Pagi tiba Arka langsung pergi karena ingin cepat menyelesaikan urusannya, Adzkia meminta supir segera memanaskan mobil. Baru saja mereka hendak berangkat ke bidan, Dinda tiba-tiba mencegat di gerbang membuat yang mengemudi lekas mengrem bahkan Adzkia terkejut melihat mantan menantu itu berada di kota ini.
"Dinda," gumam Adzkia pelan, lalu melihat wanita itu mengetuk kaca mobil."Ada apa Ka? aduh, sakit ...." Mona membuka kaca mobil, dia langsung berbicara."Kamu kenapa Mon, dan mau ke mana?" tanya Dinda menatap Mona yang sesekali meringis."Sudah! Jangan banyak bertanya, nanti saja bertanyanya. Sekarang kamu ikut kami saja, cepat!" seru Adzkia karena tak tega melihat sang menantu terus meringis."Ayo cepat Din! Jangan banyak berpikir, atau kami tinggal," ucap Adzkia kesal karena Dinda malah diam."Eh, Iya Mah," sahut Dinda lalu masuk ke mobil dan memakai sabuk pengaman."Aduh Mah ... ayo cepat kita ke Bidan, Mona juga"Ayo, Dede kita mandi dulu," seru Shafa masuk ke ruangan lalu mulai menyiapkan perlengkapan untuk bayi.Mona memilih melihat dari brankar bagaimana cara memandikan anaknya tapi tidak mendekat karena miliknya masih terasa. Mengalihkan pikiran dari ucapan Dinda. Shafa terus memberitahu tahap merawat bayi dengan benar. Selesai itu, Arka juga memperhatikan langkah memakaikan pakaian pada sang buah hati. "Inget ya, Mon. Jangan pakaikan anakmu, bedak. Cukup baluri minyak telon saja. Jangan lupa ininya kamu pakaikan kasa," seru Shafa membuat Mona mengangguk, sedangkan Adzkia tengah merapikan barang-barang ke mobil. "Kita gak bakal nginep, Sayang. Kita langsung pulang sekarang," ujar Arka setelah selesai melihat sang anak dipakai pakaian oleh Shafa. "Semua sudah beres, Mon. nanti kamu datang ke sini untuk imunisasi anakmu ya, Mon. Kamu juga harus kontrol," tutur Shafa lalu memberikan bayi pada Adzkia yang masuk ke ruangan itu."Iya, Mbak. Maka
Waktu berputar dengan cepat, kini usia Gaia, anak Arka dan Mona berusia tiga tahun. Gadis kecil itu sangat menggemas, kehidupan kedua sepasang suami istri tersebut semakin hangat kala kehadiran Gaia. Jam sudah menunjuk jam sebelas, sekarang Mona telah rapi berserta sang putri, dia lekas menggendong Gaia dan membawa masuk ke mobil. "Gaia, kita makan siang bareng sama Papa ya," kata Mona mengajak ngobrol sang anak, yang dibalas anggukan Gaia."Ayoo!" pekik Gaia senang, ia tersenyum dan berjoget senang. "Ayo Pak," ucap Mona memerintahkan supir untuk melaju.Arka memang mencari supir, untuk sang istri karna tak mau Mona pulang pergi naik kendaraan umum. Wanita itu memang memerintahkan untuk berhemat kala memiliki Gaia, Arka sempat marah. Dengan sombongnya lelaki itu berucap jika hartanya tak akan habis sampai tujuh turunan."Sudah sampai, Nona," tutur sang supir membuat Mona mengangguk, lalu keluar dari kendaraan roda empat tersebut."Mamang bisa pulang aja, saya mau pulang bareng Mas
"Ihh ... kan usia aku dan suamimu sama, Mon. Kok kamu gitu sih," gerutu Kean membuat Gaia tertawa kala melihat riak wajah lelaki itu."Maka dari itu, Mas Kean pantesnya jadi bapak Gaia," tutur Mona membuat semua orang terbahak mendengarnya. "Ihh Papa Gaia, cuma satu. Cuma Papa Arka pokoknya," pekik Gaia membuat semua terkekeh geli mendengar ucapan gadis kecil tersebut lalu diacungi jempol oleh Arka. "Nanti Gaia, bakal Papa beliin semua yang Gaia suka. Papa traktir sepuasnya," ujar Arka membuat Gaia bersorak senang."Wah, berarti jadi suami keduamu boleh dong," kata Kean mengedipkan matanya membuat Mona terdiam dan Arka menatap tajam Kean."Mas ini ngomong apaan sih! Mau aku lempar," seru Mona sudah siap melempar remote televisi dan lelaki itu langsung membuat pertahan dan menutup wajahnya."Dih! Kamu kok yang bilang, katanya Mas ini pantesnya jadi Papanya Gaia. Kenapa jadi marah gitu," sangkal Kean membuat Mona mendengkus lalu memandang suaminya yang ternyata tersulut emosi."Keluar
