"Aku akan pergi, Aku tidak akan ribut denganmu atau pun dia. Sejak awal saat kita menikah aku sudah pernah mengatakannya. Kamu bisa jatuh cinta pada siapa pun. Karena pernikahan ini tanpa ikatan janji kita berdua," jawab Vivian."Kamu akan pergi dariku, Kalau aku setuju menikahi wanita itu? Kamu tidak akan melarangku?" Vivian mengangguk dan memegang tangan suaminya."Aku bukan tipe wanita yang tidak pengertian, Aku tidak akan mempersulitkanmu atau bersikap egois. Karena aku sadar aku bukan dari keluarga kalangan atas. Charlie, Aku seorang yang pengertian. Andaikan kalau dia bisa menarik perhatianmu. Kamu bisa menceraikan aku dan menikahi dia!" ucap Vivian dengan senyum. Walau ucapan tersebut sangat berat baginya."Baru kali ini aku mendengar seorang istri yang mendukung suaminya menikahi wanita lain," ujar Charlie."Kamu adalah seorang Jenderal, Bukankah aku sangat beruntung memiliki seorang suami yang adalah seorang pahlawan negara dan perhatian padaku. Lalu, kenapa aku harus egois
ApartemenRyan menatap kalung berbentuk bulan sabit yang berkilauan di tangannya. Ia tahu kalung ini menjadi bukti atas perbuatan jahat yang telah ia lakukan bersama Ruby. Dalam sekejap, Ryan mengambil plastik sampah dan meletakkan kalung tersebut di dalamnya dengan hati-hati. Selain kalung itu Ryan sengaja memasuki sampahnya ke dalam plastik itu. Ia melirik ke arah Ruby yang sedang memperhatikan sekitar melalui jendela untuk memastikan tidak ada saksi yang melihat mereka. "Apa kamu yakin dengan cara ini, kita bisa lolos?" tanya Ruby pada suaminya dengan wajah penuh kecemasan. Ryan menghela napas panjang sebelum menjawab, "Hanya ini cara satu-satunya. Setelah kita buang ke tong sampah, maka semuanya akan berakhir. Tidak ada yang tahu lagi siapa anak itu. Wanita itu juga tidak akan tahu kita yang melarikan anaknya." Ruby menggigit bibirnya, mencoba meredakan kekhawatirannya. Ia menutup jendela dan mengikuti Ryan ke luar rumah menuju tong sampah. Dalam hati, mereka berharap semoga ke
Alex dan Cindy berjalan bersama menuju belakang gedung besar yang memiliki sebuah halaman luas. Di sana, terlihat Celine tengah duduk dengan raut wajah tegas dan penuh kekhawatiran. Angin kencang yang bertiup membuat poni rambut Celine menutupi matanya yang indah, namun tak mengurangi kesan tegas dari wajahnya. Ryan dan Ruby mengikuti jejak langkah Alex dan Cindy, perasaan mereka semakin cemas ketika menyadari Celine sedang menunggu kedatangan mereka. Tak ada yang tahu apa yang sedang dipikirkan oleh Celine, namun suasana yang tercipta di halaman itu terasa begitu tegang. Seiring langkah Ryan dan Ruby semakin mendekat, Celine mulai menatap mereka dengan tatapan tajam yang menunjukkan bahwa ia ingin segera menyelesaikan masalah yang sedang dihadapinya. "Nyonya, Tidak tahu ada urusan apa ingin bertemu dengan kami?" tanya Ryan dengan sedikit cemas."Duduklah!" ucap Celine yang bersikap tenang dan duduk menyandarkan diri.Ryan dan Ruby duduk berseberangan dengan Celine. Mereka berusaha
Dokter Hanz tiba di rumah Charlie, disambut oleh Vivian yang tampak panik. "Dokter, tolong periksa Charlie. Dia demam tinggi, tak bisa bangun dari tempat tidur," ucap Vivian dengan wajah pucat. Dokter Hanz segera menuju kamar Charlie dan mulai memeriksa kondisinya. Keringat mengucur deras dari dahi Charlie, wajahnya merah dan tubuhnya terasa panas membakar. "Charlie demam tinggi, penyakitnya kambuh lagi. Seharusnya dia banyak istirahat. Tapi, masih saja bekerja keras," ucap Dokter Hanz yang khawatir. "Tindakan apa yang harus kita lakukan?" tanya Vivian sangat cemas, menatap wajah dokter Hanz yang serius. "Aku akan memberi obat untuk menurunkan demamnya, serta mengambil sampel darah untuk diperiksa. Besok aku akan mengirim hasilnya setelah keluar," jawab Dokter Hanz sambil mengambil jarum suntik dan tabung kecil untuk mengambil sampel darah Charlie. Vivian setia menemani suaminya walau dirinya merasa takut melihat suaminya dalam kondisi seperti itu. Setelah selesai mengambil sampe
