Ketika Livy kembali ke ruangannya, tangannya terasa sangat pegal. Untungnya, Preston masih punya hati nurani. Dia memberi Livy waktu setengah jam untuk makan siang.""Wah, Livy, kamu kerja di ruangan Pak Preston sejak tadi?" Ivana melirik Livy yang terlihat sangat lelah. Nada bicaranya terdengar agak kesal. "Kenapa Pak Preston begini sih? Kenapa nggak kasih kamu istirahat di siang hari? Ini namanya menyiksa karyawan!"Livy segera membantah, "Nggak kok, aku nggak kerja ....""Nggak kerja?" Ivana langsung meraih tangan Livy dan terlihat sangat bersemangat.Seketika, jantung Livy berdetak kencang. Mampus, dia salah bicara."Aku hampir lupa Pak Bendy dan Pak Preston di lantai yang sama. Sebenarnya kamu kencan sama Pak Bendy, 'kan?" Ekspresi Ivana dipenuhi rasa penasaran. Dia mengejapkan matanya dengan nakal.Kenapa lagi-lagi melibatkan Bendy? Livy tidak tahu harus menjawab apa. Dia terbata-bata saat menyahut, "Bukan ... aku ... sebenarnya ....""Aku ngerti." Nada bicara Ivana tedengar naka
"Bu Livy." Sherly tiba-tiba berjalan mendekati mereka, membuyarkan lamunan Livy. Karena terkejut, Ivana langsung menutup mulutnya dan mulai memasang ekspresi serius seolah-olah sedang bekerja."Bu Sherly, ada apa?" tanya Livy dengan bingung.Sherly menyerahkan sebuah dokumen kepada Livy dan berkata, "Begini, perpindahan jabatan Erick terjadi terlalu cepat, masih ada beberapa hal yang belum selesai dikoordinasikan. Sebelumnya, kamu dan Erick yang menangani ini, jadi nggak masalah kalau kamu yang menyelesaikannya, 'kan?"Memintanya untuk menemui Erick? Livy tentu ingin menolak. Sejak terakhir kali dia dijebak oleh Erick, dan setelah mengetahui bahwa Erick meninggalkan perusahaan, dia bahkan sudah memblokir kontak pria itu. Sekarang, jangankan bekerja sama, berbicara saja Livy merasa canggung.Di sampingnya, Ivana yang menyadari situasi itu berkata, "Bu Sherly, sekarang Bu Livy bekerja sama dengan Hesti dari divisi lapangan. Setahu saya, Hesti dan Erick pernah menjadi rekan kerja, mungkin
Setelah memikirkan semuanya, Livy memutuskan untuk segera pulang ke rumah setelah jam kerja. Namun, baru saja dia bersiap pergi, sebuah dokumen tiba-tiba dilemparkan ke mejanya oleh Zoey."Kak, ini dokumen yang aku kerjakan hari ini. Tolong periksa apakah ada yang perlu diperbaiki," kata Zoey sambil mengedipkan mata dengan polos, menghentikan langkah Livy.Dengan nada kesal, Livy menjawab, "Sekarang sudah waktunya pulang. Akan kuperiksa besok."Dia benar-benar tidak punya energi untuk menghadapi Zoey sekarang. Sejak siang, Livy tidak sempat istirahat, ditambah sore harinya penuh dengan pekerjaan yang membuat pikirannya tegang. Yang diinginkannya saat ini hanyalah pulang ke rumah dan beristirahat.Namun, Zoey tidak membiarkannya pergi. Dia menggigit bibir bawahnya seolah-olah dia sedang dianiaya. "Kak, aku benar-benar ingin lulus masa percobaan. Tolong bantu aku. Lagian, aku ini adik kandungmu. Kamu nggak mau orang lain bilang kamu bahkan nggak mau bantu adik kandungmu sendiri, 'kan?"L
