Livy yang lamban masih belum menyadari nada bicara Preston yang berubah. Dia tanpa sadar mengangguk. "Ya, sepertinya Pak David juga hebat dalam investasi. Kalau ada kesempatan, aku ingin belajar darinya.""Livy, aku baru saja memujimu pintar, tapi sekarang kamu sudah bodoh." Suara Preston terdengar dingin. "David itu cuma kebetulan beruntung. Kalau soal bisnis, kamu seharusnya belajar dariku, malah mengagumi yang ilmunya setengah-setengah."Hah? Nada suaranya terdengar agak aneh, 'kan? Livy menggunakan sedikit pengalaman cintanya di masa lalu dan menebak. Preston sepertinya tidak senang karena dia memuji orang lain.Jadi, Livy segera mengganti topik pembicaraan dan mencoba merayu Preston, "Ini pasti karena aku makan terlalu banyak malam ini, jadi otakku nggak jalan. Suamiku sudah pasti jauh lebih hebat daripada Pak David. Nanti kalau kamu punya waktu, aku akan langsung belajar darimu.""Sayang, proyekku yang sebelumnya juga berjalan dengan baik berkat bimbinganmu. Kalau ada kamu, aku p
Namun, kata-kata itu membuat Livy ingin tertawa. Mungkin karena sudah tidak ada lagi harapan terhadap Rivano, bahkan membencinya sampai ke titik ekstrem, Livy tidak merasa sedih sedikit pun.Dia berkata dengan sangat dingin, "Aku bisa membantumu, tapi aku ingin kamu kembalikan rumah yang sedang kamu tinggali itu."Rivano tertegun sebelum marah. "Apa maksudmu? Keluarga kita sekarang cuma punya rumah ini. Kalau aku kembalikan kepadamu, kamu mau melihat kami terlantar di jalan?""Rumah itu memang bukan milikmu! Rivano, bukankah semua yang kamu miliki sekarang adalah milik ibuku?" Suara Livy terdengar sedingin es. "Perhiasan-perhiasan ibuku juga, suruh Zoey kembalikan kepadaku. Kita sudah menyepakatinya sebelumnya!"Jika mereka tidak menepati janji, Livy tidak keberatan menggunakan cara-cara tertentu. Lagi pula, mereka yang memulainya dengan licik dan tidak tahu malu."Perhiasan-perhiasan itu ... ya, ya. Besok aku akan minta Zoey mengantarkannya kepadamu."Awalnya Livy mengira Rivano akan
Ryan? Livy merasa nama itu terdengar familier, tetapi tidak bisa langsung mengingat di mana dia pernah mendengarnya."Salam kenal, namaku Livy," balas Livy dengan senyuman sopan.Pria itu sedikit mengangkat alisnya, lalu tersenyum lembut. "Baiklah, aku sudah ingat namamu. Terima kasih banyak untuk hari ini. Kalau ada kesempatan, aku pasti akan membalas budi ini."Setelah mengatakan itu, pria itu langsung pergi. Livy tidak terlalu memikirkannya, menganggapnya hanya sebagai insiden kecil. Dia mengikuti alamat yang diberikan oleh Charlene dan segera tiba di ruang istirahat.Setelah menunggu sekitar setengah jam, Charlene akhirnya masuk dengan tergesa-gesa, menutup pintu sambil berkata, "Kalian nggak perlu ikut, nanti aku sendiri yang hapus riasan dan ganti baju. Setelah itu, aku liburan beberapa hari. Aku sudah kasih tahu manajerku. Dah!"Pintu tertutup rapat, Charlene langsung terduduk lemas di sofa. Dia melambaikan tangan ke arah Livy sambil berkata, "Livy, kerjaan ini benar-benar buat
