Preston .... Apakah ini karena dia terlalu mabuk? Bagaimana mungkin Preston muncul di tempat ini?Sisa kesadaran Livy tidak memungkinkan dirinya untuk berpikir lebih jauh. Dia hanya bisa terpaku, menatap kosong ke depan.Sementara itu, saat melihat Livy yang mabuk berat, kemarahan Preston mulai tersulut sedikit demi sedikit dalam dadanya.Sebelumnya, di bawah kepemimpinan Annie, departemen sekretaris selalu bekerja dengan baik. Dia bahkan tidak pernah perlu turun tangan untuk mengurusnya.Namun, justru karena kelonggarannya itulah, sekarang departemen sekretaris menjadi seperti ini. Membiarkan seorang wanita keluar untuk menemani minum demi bisnis?"Pak Preston, ke ... kenapa datang ke sini?" Elon buru-buru mengusap tangannya dan memasang senyuman ramah sambil mendekati Preston."Pak Preston, saya Elon, manajer departemen perencanaan dari Grup Gunarso. Aku di sini untuk ....""Barusan, sepertinya suasana di sini sangat meriah. Apa yang sedang kalian lakukan?" Tatapan dingin Preston men
Preston bergegas mendekat, menatap wanita yang mabuk di dalam pelukannya dengan tatapan dingin.Tangannya yang besar menopang pinggang Livy. Suaranya terdengar datar. "Duduk saja kamu nggak bisa stabil. Kamu nggak takut jatuh?""Siapa kamu ...?" Livy benar-benar mabuk berat, hingga tidak bisa melihat dengan jelas siapa pria di depannya.Dia hanya sadar bahwa ada seorang pria yang sedang memeluknya, sehingga secara naluriah menjadi waspada dan berusaha melawan. "A ... aku sudah nikah! Jangan sentuh aku! Suamiku galak sekali!"Galak? Preston termangu sesaat, tidak tahu harus merasa marah atau justru merasa lega. Setidaknya meskipun sudah mabuk sampai seperti ini, wanita ini masih ingat bahwa dirinya sudah menikah.Namun ... apakah dia benar-benar segalak itu? Dengan perasaan yang sedikit tidak nyaman, Preston menutup pintu mobil, lalu mendudukkan Livy di jok belakang.Nada suaranya menjadi lebih lembut, takut membuat wanita mabuk ini ketakutan. "Suamimu galak?""Tentu saja." Livy mengang
Setelah mengatakan itu, Xavier mengangkat ponselnya untuk memperlihatkan percakapannya dengan Preston."Aku cuma memberitahunya kalau Bu Livy ada di sini, lalu Preston langsung datang. Terlepas dari apakah dia mencintai Bu Livy atau nggak, selama bertahun-tahun aku mengenalnya, ini pertama kalinya aku melihatnya begitu peduli pada seseorang.""Jangan katakan lagi ...." Sylvia menggigit bibirnya. Kedua kakinya yang baru pulih hampir tidak sanggup berdiri tegak karena pukulan kenyataan ini.Namun, Xavier belum selesai berbicara. Dia ingin Sylvia segera menyadari kenyataan ini. "Perasaan bisa berkembang seiring waktu. Setidaknya kalau Preston mau peduli pada Bu Livy, itu berarti ada kemungkinan mereka akan menjadi pasangan suami istri yang sesungguhnya.""Kak, hentikan!" pekik Sylvia yang agak berada di luar kendali. Dia terhuyung, berpegangan pada dinding agar tidak jatuh."Sylvia, aku cuma ingin kamu menemukan pria yang lebih cocok untukmu." Xavier menasihatinya dengan lembut."Aku tahu