Bendy menunjuk ke arah luar. "Bu Livy, sekarang ini nggak banyak orang di kantor. Pak Preston sedang menunggu Anda di sana untuk pulang bersama."Livy terkejut mendengarnya, tetapi tidak banyak membuang waktu. Dia mengikuti arah yang ditunjukkan oleh Bendy. Di pinggir jalan, sebuah Porsche Cayenne yang tidak asing terparkir dengan tenang.Setelah memastikan tidak ada rekan kerja di sekitar, Livy segera membungkuk dan masuk ke dalam mobil. Dia duduk diam di kursi dengan tenang.Preston tampaknya masih sibuk meninjau beberapa dokumen di tangannya. Sementara itu, Livy mengambil ponselnya dan mulai bermain. Namun, di layar ponselnya, pesan-pesan mengganggu dari Erick terus berdatangan.[ Livy, jangan marah soal malam itu. Aku cuma khilaf sesaat. Aku sebenarnya mau bertanggung jawab. Aku benar-benar berniat menikahimu .... Semua itu karena aku terlalu suka padamu. Tapi aku nggak nyangka, Bendy datang dan suruh orang untuk memukulku sampai babak belur. Aku dirawat di rumah sakit selama beber
Livy menarik kembali tangannya dengan cepat dan sedikit menjauh ke sisi lain."Pak Preston, jangan salah paham. Aku .... Kamu selesaikan dulu pekerjaanmu. Bukannya masih ada setumpuk dokumen yang harus diperiksa?" ujarnya, seolah-olah bermaksud "baik hati" mengingatkan.Dokumen-dokumen itu memang cukup banyak dan sepertinya Preston harus menghabiskan waktu semalaman untuk menyelesaikannya.Livy berpikir, setelah istirahat siang tadi, malam ini Preston mungkin tidak akan punya energi untuk mengganggunya. Dia kemungkinan akan sibuk bekerja lembur dengan dokumen-dokumen itu. Kalau tidak, dia tidak akan membawa setumpuk dokumen seperti ini ke rumah.Perasaan lega perlahan muncul di hati Livy.Untungnya, Preston hanya bercanda dan tidak melakukan apa pun di dalam mobil. Keduanya duduk diam sepanjang perjalanan sampai akhirnya tiba di rumah.Begitu sampai di rumah, Livy langsung menyerbu meja makan. Dia benar-benar lapar. Tanpa peduli pada penampilannya, dia makan dengan lahap. Lagi pula, di
Preston tidak ingin Livy terus-terusan sakit. Tidak masalah jika dia hanya merepotkan David, tapi Preston juga jadi ikut mencemaskannya. Perasaan ini sangat tidak nyaman baginya.Dia menambahkan dengan nada tegas, "Mulai sekarang, setiap Senin, Rabu, dan Jumat, usahakan pulang tepat waktu. Jam sembilan malam, aku bawa kamu untuk jogging malam. Latih tubuhmu."Livy langsung lemas. Wajahnya jadi muram, bahkan tangannya yang sedang memegang sendok terasa kehilangan tenaga. "Aku ... aku nggak terlalu pandai lari. Aku lambat sekali," katanya pelan.Dengan segala kesibukan yang membuatnya lelah, kini dia harus memikirkan jogging malam? Ini seperti hukuman mati baginya."Kalau lambat, ya lari pelan-pelan. Aku nggak suruh kamu ikut lomba," jawab Preston yang telah memutuskan semuanya tanpa memberi ruang bagi Livy untuk membantah.Wajah Livy semakin masam. Namun, dia melampiaskan rasa frustrasinya dengan makan lebih banyak. Dalam waktu singkat, tiga piring nasi habis dilahapnya. Seperti seekor
Preston kembali berbicara beberapa kalimat dengan suara pelan, tetapi Livy tidak mendengarnya dengan jelas. Dia pun tidak lagi peduli dengan apa yang dikatakan Preston. Suaranya hanya menjadi dengungan kosong di telinga Livy yang kini berdiri dengan perasaan linglung.Ketika Preston selesai menutup telepon dan berbalik, pandangannya langsung tertuju pada Livy yang baru saja membuka pintu.Gaun malam putih yang dikenakan Livy menonjolkan lekuk tubuhnya yang ramping dan anggun dengan sempurna. Desain korset tanpa lengan itu juga menampilkan kulit putihnya dengan elegan dan memberikan kesan yang menggoda. Rambut panjangnya tergerai di bahu, memberikan sentuhan lembut yang membuatnya tampak seperti sosok yang rapuh.Tatapan Preston menjadi lebih gelap dan dia tampak menelan ludah. Dengan nada sedikit kesal, dia berkata, "Gaun ini nggak cocok untukmu."Livy mendongak, memandang wajah Preston yang dingin dan kaku. Perasaan antusias yang tadi dirasakannya saat mengganti gaun itu seketika memu