"Iya deh, Sayang. Ayo sini Papa gendong," kata Arka mengulurkan tangan dan disambut Gaia. "Papa, aku pengen jalan-jalan," pinta Gaia kala sudah berada dalam gendongan Arka. "Ah ... gimana ya, Papa sekarang-sekarang ini lagi sibuk. Nanti boleh? Kalau Papa udah gak sibuk lagi," tawar Arka membuat Gaia mendengkus kesal. "Papa angan telalu cibuk, Gaia kangen jalan-jalan bareng-bareng. Bosen sama Mama terus," keluh Gaia membuat Arka merasa bersalah, sedangkan Mona hanya tersenyum kecut memaklumi.(Angan : Jangan) (cibuk :sibuk)"Maafin Papa, ya Sayang. Insyaallah nanti hari minggu kita jalan-jalan deh," ujar Arka membuat Gaia bersorak gembira lalu menatap fokus ke wajah Arka membuat lelaki itu mengeryitkan alisnya. "Harus iya, Papa, jangan insyaallah," pinta Gaia mengerucutkan bibirnya. "Ya udah deh, iya, Sayang," ucap Arka membuat Gaia tersenyum sumringah dan mencium pipi Arka. "Kalo ada maunya aja, main cium-cium terus," kekeh Arka yang disambut cengiran Gaia. "Ya udah, ayo kita m
"Papa, kenapa lama banget," gerutu Gaia menampilkan riak wajah kesal seraya cemberut. "Ah ... maafin Papa ya, Sayang. Papa soalnya capek, abis olahraga malam," balas Arka lalu ia baru tersadar akan perkataan tersebut dan tanpa sadar memukul bibirnya. "Ha! Kok oyahaganya malam sih, Pah. Bukannya pagi ya," ujar Gaia memiringkan kepala seraya berpikir dan mengetuk dagu dengan jari membuat Arka gemas melihat sang buah hati. (Oyahaganya : olahraganya) "Kalau Papa sama Mama biasanya malam, Sayang. Biar beda dari orang lain lho," tutur Arka membuat Gaia menyipitkan matanya tapi ia pula mengangguk."Ahh ... Papa mah, emang celalu pengen beda deh," kata Gaia membuat Arka terkekeh karna suara menggemaskan sang anak. "Kenapa manggil Mama sama Papa, Sayang?" tanya Arka membuat Gaia yang mendengar pertanyaan lelaki itu mempautkan bibirnya. "Ihh ... Papa! pura-pura lupa, bikin kecel aja," keluh Gaia menghentakan kakinya, membuat Arka menyipitkan mata dan otak tengah berkelana memikirkan sesu
"Ha! Adik?" kata Arka mengeryitkan alisnya. "Anda siapa? Memang saya mengenal Anda?" lanjut Arka lagi membuat wanita itu mengerucutkan bibirnya. "Ahh ... kamu, mah! Jahat banget, masa lupa sama aku," keluh wanita itu seraya memukul lengan Arka membuat lelaki itu mengaduh dan menatap tak suka pada perempuan tersebut. "Jangan berbelit-belit, mendingan Anda pergi! Saya tak mengenal Anda, Anda membuat mood saya jadi hancur," sinis Arka bersidekap menatap nyalang ke arah wanita tersebut. "Kamu bener-bener gak inget aku, Ka," ujar wanita itu lalu mengembuskan napas kesal lalu mengangguk."Ahh ... mungkin karna sudah terlalu lama, Ka, tapi bener, kan, aku gak salah kenalin orang. Kamu Arka, kan," cerocos wanita itu membuat Arka mendengkus geram mendengar celoteh perempuan tersebut. "Bisa pergi! Jangan ganggu saya! Saya gak kenal dengan Anda!" ketus Arka malah disambut kekehan wanita itu dan menepuk-nepuk lengan Arka sok akrab sekali pikir Mona yang berjalan mendekati mereka."Dih, kamu
