, begitu lah, Pak." "Ah, kan Bu Nining istrinya Pak Andra, jadi saya harus menghormati. Sebelumnya, saya mau minta maaf kalau kelakuan mantan istri saya keterlaluan ya, Pak, Bu, Mbak." "Nggak papa, Win. Namanya manusia. Tapi untungnya anakku nggak goyah. Mantan istrimu itu pakaiannya sexy banget. Sampe mau muntah aku lihatnya." "Bu...." Mas Andra mengingatkan Ibu, supaya jangan terlalu jauh menceritakan tentang
"Betul." "Ingat, ya. Kalau aku jadi Bu Wina, bukan hanya kupukul kalian, tapi kumusnahkan senj*t*mu dan kucabein punya si perempuan. Jangan main-main sama aku, Mas." "Ish! Ngeri amat, sih?" protes Mas Andra dengan wajah meringis, aku malah jadi ingin tertawa melihatnya. "Makanya, mau gitu, nggak?" "Ya nggak, lah." "Bagus!" "Punya satu aja pusing, apa lagi dua." "Apaaaa?" --Pagi hari. Biasanya aku hanya mengurus Keysha, namun kali ini juga ada Aura. Meski mempunyai Sinta dan Desi, tapi aku tetap akan turun tangan jika itu urusan anak-anak. "Aura, nanti setelah mandi, ambil seragam sekolah di rumah, ya? Biar diantar sama Mbak Desi. Soalnya Kalau bareng sama Keysha, beda arah," ucapku sambil mengolesi salep di bekas lukanya. Memar yang terlihat seperti baru, kupikir hanya bagian lengan saja, tapi ternyata saat Desi membuka bajunya, makin banyak terlihat. Aku sampai bergidik ngeri, kok ada ibu sejahat ini pada anaknya? "Aura, kenapa banyak luka begini?" "Karena Aura nakal, T
Aku membeliakkan mata saat melihat Mbak Nesha terkena tinjuan Pak Winto. Lelaki itu bukannya merasa bersalah telah meninju istrinya malah makin menjadi. Beruntung, semua itu bisa dipisahkan dan akhirnya Pak RT duduk di antara mereka. "Jadi bagaimana ini, Pak Winto? Bu Wina?" "Saya sih sudah nggak mau tahu, Pak RW. Pokoknya saya mau mereka diusir dari sini." "Ma, kan tadi Papa sudah bilang..." "Maaf, Pa, tapi kami menolak kehadiran Papa di tengah-tengah kami lagi," ucap Wandi sambil berdiri di samping Bu Wina, begitupun Meriska. "Begini saja, silakan selesaikan urusannya secara pribadi. Tapi, kami mengharapkan hal seperti ini tak akan terulang kembali, alis Pak Adi dan Bu Nesha pergi dari komplek ini," ucap Bu Dian. "Saya setuju." "Saya juga." Terdengar sahutan dari yang lain. Begitu pula aku dan Mas Andra. Lelaki itu sibuk menggenggam jemariku. "Tapi, Papa mau ke mana kalau nggak di rumah kita, Ma?" "Ya terserah. Pergi saja sama wanita selingkuhanmu itu. Lagi pula, itu rumah
"Mas!" teriak Bu Wina. Namanya wanita, maka akan tetap berperilaku seperti wanita. Di luar tadi, Bu Wina mengatakan takkan mengeluarkan satu tetes pun air mata untuk kedua pasangan zina itu. Nyatanya, kini wajahnya sudah bersimbah air mata. "Mama." Bu Wina merangsek maju, menarik selimut yang digunakan oleh Mbak Nesha untuk menutupi badannya. Saat semuanya tersingkap, aku langsung menyuruh Mas Andra untuk keluar. "Iya, Ning, aku juga takkan melihat." Ibu-ibu lain sudah menjambaki Mbak Nesha, sementara aku masih bingung harus berbuat apa?"Ibu-ibu, jangan main hakim!" teriak Pak RW, sementara Pak RT sudah dalam cengkeraman Pak Satpam. Teriakan Pak RW nampaknya tak dihiraukan oleh ibu-ibu itu, sementara warga lain yang mungkin mendengar suara bising dari rumah ini pun keluar. "Sudah, Bu Wina. Jangan disiksa, nanti kalau dia mengadu pada polisi bagaimana?" "Biarkan saja, Ning! Dasar lakor murahan kamu, ya! Sudah jadi bini kedua, masih aja nggaet suami orang. Sadar woy! Busuk m***
"Sudah kamu hubungi, Mas?" Mas Andra mengangguk. Aku melihat jam di dinding, sudah pukul sebelas malam. Apakah tindakanku ini tak sembrono? Ah, semoga saja tidak. Bismillah, semoga ini adalah titik terang di balik siapa sebenarnya suami Mbak Nesha itu. "Kamu benar melihat Pak RT di sana, Ning?" tanya Bu Mega. Beliau kuberi tahu karena melihatku dan Mas Andra turun dengan tergesa."Iya, Bu. Masa Nining bohong?" Ibu hanya nyengir saja, kemudian ikut kami keluar. Bu Aisyah dan suaminya sudah keluar, Bu Isah, Bu Dian, pun begitu. Kami semua berkumpul di depan rumah Bu Dian. "Memang siapa yang di rumah itu, Bu Nining?" "Suaminya Bu Wina," jawabku sambil berbisik. "Hah? Pak RT?" Aku mengangguk, kemudian kami menoleh saat ada yang baru bergabung. Dia Bu Wina. Aku terkesiap saat melihat di tangannya banyak perkakas. "Sebenarnya aku sudah curiga kalau suamiku ada main sama perempuan tak jelas asal-usulnya itu." Kami semua terperanjat. Niat hati ingin menenangkan dan memberi kesabaran,
"Ma?" "Eh, iya, Sayang?" Aku tersentak saat Keysha memanggilku. "Ayo masuk. Adek Shani bangun." Aku mengangguk, kemudian menuju kamar dan menggendong Shani yang tengah digendong oleh Mas Andra. "Papa, minggu depan ada acara rekreasi sama teman teman sekolah," ucap Keysha seraya mengulurkan selembar kertas yang memiliki cap sekolahan TK. Darul Iman itu. "Tanya Mama dulu, Key, mau nggak?" "Gimana, Ma?" "Harus sama wali murid?" Keysha mengangguk. Aku bimbang. Jika aku ikut, maka kasihan Shani dan Ghani karena kuajak pergi terus. Tapi, tak apa kan? Bukannya itu bagus? "Ke mana rekreasinya?" "Ke taman mini, Ma." Aku mengangguk, lalu terkekeh saat melihat anak kecil itu melompat riang.--"Kamu yakin mau ikut rekreasi?" tanya Mas Andra saat kami hendak bersiap untuk tidur. "Iya, Mas. Sekalian kita jalan-jalan. Nanti ajak juga Desi. Kebetulan, besok pagi Bik Minah datang, kan?" "Iya, sih. Emang hari apa perginya?" "Tuh, kan? Makanya kalau ada surat dari sekolahan begitu, usahak