Livy merasa semakin tidak nyaman, terutama karena tatapan Preston yang jelas-jelas dipenuhi dengan makna menggoda. Namun, apa yang Preston katakan memang benar. Gaun malam ini memang terlihat indah, tetapi sangat tidak praktis untuk bergerak.Setelah ragu selama beberapa saat, Livy memutuskan untuk mengesampingkan rasa malunya dan menganggap Preston sebagai patung. Dia berusaha menenangkan pikirannya dan mulai melepas pita di sisi pinggang gaun itu dengan hati-hati.Sayangnya, pita itu sulit sekali dilepaskan, sehingga gerakan Livy menjadi sangat lambat.Preston awalnya hanya menikmati pemandangan itu dari sofa. Namun setelah beberapa saat, dia berdiri dan mendekati Livy dengan langkah mantap. Livy yang masih menunduk dan fokus pada pita yang membandel, tiba-tiba merasakan bayangan gelap menutupi dirinya. Dia mengangkat kepala dengan terkejut."Pres ...."Sebelum sempat menyelesaikan kalimatnya, bibir Livy langsung disambar oleh Preston. Ciuman itu penuh dengan kehangatan dan dominasi.
Preston tiba-tiba menyela dengan nada mencela, "Livy, kamu benar-benar menganggap dirimu sebagai Nyonya Keluarga Sandiaga? Di mataku, kamu cuma wanita yang kunikahi sebagai solusi sementara demi menenangkan ayahku."Wajah Livy langsung pucat. Meskipun sejak awal mereka sudah tahu kenyataan ini, mendengarnya diungkapkan secara terang-terangan tetap membuat hatinya sakit."Awalnya kupikir kamu bisa bersikap baik dan nggak akan macam-macam, tapi Livy, tindakanmu belakangan ini benar-benar membuatku muak!"Preston tertawa dingin, jari-jarinya mencengkeram dagu Livy dengan semakin kuat. "Mulai hari ini, aku akan pindah. Ayahku sudah tua dan nggak bisa menerima pukulan besar. Jadi untuk sementara, aku nggak akan menceraikanmu. Tapi ingat baik-baik, jangan pernah menguji kesabaranku lagi!"Setiap kata yang diucapkan menusuk langsung ke hati Livy. Livy tersenyum pahit dan menggeleng, bahkan untuk menjelaskan pun terasa sia-sia. "Preston, apa pun yang kukatakan sekarang sudah nggak berguna, 'ka
Dalam sekejap, Livy panik bukan main. Di rumah Nicky, dia sama sekali tidak melihat ada wanita lain. Jangan-jangan .... Memikirkan kemungkinan itu, wajahnya langsung dipenuhi kecemasan.Untungnya, Nicky segera menjelaskan, "Aku minta tetangga untuk membantumu mengganti pakaian. Livy, jangan khawatir, aku sama sekali nggak melakukan apa pun. Aku nggak akan memanfaatkan situasi seperti ini."Sebesar apa pun perasaannya terhadap Livy, Nicky tetap menghormatinya. Sebelum Livy memberi izin, dia tidak akan melakukan sesuatu yang berlebihan."Baguslah kalau begitu." Livy akhirnya menghela napas lega. Dia buru-buru berkata, "Nicky, aku benaran harus pergi. Kalau ada kesempatan, aku akan mencari waktu untuk berterima kasih padamu."Nicky tersenyum pahit. "Livy, kita ini teman. Kamu nggak perlu sesungkan itu."Livy hanya tersenyum samar, tidak menjawab apa pun. Tidak lama kemudian, dia pun naik taksi untuk pulang.Begitu tiba di rumah, Tina langsung menyambutnya dengan wajah penuh kekhawatiran.