Mona menerima tangan Arumi untuk bersalam. "Aku Mona, istri Mas Arka, bukan adiknya," tuturnya membuat Arumi terkejut. "Wah ... kamu nih bercanda, gak boleh lho nikah sama saudara," sangkal Arumi membuat Mona mendengkus lalu merogoh dompetnya dan sang suami dan mengambil KTP untuk memperlihat pada Arumi. "Sekarang anda percaya, sekarang bisa ansa pergi, saya mau family time," usir Mona menatap kesal ke arah Arumi."Huh, yang sopan jadi orang tuh!" cibir Arumi lalu berlalu meninggalkan mereka, Arka tersenyum kagum melihat sang istri. "Kenapa Mas tatapan aku terus, kesal karna gebetannya diusir," cecar Mona melirik sinis sang suami lalu mengambil Gaia dari gendongan Arka."Hey, tunggu!" kata Arka mengikuti sang istri dan terkekeh kala melihat wajah kesal Mona. "Jangan cemberut gitu, nanti cantiknya hilang lho," ujar Arka dan membuat Mona melirik sekilas dengan sinis dan mendengkus. "Tampilanku memang biasa aja! Puas kamu," sahut Mona sarkatis, lalu mengajak anaknya memilih lagi. "
"Hallo Gaia," sapa Kean yang berada di samping gadis kecil itu membuat Gaia melirik sekilas lalu fokus memilih sepatu lagi. "Ihh ... kok Om dicuekin sih," keluh Kean berjongkok mensejajarkan tingginya dengan anak Arka. "Gaia lagi cali sepatu, Om, jangan ganggu," protes gadis kecil itu seraya mengerucutkan bibirnya, karna Kean memaksa agar Gaia memandang lelaki tersebut. "Jangan cemberut gitu, nanti Om traktir deh," rayu Kean membuat Gaia yang tadi cemberut langsung mengembangkan senyumannya membikin lelaki itu ikut melengkungan bibir seperti bulan sabit. "Janji," kata Gaia menyodorkan kelingkingnya ke hadapan Kean membuat lelaki itu terkekeh dan menautkan jari mereka. "Janji dong, emang Om pernah ingkar janji," ucap Kean dengan nada sombong lalu menggendong gadis kecil tersebut."Peynah." Kean langsung memandang wajah Gaia kala gadis itu mengeluarkan kata tersebut. (Peynah : pernah)"Eh, kapan, Sayang," ujar Kean terus menatap wajah imut Gaia, lelaki itu tak jadi memilih-milik s
Beberapa tahun berlalu, anak perempuan Mona kini beranjak dewasa, ia berusia tujuh belas tahun. Sedangkan putranya sembilan tahun. Sepasang suami istri itu kini menjemput Ghibran."Jangan suka bolos dong, Sayang. Momy pusing selalu dipanggil ke sekolah gara-gara kelakuan kamu," nasihat Mona. Ghibran hanya menganggukan kepala, lelaki itu malah memainkan ponselnya. Arka yang melihat dari kaca geram, ia menghentikan kendaraan roda empat dan menatap kesal ke arah Ghibran. "Ghibran! Kamu denger gak sih kata Momy, kalau dinasihatin itu dengerin! Jangan sambil main handphone," omel Arka. Ghibran yang mendengar omelan Papanya itu langsung memasukan benda pipih tersebut ke saku. Ia segera menundukan kepala kala melihat tatapan tajam Arka. "Ghibran dengerin kok, Dad." Arka yang mendengar sahutan dengan nada malas itu membuat ia geram. Lelaki tersebut turun, lalu membuka pintu belakang. "Ayo turun! Kamu pulang jalan," sentak Arka. Mona yang mendengar itu membulatkan mata, sedangkan Ghibr
Sorenya Dara benar diantarkan pindah oleh Amel, bahkan wanita itu terkejut karena semuanya telah disiapkan. Kini hanya Dara dan Annisa yang berada di kontrakan. Mona telah pergi bersama Gaia, Ghibran di gendongannya, pulang pakai taksi. Annisa merapikan semuanya, sedangkan Dara melihat sekeliling. Kontrakan ini sudah dibiayai beberapa bulan, kalau sudah sembuh dan melakukan operasi lagi. Ia berencana melamar kerja diluar. "Mendingan kamu istirahat aja, lumayan capek juga kan sampai sini," seru Annisa. Perempuan itu kini tengah memasukkan bahan makanan ke dalam kulkas pekerjaan jadi bertambah, Anisa berdoa semoga Dara tidak mengerjainya. Dara menganggu, dia perlahan menuju kamar dan berbaring di ke ranjang. "Ahh ... tempat ini sangat kecil sekali, jauh berbeda sama kediamannya. Tapi ... udah dikasih tempat aja allhamdulillah." Dara berkata dalam hatinya, ia memejamkan mata lalu terlelap. Sedangkan Annisa sibuk memasak dan merapikan barang. Dia mengembuskan napas lalu langsung du