"Tadi aku bertemu dengannya di depan pintu, jadi merasa agak penasaran," jawab Livy dengan jujur. "Charlene, kamu kenal dia?"Charlene mengangguk. "Kamu tahu tentang Keluarga Gunarso?"Keluarga Gunarso, Livy memang pernah mendengar beberapa informasi tentang mereka.Keluarga Gunarso bukan tinggal di dalam negeri. Mereka lebih banyak menghabiskan waktu di luar negeri. Yang tetap tinggal di kota ini mungkin hanya putra sulung Keluarga Gunarso, yang posisinya cukup tinggi.Charlene melanjutkan. "Ryan itu adalah anak bungsu Keluarga Gunarso. Dia sangat dimanjakan sejak kecil. Waktu aku tinggal di luar negeri, aku pernah dengar gosip tentang anak bungsu ini. Katanya dia sangat tampan.""Waktu SMP, gadis-gadis bule terus mengelilinginya. Tapi waktu SMA, dia kembali ke negara ini dan kabarnya dia sempat berselisih dengan keluarganya."Ternyata begitu, tidak heran jika dia dikejar oleh sekelompok pria berbaju hitam itu. Mungkin mereka adalah orang-orang dari Keluarga Gunarso."Jadi, gimana? Ka
Musik di sekeliling perlahan mereda. Pembawa acara di atas panggung memulai sesi tanya jawab serta interaksi.Charlene mengusap air mata di sudut mata Livy dengan lembut, lalu berkata dengan emosional, "Pantas saja waktu itu kamu tiba-tiba punya uang buat balik sekolah. Ternyata ketemu orang baik, bahkan orang baik itu adalah Rayn?"Livy mengangguk kecil sambil merendahkan suaranya. "Dia mungkin sudah lupa sama aku."Namun, Livy selalu menganggap Rayn sebagai penyelamat hidupnya. Jika bukan karena Rayn, dia pasti sudah berhenti sekolah dan mungkin hanya bisa bekerja sebagai pelayan restoran."Ya Tuhan, kejadian ini luar biasa sekali! Aku rasa kalau kamu ceritain ke Rayn, dia pasti bakal ingat lagi. Tapi ...." Charlene berhenti sebentar, lalu berbisik di telinga Livy. "Jangan-jangan kamu masih suka sama Rayn dan ingin pacaran sama idolamu sendiri?""Mana mungkin!" Livy buru-buru menjelaskan, "Aku cuma ingin mengucapkan terima kasih. Aku sama sekali nggak ada maksud lain!"Menyukai idola
Sepertinya itu memang masuk akal. Meskipun Livy merasa kebetulan ini terlalu mengejutkan, dia memutuskan untuk tidak terus memikirkannya. Setelah sampai di rumah, dia segera melupakan insiden kecil itu.Awalnya, rencananya malam ini setelah konser selesai, dia akan langsung pergi ke vila tepi pantai bersama Charlene untuk memulai liburan selama tiga hari. Namun, Charlene tiba-tiba menerima tugas untuk melakukan siaran langsung esok pagi. Mereka terpaksa menunda rencana itu hingga esok sore.Setelah mandi, Livy menerima panggilan dari Preston. Dia segera menjawab. Suara Preston yang lelah terdengar dari ujung telepon. "Ke mana saja? Kenapa nggak jawab telepon?""Hah? Kamu meneleponku tadi?" Livy keluar dari layar panggilan untuk memeriksa, ternyata memang ada tiga panggilan tak terjawab."Maaf ya, Sayang. Tadi aku di konser, jadi nggak dengar teleponmu," ujar Livy buru-buru. "Ada apa? Apa ada urusan?""Kalau nggak ada urusan, aku nggak boleh mencarimu?" Suara Preston terdengar datar dan
Livy sama sekali tidak terkejut. Situasi seperti ini sudah terlalu familier baginya, terutama setelah kejadian serupa di vila Bahran belum lama ini. Ditambah lagi, mengingat permintaan Rivano kemarin, jelas bahwa Zoey datang untuk pamer di depan pria yang dikatakan sebagai calon pasangannya.Seperti yang diduga, begitu Zoey menyapa Livy, pria di sampingnya langsung menunjukkan ekspresi penuh kegembiraan dan berkata, "Zoey, ternyata kamu nggak bohong! Kakakmu benaran menantu Keluarga Sandiaga!""Tentu saja!" Zoey menjawab dengan sombong. Dia mendekati Livy dengan sok akrab dan berujar, "Kak, aku sudah bawa perhiasan itu untukmu. Aku lelah sekali setelah perjalanan panjang ini. Aku boleh masuk sebentar untuk minum?""Kita boleh masuk?" Pria di sebelahnya bahkan lebih bersemangat. Dia menatap vila di depannya dengan mata berbinar kagum. "Zoey, itu artinya kamu adik ipar Pak Preston? Wah, berarti aku juga bisa punya hubungan dekat dengan Keluarga Sandiaga!""Sejak pertama kali melihatmu, a