Celine yang berada di rumah mewahnya sedang duduk di ruangan pribadinya. Ia telah mendengar pembicaraan pasangan suami istri itu."Kalian melarikan anakku, Di mana anakku sekarang?" gumam Celine dengan wajah datar dan berharap segera mendapatkan informasi dari mereka.Di sisi lain, Stone yang mengemudi menuju ke rumah sakit tempat Mike Anderson dirawat, tanpa dia sadari seseorang yang mengikutinya dari belakang. Pria yang membawa mobil berwarna hitam berparkir di tempat parkiran depan rumah sakit adalah Andrew utusan Charlie."Siapa yang masuk rumah sakit? Kenapa dia bisa ke sini?" gumam Andrew yang berada di dalam mobil.Stone melangkah gontai menuju ruangan kantor dokter yang menangani Mike Anderson. Wajahnya tampak serius dan garang. Ia mengetuk pintu kantor itu sebelum memasuki ruangan tersebut. Di dalam, dokter yang menangani Mike duduk di belakang meja dengan laptop terbuka di depannya. "Kondisi pasien sangat lemah, belum pasti apakah pasien akan sadar atau tidak. Penyakitnya s
"Siap, Tuan. Segera saya lakukan!" jawab Andrew dengan patuh.Tidak lama kemudian Andrew meninggalkan kediaman atasannya.Vivian mengambil obat yang telah diresepkan dokter dari lemari obat, kemudian meletakannya di telapak tangan Charlie, suaminya yang sedang sakit. "Minum obatnya dulu, Kamu harus rutin ikut saran dokter. Selain itu, kamu harus sering periksa suhu badan. Aku akan membantumu," ujar Vivian dengan lembut dan penuh perhatian. Charlie tersentuh dengan perhatian istrinya yang tak pernah lelah merawatnya sejak ia jatuh sakit. Ia tersenyum lemah sambil menatap mata Vivian yang penuh kasih sayang, lalu menelan obat tersebut bersama dengan air putih yang disodorkan Vivian. "Beberapa hari ini jangan ke markas dulu, Kamu harus jaga kesehatanmu," kata Vivian seraya mengambil termometer dari meja kerja suaminya. Dengan hati-hati, ia memasukkan termometer ke bawah ketiak Charlie untuk memeriksa suhu badannya. "Maaf, karena telah membuatmu khawatir! Aku berjanji akan istirahat da
Elena hanya bisa menunduk, bibirnya bergetar karena ketakutan. Ia tahu betul bagaimana Edward yang keras dan tak pernah memberi ampun pada pengkhianatan. Pada saat seperti ini, ucapannya terasa berat dan sukar untuk keluar dari mulutnya. "Tolong jangan melakukan itu, Saya yang berhutang padanya dan saya yang akan membayarnya sendiri," ucap Elena dengan suara lirih penuh ketakutan. Edward menatap tajam wanita di hadapannya, matanya menyala penuh amarah. "Sebagai asisten kediaman Jenderal berhutang dengan orang luar, sungguh memalukan sekali. Apakah upah yang diberikan tidak cukup sehingga harus berhutang?" tanya Edward dengan nada sinis.Elena merasa tertekan, tangannya gemetar tak mampu menyembunyikan rasa takut yang menguasai dirinya. Namun, ia tetap berusaha untuk menjawab pertanyaan Edward dengan seadanya, berharap agar rencananya yang tersembunyi tetap aman dari kecurigaan Edward."Hutang lama, Sebelum saya bekerja di kediaman. Demi operasi orang tua saya," jawab Elena dengan al
"Apakah kamu yakin, Kekuasaan tidak akan mengalahkan hukum?" tanya Vivian."Vivian, apakah kamu takut dia terlepas dan Micheal tidak akan sanggup menahannya?" tanya Charlie.Vivian menghela napas dan sedikit cemas, ia kemudian duduk di sofa. Begitu juga Charlie yang ikut duduk di samping istrinya.Charlie memegang tangan istrinya,"Katakan apa yang kamu pikirkan!" Vivian menoleh ke arah suaminya dan berkata," Kalau kamu menangkap pelakunya, Kamu siap berhadapan dengan ayahmu?" tanya Vivian khawatir."Aku tidak takut kalau sampai terjadi, Jangan cemaskan hal ini! Cukup percaya saja padaku!" jawab Charlie dengan yakin.Vivian mengangguk walau dirinya khawatir dengan suaminya. Kediaman Perdana Menteri.Meliza duduk di samping suaminya, Ronald, yang tengah sibuk dengan laptopnya di ruangan kerja. Ia menyeduh minuman hangat untuk suaminya yang tampak letih setelah seharian bekerja sebagai Perdana Menteri. Suasana di kediaman resmi Perdana Menteri ini terasa hening dan tenang. "Meliza, ta