Kemarahan Preston begitu jelas, tecermin dalam ekspresi dingin di wajahnya.Livy tertegun sejenak, lalu segera menjelaskan, "Ini semua bagian dari pekerjaanku. Aku menerima gaji, jadi sesekali lembur itu wajar."Livy bukan tipe orang yang manja. Dia tahu betapa sulitnya mencari uang saat ini. Banyak orang di luar sana yang hanya dibayar beberapa juta sebulan, tetapi tetap harus lembur setiap hari.Sementara dia, selain mendapat gaji, juga mendapat komisi proyek. Jadi, sesekali bekerja lembur bukanlah masalah besar baginya."Kamu cukup tahan banting rupanya." Preston tertawa dingin, tetapi ekspresinya justru semakin suram.Livy bingung. Dia menarik ujung kemeja Preston dengan pelan, lalu bertanya dengan nada manja, "Sayang, kamu marah lagi?"Seharusnya Livy tidak bertanya. Begitu pertanyaan itu dilontarkan, Preston sontak teringat ucapan Livy semalam. Dia sering marah, mudah sekali tersulut emosi. Sekarang, Livy kembali mengatakan bahwa dia sedang marah ...."Nggak." Tanpa berpikir panj
"Sayang, sikapku tadi pagi memang buruk. Aku tahu kamu cuma khawatir sama aku, tapi aku malah nggak tahu berterima kasih. Jangan marah lagi, ya?"Livy mengejar Preston setengah berlari dan dengan susah payah berhasil menggenggam tangannya.Mendengar permintaan maafnya yang tulus, Preston akhirnya berhenti. Dia berbalik, menatapnya dengan dingin, dan berkata dengan suara datar, "Aku nggak marah. Memang begini sifatku.""Livy, kamu nggak perlu peduli sama aku. Kalau kamu merasa terganggu, anggap saja aku ini nggak ada."Hah?!Livy terpaku di tempat. Apa maksudnya menganggap Preston tidak ada?!Seorang pria dengan kehadiran sekuat dirinya, mana mungkin dia bisa dianggap tidak ada?! Tidak mungkin. Jelas sekali nada bicaranya terdengar tidak senang.Livy panik dan mencoba kembali membujuknya, "Sayang, bukan itu maksudku ...."Namun, sebelum dia sempat menyelesaikan kalimatnya, Preston sudah menepis tangannya dan masuk ke dalam mobil. Dia pergi, meninggalkan Livy yang masih tertegun di tempa
Livy masih mencoba memastikan jumlah bonusnya, tetapi Ivana sudah mendekat dan tampak terkejut bukan main. "Satu juta? Astaga, bonus kehadiran penuhkku saja 1,6 juta! Ini sama saja kayak mengusir pengemis!"Livy juga merasa ada yang tidak beres. Dia bahkan tidak bisa memercayainya. "Mungkin bagian keuangan salah transfer. Aku akan pergi ke sana dan menanyakannya langsung."Tanpa membuang waktu, Livy segera menuju bagian keuangan. Namun, jawaban dari bagian keuangan sangat jelas. "Bonus proyek ini sudah ditransfer dengan benar. Tidak ada kesalahan."Melihat Livy masih kebingungan, salah satu staf keuangan berbaik hati memberi petunjuk. "Bu Livy, bonus proyek ini dikirimkan ke kepala departemen Anda terlebih dahulu. Lalu, kepala departemen yang membagikannya kepada tim."Kami hanya mentransfer dana sesuai jumlah yang dilaporkan oleh kepala departemen Anda. Kalau masih ada pertanyaan, silakan tanyakan langsung ke kepala departemen Anda."Kepala departemen?Saat ini, posisi Direktur Sekret
Livy menoleh dengan bingung. Dia melihat Ivana sedang memeriksa kemasan produk perawatan kulit dengan sangat hati-hati. Lalu, Ivana menunjuk dua huruf pada kemasan tersebut."Livy, suamiku pernah membelikan produk ini saat ada diskon besar-besaran. Seharusnya, huruf 'L' dan 'A' di logo ini saling menyambung. Tapi lihat ini. Di sini justru terpisah dan bagian ini tampak miring. Ini jelas barang palsu!"Livy memandang lebih dekat. Namun, dia tidak bisa melihat perbedaannya. Dia memang tidak terlalu sering memakai produk kecantikan mewah. Namun, Ivana sangat paham tentang skincare.Jika Ivana bilang ini barang palsu, berarti itu pasti benar."Apa maksudnya ini? Memberikanmu barang palsu? Ini produk yang dipakai di wajah! Bagaimana kalau kulitmu rusak?"Ivana semakin marah dan khawatir. "Livy, jangan pakai ini! Langsung buang saja!"Livy mengangguk. "Baik, aku mengerti." Namun, pikirannya tidak bisa fokus bekerja.Tiba-tiba, teleponnya berdering. Panggilan itu dari Bendy."Livy, Pak Presto