Lihat saja, begitu rencananya tidak berhasil, wanita itu langsung pergi."Livy." Suara Preston terdengar seperti binatang buas dari dalam jurang, menakutkan dan suram.Dia sudah begitu baik kepada wanita ini, tetapi ternyata wanita ini sama sekali tidak pantas mendapatkannya!....Dalam keadaan setengah sadar, Livy perlahan membuka matanya. Begitu terbangun, dia merasa tenggorokannya sangat sakit. Kepalanya terasa berat, tubuhnya juga lemas.Dia menatap sekeliling dengan bingung. Ini tempat yang sepenuhnya asing baginya.Saat berusaha bangkit, suara yang familier tiba-tiba terdengar. "Livy, akhirnya kamu bangun."Pintu kamar terbuka dan orang yang masuk adalah Nicky. Livy agak terkejut, suaranya serak saat bertanya, "Nicky? Kenapa kamu ada di sini?"Livy ingat, semalam dia pingsan di tengah hujan. Lantas, kenapa saat bangun, dia malah berada di tempat ini?"Kemarin aku kebetulan ada urusan di sana. Saat aku kembali, aku melihatmu pingsan di depan gerbang."Nicky membawa semangkuk obat
Livy bahkan tidak tahu sudah berapa lama dia berdiri di sana, sementara hujan deras di atas kepalanya masih belum menunjukkan tanda-tanda akan berhenti.Sampai akhirnya, tubuhnya semakin lemah. Dia harus bersandar pada dinding di sampingnya sebelum perlahan duduk ke tanah.Dingin. Seluruh tubuhnya terasa sangat dingin, seakan-akan dia dilemparkan ke dalam ruang pembeku.Meskipun begitu, suhu tubuhnya justru terasa sangat tinggi, bahkan napasnya membawa hawa panas.Apakah dia demam? Livy merasa kepalanya pusing. Dengan lemah, dia mengangkat tangan dan menyentuh dahinya. Benar saja, panasnya sudah tidak normal.Ponselnya entah kehabisan baterai atau rusak karena masuk air. Kini, layarnya sudah tidak bisa menyala.Yang bisa Livy lakukan hanyalah memeluk tubuh sendiri dengan putus asa, seolah-olah hanya itu yang bisa memberinya sedikit kehangatan."Cepat pergi!" Di tengah kesadarannya yang samar, Livy kembali mendengar suara satpam.Gerbang besi terbuka, tongkat besi menyentuh tubuhnya. Sa
Petugas keamanan menyeretnya ke depan gerbang, lalu bergegas menutup pintu dan menghalangi pandangannya dari dua orang di dalam sana.Di langit yang gelap, kilatan petir mendadak menyambar dan membelah malam dengan cahaya menyilaukan. Namun, Livy tetap tidak mau menyerah. Dia berteriak ke arah vila, suaranya bercampur dengan suara hujan yang mengguyur deras."Pak Preston! Kumohon, kasih aku kesempatan untuk menjelaskan! Semua ini bukan perbuatanku! Kenapa ... kenapa kamu nggak percaya sama aku?!"Petugas keamanan meliriknya dengan pandangan meremehkan. "Nona, lebih baik kamu cepat pergi. Jangan mempermalukan diri sendiri di sini."Tidak ...! Dia tidak bisa pergi begitu saja! Jika dia tidak bisa menjelaskan semuanya hari ini, Preston pasti akan membencinya seumur hidup.Livy tidak ingin itu terjadi. Dia tidak ingin Preston membencinya. Dia tidak bersalah, semua ini bukan perbuatannya!"Aku nggak akan pergi."Livy menggigit bibirnya erat, menahan giginya yang bergetar karena dingin. "Aku
Dengan panik, Livy langsung mendorong pintu dan buru-buru menjelaskan, "Bukan aku yang melakukannya!"Begitu melihat Livy, tebersit kebencian di mata Sylvia.Diam-diam, dia mencubit pahanya sendiri, membuat dirinya menangis lebih keras. "Bu Livy, ke ... kenapa kamu datang ke sini?""Kamu bahkan tahu di mana aku tinggal, apakah itu berarti kamu sudah menyelidiki semua informasi tentangku? Jadi, foto-foto yang diambil diam-diam itu juga hasil perintahmu?"Dalam artikel berita itu, memang ada beberapa foto yang menunjukkan Preston mengantar Sylvia pulang. Namun, Livy sangat yakin bahwa semua ini sama sekali bukan ulahnya.Isakan tangis Sylvia yang lembut dan menyedihkan menghantam hati Preston.Meskipun dia tidak memiliki perasaan cinta terhadap Sylvia, mereka telah tumbuh bersama sejak kecil. Ditambah dengan rasa bersalah yang dia simpan selama bertahun-tahun, melihat Sylvia menangis membuat hatinya sedikit tersentuh.Tatapannya yang dingin jatuh pada Livy yang tiba-tiba menerobos masuk.