Setelah mengatakan itu, Mona langsung membuka pintu. Lalu matanya melihat kedua asisten. "Tenang aja, kalian bisa lakuin pekerjaan lagi. Aku mau menyelesaikan urusanku dulu," ucap Mona lembut. Setelah mendapatkan anggukan, Mona langsung menutup pintu lagi. Tatapan itu tajam bak pisau yang baru diasah. Dara yang mendapatkan itu, mendadak nyalinya menciut. "Aku menyayangimu, aku menganggapmu sebagai saudara. Tapi inikah balasanmu, hendak merebut suamiku!" sinis Mona. Mona mencengkram bahu Dara dengan kuat, melampiaskan kekesalannya. Lalu ia mengembuskan napas menetralkan kemarahan dan kekecewaan pada sang teman. "Sudahlah, yang penting Mas Arka gak melirik sedikitpun. Tapi tetap saja! Hati ini hancur gara-gara kamu melakukan hal itu," ungkap Mona. Dara juga ikut menitihkan air mata, ia menepis tangan Mona yang memegang bahunya. Wanita itu langsung mengambil buku dan pulpen di laci lalu menulis sesuatu dan memberikan kepada Mona, kemudian mengempaskan bokong ke ranjang karena kaki
Arka menghela napas kala mendengar dengkuran halus sang istri. Ia memilih tidak ambil pusing dam ikut menjelajah alam mimpi. Sedangkam di kamar Dara, wanita itu terus memikirkan apa yang dikatakan Mona. "Apa dia tau?" Dara bertanda pada dirinya sendiri, karena frustasi menjambak rambut. "Ahh ... ini membuat gue pusing, apa yang harus dilakukan." Wanita itu terus memonolog, ia menjatuhkan tubuh ke kasur. Memikirkan perkataan Mona. Dia sangat frustasi, berkali-kali memukul kasur karena pusing. " Ah ... ini sangat memusingkan, kalau dia tahu kenapa masih bersikap baik." Dara terus bergelut dengan pikirannya tanpa sadar telah lelah karena kelelahan. Waktu berlalu begitu cepat pagi tiba. Kini mereka tengah sarapan bersama, sesekali Dara melirik Mona terlihat wanita itu biasa saja. "Dara Aku ingin ngomong sesuatu sama kamu," lontar Mona. Mendengar perkataan Mona, Dara langsung memandang dia lalu mengangguk sebagai jawaban. "Setelah sarapan, kita bicara di kamar kamu," ucap Mona.
Acara itu akhirnya selesai, yang mendekorasi halaman ini telah pulang. Begitu pula Atha, kini semua tengah beristirahat di ruang tengah."Aku mau nidurin Ghibran dulu, lihat matanya udah berat banget. Tadi berisik jadi dia gak bisa tidur," tutur Mona.Mona bangkit dari duduknya, ia tengah menimang Ghibran. Gaia dan Arka mengangguk mengiyakan. "Mama, Pah, aku juga mau bobo. Ngantuk banget nih," celetuk Gaia.Arka bangkit lalu melangkah mengikuti sang anak."Sini Papa anter," sahut Arka.Gaia menoleh menandang sang Papa. Ia mengeryitkan alis karena merasa aneh dengan tingkah lelaki itu. "Tumben," celetuk Gaia.Mona yang mendengar itu tertawa."Takut kamu iri sama Ghibran, makanya Papa menggantikan Mamamu buat antar putri kecil ini," ujar Arka.Arka berjongkok, ia mengusap kepala Gaia dengan sayang."Apaan sih, Pah. Aku juga ngerti dong, akukan sekarang seorang Kakak," ujar Gaia.Gaia langsung mempautkan bibirnya, ia menatap kesal sang Papa.Sedangkan Mona yang hendak pergi tak jadi, i