"Ah?"Livy benar-benar tidak mengerti. Tadi mereka masih membicarakan hal lain, kenapa tiba-tiba berubah menjadi ini?Preston bahkan berkata akan berusaha tidak mudah marah. Tapi ... mana mungkin pria ini tidak cepat marah?Dia tidak berani membantah atau menolak, jadi hanya bisa mengangguk patuh dan menjawab seadanya. Namun, pikirannya semakin kacau. Tiba-tiba, dia kembali teringat tentang Sherly.Setelah yakin bahwa Sherly memang sengaja menargetkannya, hati Livy dipenuhi dengan amarah, frustrasi, dan rasa tak berdaya. Bagaimanapun juga, Sherly memang benar dalam satu hal.Sekarang dia adalah atasan, dan tidak peduli seberapa besar Livy merasa diperlakukan tidak adil, dia hanya bisa menahannya. Namun ... bukankah Livy juga punya seseorang untuk diandalkan?Perlahan, tatapannya mengarah ke Preston yang duduk di sampingnya. Setelah ragu-ragu beberapa saat, dia akhirnya bertanya dengan hati-hati, "Pak Preston, kalau ada karyawan di perusahaan Anda yang bermasalah dengan rekan kerja mere
Astaga, situasi macam apa ini?Telinga Livy terasa panas membara. Tanpa bisa dikendalikan, pikirannya mulai dipenuhi gambaran-gambaran yang tidak senonoh.Akhirnya, dia memutuskan untuk tidak membalas pesan mesum dari Preston. Dia mengalihkan perhatiannya kembali ke pekerjaan dan mulai mencari informasi tentang Mathias.Informasi tentang pria itu cukup terbatas di internet. Katanya, dia adalah pria paruh baya yang merintis usahanya dari nol dan dikenal memiliki cara bicara yang baik.Namun, ada juga beberapa rumor negatif yang menyebutkan bahwa selama bertahun-tahun, dia diam-diam berselingkuh dari istrinya dan memiliki banyak wanita di luar.Livy tidak tahu mana yang benar dan mana yang tidak. Yang bisa dilakukan hanya mempersiapkan diri, mempelajari berbagai hal tentang musik, catur, kaligrafi, dan lukisan.Meskipun dia tahu usahanya mungkin tidak terlalu berpengaruh, setidaknya itu lebih baik daripada tidak mempersiapkan apa pun.Setelah sibuk sepanjang sore, Livy akhirnya tiba di r
"Livy, ke mana saja tadi? Kenapa lama sekali tanpa bilang apa-apa ke kami? Jangan-jangan kamu malas-malasan?"Pria paruh baya itu berdiri dengan perut buncitnya. Meskipun gemuk, dia tetap berusaha memakai jas seperti orang lain. Namun, penampilannya malah seperti agen asuransi yang sedang mengalami krisis paruh baya.Livy mengerutkan keningnya sedikit dan menjelaskan, "Pak Preston mencariku, ada beberapa hal yang harus disampaikan.""Oh, ternyata Pak Preston ...." Umay menyipitkan matanya, tampak sedikit mengejek. "Ya, wajar saja Pak Preston masih memperhatikanmu. Bagaimanapun, dulu kamu bekerja di bawahnya.""Tapi, aku harap wanita sepertimu nggak langsung berpikir macam-macam hanya karena seorang pria bersikap baik sedikit kepadamu. Ingat, Pak Preston sudah punya istri. Lebih baik kamu realistis saja dan pertimbangkan untuk ....""Kak Umay, sebenarnya ada urusan apa mencariku?" Melihat pria menyebalkan di depan berbicara semakin tidak sopan, Livy buru-buru memotong ucapannya."Nggak