Mendengar Zoey berkata seperti itu, Ansel langsung panik.Meskipun dalam hatinya memang berpikir seperti itu, dia sama sekali tidak boleh membiarkan Zoey mengetahuinya!Dengan cepat, dia membujuk Zoey yang ada di depannya, "Zoey, apa maksudmu bilang begitu? Aku sama kamu karena benar-benar tulus menyukaimu, nggak ada hubungannya sama sekali dengan Keluarga Sandiaga atau kakak ipar.""Lagi pula, menurutku Livy pasti jadi sombong setelah menikah ke Keluarga Sandiaga dan bahkan nggak menganggapmu penting lagi. Sayang, kita harus hormat sama yang tua dan menyayangi yang muda, nggak usah terlalu dipikirin. Ayo, kubawa makan enak dulu, nanti kalau suasana hatinya sudah lebih baik, kita bisa kirim hadiah untuk memperbaiki hubungan sama dia."Zoey merasa sangat kesal di dalam hatinya. Ansel memang mengincar kekuasaan Keluarga Sandiaga! Namun, itu tidak masalah. Dengan adanya hubungan ini, Ansel pasti akan menjadi pesuruhnya!Punya seorang pria yang selalu siap kapan pun saat dibutuhkan dan sel
Siapa yang peduli? Preston mengernyit. Apakah dia peduli pada Livy?Tangan yang menggenggam gelas tiba-tiba berhenti, lalu dia menuangkan lagi segelas minuman untuk dirinya sendiri dan berkata dengan nada dingin, "Dia cuma istri kontrakku, nggak lebih.""Iya, nih. David, kamu terlalu berlebihan. Bu Livy memang perempuan yang baik, tapi bagaimanapun juga, dia dan Preston berasal dari dunia yang berbeda."Sylvia menyela pembicaraan, lalu mendekati Preston dengan berpura-pura baik dan mengingatkan dengan lembut, "Preston, aku tahu kamu ingin memperlakukan Bu Livy dengan baik. Tapi bagaimanapun juga, dia berasal dari latar belakang yang berbeda dari kita. Kalau kamu terus memberinya barang-barang mewah, itu malah bisa membuatnya merasa terbebani."Perkataan itu membuat Preston sedikit penasaran. "Kenapa?""Karena bagi Livy, barang-barang itu sangat mahal, bahkan satu saja bisa setara dengan gajinya selama bertahun-tahun. Orang seperti dia akan merasa bahwa kesenjangan di antara kalian terl
Kalau begitu, Livy juga jangan berharap hidupnya akan baik-baik saja!"Zoey, kalau mau gila, jangan cari aku!" Livy tidak ingin meladeni Zoey lagi dan segera pergi. Namun, setelah kembali ke kantornya, kelopak mata kanannya terus berkedut. Dia merasa seolah-olah sesuatu akan terjadi.Sebelum pulang, dia naik ke lantai atas untuk mencari Preston dan melaporkan perkembangan proyek. Namun, setelah mengetuk pintu beberapa kali, tidak ada jawaban dari dalam. Akhirnya, dia menghubungi Preston lewat telepon."Ada apa?"Di seberang sana, suara Preston terdengar seakan dia sedang berada di tempat hiburan. Ada suara musik samar-samar dan yang lebih menyakitkan, Livy mendengar suara Sylvia yang begitu akrab di telinganya."Preston, bukannya sudah bilang hari ini jangan bahas pekerjaan?" Suara manja Sylvia terdengar cukup jelas, seolah-olah dia menempel di sisi Preston."Aku cuma bicara sebentar," jawab Preston dengan suara rendah, sebelum akhirnya beralih ke Livy, "Bu Livy, kalau soal pekerjaan,