Annisa juga terkejut melihat isi rumah. Ia langsung berlari dan berteriak memanggil penghuni rumah ini."Dewi ... Nyonya Mona, Tuan Arka! Gaia, kalian di mana." Annisa terus berlari mencari semua orang, meninggalkan Dara yang tertatih.Kala sampai di dekat halaman, saat hendak berteriak lagi. Tangannya di tarik seseorang, membuat ia terkejut dan hendak memekik tetapi mulutnya langsung dibekam."Jangan teriak, ini aku," bisik Dewi. Annisa langsung menoleh melirik Dewi, sedangkan wanita itu lekas melepaskan bekamannya. "Kalau nanti aku jantungan gimana!" omel Annisa dengan nada pelan. Dewi meletakan jari telunjuk di bibir, lalu ia menarik Annisa agar mengikutnya bersembunyi. Kala mendengar suara langkah kaki ke arah halaman. Wanita itu mengetik sesuatu di ponselnya dan ditunjukan pada Annisa. [Kita bakal kasih kejutan sama Dara, kita bakal keluar dan teriak suprise gitu. Kami semua udah pada ngumpet pada kalian datang. Isi rumah berantakan itu kami sengaja.] Annisa menganggukkan k
Annisa yang membaca itu langsung berjongkok, ia memegang lengan Dara."Aku mohon, Dara. Jangan buat aku dipecat oleh Tuan Arka, kalau aku gak kerja bagaimana nanti ...." Ucapan Annisa terhenti kala Dara menepis pegangan tangan wanita itu. Terlihat Dara menghela napas lalu mengetik sesuatu. [Berdiri! Kamu membuat aku seperti orang jahat.]Annisa menggeleng kala Dara menyodorkan handphone agar ia membacanya. Dara mengepalkan tangan lalu mengetik sesuatu lagi. [Iya-iya aku gak bakal lapor, ayo cepat bangun! Bikin malu aja.] Setelah membaca ketikan itu, Annisa langsung mengulas senyum. Ia bangkit dan menghapus jejak air mata. "Jangan pulang dulu, Dara. Kita jalan-jalan, udah lama bukan gak jalan-jalan gini," celetuk Annisa. Dara yang mendengar itu memandang Annisa. "Emang gak bosen di rumah terus," lanjut Annisa. Dara mengangguk mengiyakan, ia langsung mengecek saldonya dan mengulas senyum. Bergegas melangkah diikuti Annisa. Wanita itu langsung memesan taksi, Annisa yang melihat i
"Kamu mau coba-coba bohongin aku, ya!" omel Mona pelan.Tangan wanita itu bergerak mencubit pinggang sang suami. Membuat Arka mengaduh, sedangkan Gaia menutup mulut agar tidak menertawakan Papanya. "Aku gak bohongin kamu, kok. Kamu, kan yang ngomong sendiri," sahut Arka. Arka membela dirinya, sedangkan Atha yang melihat adegan itu hanya tersenyum kecil. Ia mengajak Gaia untuk berkeliling dan meninggalkan sepasang suami istri ini. Mona hanya melirik kesal Arka, ia langsung melangkah pergi kala Dewi memanggil. "Iya, Dew. Sebentar," sahut Mona. Kala melangkah pergi, Mona menjulurkan lidah meledek sang suami. Sedangkan Arka hanya tersenyum melihat tingkah istrinya itu."Istriku, istriku. Kenapa semakin kesini semakin menggemaskan sih," gumam Arka.Lelaki itu akhirnya melangkah untuk melihat-lihat keadaan."Semoga Dara sadar deh, dan tau diri. Dia masih aja ngejar-ngejar suami temannya sendiri, padahal Mona begitu baik sama dia," batin Arka berseru.Sedangkan Atha dan Gaia, mereka te
"Ayo Dara," ajak Annisa. Dara yang mendengarnya melengos, ia langsung melangkah meninggalkan Annisa. "Kita mau ke mana kira-kira, Dara?" tanya Annisa. Dara melirik kesal Annisa. Ia menghentikan langkahnya lalu mengetik sesuatu. [Kamu berisik, banget! Kita cari tukang bubur kacang hijau.]Annisa memutarkan bola mata, dan mengangguk. Mereka berjalan menuju tempat yang biasa Dara membeli.Sesampai di sana, keduanya langsung memesan kala sampai."Dara, kamu bawa uang gak? Aku kelupaan bawa dompet nih, soalnya," ucap Annisa. Dara membulatkan matanya kala mendengar ucapan Annisa. Ia langsung mengambil ponsel untuk meminta uang pada Arka. Kala melihat benda pipih itu, bertepatan suara notifikasi pesan masuk.[Aku sudah meminta Mas Arka mengirim uang ke akun dana, kamu. Cek deh,] Wanita tersebut langsung memanyunkan bibirnya, ia lekas mengecek aplikasi yang disebutkan Mona. Terlihat dia menghela napas, dan menaruh ponselnya ke saku."Huh ... padahal tadi kesempatan aku mengirim pesan sa