"Kenapa sih? Aku melakukan semua ini demi kebaikanmu!"Zoey merasa Livy benar-benar tidak tahu berterima kasih. Dengan nada kesal, dia mengumpat, "Kamu sendiri nggak bisa mempertahankan Pak Preston, aku membantumu, tapi kamu malah bersikap begini!""Kamu sadar nggak, bahkan gelar Nyonya Sandiaga saja nggak diakui? Kalau sampai kalian bercerai, kamu bakal keluar tanpa sepeser pun! Asal kamu mau memperbesar masalah ini, bagaimanapun juga, kamu tetap nggak akan dirugikan!"Sebenarnya, Zoey juga tidak benar-benar ingin membantu Livy. Namun, setelah berdiskusi dengan ibunya, mereka menyadari bahwa hanya dengan membantu Livy, mereka bisa mendapatkan keuntungan.Lagi pula, dia sudah memegang kelemahan Livy. Kalau Livy tidak bekerja sama dengannya, dia akan benar-benar habis!"Aku sudah bilang, urusanku bukan urusanmu!"Livy berteriak hingga suaranya hampir serak, "Aku juga nggak pernah ingin jadi Nyonya Sandiaga yang diumumkan ke publik, dan aku nggak butuh orang lain memperlakukanku dengan b
Grup itu adalah grup gosip perusahaan.Sebelumnya, Ivana pernah ingin memasukkan Livy ke dalamnya, tetapi Livy merasa grup itu terlalu ramai dan penuh dengan gosip yang tidak penting. Lagi pula, dia juga tidak tertarik membahas hal-hal seperti itu, jadi dia menolak untuk bergabung.Namun sekarang, setelah jam kerja usai, seseorang mengirimkan pesan yang memicu kehebohan di grup tersebut.Meskipun hanya ada satu orang yang memulai percakapan, Livy sudah cukup terkenal di perusahaan, jadi banyak orang yang ikut berkomentar.[ Pantas saja! Aku pernah beberapa kali melihat Livy naik mobilnya Pak Preston. Lagian, kalian nggak merasa aneh kalau dia bisa naik jabatan secepat itu? ][ Kalau nggak ada sesuatu di belakangnya, aku pasti nggak percaya! Tapi aku nggak nyangka, ternyata dia punya hubungan sama Pak Preston! ][ Aku nggak percaya! Pak Preston itu kaya, tampan, dan luar biasa! Mana mungkin dia tertarik sama wanita seperti Livy? ][ Pokoknya yang jelas, Livy sudah menikah dan suaminya p
Pria itu memiliki proporsi tubuh yang nyaris sempurna. Mantel panjang hitam yang dia kenakan membingkai tubuhnya yang tinggi dengan sangat pas dan menampilkan sosok yang luar biasa gagah."Sayang, kamu ...."Livy ingin memanggil Preston untuk makan bersama, tetapi pria itu justru berjalan mendekat dengan ekspresi dingin. Dia menatap Livy dari atas ke bawah dengan mata hitam pekat yang dipenuhi dengan kejengkelan. Dengan suara marah, dia bertanya, "Apa lagi yang kamu lakukan?""Hah?"Livy tidak mengerti maksudnya, tetapi sebelum dia bisa bertanya lebih lanjut, tangan besar pria itu sudah mencengkeram bahunya dengan kuat dan menyeretnya ke atas.Cengkeramannya begitu kasar, membuat Livy terpaksa terseret menaiki tangga dengan terburu-buru. Bahkan, karena langkahnya yang terlalu cepat, lututnya terbentur sudut tangga dengan keras.Namun, Preston tidak menunjukkan tanda-tanda ingin berhenti. Dia terus menyeret Livy hingga ke kamar, lalu mendorongnya ke sofa dengan kasar."Kamu begitu ingin