Livy tertegun. Preston ... apa maksudnya?Preston kembali berkata, "Dia cuma keponakanku, sedangkan kamu adalah istriku."Oh, jadi begitu. Livy mengerti sekarang. Bagi Preston, statusnya sebagai istri memang sedikit lebih tinggi daripada status seorang keponakan. Namun, hanya sebatas itu. Hanya karena saat ini, dia masih menjadi istri Preston."Lebih baik nggak usah," ujar Livy setelah berpikir sejenak. "Aku juga jarang punya waktu untuk memakai tas seperti ini. Kalau cuma disimpan di rumah, rasanya akan terbuang sia-sia.""Biarkan saja terbuang sia-sia," kata Preston dengan tidak acuh. Baginya, uang seperti ini hanyalah jumlah kecil. Jika istrinya menyukai sesuatu, dia akan membelinya tanpa peduli apakah benda itu akan terpakai atau tidak."Tapi ...." Livy masih ingin berkata sesuatu, tetapi Preston sudah menariknya ke dalam pelukan."Aku memberikan hadiah untuk istriku, tapi kamu malah menolaknya berulang kali? Kamu pikir aku miskin sampai nggak sanggup membelikanmu sesuatu sekecil i
"Mana mungkin!" Livy buru-buru melambaikan tangannya. "Di departemen sekretaris masih ada banyak senior. Kamu juga termasuk salah satu senior buatku. Jangan bicara seperti itu.""Ya, ya, aku paham." Ivana buru-buru menutup mulutnya, lalu melanjutkan, "Aku serius kali ini. Pak Preston mencarimu, dia suruh kamu ke atas.""Kenapa kamu yang mencariku?" Livy sedikit terkejut. Biasanya kalau ada urusan seperti ini, Bendy yang datang menemuinya.Ivana menjawab, "Sepertinya Pak Bendy ada urusan mendadak. Dia cuma sempat mampir sebentar ke departemen sekretaris untuk menyampaikan pesan. Sudahlah, Livy, cepat naik ke atas. Siapa tahu Pak Preston berubah pikiran dan mau memindahkanmu kembali ke departemen sekretaris!"Tidak mungkin, 'kan? Semalam Preston sudah mengatakan bahwa dia tidak akan memindahkannya kembali sebelum misinya selesai.Dengan penuh rasa penasaran, Livy segera mengetuk pintu kantor Preston."Masuk."Saat mendorong pintu, Livy melihat Preston sedang tidak bekerja. Pria itu memeg
"Hah?" Livy sempat mengira dirinya salah dengar. Namun, saat melihat Preston menunggu dengan ekspresi seperti ingin dilayani, dia yakin bahwa dirinya tidak salah dengar.Membantu dia mandi? Dia menatap laki-laki di hadapannya dengan mata membelalak.Sebagian besar pakaiannya sudah terlepas, memperlihatkan tubuh ramping dengan garis otot yang tegas. Di bawah cahaya lampu, sosok itu terlihat begitu mencolok hingga membuat jantungnya berdebar.Ditambah lagi dengan wajah Preston yang dingin, tegas, dan sempurna, semuanya memberikan dampak visual yang sangat kuat.Sejak kejadian itu, sebenarnya sudah beberapa hari berlalu sejak terakhir kali mereka melakukannya. Seorang wanita ... juga memiliki kebutuhannya sendiri.Livy berdeham, mencoba menahan rasa malu yang merayap di hatinya. Dia terus mengingatkan diri sendiri bahwa dia masih membutuhkan bantuan pria ini.Sambil menggigit bibirnya, dia mulai membuka kancing kemeja Preston. Sesudah itu, dia bergerak turun ke celana. Ketika tiba giliran
Preston masih punya sedikit kendali atas dirinya sendiri. Lagi pula, setelah 2 hari berturut-turut, tubuh Livy pasti masih butuh waktu untuk beristirahat dengan baik."Kalau begitu ... 6 juta?" Dengan berat hati, Livy menambahkan 2 juta lagi. Wajahnya pun terlihat tegang. "Benaran nggak bisa lebih lagi? Bonusku sedikit banget."Terakhir kali, dia hanya mendapat 1 juta. Itu bahkan tidak cukup untuk membayar satu hidangan Preston."Beberapa hari lagi, bagian keuangan akan mentransfer sisa bonusmu yang sebelumnya. Jadi, kamu nggak bakal sampai kekurangan uang. Lagi pula, bukannya aku sudah kasih kamu kartu? Punya uang tapi nggak dipakai. Kamu bodoh ya?" Nada suara Preston terdengar agak pasrah.Bonus sebelumnya? Livy kaget dan baru teringat. Dia buru-buru bertanya, "Masalah dengan Sherly itu ulahmu ya?"Meskipun kemungkinan besar jawabannya adalah iya, dia tetap ingin memastikan. "Hmm, aku menyuruh Bendy menyelidikinya.""Bonusmu ternyata disalahgunakan oleh Sherly, jadi aku meminta bagia