Karena kejadian semalam, Livy hampir terlambat masuk kerja pagi ini. Baru saja dia selesai absen, suara yang sudah lama tidak terdengar kembali menyapanya. "Livy!"Setelah sekian lama tidak bertemu, Zoey tampaknya menjalani hidup yang cukup baik.Pakaian bermerek yang dikenakannya semakin banyak dan di lehernya terlihat bekas merah yang sangat mencolok. Tanda bahwa hubungannya dengan Ansel semakin erat."Ada urusan apa?" Livy meliriknya dengan dingin, tidak ingin membuang waktu untuknya.Namun, Zoey sama sekali tidak merasa tersinggung dan justru berkata dengan percaya diri, "Aku butuh bantuanmu."Livy mengernyit, merasa Zoey benar-benar terlalu tidak tahu malu, lalu menolak mentah-mentah, "Aku nggak ada waktu.""Livy, kamu sok jual mahal apa sih? Apa kamu benar-benar mengira dirimu sudah jadi nyonya besar? Kaki Sylvia sebentar lagi sembuh, 'kan? Aku peringatkan kamu, begitu dia berhasil, kamu pasti akan dibuang sama Pak Preston!"Zoey menghalangi Livy di pintu masuk, kata-kata tajamny
Charlene masih terus bergosip, "Ngomong-ngomong, Preston sudah nggak muda lagi, ya? Terus katanya dulu juga nggak pernah dekat sama cewek, nggak ada gosip macam-macam. Jangan-jangan dia nggak ada tenaga di ranjang? Kalau kamu ngerasa kurang, aku tahu nih ada obat yang ....""Nggak perlu, Charlene!"Livy buru-buru memotong, mencengkeram ponsel erat-erat, lalu menurunkan suaranya, "Dia di bagian itu sangat kuat.""Apa?"Suaranya terlalu kecil, Charlene di seberang sana tidak mendengarnya dengan jelas. "Maksudmu kamu masih mau? Atau jangan-jangan dia nggak bisa?""Bukan!" Livy hampir melonjak, suaranya langsung meninggi, "Preston sangat kuat, dia nggak butuh obat sama sekali!""Ohh ...." Charlene menarik nadanya dengan panjang, jelas sekali dia sedang menggoda.Livy benar-benar malu. Dia buru-buru mengganti topik. Setelah mengobrol tentang beberapa gosip ringan, akhirnya dia menutup telepon.Setelah merasa cukup berendam, Livy mengeringkan tubuhnya dengan handuk. Dia melirik pakaian tidur
Tatapan Preston sedikit melunak, alisnya pun tampak lebih rileks. Lalu, dengan nada tenang, dia berkata, "Livy, aku kaya, tampan, dan selain temperamenku, aku bisa memberimu semua yang kamu inginkan.""Dalam pernikahan, pasangan seharusnya saling memahami. Lagi pula, aku nggak merasa sering marah. Kebanyakan waktu, itu karena kamu yang melakukan kesalahan."Hah?Livy semakin bingung.Bukankah tadi Preston ingin menceraikannya? Menghubungkan sikapnya tadi malam dan hari ini, sebuah pemikiran yang sulit dipercaya muncul di benaknya.Livy menatap Preston dengan ragu, lalu bertanya dengan hati-hati, "Jadi ... kamu bersikap baik padaku hari ini karena aku bilang kamu mudah marah?"Tidak mungkin! Jadi, semua yang Preston lakukan adalah ... cara halus untuk menenangkannya?"Jadi, menurutmu aku benar-benar pemarah?" Preston menjepit sepotong daging panggang ke dalam mangkuknya, matanya menatapnya dengan tajam.Ini pertanyaan yang menentukan antara hidup atau mati.Livy buru-buru menggeleng. "S
Livy menggelengkan kepala, sedikit ragu-ragu saat menjawab, "Pak Preston sangat sibuk setiap hari, kurasa dia nggak punya waktu untuk mengurusi hal seperti ini.""Jadi ... kita cuma bisa diam saja menerima ini?"Ivana tampak tidak terima, matanya penuh dengan kekesalan saat berkata, "Kamu sudah bekerja keras selama ini dan cuma dihargai sejuta? Bu Sherly benar-benar keterlaluan! Awalnya aku pikir dia cukup baik, tapi ternyata dia pencemburu sekali!"Livy terdiam sejenak. Dia merasa ini bukan sekadar masalah iri hati.Perasaan aneh yang dia rasakan semakin kuat. Seolah-olah Sherly menargetkannya bukan hanya karena iri, tetapi juga karena alasan lain yang tidak bisa dia jelaskan. Jika dia benar-benar ingin menyingkirkan Sherly, hanya mengandalkan masalah bonus proyek ini tidak cukup.Bagaimanapun juga, meskipun tindakan Sherly tidak etis, dia tetap mengikuti prosedur formal. Jadi, Livy tidak punya alasan yang cukup kuat untuk menindaknya. Merasa frustrasi, Livy hanya bisa memfokuskan dir