Jantung Livy seakan-akan berhenti berdetak sejenak. Dia awalnya hanya ingin bertingkah manja untuk mencari jalan pintas, tetapi Preston malah menanggapinya dengan serius.Setelah tertegun sesaat, Livy tiba-tiba merasa dirinya seperti seorang badut. Benar juga, mereka ini pasangan suami istri macam apa?Mereka bukanlah pasangan dalam arti yang sesungguhnya. Jadi, Preston sama sekali tidak punya kewajiban untuk berbagi rahasia bisnis dengannya. Bisa jadi, dia justru sedang menjaga jarak dan tidak ingin berbagi dengannya."Kenapa diam?" Melihat Livy termenung, Preston semakin kesal dan kembali bertanya, "Apa kamu punya sedikit perasaan untukku?""Kenapa nggak? Tentu saja punya." Livy tidak mengerti kenapa pria ini tiba-tiba marah. Tadi, dia sempat mengira Preston tersinggung karena dirinya terlalu percaya diri, tetapi sekarang kenapa justru bertanya soal perasaan?Apakah dia ingin Livy membujuknya? Livy tidak yakin. Atau Preston sedang menguji perasaannya yang sebenarnya?Pada akhirnya, L
Tadi dia ... sudahlah.Preston berdeham pelan, lalu sedikit mengubah topik pembicaraan. "Soal barbeku itu, akhir pekan ini kamu bawa aku ke sana.""Hah?" Livy tampak terkejut dan buru-buru mengingatkan, "Tempat itu cukup terpencil dan semua mejanya di luar ruangan. Aku takut kamu bakal kurang nyaman makan di sana.""Kamu bisa makan, kenapa aku nggak bisa?" balas Preston dengan santai."Baiklah."Lagi pula, Preston yang minta sendiri. Jangan sampai nanti setelah diajak, dia malah menunjukkan ekspresi tidak senang. Itu pasti akan membuat Livy kesal.Sambil menuangkan segelas air lagi untuk dirinya sendiri, Livy menyadari tatapan yang dilayangkan Preston kepadanya. Dengan sigap, dia juga menuangkan segelas air untuk pria itu.Preston menerima air putih yang diberikan Livy, lalu tiba-tiba berkata, "Aku dengar kamu berhasil mengamankan kerja sama ini hanya dalam 5 hari.""Mm ... sebenarnya masih banyak yang belum aku pahami, jadi butuh waktu cukup lama. Tapi, ya sudahlah, setidaknya ini lan
Ryan berbicara dengan pelan, tetapi kata-katanya mengandung makna menyindir jika didengar dengan lebih saksama. Namun, kata-kata itu juga terdengar sedang mengeluh. Ryan sedang mengeluh padanya?Namun, begitu pemikiran itu muncul, Livy langsung menepis pemikiran itu dan berpikir itu pasti hanya sekadar mengeluh biasa saja. Ryan bisa mengajak seseorang dengan mudah, tetapi dia malah menolak undangannya tiga kali. Oleh karena itu, wajar saja jika Ryan mengeluh."Maaf, aku benar-benar agak sibuk," jelas Livy dengan suara pelan."Nggak masalah, aku sudah memaafkanmu," kata Ryan sambil tersenyum dan tatapannya terlihat santai, seolah-olah bisa menarik perhatian siapa pun yang melihatnya."Selesai!"Setelah mengambil beberapa foto lagi, Hesti segera mengembalikan ponselnya pada Ryan dan berkata dengan semangat, "Tuan Ryan, kamu dan Livy benar-benar terlihat sangat serasi, aku sampai nggak tahan untuk mengambil beberapa foto lagi.""Nggak masalah, terima kasih," kata Ryan sambil kembali menge