"Ah?"Livy benar-benar tidak mengerti. Tadi mereka masih membicarakan hal lain, kenapa tiba-tiba berubah menjadi ini?Preston bahkan berkata akan berusaha tidak mudah marah. Tapi ... mana mungkin pria ini tidak cepat marah?Dia tidak berani membantah atau menolak, jadi hanya bisa mengangguk patuh dan menjawab seadanya. Namun, pikirannya semakin kacau. Tiba-tiba, dia kembali teringat tentang Sherly.Setelah yakin bahwa Sherly memang sengaja menargetkannya, hati Livy dipenuhi dengan amarah, frustrasi, dan rasa tak berdaya. Bagaimanapun juga, Sherly memang benar dalam satu hal.Sekarang dia adalah atasan, dan tidak peduli seberapa besar Livy merasa diperlakukan tidak adil, dia hanya bisa menahannya. Namun ... bukankah Livy juga punya seseorang untuk diandalkan?Perlahan, tatapannya mengarah ke Preston yang duduk di sampingnya. Setelah ragu-ragu beberapa saat, dia akhirnya bertanya dengan hati-hati, "Pak Preston, kalau ada karyawan di perusahaan Anda yang bermasalah dengan rekan kerja mere
Livy menoleh dengan bingung. Dia melihat Ivana sedang memeriksa kemasan produk perawatan kulit dengan sangat hati-hati. Lalu, Ivana menunjuk dua huruf pada kemasan tersebut."Livy, suamiku pernah membelikan produk ini saat ada diskon besar-besaran. Seharusnya, huruf 'L' dan 'A' di logo ini saling menyambung. Tapi lihat ini. Di sini justru terpisah dan bagian ini tampak miring. Ini jelas barang palsu!"Livy memandang lebih dekat. Namun, dia tidak bisa melihat perbedaannya. Dia memang tidak terlalu sering memakai produk kecantikan mewah. Namun, Ivana sangat paham tentang skincare.Jika Ivana bilang ini barang palsu, berarti itu pasti benar."Apa maksudnya ini? Memberikanmu barang palsu? Ini produk yang dipakai di wajah! Bagaimana kalau kulitmu rusak?"Ivana semakin marah dan khawatir. "Livy, jangan pakai ini! Langsung buang saja!"Livy mengangguk. "Baik, aku mengerti." Namun, pikirannya tidak bisa fokus bekerja.Tiba-tiba, teleponnya berdering. Panggilan itu dari Bendy."Livy, Pak Presto
Livy masih mencoba memastikan jumlah bonusnya, tetapi Ivana sudah mendekat dan tampak terkejut bukan main. "Satu juta? Astaga, bonus kehadiran penuhkku saja 1,6 juta! Ini sama saja kayak mengusir pengemis!"Livy juga merasa ada yang tidak beres. Dia bahkan tidak bisa memercayainya. "Mungkin bagian keuangan salah transfer. Aku akan pergi ke sana dan menanyakannya langsung."Tanpa membuang waktu, Livy segera menuju bagian keuangan. Namun, jawaban dari bagian keuangan sangat jelas. "Bonus proyek ini sudah ditransfer dengan benar. Tidak ada kesalahan."Melihat Livy masih kebingungan, salah satu staf keuangan berbaik hati memberi petunjuk. "Bu Livy, bonus proyek ini dikirimkan ke kepala departemen Anda terlebih dahulu. Lalu, kepala departemen yang membagikannya kepada tim."Kami hanya mentransfer dana sesuai jumlah yang dilaporkan oleh kepala departemen Anda. Kalau masih ada pertanyaan, silakan tanyakan langsung ke kepala departemen Anda."Kepala departemen?Saat ini, posisi Direktur Sekret